Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan

(1)

REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI DAN

DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN

(Survai: Empat Desa di Kab. Indramayu dan Kab. Pontianak)

ROOSGANDA ELIZABETH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER TULISAN

Dengan ini, saya: Roosganda Elizabeth, menyatakan bahwa tesis “Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 4 Januari 2007.

Roosganda Elizabeth


(3)

ABSTRAK

ROOSGANDA ELIZABETH. Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan. LALA M. KOLOPAKING, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan FREDIAN TONNY sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Sektor pertanian masih berperan penting, ditinjau dari kontribusi pada PDB, penyerapan tenaga kerja, dan devisa non-migas, sehingga layak diprioritaskan dalam kebijakan strategis pembangunan di Indonesia. Terdapat kecenderungan beralihnya kegiatan ekonomi petani ke sektor non-farm yang umumnya non-formal sebagai diversifikasi usaha rumahtangga. Menjadi TKI merupakan keputusan fenomenal, dimana remitansnya yang besar ternyata mampu meningkatkan pendapatan suatu rumahtangga dan membantu finansial pembangunan lingkungan di daerah asal.

Diversifikasi usaha cenderung mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga yang melakukannya. Indeks diversifikasi berkorelasi negatif dengan pangsa pendapatan sektor pertanian, sebaliknya berkorelasi positif dengan pangsa pendapatan non pertanian. Dari hasil analisis, di Indramayu, pendidikan KK contoh berelasi relatif erat dengan diversifikasi usaha rumahtangga, namun cenderung berelasi kurang erat dengan besarnya pendapatan rumahtangga. Ditemukan kecenderungan relasi yang tidak terlalu erat antara luas penguasaan, pengusahaan lahan, anggota rumahtangga usia kerja dan tingkat pendapatan rumahtangga. Sedangkan di Pontianak, umumnya ditemukan relasi kurang erat antara jumlah anggota keluarga yang terlibat, tingkat penguasaan, pengusahaan lahan, tingkat pendidikan dan tingginya tingkat pendapatan.

Hasil analisis Indeks Entropy menunjukkan terdapat kecenderungan relasi yang tidak erat antara diversifikasi usaha rumahtangga dan peningkatan pendapatan rumahtangga. Namun dari kualitatif hasil tabulasi data dan pengamatan di lapang, secara empirik diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga pada kenyataannya mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani contoh. Salah satunya dengan mencermati tabulasi kontribusi pendapatan diversifikasi usaha sub-sektor on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap total pendapatan rumahtangga petani contoh. Perbedaan hasil analisis data dengan empirik hasil temuan di lapang secara kualitatif diduga lebih disebabkan (dipengaruhi) oleh: 1) besarnya pendapatan seorang anggota rumahtangga dari suatu usaha, dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga lain pada waktu yang bersamaan; 2) pendapatan seorang anggota rumahtangga dari beberapa usaha sekaligus, justru lebih tinggi dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga dari beberapa usaha pada rumah tangga lain; 3) keterbatasan alat analisis dan data peubah (variabel) yang diperoleh dari rumahtangga contoh. Meskipun demikian, dapat diartikan bahwasanya diversifikasi usaha rumahtangga petani contoh cenderung mengarah pada besarnya pendapatan yang dihasilkan suatu jenis usaha. Di sisi lain, diversifikasi usaha rumahtangga sebagai sumber pendapatan lebih mengarah pada kegiatan non-farm karena mampu meningkatkan pendapatan relatif tinggi. Tingkat pengeluaran rumahtangga petani contoh berbanding lurus dengan tingkat pendapatannya.


(4)

Pertumbuhan ekonomi secara nyata telah mempengaruhi dinamika dan perubahan struktur kesempatan kerja, baik terhadap perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan kerja, maupun persepsi terhadap status dan jenis pekerjaan. Pentingnya pemahaman struktur dan dinamika kesempatan kerja terutama pada masa pasca krisis ekonomi, dimana sektor industri mengalami pemulihan yang relatif lambat dibanding sektor pertanian. Keadaan ini hendaknya menyadarkan pemerintah pada peran penting sektor pertanian. Hal ini terkait dengan peran penting sektor pertanian terutama sebagai sumber utama matapencaharian penduduk di pedesaan dan stabilitas penyerap tenaga kerja. Dengan demikian, sektor pertanian di pedesaan tetap menjadi harapan penyerap tenaga kerja, di samping sektor informal di perkotaan.

Key words: peran sektor pertanian, remitans TKI, diversifikasi usaha rumahtangga, tenaga kerja.


(5)

ABSTRACT

ROOSGANDA ELIZABETH. Remittance of Work from Outside the Country and Diversify the Household Effort. LALA M. KOLOPAKING, as chief of counsellor commission; and FREDIAN TONNY,as member of counsellor commission.

Agriculture sector still the important role, evaluated from contribution to PDB, labour absorbtion, and foreign exchange non migas, so that competent given high priority in development strategic policy in Indonesia. There’re tendency change over farmer economic activity to non-farm sector which generally non-formal such the household diversified. Become TKI represent fenomenal, where its remittance is big really able to improve household earnings and assist environmental development financial in origin area.

Diversify the household effort tend to able to improve household earnings which conducting it. Make a negative correlation to diversified index with agricultural sector compartment, but have the positive correlation to non-agriculture earnings compartment. At farmer household example follow in Indramayu, found relative sliver correlate between the household effort diversifiedly and family head education. But, the tend to less tight correlate with the household earning level. Less tight relationship among owner and farm cultivation (enterpasing), household member of age work, mount education, and mount household earnings. In Pontianak, generally found not differently condition than Indramayu. The tend to less tight relationship between household member in concerned, owner and cultivation farm, mount education and earnings heights.

Even Entropy Index analysis show not tight relationship between diversified by household effort and earning improvement; but from qualitative analyse the data tabulation and empirical perception in spacious, the effort diversified done by example household able to improve earning it. This matter is influenced by: 1) earning level of household member from an area of just effort compared to some member to other earnings, dissimiliar household, when which at the same time; 2) a household member earnings from some effort area at one blow, higher exactly compared to some household member earnings differ from some effort area. Then, diversifying the household effort as earnings source more instruct at non-farm activity caused able to improve high earnings relative. Mount expenditure compare diametrical with storey; earning level of the examples of farmer household.

Economic growth manifestly dynamics and change of opportunity work structure influenced, do well by change of labour composition according to employment, status and work type perception too. The important that’s shall awake government, especially pasca of economic crisis, on decided the agriculture important role, as source of subsistence means on rural resident, expectation of labour absorbtion stability.

Keywords: agriculture sector role, remittance of TKI, household effort diversified, labour


(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, 2007. Hak cipta dilindungi.

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(7)

Judul Tesis : Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan

Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan Nama : Roosganda Elizabeth

NIM : A152040041

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan


(8)

REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI DAN

DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN

(Survai: Empat Desa di Kab. Indramayu dan Kab. Pontianak)

ROOSGANDA ELIZABETH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur yang berkesinambungan penulis panjatkan ke hadirat Bapa di Surga, yang senantiasa melimpahkan rahmat, rejeki, kesehatan, kemampuan, kekuatan, dan ketabahan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini mengemukakan tema upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani dan solusi makin sulitnya lapangan pekerjaan. Dengan judul Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan, Studi Survai pada rumahtangga petani di empat desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menyadari benar bahwa tesis ini diselesaikan dalam masa-masa prihatin kehidupannya baik dari sisi ekonomi maupun sulitnya membagi waktu antara kewajiban sekolah, bekerja, dan mengurus rumahtangga. Dengan tekad yang kuat, ketabahan dan kesabaran serta dukungan seluruh keluarga, teman-teman, dan para dosen yang menjadi kunci terselesaikannya tesis ini.

Terima kasih yang setulusnya dari hati penulis disampaikan kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar dan meluangkan waktu yang tidak sedikit dalam membimbing penulis hingga tahap akhir penulisan dan penyempurnaan tesis ini. Dr. Lala M. Kolopaking, MS, atas kepercayaan, arahan, dorongan, dan diskusi aktif yang selalu aktual dan sangat berarti bagi perbaikan dan penyempurnaan kerangka analisis. Ir. Fredian Tonny, MS, atas dukungan, diskusi yang berarti dalam pengembangan tesis ini. Ir. Said Rusli, MA, sebagai dosen penguji yang telah memberi input yang berarti bagi penyempurnaan akhir tesis. Kepada seluruh dosen pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan, yang telah membuka dan memperluas wawasan berpikir penulis dengan berbagai ilmu dan pengetahuan selama menjalankan studi; yang sangat bermanfaat bagi kredibilitas penulis sebagai seorang peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian (PSE-KP d/h PSE) Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Dr. Pantjar Simatupang dan Dr. Tahlim Sudaryanto (yang menggantikannya) sebagai Pimpinan di unit kerja penulis yang telah memberikan kesempatan dan ijin belajar. Terima kasih kepada Tim Penelitian Pola Multi Usahatani 2006 yang telah mengilhami dan


(10)

Dari hati yang paling dalam, dengan penuh cinta kasih penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, P.P Situmorang, SH, MM dan buah hati anandaku tercinta Giovanni Inez Erika M. S (kakak) dan Geraldi Samuel I. S (abang) yang dengan penuh do’a, pengertian, pengorbanan, dan kasih sayang, mendukung dan memotivasi penulis untuk tetap kuat dan semangat hingga semua proses studi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih yang tulus kepada Mami tercinta, abang-abang, kakak-kakak, adik, Ibu Mertua, adik-adik ipar, dan keponakan semua. Mereka semua adalah anugerah dari Tuhan YME yang paling berharga dan membanggakan bagi penulis. Mohon maaf yang sebesar-besarnya disampaikan penulis kepada semua pihak atas segala keterbatasan yang terjadi selama proses studi ini berlangsung.

Semoga tesis ini dapat menjadi karya ilmiah yang bermanfaat bagi semua pihak. Tuhan Memberkati kita, senantiasa.

”Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup.” (Carl Jung)

(Ai ndang na huhailahon barita nau uli i, ai hagogoon ni Debata do i , paluahon nasa na porsea. Rom.1: 16a)

Bogor, 4 Januari 2007.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 29 September 1966, hari Jumat pk. 09.45 WIBB, di RS. Elisabet, di kota Medan, Sumatera Utara, sebagai putri ketujuh dari delapan bersaudara, dari orangtua tercinta, pasangan D.S Manurung† dan B br Ambarita.

Lulus dari SD Budi Murni I, tahun 1979. Lulus dari SMP Budi Murni I, tahun 1982. Lulus dari SMAN I tahun 1985, yang semuanya diselesaikan di kota Medan. Selulusnya pendidikan SMA, tahun 1985 diterima melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) di Universitas Sumatera Utara (USU), jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (SEP), dan berhasil lulus tahun 1990.

Tahun 1990 - 1991, pernah bekerja di Bank Umum Nasional (d/h Bunas) di Medan, pindah bekerja ke Bank LIPPO di Batam. Dalam rentang waktu yang sama, kemudian pindah bekerja kembali sebagai tim audit dan analis operasional karena di rekrut oleh BPR Bona Pasogit untuk wilayah Sumatera Utara. Tahun 1991 – 1994 bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi staf peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Puslitbangtan), Bogor. Dari pertengahan tahun 1994 hingga sekarang, karena re-organisasi, penulis direkrut untuk bekerja sebagai seorang peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian (PSE-KP d/h PSE), Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, dengan alamat kantor berlokasi di Bogor-Jawa Barat.

Baru tahun 2004, dengan kasih, kuasa, dan rahmat Tuhan YME, serta seizin pemimpin instansi, penulis diberi kesempatan meneruskan studi S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB, Bogor) pada program studi Sosiologi Pedesaan (SPD). Penulis berhasil lulus dan memperoleh gelar Magister Sains pada bulan Januari 2007.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

PERNYATAAN

RIWAYAT HIDUP

PRAKATA

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

DAFTAR BAGAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang ……….. 1

Perumusan Masalah ……….. 3

Justifikasi ……….. 4

Tujuan Penelitian ………... 6

Kegunaan Penelitian ... 6

Defenisi dan Batasan Operasional ... 7

TINJAUAN PUSTAKA Peran Penting Sektor Pertanian .……… 9

Petani: Metamorphosis dan Dimensi Struktur Sosial …….……….. 14

Dinamika dan Entitas Sosial Petani yang Khas ……… 20

Kemiskinan: Fenomena Sosial Ketidakberdayaan Masyarakat ……….….. 26

Tingkat Upah Sektor Pertanian: Prospek Pendapatan RT di Pedesaan ….... 29

Diversifikasi Usaha RT: Pemberdayaan TK dan Peningkatan Pendapatan RT 30 TKI: Fenomenal Ketenagakerjaan Era Globalisasi ………... 31

Kerangka Pemikiran ………. 36

METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Analisis Data ………. 38

Pemilihan Responden ………... 39

Spesifikasi Alat Analisis ………... 40

Indeks Entropy ………. 40

Analisis Usahatani ………. 41

Analisis Korelasi ……….. 41


(13)

KARAKTERISTIK LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN

a. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ……… 43

b. Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat ……….. 45

Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh 1. Struktur Rumahtangga Berdasarkan Umur ..………... 49

2. Struktur Rumahtangga berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan ..……… 50

3. Kondisi Rumah Tinggal Petani Contoh .………. 53

4. Penguasaan dan Pengusahaan Aset Produktif ……… 56

5. Pola Usahatani ………. 61

6. Analisa Pendapatan Usahatani ……… 61

7. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan ……… 63

PERAN REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI Remitans dan Mobilitas Sosial TKI di daerah Asal ……… 68

TKI: Aset Ekonomi bagi Daerah ……… 72

KONTRIBUSI PENDAPATAN ON-FARM, OFF-FARM, NON-FARM, SEBAGAI DIVERSIFIKASI USAHA TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA CONTOH DI PEDESAAN Struktur Pendapatan RT dari Diversifikasi Usaha On-farm, Off-farm, Non-farm ……… 78

DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN Tingkat Diversifikasi Usaha Rumahtangga ...……… 88

Relasi Diversifikasi Usaha Rumahtangga dengan Karakteristik RT ...….. 91

Relasi Tingkat Pendapatan dan Tingkat Pengeluaran RT Contoh .……... 95 DINAMIKA DAN PERGESERAN STRUKTUR KETENAGAKERJAAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja oleh Berbagai Sektor, 1981-2004 ..………….. 10 Tabel 2. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDB, 1981-2004 (%) ……… 11 Tabel 3. Pertumbuhan dan Proporsi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja

Sektor Pertanian di Indonesia, 1997-2003 ………. 13 Tabel 4. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berbagai Sektor Ekonomi

di Daerah Penelitian, 2004/2005 .……….... 13 Tabel 5. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDRB, di Daerah Penelitian ……… 14 Tabel 6. Perbandingan Masyarakat Primitif, Petani, dan Petani Modern ………... 16 Tabel 7. Persentase TKI menurut Gaji/Upah Sebulan ………. 32 Tabel 8. Penempatan TKI ke Luar Negeri menurut Kawasan, 2001-2003 ………. 33 Tabel 9. Perolehan Remitansi TKI tahun 1999 – 2003 ………... 34 Tabel 10. Tataguna Lahan di Prov. Jabar, Kab. Indramayu, 2004/2005 …………. 43 Tabel 11. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas berbagai Komoditas Usahatani

Di Kec. Losarang, Kab. Indramayu, dan Prov. Jabar ……….. 44 Tabel 12. Luas Areal, Produksi Komoditas Pertanian Prov.Kalbar dan

Kab. Pontianak. 2004/2005 ... 45 Tabel 13. Tataguna Lahan di Kab. Pontianak, Kec. Sungai Kakap dan Rasau Jaya 47 Tabel 14. Luas Areal dan Produksi Komoditas Pertanian Kab. Pontianak

Kec. S. Kakap dan Rasau Jaya. 2004/2005. ...……. 48 Tabel 15 Luas Areal dan Produksi Tanaman Tahunan Kab. Pontianak. 2004/2005 49 Tabel 16. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Jumlah

Anggota Keluarga, Umur KK, dan Kelompok Umur, 2006 ……… 50 Tabel 17. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Tingkat


(15)

Tabel 19. Kelengkapan Rumahtangga Contoh di Lokasi Penelitian, 2006 ...……... 56 Tabel 20. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Petani Contoh

di Kab. Indramayu, 2006 …………... 57 Tabel 21. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Petani Contoh

di Kab. Pontianak, 2006 ………... 58 Tabel 22. Rataan Pemilikan Ternak pada Rumahtangga Contoh, 2006 ....……….. 59 Tabel 23. Pemilikan Alsintan Rumahtangga Contoh, 2006 ...………. 59 Tabel 24. Pemilikan Alat Transportasi Rumahtangga Contoh, 2006 …...………… 60 Tabel 25. Analisa Usahatani dan Palawija di Lokasi Penelitian, 2006 ……… 62 Tabel 26. Luas Penguasaan, Pengusahaan Lahan, dan Rasio Keduanya

Di Lokasi Penelitian ……… 64 Tabel 27. Perbandingan Pendapatan Rumahtangga Contoh dari Remitans TKI

Di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2005/2006. ...……….. 68 Tabel 28. Rataan Pendapatan Rumahtangga TKI Contoh dari Pertanian dan

Luar Pertanian di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2005/2006 ... 69 Tabel 29. Rataan Pendapatan RT TKI Contoh dibanding Non-TKI sebagai

Pendapatan Non-Farm di Kab. Indramayu dan Pontianak.2005/2006 .… 70 Tabel 30. Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Pedesaan

Kab. Indramayu berdasarkan Penguasaan Lahan. 2005/2006 ...…. 79 Tabel 31. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-farm terhadap Total

Pendapatan On-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

Kab.Indramayu. 2005/2006 ...………. 80 Tabel 32. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-farm terhadap Total

Pendapatan Off-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

Kab.Indramayu. 2005/2006 ...………. 81

Tabel 33. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-farm terhadap Total Pendapatan Non-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

Kab.Indramayu. 2005/2006 ...………. 81 Tabel 34. Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Pedesaan


(16)

Tabel 35. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-farm terhadap Total Pendapatan On-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

di Kab. Pontianak 2005/2006 ……… 85 Tabel 36. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-farm terhadap Total

Pendapatan Off-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

Kab. Pontianak.2005/2006 ...………. 86

Tabel 37. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-farm terhadap Total Pendapatan Non-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan,

Kab. Pontianak. 2005/2006 ………. 87 Tabel 38. Rasio Jenis Pekerjaan dan Indeks Entropy Rumahtangga Contoh

Di Kab. Indramayu dan Pontianak ………... 90 Tabel 39. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan

Diversifikasi Usaha Rumahtangga di Kab. Indramayu ……….. 93 Tabel 40. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan

Diversifikasi Usaha Rumahtangga di Kab. Pontianak ...………... 95 Tabel 41. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total

Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Contoh di Indramayu …...… 97 Tabel 42. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total

Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Contoh di Pontianak ……. 98 Tabel 43. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin di Jawa Barat, 2005 ………..…. 105 Tabel 44. Klasifikasi Penduduk Provinsi Jawa Barat, dan Kab. Indramayu …….. 105 Tabel 45. Luas Desa, Penduduk, dan Luas Lahan Sawah Tadah Hujan ………….. 106 Tabel 46. Proporsi dan Pertumbuhan Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja

Sektor Pertanian, 1997-2003 ……….... 107 Tabel 47. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur

dan Jenis Kelamin di Pontianak, 2004/2005 ………...…. 109


(17)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1: Gambaran Masyarakat Petani (Chayanov) ………... 18

Bagan 2: Gambaran Masyarakat Petani di Desa (van Vollenhoven) .………. 18

Bagan 3: Pendekatan Umum Hubungan Diversifikasi Usaha Rumahtangga

dengan Pendapatan di Pedesaan …...……….. 37

Bagan 4: Konsep Pembangunan Pertanian Mencapai Pengentasan Kemiskinan


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian sudah seharusnya mendapat prioritas dalam kebijaksanaan strategis pembangunan di Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia, masih berperan penting baik dari kontribusinya terhadap PDB dan devisa non-migas, maupun dalam penyerapan surplus tenaga kerja. Meski pangsa sektor pertanian terhadap PDB terus menurun menjadi 15,94% dibanding pangsa sektor industri sekitar 23,63% tahun 20021, namun dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih tetap yang tertinggi. Kenyataan tersebut mencerminkan masih pentingnya peranan sektor pertanian sehingga patut menjadi prioritas pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan infrastruktur penunjang pertanian di pedesaan2.

Sektor pertanian, sebagai sumber utama pendapatan rumahtangga di pedesaan, terlebih setelah krisis ekonomi melanda dunia. Hal ini menunjukkan ketangguhan sektor pertanian dalam menunjang perekonomian nasional dan penyerap surplus tenaga kerja. Di samping itu, mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan usaha pertanian sebagai sumber matapencaharian utama mereka. Kondisi perekonomian nasional yang belum stabil, berdampak pada belum mampunya sektor di luar pertanian menyediakan lapangan kerja yang dibutuhkan. Keadaan ini turut menjadikan sektor pertanian sebagai penampung melimpahnya para pencari kerja.

Seiring meningkatnya angkatan kerja baru dalam penawaran (supply) di pasar tenaga kerja dan perkembangan teknologi, sarana komunikasi dan transportasi, mendorong mereka berusaha mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Keadaan ini juga dipengaruhi makin sempitnya lahan pertanian yang dapat mereka usahakan akibat tingginya konversi ke non-pertanian, serta relatif kecilnya pendapatan dari usahatani semata. Dengan kondisi demikian salah satunya mencerminkan keterbatasan (miskin secara ekonomi) yang umum melekat pada petani, sehingga pengembangan diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga di pedesaan sangat perlu dilakukan.

1

BPS, 2000-2003. Data Pendapatan Nasional.

2


(19)

Keberagaman pendapatan yang diperoleh dari diversifikasi usaha rumahtangga salah satunya digambarkan pedesaan Jawa Barat, dimana sekitar 20,6% berasal dari usaha sendiri (dagang, dan usaha lain). Dari usaha buruh non-pertanian sebesar 21,5% (termasuk PRT, TKI, pengamen, pedagang asongan, pengemis, pemulung). Pendapatan utama sebesar 51% tetap masih berasal dari sektor pertanian.3 Dengan demikian, diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga perlu dipandang sebagai suatu kekuatan dan peluang yang harus diberdayakan dan dikembangkan ke arah yang bersifat usaha mandiri. Meski demikian, aset sumberdaya pertanian yang dikuasai petani perlu dikelola secara optimal, agar produktif dan mampu meningkatkan pangsa sektor pertanian terhadap sumber utama pendapatan rumahtangga petani.

Adanya kecenderungan makin menurunnya jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian4, menunjukkan kegiatan ekonomi sebagian masyarakat petani di pedesaan beralih ke sektor luar pertanian. Kecilnya pendapatan dari usahatani semata memicu rumahtangga untuk mencari tambahan pendapatan dari luar pertanian. Pekerjaan non formal, seperti: tukang/buruh bangunan, dagang, industri rumahtangga, PRT (Pembantu Rumah Tangga), pengamen, pengemis, pemulung, atau menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia), mengindikasikan terdapatnya diversifikasi usaha rumahtangga sebagai sumber pendapatan di pedesaan. Namun, sektor pertanian tetap mereka pertahankan sebagai sumber pendapatan utama.

Belum stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri, dan belum pulihnya perekonomian di sektor riil, serta sempitnya lapangan kerja di Indonesia telah memicu tingginya tingkat pengangguran. Kondisi tersebut mencerminkan makin meningkatnya penduduk miskin, menganggur/sulit mendapat pekerjaan. Bagi mereka, menjadi TKI merupakan keputusan tepat, dipicu fakta/berita bahwa bekerja ke luar negeri memberi prospek dan gaji lebih baik. Fakta demikian dapat menjadi penarik dan pendorong bagi pekerja migran sebagai upaya memperoleh pendapatan dalam ketidakberdayaan di negara asal. Hal ini juga mengindikasikan terjadinya perubahan perilaku ekonomi dan orientasi kerja masyarakat.

3

Susilowati, et al. (2002).

4


(20)

Di era globalisasi kini, TKI menjadi momentum fenomenal yang dilematis, sebab dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan ketrampilan, mereka nekad pergi bekerja ke negara lain yang penuh resiko demi meraih kehidupan yang memadai dan berkecukupan. Pilihan yang fenomenal dan dilematis tersebut sebagai salah satu solusi mereka memperoleh pendapatan rumahtangga. Terutama bagi mereka yang tidak lagi memiliki lahan memadai untuk melakukan usahatani secara subsisten sekalipun. Di sisi lain, remitans yang dihasilkan para TKI telah menjadi kontribusi pendapatan yang sangat besar terhadap devisa non-migas negara Indonesia. Nyatanya, ratusan milyar rupiah yang mereka sumbangkan, baik secara langsung (resmi) atau tidak langsung melalui remitans (kiriman uang), yang harus diakui keberadaannya.

Bekerja di luar negeri sebagai TKI, juga memiliki potensi besar sebagai alternatif penyerap surplus tenaga kerja di dalam negeri. Keadaan ini dapat merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk angkatan kerja. Kebijakan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah untuk mengantisipasi dan melindungi keberadaaan mereka di luar negeri dan memperkecil resiko ketertindasan dari berbagai pihak terkait.

Untuk mengetahui peran remitans dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan yang dapat dikembangkan terkait dengan peningkatan pendapatan rumahtangga petani di pedesaan, maka penelitian mengenai remitans bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan ini dilakukan. Studi ini diharapkan dapat menggerakkan masyarakat pedesaan untuk mampu menangkap potensi dan peluang kesempatan kerja dan berusaha di luar usahatani itu sendiri melalui berbagai diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan. Diversifikasi usaha tersebut selama ini mungkin tidak disadari telah mereka lakukan, diupayakan untuk dikembangkan sebagai sumber pendapatan rumahtangga

.

Perumusan Masalah

Terdapatnya keberagaman usaha sebagai diversifikasi usaha rumahtangga yang terkait dengan sumber pendapatan rumahtangga di pedesaan, seperti: 1) bekerja dari luar negeri (TKI) semakin berperan sebagai sumber pendapatan rumahtangga melalui


(21)

remitans kepada keluarga di desa asal; 2) adanya indikasi fleksibilitas kinerja ketenagakerjaan dan kesempatan kerja di luar pertanian, terkait dengan TKI. Relatif kecilnya skala penguasaaan dan pengusahaan lahan oleh petani akan menyebabkan kekurangefisienan sistem usahatani. Disamping itu, kendala fisik lahan dan iklim, kondisi infrastruktur yang kurang memadai turut mengurangi akses petani terhadap pasar input dan output, yang akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan rumahtangga dari usahatani.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka beberapa permasalahan yang coba dirumuskan dalam penelitian ini, yakni: 1) bagaimana peran remitans TKI terhadap pendapatan rumahtangga dan mobilitas sosialnya di pedesaan; 2) bagaimana kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan; 3) bagaimana hubungan diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan; 4) bagaimana dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian.

Dengan demikian, penelitian mengenai remitans bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan ini dilakukan, dan diarahkan untuk menghasilkan berbagai saran dan implikasi kebijakan terkait dengan hubungan diversifikasi usaha dengan pendapatan rumahtangga sebagai sumber usaha peningkatan pendapatan , termasuk peran remitansi dan peluang mobilitas sosial TKI di pedesaan.

Justifikasi

Pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang telah membawa dampak terjadinya berbagai perubahan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, seperti: penggunaan teknologi (adop teknologi usahatani), penguasaan dan pengusahaan aset produksi, pola berpikir, pendapatan. Perubahan tersebut berhubungan dengan perubahan terhadap: norma dan tatanilai; terkait dengan pola perilaku sosial, ekonomi dan konsumsi; menyangkut struktur kesempatan kerja; serta berdampak pada makin tergesernya masyarakat desa (terpinggirkan) yang tergolong miskin secara ekonomi. Lebih lambatnya kemampuan mereka dalam mengantisipasi perubahan berdampak pada


(22)

ketimpangan penyebaran pendapatan yang semakin tidak terhindarkan, meningkatnya pengangguran, serta berbagai dampak terkait lainnya.

Pertumbuhan perekonomian yang pesat di Indonesia akibat pelaksanaan pembangunan, telah menyebabkan perubahan struktur ekonomi sektoral. Meski demikian, belum sepenuhnya mampu diimbangi pergeseran struktur tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pergeseran tenaga kerja relatif lebih lambat dibanding laju pergeseran ekonomi sektoral; dimana titik balik untuk aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik penggunaan tenaga kerja (labour turning point).5 Problema penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan tampaknya selalu menjadi tantangan berat bagi pembangunan pertanian. Hal ini dilandasi oleh kurang mampunya sektor non-pertanian menyerap limpahan tenaga kerja, makin terbatasnya lahan pertanian yang dapat diusahakan akibat tingginya konversi (alih fungsi) lahan ke non-pertanian yang terus berlangsung. Beberapa penyebab tingginya tingkat konversi lahan adalah dikarenakan kebutuhan lahan untuk kawasan industri, prasarana ekonomi, dan pemukiman yang semakin meningkat.

Petani di Indonesia secara umum menguasai dan mengusahakan lahan yang relatif sempit (bahkan landless), sehingga pendapatan yang diperoleh hanya dari usahatani relatif kecil. Pada kondisi tersebut, petani sering tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga. Oleh karena itu, diversifikasi usaha rumahtangga diharapkan dapat memberi peluang bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya (bukan sekedar subsisten belaka).

Salah satu alternatif yang dipilih para tenaga kerja di pedesaan sebagai diversifikasi usaha rumahtangga mereka adalah bekerja di luar negeri menjadi TKI. Berbagai bukti keberhasilan para TKI yang dapat mengangkat status sosial ekonomi keluarganya, yang diperoleh dari teman dan kerabat yang pernah ataupun masih bekerja sebagai TKI, penjadi faktor penarik dan pendorong minat mereka untuk menjadi TKI. Meski dengan nekad menghadapi berbagai bahaya dan resiko yang mungkin akan dihadapi di negara lain, asalkan dapat bekerja dan memperoleh pendapatan yang memadai, merekapun berangkat bekerja ke luar negeri. Bekerja di luar negeri (TKI)

5


(23)

secara mikro dapat meningkatkan taraf hidup TKI maupun rumahtangganya. Imbasan pendapatan TKI dan remitansnya terhadap lingkungan antara lain dengan membantu finansial pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Dilihat dari sisi devisa yang dihasilkan (inflow) dan kontribusi pendapatan diberikan (dihitung berdasarkan remitansinya), secara makro cukup mendukung keuangan negara.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran lebih komprehensif tentang diversifikasi usaha rumahtangga yang berperan dan berpeluang dikembangkan sebagai peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan, dengan:

1. Menganalisis peran remitans bekerja dari luar negeri (TKI) terhadap pendapatan rumahtangga dan mobilitas sosial TKI di desa asal;

2. Menganalisis kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, non-farm sebagai diversifikasi usaha terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan;

3. Menganalisis diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan.

4. Mengungkap dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan:

1. Menambah wawasan dan wacana pengetahuan peneliti maupun pembaca mengenai peran remitans bekerja dari luar negeri terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan dan mobilitas sosial TKI di daerah asal; kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan; hubungan diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan; kondisi dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian;


(24)

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan terkait sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan dan sumberdaya manusia yang lebih tepat dan lebih berpihak;

3. Sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan dalam pengkajian yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

Defenisi dan Batasan Operasional

• Pertanian adalah aktivitas masyarakat dalam mengusahakan, mengolah, mengelola, dan memanfaatkan tanah untuk dapat menghasilkan bahan makanan atau bahan lain yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.

• Aktivitas pertanian adalah salah satu kegiatan campur tangan masyarakat terhadap alam melalui usaha memodifikasi ekosistem (alam: lingkungan, iklim, tanah) agar memperoleh manfaat (produksi) yang diinginkan.

• Buruh tani adalah seseorang bekerja di bidang pertanian, baik memiliki dan atau tidak memiliki tanah pertanian, sehingga bekerja dengan menerima upah, baik sebagai pekerjaan utama dan atau sampingan.

• Rumahtangga adalah satuan unit keluarga terkecil dalam masyarakat yang berdiam dalam satu tempat tinggal, yang umumnya terdiri dari keluarga inti (suami/KK, istri dan anak-anak).

• Remitans adalah kiriman uang kepada keluarga di daerah asal yang umumnya merupakan sebagian dari gaji/pendapatan si TKI selama bekerja di luar negeri. • Pendapatan adalah imbalan atau penghasilan selama sebulan baik berupa uang

maupun barang yang diterima seseorang yang bekerja dengan status pekerja bebas di pertanian atau pekerja bebas di non pertanian.

• Pendapatan Rumah Tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga, yang diperoleh kepala keluarga dan anggota rumahtangga; dapat berasal dari balas jasa tenaga kerja (upah/gaji, keuntungan, bonus, bagi hasil, dll) dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer/kiriman uang).

• Kontribusi adalah besarnya sumbangan yang dapat diberikan pada suatu waktu dan keadaan.


(25)

• Kontribusi pendapatan mengindikasikan besarnya andil atau peran setiap jenis usaha dalam memberikan pendapatan (sumbangan penghasilan) terhadap pendapatan suatu rumahtangga.

• Diversifikasi usaha rumahtangga adalah berbagai/keberagaman usaha sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan ataupun sebagai tambahan/peningkatan pendapatan suatu rumahtangga.

• Tenaga kerja adalah setiap orang (laki-laki atau wanita) berusia 15 tahun ke atas yang sedang dan atau akan melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan masyarakat.

• Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.

• Kesempatan kerja adalah lowongan pekerjaan yang dapat diisi oleh tenaga kerja yang sedang mencari pekerjaan; mengandung pengertian lapangan pekerjaan dan kesempatan untuk bekerja, yang ada dalam suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian, kesempatan kerja adalah termasuk lapangan pekerjaan yang sudah diduduki dan masih lowong. Tingkat kesempatan kerja diukur sebagai persentase orang yang bekerja terhadap jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja.

• Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja dan jumlah seluruh penduduk usia kerja.

• Dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan adalah perubahan (naik/ turun) dan beralihnya suatu susunan, arah ataupun orientasi tenaga kerja, yang diperlukan di dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu, yang dirinci menurut jenis pekerjaan atau profesi, tingkat kualifikasi dan jumlah pekerjaan yang tersedia atau yang diperlukan.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Peran Penting Sektor Pertanian

Makna dari istilah pertanian adalah merupakan aktivitas masyarakat dalam mengolah (mengelola) dan memanfaatkan tanah untuk dapat menghasilkan bahan makanan dan bahan lain yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat yang mengusahakannya. Dengan kata lain, pertanian (agro/agriculture) merupakan suatu bentuk budaya atau kegiatan yang menunjukkan adanya suatu kegiatan (campur tangan) masyarakat pertanian terhadap suatu jenis ekosistem (alam) agar dapat menghasilkan manfaat berupa barang-barang kebutuhan hidup, seperti: bahan pangan maupun sandang dan papan, baik secara langsung maupun setelah mengubah (memodifikasi) ekosistem tersebut.

Agro-ekosistem merupakan pengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik alam (lingkungan/iklim dan tanah), dimana keragaan tanaman dan hewan yang dikelola/diusahakan diharapkan tidak akan berbeda nyata.1 Dalam hal ini, aktivitas pertanian merupakan salah satu kegiatan campur tangan masyarakat terhadap alam melalui usaha mengubah (memodifikasi) ekosistem tersebut agar dapat memperoleh manfaat (produksi) yang diinginkannya. Namun, penguasaan pengetahuan dan pengembangan teknologi pengelolaan (modifikasi) terhadap ekosistem (alam) harus dilakukan dengan arif dan bijaksana untuk menjaga dan melestarikan keberadaannya.

a. Nasional

Sektor pertanian masih memiliki peran penting bagi masyarakat di Indonesia, terutama di pedesaan. Beberapa peran penting tersebut dapat dilihat pada penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi terbesar (pangsa) baik terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) daerah maupun nasional.

1


(27)

Sektor pertanian tetap merupakan prioritas utama kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi secara signifikan telah mempengaruhi dinamika dan perubahan struktur kesempatan kerja. Hai ini tidak hanya terbatas pada perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan kerja, tetapi juga terhadap status dan jenis pekerjaan. Sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 45,28% terhadap kesempatan kerja nasional yang meningkat dari 43,98% dengan laju pertumbuhan sebesar 0,51% per tahun dari total kesempatan kerja nasional pada periode tahun 1995-2000 yang meningkat 1,94 % per tahun (Rusastra dan Suryadi, 2004). Dari sisi penyerapan tenaga kerja oleh berbagai sektor, dimana sektor pertanian secara konstan menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar selama tahun 1981-2004, seperti disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja oleh Berbagai Sektor, 1981 – 2004 (orang).

Sektor 1981 1991 1997 2001 2004

Pertanian (%) 31.593.314 54,46 41.205.791 53,92 35.848.631 41,18 39.743.908 43,77 40.608.019 43,33 Industri (%) 390.661 0,68 564.599 0,74 896.611 1,03 12.086.122 13,31 11.070.498 11,81 Perdagangan (%) 61.666 0,11 150.660 0,20 233.237 0,27 17.469.129 19,24 19.119.156 20,40 Konstruksi (%) 6.021.929 10,42 7.946.350 10,40 11.214.822 12,88 3.837.554 4,23 4.540.102 4,84 Keuangan (%) 8.553.919 14,80 11.430.655 14,96 17.221.184 19,78 1.127.823 1,24 1.125.058 1,20 Transportasi (%) 2.146.210 3,71 2.436.594 3,19 4.200.200 4,83 4.448.279 4,90 5.490.527 5,86 Jasa (%) 1.796.112 3,11 2.493.424 3,26 4.137.653 4,75 11.003.482 12,12 10.513.093 11,22 Lainnya (%) 7.238.990 12,52 10.195.106 13,34 13.297.418 15,28 1.091.120 1,20 1.265.585 1,35

TOTAL (100%) 57.802.888 76.423.266 87.049.841 90.807.516 93.722.036

Sumber: BPS, Data Ketenagakerjaan. 1980-2005.

Dengan mencermati Tabel 1, tahun 2004 sektor industri penyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor pertanian dan perdagangan. Selama periode tahun 1981-2003, posisi masing-masing sektor setiap tahunnya tidaklah konstan terhadap penyerapan tenaga kerja seperti halnya posisi sektor pertanian. Kondisi tersebut dapat


(28)

mengindikasikan kenyataan bahwa penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian relatif stabilnya dalam jangka waktu relatif panjang. Hal ini dapat diartikan bahwa sektor pertanian sebenarnya tetap dapat diandalkan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Pada masa pasca krisis ekonomi, sektor industri masih dalam tahap pemulihan yang relatif lambat, sehingga sektor pertanian diharapkan menjadi penyerap tenaga kerja. Demikian juga sektor informal di perkotaan, sehingga terjadi realokasi tenaga kerja ke desa. Diperkirakan sekitar 20% migrasi dari daerah perkotaan ke desa bekerja di sektor pertanian (Rusastra, et al. 2005). Selain itu, juga ada peningkatan partisipasi angkatan kerja pada wanita dan anak-anak.

Peran penting sektor pertanian salah satunya didasari pada kenyataan bahwa sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar baik terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) baik secara nasional maupun PDRB secara regional. Tahun 1981-1991 sektor pertanian secara nasional mempunyai pangsa terbesar dalam PDB dibanding berbagai sektor lainnya, namun terus merosot di tahun berikutnya seperti tersaji pada tabel berikut:

Tabel 2. Pangsa Berbagai Sektor dalam Produk Domestik Bruto (PDB), 1981-2004 (%).

Sektor 1981 1991 1996 1997 2000 2002 2004*

Pertanian 21,58 19,26 15,59 15,00 16,64 16,04 15,38

Industri 10,70 19,85 23,55 24,10 23,59 28,23 28,34

Pertambangan 12,00 10,50 9,18 8,93 9,77 8,28 8,55

Konstruksi 16,45 8,06 9,48 9,51 8,64 5,50 5,84

List,gas,air 0,71 0,95 1,18 1,27 1,65 0,95 0,99

Perdag,Hotel&Rest. 19,34 16,64 16,95 17,11 15,95 16,55 16,19

Transportasi 4,39 5,84 5,97 6,09 7,30 5,26 6,09

Keuangan 2,86 4,06 4,86 4,82 6,90 8,29 8,44

Jasa 11,97 14,84 13,22 13,17 9,56 8,89 10,18

TOTAL (%) 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: BPS (1973-2005). * = Angka sementara.

Pada Tabel 2, sektor pertanian tahun 2004 hanya diperingkat 3 yaitu 15,38% dalam memberikan sumbangan pada struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sektor lainnya. Peringkat tersebut menurun dan tidak konstan selama 20 tahun terakhir, dimana tahun 1981 hingga 1990 sektor pertanian menjadi peringkat 1 terbesar dalam pangsa kontribusi terhadap PDB. Bila tidak disikapi dengan serius, tidak mustahil bila peringkat


(29)

sektor pertanian terus menurun dibanding sektor lainnya terhadap pangsa dalam PDB. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yang mayoritas penduduknya hidup dan bermatapencaharian sebagai petani. Dari sisi produk pertanian kita senantiasa meningkat setiap tahunnya, tetapi sesungguhnya angka produksi tersebut masih sangat kecil bila ditinjau dari sisi potensi lahan yang ada. Untuk itu, dalam usaha membangun sektor pertanian, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dengan mengusahakan pelaksanaan usaha pertanian dengan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian di pedesaan.

Sektor pertanian harus dibangun secara menyeluruh dan terpadu melalui: 1) Ketersediaan sarana produksi yang terjangkau oleh daya beli petani; 2) Pasar yang dapat menampung produk pertanian beserta transportasi yang memungkinkan pengangkutan produk ke pasar; 3) Kredit produksi dengan bunga dan jangka waktu pembayaran kembali yang sesuai dengan kemampuan petani sehingga dapat mengisi kekurangan modal usaha; 4) Pembangunan sarana irigasi yang mendukung produktivitas; 5) Lembaga penelitian yang menghasilkan teknologi tepat guna; 6) Lembaga penyuluh dan pelatihan; 7) Kelembagaan petani yang dapat meningkatkan posisi produsen dalam menghadapi konsumen; 8) Kebijakan harga masukan dan produk pertanian yang menimbulkan insentif berproduksi.

Dari segi pendidikan, proprorsi terbesar hanya berpendidikan SD. Hal ini dikarenakan sulitnya perekonomian masyarakat pedesaan pada umumnya. Kondisi ini terkait dengan sumber pendapatan penduduknya yang terutama bergantung pada hasil pertanian (60%). Sementara itu semakin hari penduduk desa usia kerja terasa semakin sulit memperoleh pekerjaan, sehingga pengangguranpun semakin meningkat. Mereka kemudian, terutama kaum muda yang berpendidikan SLTA, lebih memilih untuk merantau ke daerah perkotaan, atau menjadi TKI/TKW.

Menurut data BPS sampai dengan tahun 2003, terjadi pergeseran ke arah peningkatan terhadap tingkat pendidikan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2000-2003 pendidikan SD meningkat sebesar 2,34% per tahun, 14,05% untuk tingkat SLTP, dan 3,91% per tahun untuk tingkat SLTA.


(30)

Tabel 3. Pertumbuhan dan Proporsi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia, 1997 – 2003.

Tingkat Pendidikan

Pertumbuhan (%/tahun) Proporsi (%)

1997 - 1999 2000 - 2003 1997 - 1999 2000 - 2003

Tidak sekolah -5.74 -6.12 41.85 41.85

SD 7.28 2.34 42.66 42.66

SLTP 16.96 14.05 10.42 10.42

SLTA 17.72 3.91 4.78 4.78

Diploma/Sarjana 8.09 -3.99 0.28 0.28

Total TK (000 orang) 3.34 1.19 37.880 40.763

Sumber: BPS, Data Ketenagakerjaan, 1998 – 2004.

b. Daerah

Secara regional, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan mencermati Tabel 4, terlihat bahwa sektor pertanian di Jawa Barat menyerap 29,82%, dan di Kalimantan Barat 66,92% tenaga kerja. Khususnya di pedesaan pertanian merupakan sumber pendapatan utama rumahtangga dan lapangan kerja yang dominan bagi sebagian besar masyarakat.

Tabel 4. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berbagai Sektor Ekonomi, di Daerah Penelitian, 2004.

Sektor Jawa Barat (%) Kalimantan Barat (%)

1. Pertanian 29,82 66,92

2. Pertambangan 0,44 2,10

3. Industri 17,60 5,12

4. Listrik, Gas & air Minum 0,27 0,21

5. Bangunan 5,82 3,03

6. Perdagangan, Hotel & Rest. 22,82 11,86

7. Angkutan 8,80 2,87

8. Bank & Lembaga Keuangan 1,86 0,42

9. Jasa-jasa 12,55 7,47

10. Lainnya 0,02

Total 100,00 100,00

Sumber: BPS, Jawa Barat dalam Angka, 2004; KalimantanBarat dalam Angka, 2004.

Pada kenyataan, sektor pertanian di daerah penelitian masih memberikan kontribusi besar terhadap PDRB. Sektor pertanian secara regional mempunyai pangsa terbesar dibanding berbagai sektor lainnya, seperti disajikan pada Tabel 5.


(31)

Tabel 5. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDRB, di Daerah Penelitian, 2004/2005. Sektor Jawa Barat (%) Kalimantan Barat (%)

Pertanian 13,15 27,60

Pertambangan 6,80 1,28

Industri 40,44 20,2

Listr.gas &air minum 2,60 0,88

Bangunan/konstruksi 2,78 6,40

Perdag.hotel & restoran 17,64 23,56

Angkutan 5,28 5,82

Bank dan Lembaga Keuangan 2,86 4,87

Jasa-jasa 8,44 9,28

Lainnya -

-Total 100 100

Sumber: Data Ketenagakerjaan, BPS. 2004/2005.

Dari Tabel 5, pada tahun 2004 pangsa sektor pertanian bila dibanding dengan sektor-sektor lainnya dalam PDRB di Jawa Barat menempati peringkat 3 (sebesar 13,15%). Sedangkan di Kalimantan Barat pangsa sektor pertanian dalam PDRB, menempati peringkat 1 (sebesar 27,6%).

Petani: Metamorphosis dan Dimensi Struktur Sosial

Pelaksanaan pembangunan pertanian yang menganut paradigma modernisasi dengan mengutamakan prinsip efisiensi, telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Perubahan terutama terkait dengan struktur pemilikan lahan pertanian yang mengakibatkan terjadinya: 1) petani lapisan atas, yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta mempunyai peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; 2) petani lapisan bawah yang relatif miskin (dari segi lahan dan modal) hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat tersebut terlibat dalam ketimpangan suatu hubungan kerja.

Kebijakan pembangunan pertanian (seperti revolusi hijau) justru meninggalkan kaum petani (“wong cilik”). Bisa jadi petani adalah korban pembangunan pertanian tersebut karena terbukti terjadi proses ketergantungan (teori dependensi)petani terhadap


(32)

pupuk dalam usahatani. Ketergantungan tersebut sebagai dampak dari program pemupukan intensif dan pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, InSus sampai Supra-Insus. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan kestabilan subsidi dan harga pupuk, serta tidak transparannya tujuan pasar dan harga jual produksi pertanian sangat memberatkan petani. Meski tidak dipungkiri program kebijaksanaan pembangunan pertanian oleh pihak pemerintah mampu membawa hasil seperti swasembada beras pada tahun 19842.

Meskipun Hayami dan Kikuchi (1981) menyimpulkan revolusi hijau tidak mendorong polarisasi, namun kenyataannya petani lapisan atas lebih diuntungkan dibanding petani lapisan bawah. White (1992) menyebutnya sebagai proses eksploitasi (penghisapan) dari golongan kapitalis. Petani lapisan atas dapat menarik manfaat lebih dari kemajuan sektor pertanian, bahkan dari berbagai usaha sektor non-pertanian, yang tidak terjadi pada petani lapisan bawah. Petani berlahan sempit (landless) dan buruh tani bahkan tidak mengalami perkembangan dan peningkatan taraf hidup. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kemajuan yang dicapai sektor pertanian sebenarnya merupakan perjuangan dan pengorbanan kaum tani, terutama petani lapisan bawah.

Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan produksi si petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan kemungkinan untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin merebaknya iklim konsumerisme hingga ke pedesaan. Perubahan yang muncul setidaknya menunjukkan keterkaitan petani dengan globalisasi sistem ekonomi dunia, sebagai akibat proses adaptasi ketika mereka terintegrasi dalam sistem ekonomi global, serta mempengaruhi sistem ekonomi, sosial, dan budaya. Momentum yang fenomenal tersebut mencerminkan perubahan sosial petani yang masih di naungi dimensi struktural.

Petani sebagai orang yang bermatapencaharian dengan bercocok tanam di tanah.3 Petani di Indonesia umumnya berlahan relatif sempit, penguasaan sumberdaya sangat terbatas, sangat menggantungkan hidup pada usahatani, rendahnya tingkat pendidikan,

2

Dr. Sajogyo. (1993). Partisipasi Petani . PSP. IPB 3


(33)

dan tergolong miskin secara ekonomi.4 Kondisi tersebut mencerminkan keterbatasan mereka. Petani sebagai mayoritas masyarakat yang hidup di pedesaan, tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitif (tribe) dan masyarakat industri, sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Wolf (1985), mengkaji petani secara antropologis (historis), dari manusia primitif hingga menjadi petani modern berdasarkan pemikiran lain seperti Sahlins (1960) dan Malinowski (1922), untuk melakukan perbandingan seperti yang dirinci pada Tabel 6.

Tabel 6: Perbandingan Masyarakat Primitif, Petani, dan Petani Modern.

Primitif (Tribe) Petani (Peasant) Petani Modern (Farmer)

Bertani berpindah.

Kebutuhan primer dan kerabat. Ada ikatan dengan tetangga. Surplus diserahkan ke golongan. Intensitas hub. dg luar rendah. Belum ada spesialisasi. Belum ada sewa tanah.

Bertani tetap. Subsisten.

Ada ikatan nilai-nilai.

Surplus diserahkan ke penguasa. Intensitas hub.dg luar tinggi. Semi spesialisasi/campuran. Sudah ada sewa tanah.

Rumah kaca.

Keuntungan maksimum. Hub.longgar dalam simbol. Surplus sebagai keuntungan. Mobilitas tinggi.

Spesialisasi/profesional. Cenderung sewa.

Kaum petani pedesaan (peasantry) memiliki arti penting, karena di masa kini mereka mendiami bagian “yang terbelakang” dari bumi ini. Dunia petani merupakan satu dunia yang teratur, yang memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas yang meskipun tidak tampak dari tingkat atas tatanan sosial. Dunia petani bukanlah amorphous (tanpa bentuk) yang seolah hanya ruang kosong, yang hanya membutuhkan masukan modal industri dan ketrampilan untuk dapat membuatnya bergerak.

Masyarakat petani di pedesaan, oleh sejumlah penulis sebagai fenomena (yang jelek) dan memperlakukannya sebagai agregat-agregat tanpa bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional dan men-cap-nya sebagai manusia-manusia yang terikat tradisi, artinya kebalikan dari modern. Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah

4


(34)

kekuasaannya (fund of power). Padahal, petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga, dimana tanah-nya merupakan ‘satu unit ekonomi dan rumahtangga’ (Wolf, 1985).

Petani tidak homogen, melainkan ada yang kaya, menengah, gurem, serta dinamis. Sedikitnya 4 ciri utama dalam masyarakat petani, yaitu: 1) satuan rumah tangga (keluarga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat yang berdimensi ganda; 2) petani hidup dari usahatani, dengan mengolak tanah/lahan; 3) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; 4) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, sebagai “wong cilik” (orang kecil) terhadap level masyarakat di atas desa.5

Ave6 mengemukakan pengertian petani dari segi matapencaharian. Manusia memulai matapencaharian dari meramu dan berburu, berubah menjadi peladangan berpindah. Keadaan berubah menjadi peladangan menetap, lalu berkembang menjadi pertanian dengan menggunakan peralatan sederhana. Akhirnya dengan berkembangnya sistem pengairan (irigasi) dan teknologi di bidang pertanian, melatarbelakangi berkembangnya kehidupan sosial bermasyarakat dan membentuk suatu lingkungan hidup, meningkatkan intensitas hidup berinteraksi di antara masyarakatnya.

Konsep Chayanov7 menjelaskan karakteristik fundamental pertama dari ekonomi usahatani (farm economy) petani adalah merupakan suatu perekonomian keluarga (family economy). Cara penghitungan “laba” tidak dapat diterapkan pada perekonomian

5

dalam kata pengantar “Perlawanan Kaum Tani” James C. Scott (1993).

6

Wolf. E.R. (1985). Petani. Suatu tinjauan Antropolgis. Rajawali. 7

Dalam:Wiradi.G.(1993).

PETANI Salah satu peran dalam masyarakat desa

Menurut konsep Ilmuwan:

-. Sruktur sosial

-. Struktur ekonomi petani -. Struktur politik

-. Struktur sosiokultural -. Daerah hukum adat -. Jenis matapencaharian -. Partisipasi Petani


(35)

petani, karena dalam perekonomian petani dinyatakan unsur-unsur biaya produksi tidak dapat dapat diperbandingkan dengan yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Masalah petani adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan dari dunia luar dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya yang berlangsung selamanya, dimana hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari hari kerja (unit kerja), sebagai fakta yang menarik.

Bagan 1: Gambaran Masyarakat Petani (Chayanov)8

Bagan 2: Gambaran Masyarakat Petani di Desa (van Vollenhoven)

Sementara itu, Redfield (1982)9 mengemukakan kesamaan sikap/nilai petani, yaitu: 1) sikap yang intim dan hormat kepada tanah; 2) ide bahwa pekerjaan pertanian

8

ibid.

Marxian

Masyarakat Desa

Chayanov Antropologis

Petani kaya dan Petani miskin Usahatani Keluarga Fosil dan Culture lag

Keseimbangan Subyektifitas garapan

Jangkauan terbuka

Masyarakat Petani (masyarakat desa)

Kesatuan Geografi-Kultural

Lingkungan Geografis (lahan) Kultural:

aturan-aturan: adat, pribumi, tentang tanah, lahan garapan, hubungan kekeluargaan, kehidupan ekonomi rakyat


(36)

adalah baik dan perdagangan merupakan usaha yang tidak begitu baik; 3) tekanan terhadap kegiatan produktif sebagai suatu kebijakan utama. Masyarakat petani memiliki kesamaan dengan tipe masyarakat lain di dunia Barat dan Timur, dalam hal: 1) adanya ikatan pribadi dengan tanah; 2) keterikatan kepada desa atau komunitas lokal; 3) pentingnya keluarga secara sentral; 4) perkawinan sebagai persiapan kecukupan ekonomi menuju makmur; 5) adanya ketegangan antara keterikatan kepada tanah dan dunia lokal dengan keharusan menghasilkan tanaman penghasil uang; dan seterusnya.10

Menurut Landsberger dan Alexandrov (1981)11, dari suatu pernyataan Moore, disimpulkan adanya 3 substansi penting, yaitu: 1) kepemilikan tanah secara de facto12; 2) subordinasi legal13; 3) kekhususan kutural. Selain kepemilikan secara de facto, Wolf meyakini bahwa kaum petani di pedesaan yang dicirikan oleh surplus yang dialihkan (dengan eksploitasi) kepada kelompok / para pengusaha yang dominan; dengan catatan, yang umumnya tidak melakukan pengusahaan (proses produksi) langsung.

Pernyataan Wolf dan Moore, dinilai Bahari14 sebagai: menekankan adanya relasi sosial dalam aspek ekonomi kaum petani pedesaan dengan sistem di luar komunitasnya; dimana makna petani bukan hanya sebagai komunitas tertutup (eksklusif) atau terisolasi, melainkan berinteraksi dengan pihak luar. Apalagi di masa sekarang, perkembangan teknologi telah membuat akses ke luar daerah semakin terbuka dan tidak lagi bersifat otonom, sehingga para petani yang hidup dan bermukim di desa dimungkinkan untuk dapat tinggal di luar desanya (migrasi).

Dinamika dan Entitas Sosial Petani yang Khas

9

Hasil penelitian Redfield terhadap masyarakat petani Inggris, petani Yucatan sekarang dan Boetica kuno.

10

Menurut Hadlin, dalam: Redfield, 1982

11

“Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial”, dikutip dari “Social Origins of Dictatorship and Democracy” Moore, 1966. Boston.

12

Bagi petani, tanah tidak hanya bermakna material/ekonomi, tapi juga sosial-budaya. Tanah menjadi simbol terhadap status sosial-ekonomi bagi petani dalam komunitasnya.

13

Dimana kelas sosial petani adalah berada di bawah kelas sosial tuan tanah.

14

2002 dalam: ”Petani dalam Perspektif Moral Rkonomi dan Politik Ekonomi “ ; dalam “‘Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan W. ”, Akatiga Bandung.


(37)

Dinamika masyarakat petani dikaji Koentjaraningrat15 melalui terdapatnya berbagai tipe masyarakat yang hidup di desa terpencil, yaitu: 1) struktur sosial yang sangat sederhana, hidup dari kebun ubi dan keladi yang dikombinasikan dengan berburu dan meramu (ada pengaruh zending Kristen); 2) masyarakat yang hidup dalam desa yang berhubungan dengan kota kecil yang dibangun kolonial Belanda, yang agak kompleks, hidup dari bercocok tanam padi di ladang atau sawah (misi dan zending Kristen); 3) petani yang hidup dari bercocok tanam padi di sawah atau ladang, berhubungan dengan kota kecil yang pernah jadi pusat pemerintahan kolonial Belanda (pengaruh budaya Islam mulai kuat); 4) petani yang hidup dari bercocok tanam padi di sawah , yang berhubungan dengan kota bekas pusat kerajaan pribumi dan administrasi Belanda (pengaruh Hindu Islam dan Kolonial Belanda); 5) masyarakat perkotaan yang berperan sebagai pusat pemerintahan, sektor industri masih lemah disebut tipe masyarakat dan kebudayaan kota kecil; 6) masyarakat dan kebudayaan kota metropolitan, sektor industri sudah maju.

Selain pemikiran di atas, terdapat 3 golongan berbeda, yaitu: 1) sebagai seluruh penduduk desa (termasuk petani, buruh, jasa, PNS, pedagang dan lainnya); 2) mengacu hanya ke petani saja (termasuk petani-penggarap); 3) buruh tani yang mengkuli pada petani lain (tidak punya garapan).16Peasant adalah suatu tipe ideal, yang diacukan pada golongan individu bercirikan khas secara sosial, kultural, ekonomis dan politis. Menurut Kroeber (dalam: Marzali) adalah masyarakat pedesaan, hidup berhubungan dengan kota dekat pasar (seperti telah dikemukakan sebelumnya). Petani peisan dalam perkembangan

sosio-kulturalnya, yaitu: (1) berada di antara masyarakat modern dan primitif; (2) bersama dengan masyarakat primitif dan petani farmer; masyarakat yang hidup

menetap dalam komunitas pedesaan; (3) dari sudut perkembangan mode of production, berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani farmer.

Semakin terbukanya akses petani pada era globalisasi sebagai suatu proses perubahan akibat perkembangan teknologi dan daerah. Untuk itu dibutuhkan strategi alternatif dalam mengatasi masalah dan dilema petani (kekurangan dari segi ekonomi,

15 Masinambow, E.K.M (1997).Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan

Antropologi di Indonesia.. Yayasan Obor.

16


(38)

subsisten). Upaya utama mereka adalah menekan pola konsumsi yang konsumeris, menyesuaikan pengeluaran dengan penghasilan, melakukan diversifikasi usaha rumahtangga. Mengerahkan seluruh anggota keluarga sebagai upaya untuk menghasilkan bahan makanan dan barang kebutuhan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kaum tani selalu dinamis (tidak statis seperti yang secara klise literatur). Petani bergerak terus antara dua kutub mencari pemecahan dilema pokok mereka. Keadaan ini melibatkan proses pemberdayaan sebagai adaptasi (penyesuaian) penopang mereka dalam mempertahan diri dan sesamanya, dalam suatu tatanan hidup sosial.

Aliran neo-klasik yang dianut paradigma pembangunan pertanian, nyatanya kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil bahkan menciptakan ketergantungan di tingkat nasional dan lokal (Korten dan Sjahrir, 1984). Campur tangan pemerintah yang terlalu jauh menyebabkan hegemoni proses globalisasi demi pemudahan pelaksanaan kontrol global, seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Strategi pemerataan pembangunan melalui trickle down effect terbukti sulit diimplementasikan. Di satu sisi, sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang relatif mapan. Di sisi lain, proses pembangunan yang sarat kapital menciptakan polarisasi. Sebagian besar peysan “terpaksa” melepaskan penguasaan sumberdaya lahan menjadi kelompok petani gurem bahkan landless, buruh tani atau kelompok masyarakat miskin (Hayami & Kikuchi, 1987). Kondisi tersebut diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Berdasar data BPS (1998), pemerintah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta (1976) menjadi 22,5 juta (1998), namun kembali meningkat sekitar 23,8% menjadi 49,5 juta pada awal tahun 1999 yang ditenggarai sebagai akibat krisis tersebut.

Sentralitas dan sifat top down mekanisme pembangunan yang terwujud dalam aplikasi teknologi berisi input eksternal yang menuntut modal tinggi untuk memperbaiki proses produksi dan memperbaiki produktivitas, hanya mampu diadopsi dan dinikmati petani berlahan luas (lapisan menengah dan atas). Pengaplikasian paket teknologi tersebut berdampak luas terutama menjadi longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang berorientasi sosial dan bersifat komunal sebagai akibat lebih mengedepankan efisiensi


(39)

ekonomi. Sementara, pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang ada dan berkembang di masyarakat dimana kehadirannya merupakan refleksi norma dan nilai kearifan lokal. Namun semakin terhambat penerapan dan pelestariannya karena kian longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang ada, serta merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material.

Masyarakat selanjutnya jadi semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Artinya, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah memudarnya keterjaminan pekerjaan bagi buruh tani yang selama ini hidup dan eksis di pedesaan akibat memudarnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya. Dengan demikian, etika subsistensi yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial tidak dapat difungsikan dalam era pembangunan modern (Scott, 1981).

Adalah suatu keniscayaan bahwa peluang dan kesempatan kerja menjadi berkurang bahkan menghilang, sebagai konsekuensi penerapan paket teknologi (pupuk, pestisida, dan mekanisasi) pada kegiatan usahatani. Tenaga kerja sebagai modal utama untuk memperoleh pendapatan buruh tani (petani miskin). Dengan berkembangnya sistem tanam serentak menyebabkan pekerjaan sebagai buruh menjadi kian terbatas. Namun, terkait model ekonomi neo-klasik, laju teknologi (dalam hal kapital) dan laju pertumbuhan penduduk (dalam hal tenaga kerja) cenderung berkorelasi negatif. Dalam arti, untuk meraih keuntungan maksimal, penambahan penggunaan kapital akan menekan penggunaan tenaga kerja, akibatnya melemahkan bargaining position buruh.

Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke pedesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi. Kondisi tersebut bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun kian longgarnya norma dan jalinan nilai ikatan sosial masyarakat di pedesaan. Ekonomi uang menyebabkan makin lemahnya peran ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih


(40)

menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Namun, masih kuatnya sentimen individu dalam kelompok dan kemampuan merespon perkembangan teknologi dan beradaptasi dengan kemajuan pembangunan. Di beberapa wilayah yang traditional society-nya masih hidup dan bertahan, sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Hal tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu potensi lembaga yang adop teknologi dan berorientasi pasar, serta bermanfaat bagi kesempatan kerja dan pendapatan kaum tani.

Pembangunan pertanian yang umumnya menganut paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat. Menurut Horton dan Hunt (1984), aspek ketenagakerjaan merupakan suatu sistem norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat. Aspek ketenagakerjaan turut mengalami perubahan dalam proses modernisasi tersebut, sehingga dibutuhkan upaya memecahkan masalah tenaga kerja yang berkembang seiring makin kompleksnya suatu masyarakat. Awalnya dikenal sistem sambat sinambat (tolong menolong) secara bergiliran, dengan imbalan makanan (bila berhalangan, makanan diganti uang). Berkembang dengan ditemukannya sistem ceblokan (buruh tanam padi hak panen, tidak upah langsung). Ditemukan sistem “kedokan”, dimana selain menanam si buruh juga harus menyiangi. Ikatan hubungan kerja pemilik dan buruh pada kedua sistem tersebut bukan hanya dari produksi (uang), tapi lebih lekat dengan aktivitas sosial, saling menghargai dan seremonial lainnya. Selanjutnya, hubungan kerja mulai didominasi oleh sistem upah. Ajakan terhadap buruh kerja mulai terbatas pada tetangga/kerabat dekat, langganan, dan masih terdapat muatan unsur luar produksi yang menganut sistem resiprositas.

Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan berlebihnya tenaga kerja pertanian, terjadi perubahan struktur pemilikan lahan, yang juga sebagai imbas pesatnya pembangunan. Persaingan ketat antar buruh kerja, namun tidak disertai kenaikan upah, ditambah peningkatan teknologi, turut menggeser peran tenaga kerja dan melemahkan “posisi tawar” (bargaining position) buruh dalam transaksi kerja termasuk penentuan tingkat upah, dan tunduk pada hukum supply and demand. Dampak serius pelaksanaan sistem pembangunan terhadap kehidupan buruh tani (masyarakat miskin) di pedesaan di


(41)

atas, digunakan untuk mengkaji kemungkinan dan potensi pemberdayaan ketenagakerjaan pertanian. Salah satunya melalui diversifikasi usaha rumahtangga agar dapat beradaptasi dan berkelanjutan dalam rangka mengentaskan kemiskinan tanpa harus kehilangan norma-norma dan nilai-nilai yang menjiwainya.

Perubahan-perubahan sosial ekonomi di sektor pertanian turut mempengaruhi struktur penyerapan tenaga kerja dan pendapatan. Berdasarkan data input-output (I-O) BPS, menunjukkan bahwa pangsa penyerapan kesempatan kerja di sektor pertanian relatif menurun, namun secara absolut jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 1971 pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian berkisar 64,16%, turun menjadi 56,06% pada tahun 1980, relatif konstan sekitar 56% pada tahun 1980-1985, dan terus menurun sampai 43,9% pada tahun 2000.17 Menurunnya pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian terhadap perekonomian nasional ini merupakan konsekuensi logis dari pembangunan ekonomi yang mengarah pada pengembangan sektor industri. Gambaran umum penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian pada tahun 1971-200018 adalah sebagai berikut: 1) pangsa sektor industri pada tahun 2000 sebesar 12,36 persen, meningkat dibanding tahun 1971 yang hanya berkisar 6,59%; 2) sektor jasa dan perdagangan meningkat dari 24,49% pada tahun 1971 menjadi 42,69% pada tahun 2000.

Sampai tahun 2000, sub-sektor tanaman pangan di sektor pertanian tetap merupakan sub sektor yang menyerap tenaga kerja paling tinggi di antara sub-sektor pertanian yang lain. Dimana pada tahun 1971, sub-sektor tanaman pangan mampu menyerap tenaga kerja 58,67%, dan pada tahun 2000 serapan tenaga kerjanya menurun menjadi 32,82% dari total sektor pembangunan. Sedangkan sub-sektor yang lain rata-rata kurang dari 5% dari total penyerapan kerja.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga berpengaruh besar terhadap serapan tenaga kerja dan pendapatan sub-sektor pertanian. Meskipun secara rata-rata sektor pertanian menurun pertumbuhannya, namun sub sektor perkebunan dan perikanan justru mengalami pertumbuhan lebih dari 400 persen (Adriani, 2004). Komoditas subsitusi impor dengan faktor input tradeable (impor), namun produksinya berorientasi

17

Malian, dkk., 2004

18


(42)

ekspor mengalami lonjakan yang drastis. Depresiasi nilai rupiah justru mengakibatkan penerimaan dari komoditas ini meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas tanaman pangan, dimana produksinya berorientasi untuk pasar dalam negeri dan banyak menggunakan input dari luar.

Struktur pendapatan tersebut juga sejalan dengan pola penyerapan tenaga kerja. Daerah dengan komoditas perkebunan yang luas (luar Jawa) cenderung lebih mampu menampung luapan tenaga kerja migran dibanding dengan daerah-daerah dengan basis tanaman pangan (Jawa). Sektor pertanian di Jawa, dengan adanya krisis ini, tidak memiliki kapasitas penyerapan tenaga kerja yang besar. Langkah terpenting yang harus diambil adalah merevitalisasi peran pembangunan pertanian di desa. Hal ini penting karena kecenderungan pola penyerapan tenaga kerja pada saat krisis tersebut bersifat sementara, karena pada kenyataannya, booming komoditas pertanian salah satunya hanya disebabkan terjadinya depresiasi nilai rupiah semata.

Pertumbuhan populasi (angkatan kerja, migrasi) dan perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan pekerja (kaum petani) pada posisi yang lemah. Tekanan ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi, menyebabkan tingginya konversi tanah pertanian ke non-pertanian. Keadaan tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian besar buruh tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat pedesaan. Kondisi ini terutama terjadi di Jawa, dimana Sumaryanto, dkk. (1994), mengestimasikan rata-rata 23.100 hektar per tahun lahan di Jawa terkonversi ke penggunaan di luar pertanian. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang, telah terbukti memberi pengaruh terhadap pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta pendapatan petani di pedesaan.

Berbagai pengertian dalam upaya mendefenisikan “petani”, pada dasarnya saling menyempurnakan, tergantung dari berbagai sisi dan perspektif mereka masing-masing. Kajian yang diperlukan adalah mengenai perubahan pola-pola hubungan, interaksi, institusi dan sebagainya yang dialami oleh masyarakat petani di sepanjang sejarah.


(43)

Kemiskinan: Fenomena Sosial Ketidak berdayaan Masyarakat

Masalah kemiskinan sebagai salah satu bentuk ketidakberdayaan masyarakat, dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan. Menurut Prakash, Voth, dan Woolcock, kemiskinan merupakan konvergensi atau resultan dari berbagai faktor, dantaranya seperti: akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak dalam mengentaskan golongan masyarakat miskin, struktur sosial yang timpang (Mateju, 2002), modal sosial setempat yang lemah dan tidak berkembang, sulit dikembangkannya sistem usaha pertanian dan teknologi, atau tidak terdesentralisasinya penyelenggaraan sistem pemerintahan (Baigorri, 1999).

Beberapa hal yang mungkin terabaikan dalam pengkajian sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan berbagai konsep pemikiran, seperti: variabel rasio penduduk dan tanah (man-land ratio)19, yang dapat membedakan derajat kemiskinan di suatu daerah. Pembeda derajat kemiskinan, antara lain seperti: 1) tidak ada tanah yang bisa disewakan; 2) tidak ada praktek pinjam meminjam uang dengan bunga; 3) rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan; 4) terjadinya perebutan rejeki yang intensif, setiap orang beralih jadi pedagang perantara, meski keuntungan kecil dan memperkecil penerimaan.

Konteks ini kiranya dapat menunjukkan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan akibat ekonomi yang parah, seperti konsep shared poverty Geertz (1963). Sulit dan tidak adil bila menimpakan kesalahan pokok hanya pada sistem pasar semata, sebab sebenarnya cukup banyak faktor lain yang perlu dikaji untuk menjelaskan kemiskinan penduduk pedesaan. Kemiskinan yang membelenggu masyarakat petani bukanlah permasalahan atau gejala baru. Ironisnya tingkat pengetahuan kita masih sangat terbatas dan tidak dikembangkan secara sistematis mengenai fenomena dan wajah kemiskinan, struktur-struktur sosial dan kebudayaan kemiskinan di negeri ini. Dari sejarah ekonomi Indonesia lebih 100 tahun lalu, Belanda mulai meresahkan kemiskinan yang kian menjadi di Jawa. Namun mereka lebih melihatnya sebagai akibat pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan tidak menghubungkan dengan cultuur stelsel. Keadaan tersebut diperparah politik liberal penyebab derasnya arus masuk barang produk industri

19


(44)

murah ke pedesaan. Kondisi tersebut dimaknai sebagai hancurnya keterampilan non-pertanian di pedesaan dan lajunya “proses pemelaratan” (improverishment), sehingga kemampuan petani yang tinggal hanyalah menanam padi.

Soedjatmoko (1980) meyakini keadilan sebagai landasan konsensus pada hubungan antara kemiskinan dan ketidak adilan. Jika retak, maka ketidakadilan menjadi faktor penting dalam proses polarisasi yang dapat menghancurkan keutuhan suatu masyarakat. Penting untuk meneliti dimensi struktural kemiskinan tersebut adalah dari perspektif struktur ketenagakerjaan, karena keduanya berhubungan dengan pola organisasi sosial dan pengaturan institusional (institutional arrangements) di pedesaan. Struktur dalam hal ini dimaksudkan sebagai: pola organisasi sosial yang mantap, luas, stabil, dan yang mampu self reproducing (meneruskan diri). Sebagai pola organisasi institusional lintas semua sektor pada suatu masyarakat, suatu institusi atau lembaga merupakan rangkaian hubungan antar manusia, teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban, dan sifat hubungannya dengan orang lain.

Pakpahan (1995) memaknainya sebagai market failure (terjadi bila upah angkatan kerja rumahtangga miskin tidak mampu mencukupi subsistensi) dan political failure (terjadi bila struktur politik ekonomi menyebabkan distorsi dalam penyampaian kepentingan masyarakat miskin). Penyebab kemiskinan (Sumodiningrat, dkk, 1999) dibedakan dalam 2 faktor, yaitu: 1) faktor eksternal, yang merupakan hambatan kelembagaan, dimana struktur sosial menyebabkan sekelompok orang tidak mampu mengakses sumber pendapatan yang ada; 2) faktor internal, berkaitan nilai-nilai dan kebudayaan, dikenal sebagai kemiskinan kultural.

Dimensi struktural yang mempengaruhi kemiskinan20 adalah: 1) tingkat isolasi; 2) diferensiasi struktural (tingkat spesialisasi lembaga dan keaktifannya) berdasarkan common sense observation (pengamatan akal-sehat); 3) spektrum antara kekakuan (rigidity) dan keluwesan (flexibility), dimana semakin kaku suatu sistem sosial, maka semakin sulit menembus batasan sosial, sehingga semakin banyaklah orang miskin. Spektrum ini mempengaruhi kuat lemahnya gejala dualisme dalam struktur sosial, pola

20

Soedjatmoko (1980), yang juga menjelaskan keterkungkungan individu dalam berbagai ketimpangan struktur sosial sebagai salah satu faktor penting yang mengakibatkan ketidakberdayaan mereka; baik antara desa dan kota; antara daerah dan pusat; antar suku bangsa maupun daerah.


(45)

diskriminasi rasial (kesukuan) pola pembagian peranan pria-wanita, serta pola eksploitasi golongan lebih kuat terhadap golongan lemah; 4) sentralitas, yaitu kebutuhan dan kepentingan suatu daerah yang sangat diperhatikan pusat, dalam tingkat penanaman, pengembangan infrastruktur, dan sebagainya, untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu pekerjaan empiris perlu dikembangkan, yaitu hubungan antara indikator sosial dan berbagai dimensi yang bersifat struktural.

Pemikiran Soedjatmoko tersebut tidak berbeda jauh dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Valentine (1968). Dimana terjadinya kemiskinan, bila dikaji dari perspektif struktural, adalah dikarenakan adanya ketimpangan struktur sistem sosial. Hal ini menyebabkan individunya tidak dapat mengakses sumberdaya pendapatan yang tersedia akibat terbentur dengan sistem struktur sosial tersebut. Dengan demikian, kemiskinan struktural memposisikan kelompok miskin pada tempat yang tidak menguntungkan (walau tidak selalu bersifat merugikan). Keadaan ini (seakan-akan) dikondisikan oleh klas sosial atas dengan tujuan untuk memelihara dan melindungi eksistensi posisi, keuntungan dan kepentingan mereka melalui kontrol dan monopoli akses atas sumberdaya tersebut. Di samping itu, Valentine juga mengemukakan adanya sikap dan perilaku adaptasi pada masyarakat tertentu sebagai aspek positif dalam upaya menjawab kemiskinan. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat yang heterogen, yang terdiri dari berbagai etnis, sebagai aspek lain di samping aspek patogen tersebut.

Sebagian besar masyarakat pertanian pedesaan, dimana mereka pada umumnya masih tergolong miskin secara ekonomi, terutama para buruh tani, merupakan kelompok yang mengandalkan tenaga kerja semata sebagai modal utama proses produksi. Sebagai gambaran, pertumbuhan penduduk miskin secara nasional pada periode 2003 – 2004 menurun sebesar 3,19%, dimana pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin absolut secara nasional sekitar 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,66% dari total penduduk Indonesia. Jika dilihat dari persentase penduduk miskin (Head Count Index), terdapat sekitar 20,11% penduduk miskin di pedesaan, lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Tahun 2003 – 2004, persentasenya daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 7,30%; sedang di daerah pedesaan sekitar 1,19%. Tahun 2004 distribusi penduduk miskin secara nasional menunjukkan bahwa 31,45% penduduk miskin berdomisili di


(1)

b. Produksi per tahun (2005)

No. Bentuk

produksi

Harga satuan

(Rp/kg)

Nilai

(Rp.000)

1.

2.

3.

4.

5.

Keragaan Usaha Peternakan

a.

Sistem Pemeliharaan Ternak

Pemeliharaan

ternak

Jenis ternaka)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1.Sistimb)

2.Perkandanganc) 3.Status kandngd) 4.Kualifikasi kandange) 5.Pemberian pakanf) 6.Sanitasig)

7.Vaksinasih) 8.Perkawinani)

Keterangan: a) Jenis ternak: 1 = sapi; 2 = kerbau; 3 = kuda; 4 = kambing; 5 = domba; 6 = babi; 7 = ayam ras; 8 = ayam buras;

9 = itik; 10 = burung; 11 = kelinci

b) Isikan : 1 = tradisional; 2 = semi intensif; 3 = intensif c) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak

d) Isikan : 1 = milik; 2 = sewa; 3 = kontrak; 4 = numpang; 5 = lainnya e) Isikan : 1 = permanen; 2 = semi permanen; 3 = tidak permanen

f) Isikan : 1 = hijauan makanan ternak; 2 = konsentrat; 3 = kombinasi 1 dan 2; 4 = lainnya : ... g) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak

h) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak

i) Isikan : 1 = alami; 2 = inseminasi buatan (IB); 3 = lainnya : ...

b.

Penggunaan tenaga kerja

Kegiatan DK (HOK) LK (HOK)

Pria Wanita Anak Pria Wanita Anak

Ternak Ruminansia:

1. Membersihkan kandang 2. Memberi makan

3. Memandikan 4. Mengawinkan 5. Menjual

6. Lainnya: ………..

Ternak unggas:

1. Memberi makan 2. Menjual


(2)

10

c.

Produksi dan nilai hasil ternak setahun (2005/2006)

Jenis ternak

Anak Pertambahan

berat induk Pupuk kandang Telur Susu Ekor Nilai

(Rp) Kg

Nilai

(Rp) Ku

Nilai (Rp) Btr

Nilai (Rp) l

Nilai (Rp)

1. Sapi

2. Kerbau

3. Kuda

4. Kambing

5. Domba

6. Babi

7. Kelinci

8. Ayam ras 9. Ayam buras

10.Itik

11.Burung

12.Lainnya

Keragaan usahatani (pola tanam) lainnya

a)

Pola tanam

C D E F 1. Jenis tanaman

2. Luas (ha) 3. Biaya saprodi 4. Biaya tenaga kerja 5. Hasil (ku)

6. Nilai hasil 7. Pendapatan

Keterangan : a) untuk menampung informasi pendapatan selain dari pola tanam dominan (A/B) apabila petani menerapkan beberapa pola tanam dan jumlah persil banyak


(3)

IV.

MULTI USAHA RUMAHTANGGA PETANI

A.

Usaha Rumahtangga Petani

Jumlah anggota RT yang bekerja/terlibat langsung dalam usaha mencari nafkah

keluarga: ... orang

Anggota RT (jumlah)

Total

KK IRT ANK

Lainnya

Jumlah orang

Jenis pekerjaan :

On farm :

- Tanaman pangan

- Hortikultura

- Perkebunan

- Peternakan

- Perikanan

Off farm:

- Buruh tani

Non-farm:

- Pedagang

- Jasa transportasi

- Jasa lain

- Pegawai

- Mencari barang di alam

Keterangan: KK : Kepala rumah tangga Lainnya: Anggota RT lainnya yang serumah IRT : Ibu rumah tangga

ANK : Anak


(4)

12

V.

PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

1.

Pendapatan rumahtangga dari pertanian setahun terakhir

Uraian

MH MK I MK II

Nilai total per tahun (Rp) Jumlah prod. Nilai prod. (Rp) Jumlah prod. (Kw) Nilai prod. (Rp) Jumlah prod. (Kw) Nilai prod. (Rp) I. On farm

1. Tanaman pangan (kw) a. Padi

b. Palawija

2. Hortikultura (kw) a.Sayuran

b.Buah-buahan

3. Perkebunan (kw) a.Kopi

b.Coklat

c.Kelapa

d._____________

e._____________

4. Peternakan (ekor/kg) a. Sapi b. Kerbau c. Kuda d. Kambing e. Domba f. Babi g. Kelinci h. Ayam ras i. Ayam buras j. Itik

k. Burung 5. Perikanan (kg)

a. Laut b. Tambak 6. Pekarangan

a.___________

b.___________

c. ___________

d.____________

II. Off farm 1. Buruh tani

2. Alsintan yang disewakan

2. Lahan yang disewakan

III. Lainnya Total


(5)

2.

Pendapatan rumahtangga dari non pertanian setahun terakhir

Uraian Hari/Minggu Minggu/Bulan Bulan/tahun Total setahun

(Rp) Frek. Nilai Frek. Nilai Frek. Nilai

Non-pertanian:

1. Pegawai negeri/TNI/POLRI

2. Pegawai BUMN

3. Pegawai Swasta

4. Usaha dagang

5. Industri/kerajinan

6. Usaha jasa transportasi

7. Menyewakan alsintan

8. Menyewakan ternak

9. Tukang bangunan

10. Buruh bangunan

11. TKI

12. Jasa lain

13. Buruh non tani

14. lainnya: _______________


(6)

14

3.

Pengeluaran rumahtangga

Uraian

Sehari

(Rp)

Seminggu

(Rp)

Sebulan

(Rp)

Total

setahun

(Rp)

Makanan/Minuman:

a.

Beras

b.

Makanan pokok lainnya

c.

Mie

d.

Makanan selingan (jajanan)

e.

Kopi/gula/teh/susu

f.

Lauk pauk/sayuran

g.

Rokok/tembakau

h.

Lainnya: ___________

Non-makanan:

a.

Bahan bakar

b.

Penerangan/listrik

c.

Kesehatan

d.

Transportasi

e.

Pendidikan

f.

Pakaian

g.

Pemeliharaan rumah

h.

Rekreasi

i.

Sosial/sumbangan

j.

Hajatan/selamatan keluarga

k.

Iuran/acara keagamaan

l.

Pajak :

- PBB lahan & bangunan

- Usaha

m.

Sabun cuci/mandi, pasta

gigi, dll.

n.

Lainnya