Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being

commit to user 30 pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda tersebut Susilowati, 2008. Berdasarkan uraian di atas, pasangan muda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah suami dan istri, mencapai usia dewasa muda, usia minimal untuk istri 23 tahun dan suami 27 tahun dan usia tidak lebih dari 35 tahun serta usia perkawinan yang masih muda periode awal yaitu kurang dari sepuluh tahun.

D. Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being

pada Pasangan Muda Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah dambaan setiap orang, akan tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar. Hauck 1993 menjelaskan bahwa, kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan. Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara berkala. Pasangan muda yang merupakan orang-orang dewasa muda dan dengan usia perkawinan yang masih muda, juga akan mengalami berbagai permasalahan commit to user 31 dalam kehidupan perkawinannya. Hal ini dikarenakan masa dewasa muda merupakan periode yang khusus dan sulit dalam kehidupan seseorang. Menurut Hurlock 1994, masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan, seperti terjadinya perbedaan pendapat, pemikiran, tujuan atau impian, ingin menguasai satu sama lain, kekecewaan, takut kehilangan dan perbedaan kebiasaan yang dipengaruhi perbedaan latar belakang. Menurut Anjani dan Suryanto 2006, masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati 2008 menyebutkan bahwa pada dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan muda. Menurut Hurlock 1994, ketika pasangan suami istri menghadapai tekanan ataupun kondisi negatif, namun hal tersebut tidak diungkapkan, maka akan menimbulkan situasi yang sulit dalam kehidupan pekawinannya. Meskipun commit to user 32 demikian, tidak berarti pasangan muda tidak dapat mencapai kesejahteraan psikologis dalam kehidupannya. Kebahagiaan dapat diperoleh jika individu mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik Hawthorne dalam Manz, 2007. Jadi, individu akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan jika ia mampu menjalankan fungsi psikologis positif sehingga dapat mencapai kondisi psikologis yang baik. Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi- fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis yang baik. Ryff 1989 menyebutkan bahwa fungsi positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan dirinya. Menurut Safaria dan Saputra 2009, pemahaman akan suasana emosi, mengetahui secara jelas makna dari perasaan, mampu mengungkapkan perasaan secara konstruktif merupakan hal-hal yang mendorong tercapainya kesejahteraan psikologis psychological well being, kebahagiaan dan kesehatan jiwa individu. Orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya, orang yang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya, menjadi rentan terpenjara oleh emosinya sendiri. Hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan fungsi psikologisnya. Individu yang mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik, akan memiliki kondisi commit to user 33 psikologis yang baik pula. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. Menurut Walgito 1984 kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara baik dan objektif. Individu yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya kesejahteraan psikologis psychological well being pada pasangan muda tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun 2006, yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

E. Kerangka Pemikiran