BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era teknologi informasi dan globalisasi ekonomi saat ini, arus budaya makanan asing mempengaruhi perubahan pola makan pada masyarakat
Almatsier,2004. Pola makan masyarakat cenderung lebih seirng memilih makanan yang sering dilihat, segera tersedia, memiliki harga terjangkau, dan
mudah membuatnya daripada memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya Sizer dan Whitney, 2006. Remaja lebih cenderung memiliki pola
makan yang tidak teratur, lebih banyak mengonsumsi snack dan makanan diluar
rumah seperti fast food Stang, 2008.
Prevalensi obesitas meningkat diseluruh dunia baik dinegara maju maupun negara berkembang. Meningkatnya obesitas menjadi masalah kesehatan karena
meningkatkan morbiditas Bandini, Flynn, dan Scampini, 2011. Data dari National Helath dan Nutrition Examination Survey NHANES yang melakukan
perbandingan pada tahun 1999 dengan 2000, 2001 dengan 2002, dan 2003 dengan 2004 di Amerika, terdapat bahwa prevalensi obesitas yang terjadi pada pria
meningkat secara signifikan. Pada tahun 1999 sampai 2000 didapatkan sebanyak 27,4 dan pada tahun 2003 sampai 2004 sebanyak 31,1. Dari data tersebut juga
didapatkan sebanyak 32,1 orang dewasa di Amerika menderita obesitas. Prevalensi overweight pada anak-anak dan remaja juga meningkat sebanyak
17,1 Runge dan Greganti, 2009. Menurut WHO, diperkirakan bahwa pada tahun 2005, 1,5 milyar individu diatas usia 15 tahun akan menderita overweight
dan 400 milyar akan menderita obesitas. Bandini, Flynn, dan Scampini, 2011. Dewasa ini kejadian obesitas pada anak-anak dan remaja di Indonesia bertambah
banyak.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010, prevalensi status gizi remaja usia 16-18 tahun berdasarkan tinggi badan di Indonesia dengan kategori
status gizi “sangat pendek” yaitu 7,2. Sedangkan untuk kategori status gizi “pendek” yaitu 24. Untuk Sumatera Utara, prevlensi status gizi anak usia 16-18
tahun dengan kategori “sangat pendek” yaitu 11,6 dan untuk kategori “pendek” 28,2.
Prevalensi status gizi remaja usia 16-18 tahun berdasarkan indeks massa tubuh IMT di Indonesia dengan kategori “sangat kurus” adalah 1,8 dan
kategori “kurus” adalah 7,1. Sedangkan untuk Sumatera Utara, untuk kategori “sangat kurus” dan “kurus” berturut-turut adalah 1,4 dan 4,6. Untuk kategori
“gemuk”, Indonesia memiliki prevalensi 1,4 dan untuk Sumatera Utara adalah 1,0.
Dari hal tersebut di atas membuktikan bahwa masih adanya masyarakat yang belum mendapati gizi yang cukup serta pengetahuan dan pemahaman
masyarakat yang masih kurang tentang nutrisi dan gizi yang baik Tidak hanya itu, faktor lain berupa tempat tinggal, pendidikan, dan
pekerjaan kepala keluarga juga berpengaruh terhadap status gizi masyarakat. Remaja usia 16-18 tahun yang tinggal di pedesaan yang memiliki prevalensi
status gizi berdasarkan tinggi badan dalam kategori status gizi “sangat pendek” dan “pendek” berturut-turut adalah 9,6 dan 29,4. Sedangkan pada masyarakat
yang tinggal di perkotaan memiliki prevalensi dalam kategori status gizi “sangat pendek” dan “pendek” berturut-turut adalah 5,2 dan 19,5.
Remaja Usia 16-18 tahun dengan pekerjaan kepala keluarga seperti petani, nelayan atau buruh memiliki prevalensi status gizi berdasarkan tinggi badan
dengan kategori “sangat pendek” dan pendek berturut-turut 9,2 dan 29,0. Sedangakn pada kepala keluarga yang tidak bekerja memiliki
prevalensiberdasarkan tinggi badan dengan kategori “sangat pendek’ dan pendek” berturut-turut5,6 dan 21,7.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang hubungan status gizi masyarakat dengan keadaan lingkungan serta keadaan sosial-ekonomi masyarakat masih perlu dilakukan. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk memberi pengetahuan tentang hubungan indeks massa tubuh IMT dengan pekerjaan orang tua pada mahasiswa baru
Fakultas Kedokteran USU.
1.2 Rumusan masalah