Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang. Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar. Menurut Susilowati 2008, perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Hauck 1993 bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan. Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara berkala. Perkawinan menciptakan pasangan suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah dan dengan usia yang mencapai dewasa dini atau dewasa muda. Menurut Hurlock 1994, masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola- pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, commit to user 2 pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini. Periode ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan. Fenomena perceraian suami istri dalam masyarakat kita terjadi semakin meningkat dari waktu ke waktu Barus, 2005. Tulisan yang dibuat oleh Pengadilan Agama Surakarta pada 25 Mei 2010 http:pa-surakarta.go.id menjelaskan bahwa, berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009. Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini sungguh menimbulkan keprihatinan, karena ikatan perkawinan tidak lagi membawa kebahagiaan dalam hidup pasangan suami istri, akan tetapi justru membawa ke dalam perselisihan yang semakin rumit. Wahyuningsih 2005 menyebutkan bahwa perselisihan yang sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami istri. Menurut Anjani dan Suryanto 2006, masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan commit to user 3 periode awal dalam perkawinan, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati 2008 menyebutkan bahwa pada dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda. Kesulitan penyesuaian perkawinan hampir tidak terelakkan bila suami dan istri berasal dari pola keluarga yang berbeda. Hal ini akan menjadi sulit ketika pasangan muda mengahadapi tekanan ataupun kondisi yang negatif namun hal tersebut tidak diungkapkan Hurlock, 1994. Meskipun demikian, menurut Wahyuningsih 2005, mengakhiri perkawinan karena ketidakbahagiaan tidak selalu menjadi pilihan, banyak pasangan muda yang dapat mempertahankan perkawinannya, berusaha berpikiran positif terhadap pasangannya dan tetap menjalankan kehidupan rumah tangga sehingga dapat mencapai kondisi yang diharapkan setiap pasangan. Hasil penelitian Wilson, dkk. dalam Wahyuningsih, 2005 menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesehatan emosi akan merasakan hidup yang lebih optimis dan memuaskan dalam perkawinannya. Sikap positif dari pasangan muda untuk tetap mempertahankan perkawinannya, berpikiran positif terhadap pasangannya dan menjalankan tanggung jawab terhadap pasangan meskipun dengan begitu banyak hal yang memicu permasalahan akan mengarah pada terbentuknya fungsi psikologis yang commit to user 4 positif positive psychological functioning, yang membawa kepada terwujudnya kesejahteraan psikologis psychological well being dalam diri seseorang. Ryff 1989 seorang pelopor penelitian mengenai psychological well being menjelaskan bahwa, psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup. Psychological well being pada pasangan muda mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam perkawinannya, mampu melalui periode sulit dalam perkawinan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya. Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini menjadi penting, sebab akan mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk bertahan menghadapi tekanan akibat berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis yang baik. Ryff 1989 menyebutkan bahwa fungsi commit to user 5 positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan dirinya. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Menurut Walgito 1984 kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara baik dan objektif. Pasangan yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Irma 2003 menjelaskan bahwa kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan, sehingga emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Sementara itu, individu dengan kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan perubahan yang cepat dan tidak diduga dalam reaksi emosinya Chaplin, 2000. Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya kesejahteraan psikologis psychological well being pada pasangan muda tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun commit to user 6 2006, yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Untuk itu penulis mengambil judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being pada Pasangan Muda”.

B. Perumusan Masalah