61
5. Pola Usahatani
Di Kabupaten Indramayu, petani contoh umumnya mengusahakan tanaman monokultur setiap musimnya dengan menerapkan pola Padi-Padi-Palawija; Padi-Padi-
Sayuran; atau Padi-Padi Bera dalam mengusahakan tanaman pangan dan sayuran dataran rendah. Integrasi antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau antara
tanaman dengan ternak tidak ditemukan pada usahatani rumahtangga mereka. Pemilikan ternak di lokasi penelitian cukup memadai. Lebih dari 40 rumahtangga contoh yang
mengusahakan ternak, terutama unggas ayam buras dan ras. Mengusahakan ternak sapi 2 dengan rataan 2 ekor per peternak. Mengusahakan ”kado” kambing, domba
sekitar 5-10 dengan rataan 3,3 - 4,8 ekorpeternak. Namun, mereka umumnya belum memanfaatkan limbah tanaman untuk ternak, dan kotoran ternak pupuk kandang
sebagai pupuk organik. Di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, petani contoh umumnya
menerapkan sistem monokultur dengan pola tanam Padi-Sayuran-Bera; Padi-Jagung- Bera; atau Padi-Bera-Bera dalam mengusahakan padi, jagung dan sayuran dataran
rendah. Sekitar 22 petani contoh memelihara sapi dengan skala rata-rata 2,8 ekor per peternak. Model usahatani yang diterapkan adalah pola terpisah parsial antara tanaman
dan ternak. Petani contoh di Pontianak umumnya juga belum memanfaatkan limbah tanaman untuk pakan sapi, dan kotoran sapi untuk memupuk tanaman, sehingga belum
terlihat integrasi sinergis antara tanaman dengan ternak.
6. Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis usahatani rumahtangga petani contoh di Indramayu, dilakukan untuk tanaman dominan pada dua musim padi sawah. Sedangkan di Pontianak, tanaman
dominan pada MH adalah padi sawah dan pada MK adalah jagung. Sedangkan untuk MK2, tidak dimasukkan dalam analisis ini, karena sedikitnya petani yang menanam,
baik karena resiko kekeringan maupun gangguan hama dan penyakit. Hasil analisis usahatani tanaman dominan, disajikan pada Tabel 25.
62
Tabel 25. Analisa Usahatani Padi dan Palawija ha, di Lokasi Penelitian. 2006
Kab.Indramayu Kab.Pontianak MH MK1 MH MK1
A. Biaya Produksi Benih
Pupuk Pestisida Tenaga Kerja
Lain – lain
Total
66,99 697,28
1.453,44 57,81
2.275,52 76,42
586,45 1.183,62
87,75 1.934,24
108,97 310,69
762,03
5,46 1.187,15
112,13 310,08
750,83
2,50 1.175,54
B. Penerimaan 6.155,68
4.638,69 3.257,91
2.885,88 C. Keuntungan
3.880,16 2.704,46
2.070,76 1.710,26
D. BC 1,70
1,40 1,70
1,45
Sumber: Data primer dianalisis.
Mencermati Tabel 25, diketahui biaya produksi sangat beragam, mulai dari yang rendah sekitar Rp 1.187 ribuha di Pontianak, sampai yang relatif tinggi Rp 2,28
jutaha di Indramayu. Besarnya keuntungan usahatani juga beragam sesuai dengan curahan modal tunai dan tingkat produktivitas lahan. Keuntungan usahatani padi di
Indramayu adalah Rp 3,88 jutaha pada MH dan Rp 2,70 jutaha pada MK1. Di Pontianak, keuntungan usahatani adalah Rp 2,07 jutaha pada MH dan Rp 1,71 jutaha
pada MK1. Usahatani di lokasi penelitian secara umum cukup menguntungkan. BC rasio
usahatani di Indramayu pada MH sebesar 1,70, dan pada MK1 sebesar 1,40. Di Pontianak, BC rasio mencapai 1,70 pada MH dan 1,45 pada MK1 Tabel 25. Meski
terlihat berimbang, namun pendapatan petani contoh di Pontianak termasuk sangat rendah. Dengan mengusahakan lahan yang lebih luas dibanding di Indramayu, namun
BC analisis usahatani di Pontianak tidak berbeda dibanding nilai BC di Indramayu. Hal ini terjadi meski produksi termasuk rendah, tetapi dengan biaya produksi yang juga
rendah. Dapat disimpulkan makin beresiko lahan usaha maka makin terbatas input yang digunakan petani karena petani tidak mau ambil resiko mengeluarkan biaya lebih besar
karena input tinggi. Petani contoh di Pontianak tidak yakin bila input ditingkatkan, akan menaikkan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
63
7. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
Lahan merupakan sumberdaya asset produktif utama yang dimiliki rumahtangga petani sebagai sumber perolehan pendapatan. Besarnya pendapatan
rumahtangga dari lahan sangat ditentukan oleh tingkat pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya lahan didefinisikan sebagai rasio antara luas lahan yang diusahakan dengan
luas lahan yang dikuasai. Jika luas lahan yang diusahakan adalah seluruh lahan yang dikuasai, maka rasionya adalah 1,00, sedangkan jika lahan yang dikuasai tidak
diusahakan, maka rasionya adalah 0,00. Di Indramayu, luas penguasaan lahan rumahtangga petani contoh berkisar antara
0 - 3,03 ha, dengan rataan 1,10 ha. Dari luasan tersebut, sekitar 0 - 3,03 ha yang diusahakan untuk usahatani, dengan rataan 1,03 ha. Sedangkan rasio pengusahaannya
berkisar antara 0-1, dengan rataan 0,94. Artinya bahwa rata-rata 94 persen dari lahan yang dikuasai diusahakan untuk usahatani. Selebihnya 6 tidak diusahakan untuk
usahatani atau dibiarkan bera, karena keterbatasan modal dan tenaga kerja. Di Pontianak, rentang luas penguasaan antara 0-3,50 ha, dengan rataan 1,48 ha.
Rataan pengusahaan adalah 1,41 ha per rumahtangga, dengan rataan rasio 0,95. Pemanfaatan sumberdaya lahan di lokasi penelitian, secara umum cukup efisien, dengan
rasio pengusahaan rata-rata 94 di Indramayu, sedangkan di Pontianak rasio pengusahaan rata-rata adalah 95. Dengan demikian, efisiensi pemanfaatan lahan di
Pontianak sangat baik. Demikian halnya juga tidak jauh berbeda dengan di Indramayu. Hal ini dimungkinkan karena merupakan daerah transmigran asal Jawa, sehingga
kemampuan dan kebiasaan tenaga kerja keluarga tidak jauh berbeda dengan petani di Jawa umumnya. Adapun perbedaan yang terjadi, umumnya hanya pada jenis komoditas,
pola tanam, model usahatani, dan modal relatif lebih terbatas untuk menggarap lahan. Pada Tabel 26, disajikan secara rinci luas lahan yang dikuasai, yang diusahakan dan
rasio dari keduanya.
64
Tabel 26. Luas Penguasaan, Pengusahaan Lahan, dan Rasio antara keduanya Di Lokasi Penelitian, 2006.
Uraian Kab. Indramayu
Kab. Pontianak A. Penguasaan lahan
- Minimum 0,00
0,00 - Maksimum
3,03 3,50
- Rataan 1,10
1,48 B. Pengusahaan lahan
- Minimum 0,00
0,00 - Maksimum
3,03 3,50
- Rataan 1,03
1,41 C. Rasio BA
- Minimum 0,00
0,00 - Maksimum
1,00 1,00
- Rataan 0,94
0,95
Sumber: Data primer diolah. 2006.
Secara keseluruhan rata-rata pemilikan lahan di lokasi penelitian berkisar antara 0 – 3,5 ha. Pada rumah tanggapetani contoh di Kabupaten Indramayu pemilikan lahan
sawah tadah hujan masih tergolong lahan sempit 0,25 ha bahkan terdapat satu rumahtangga petani contoh yang tidak memiliki lahan usahatani landless. Upaya untuk
memperoleh sumber pendapatan di luar sektor pertanian relatif tinggi. Rataan pemilikan lahan pasang surut pada rumahtangga petani contoh di Pontianak relatif tinggi 1,0 ha.
Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar 80 petani responden merupakan penduduk transmigran dari daerah Jawa sekitar tahun 1976. Para transmigran tersebut
memperoleh pembagian lahan dari pemerintah, yaitu seluas 2 haKK. Dari sisi pengusahaan lahan, petani contoh di Pontianak secara rataan hanya mengusahakan 1,278
persil dengan rataan pengusahaan seluas 3,60 ha. Pengusahaan tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan rataan pengusahaan petani contoh di Indramayu 1,671 ha, namun
dengan jumlah persil yang lebih banyak yaitu 1,306 persil. Keadaan ini dapat mengindikasikan lebih marjinalnya kondisi lahan pasang
surut di Pontianak dibanding dengan lahan sawah tadah hujan di Indramayu. Lebih marjinalnya kondisi lahan pasang surut dibanding dengan lahan sawah tadah hujan
tersebut mencerminkan relatif lebih rendahnya produksi dan produktivitas lahan yang
65 dapat dihasilkannya. Hal tersebut tercermin pada nilai BC rasio dimana walau
pengusahaan lahan di Pontianak hampir dua kali lebih luas daripada di Indramayu, namun BC rasio keduanya tidak jauh berbeda yaitu 1,70 MH dan 1,40 MK untuk
usahatani di Indramayu, sedangkan BC usahatani di Pontianak 1,70 MH dan 1,45 MK.
Nilai rasio usahatani tersebut akhirnya mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani contoh yang mengusahakannya. Relatif tingginya keuntungan usahatani di
Pontianak umumnya diperoleh oleh petani yang melakukan diversifikasi usahatani dengan tanaman sayuran. Oleh karena itu, petani contoh di Pontianak lebih berminat
untuk mengusahakan pertanaman komoditas hortikultura terutama sayuran di samping pepaya dan Aloe vera dari pada mengusahakan tanaman pangan padi. Selain itu,
mereka juga memperoleh tambahan pendapatan rumahtangga dari usaha off-farm dan non-farm
, yang secara rinci disajikan pada bagian berikut dari tulisan ini yaitu peran remitans bekerja dari luar negeri TKI dan diversifikasi usaha rumahtangga yang
dilakukan petani contoh di lokasi penelitian.
66
PERAN REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI
Pada era globalisasi sekarang ini, bekerja sebagai TKI merupakan pilihan fenomenal angkatan kerja. Belum pulihnya perekonomian di sektor riil, belum stabilnya
kondisi sosial politik dalam negeri, serta kecilnya kesempatan kerja di Indonesia telah memicu tingginya tingkat pengangguran. Hal tersebut berimplikasi terhadap semakin
banyaknya penduduk miskin. Ditambah berbagai fakta dan berita bahwa pekerja migran ke luar negeri memiliki prospek, gaji dan penghidupan perekonomian yang lebih menjanjikan.
Di pihak TKI dan rumahtangganya, kondisi status ekonomi maupun latar belakang yang umumnya miskin dan berpendidikan rendah, sebagai ketidak berdayaan di negara asal.
Kondisi menganggur, dan sulit mendapatkan pekerjaan mendorong mereka untuk mengadu nasib bekerja ke luar negeri. Keputusan tersebut umumnya merupakan inisiatif calon TKI
yang didasari keinginan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup rumahtangga, meski harus berbagai resiko saat bekerja di luar negeri.
Dari penemuan di lokasi penelitian, para TKI yang bekerja sebagai PRT di luar negeri tersebut, secara empirik umumnya memiliki latar belakang pendidikan rata-rata
hanya tamat SD hingga SMP. Kurangnya pembinaan dan pelatihan terhadap mereka, menyebabkan tingkat ketrampilan dan kemampuan berbahasa asing merekapun rendah. Hal
ini ditambah dengan minimnya pembekalan pengetahuan mereka mengenai perbedaan sosial dan budaya di negara tujuan bekerja. Keadaan ini memungkinkan ketidaksiapan
mental dan timbulnya persepsi yang kurang tepat terhadap kebiasaan adat budaya di negara lain yang mengejutkan. Keadaan ini juga menyebabkan mereka tidak siap dan
terkejut dalam menghadapi perlakuan sehari-hari dari orang-orang di negara tempatnya bekerja tersebut shock culture. Rendahnya tingkat pendidikan TKI, kurangnya informasi
dan penyuluhan pelatihan di dalam maupun di luar negeri, berdampak pada minimnya pengetahuan tentang undang-undang pekerja migran di luar negeri. Akibatnya, kemampuan
kualitas SDM para TKI menjadi rendah untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
67 Pekerjaan para Tenaga Kerja Indonesia TKI di luar negeri umumnya masih di
sektor non-formal yaitu menjadi pembantu rumahtangga PRT. Jenis pekerjaan non-formal TKI selain PRT adalah: pengasuh bayibalita, perawat orang-orang tua, tukang kebun,
penebangan hutan shawmill, dan sebagainya. Pekerjaan formal seperti: pelayan di super market atau pompa bensin, tenaga kerja di sektor industri, perkebunan, peternakan, dan
sebagainya. Namun, kondisi ini hendaknya jangan dipandang sebelah mata, sebab kontribusi pendapatan melalui remitans para TKI sebagai sumbangan luar biasa besar
setiap tahunnya bagi devisa negara dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Kontribusi terhadap devisa negara melalui remitans tersebut memberi manfaat yang luar
biasa bagi pengembangan ekonomi nasional. Peran TKI sebenarnya cukup dilematis, karena selain mampu menghasilkan
remitans besar juga mengandung berbagai permasalahan yang patut dikaji kembali penyelesaiannya oleh negara. Permasalahan telah dimulai dari pengurusan administrasi
sebelum berangkat, saat perekrutan di dalam negeri dieksploitasi, ditipu sponsor yang berkedok PJTKI. Masalah lain adalah perlakuan buruk selama di penampungan maupun di
negara tempat mereka bekerja, hingga kepulangan kembali ke desa asal. Proses tersebut dipenuhi bermacam pungutan uang, baik yang berkedokkan peraturan resmi maupun liar.
Berbagai perlakuan buruk yang dihadapi para TKI sebagai pekerja migran, pelanggaran HAM pembatasan berhubungan dengan dunia luar, upah di bawah upah
normal yang berlaku di negara setempat, potongan gaji, bekerja melebihi batas jam kerja normal, pelecehan seksual dan perkosaan, penghinaan dan penganiayaan, bahkan berbagai
hukuman badan seperti hukuman cambuk maupun hukuman mati tanpa terlebih dahulu ada pembelaan baginya. Kondisi ini mencerminkan ketidakberdayaan para TKI menghadapi
hukum dan budaya negara setempat dan berbagai bentuk pengeksploitasian yang diterimanya dari pihak PJTKI dan majikan. Keadaan ini umumnya terjadi pada golongan
pekerja dengan keahlian menengah ke bawah, walau adakalanya menimpa pekerja dari golongan ahli expert.
Di sisi lain, pengiriman TKI ke luar negeri secara makro sebenarnya cukup mendukung keuangan negara, ditinjau dari devisa yang dihasilkan inflow yang dihitung
berdasarkan remitansi, kontribusi dari bea pajakbiaya saat pemberangkatan dan dari
68 pendapatan mereka. Secara mikro, para TKI membantu meningkatkan taraf hidupnya
maupun keluarganya rumahtangga, bahkan lingkungannya, seperti membantu finansial pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya.
Pengiriman para TKI ke luar negeri bagaikan pahlawan devisa. Meski tidak terdapatnya data signifikan telah mengurangi barisan pengangguran yang terus meningkat
jumlahnya di negeri ini dari waktu ke waktu. Berbagai sektor lain seperti maskapai penerbangan juga seharusnya berterima kasih kepada para TKI tersebut, karena ribuan
orang TKI yang berangkat ke luar negeri seperti: negara Timur Tengah, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, terkadang sampai dicarterkan pesawat oleh
PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia pengirimnya untuk mengirim mereka ke negara tujuan. Meski tidak meminta tambahan biaya jasa langsung kepada calon TKI,
namun perusahaan mendapat marjin dari pengiriman TKI karena begitu tiba dan bekerja pada majikannya di luar negeri, maka para TKI harus rela upah mereka selama beberapa
bulan pertama sedikitnya 3 hingga 6 bulan menjadi hak PJTKI pengirimnya.
Remitans dan Mobilitas Sosial TKI di Daerah Asal
Pendapatan yang diperoleh TKI dari di luar negeri memang relatif tinggi dibanding upah yang mereka terima dengan jenis pekerjaan yang sama di dalam negeri, apalagi bagi
mereka yang bisa berhemat menabung di negera tempatnya bekerja. Sebagian pendapatan yang berhasil mereka kirimkan ke desa remitans ditemukan di lokasi penelitian, disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 27: Perbandingan Pendapatan Rumahtangga Contoh dari Remitans TKI di Kabupaten Indramayu dan Pontianak. 20052006.
Luas Lahan Diusahakan Ha
TKI di Kab Indramayu TKI di Kab. Pontianak
000 -tase 000 -tase 0,25
0,25 – 0,5 9000-12000
29,22-63,02 0,5 – 1
0-20000 0-61,93
0-12000 0-40,85
1 0-18000
0-66,84 0-20000
0-67,28
Total TKI orang 17 56,57
14 46,67
Sumber: Data Primer Diolah. 20052006
69 Dari Tabel 27 tersebut, dapat dicermati bahwa dari 30 rumahtangga petani contoh di
Indramayu, terdapat 17 orang 56,67 dari anggota rumahtangga contoh yang bekerja sebagai TKI. Kontribusi pendapatan bagi rumahtangga keluarga yang dilihat dari
remitansi kiriman uang mereka kepada keluarga adalah berkisar antara Rp.9 juta hingga Rp.20 juta per tahun. Sedangkan di Pontianak, dari 30 rumahtangga contoh, ditemukan 14
orang 46,67 dari anggota rumahtangga contoh yang bekerja sebagai TKI. Remitansi yang diberikan untuk membantu pendapatan rumahtangga mereka di desa adalah sekitar
Rp.12 juta hingga Rp.20 juta per tahun. Sungguh suatu jumlah yang sangat besar sebagai diversifikasi sumber pendapatan bagi rumahtangga mereka di pedesaan.
Perbandingan rataan pendapatan rumahtangga contoh TKI di Indramayu dan Pontianak yang diperoleh dari subsektor on-farm dan non-farm disajikan pada tabel berikut.
Tabel 28. Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh TKI dari Pertanian dan Luar Pertanian, di Kabupaten Indramayu dan Pontianak, 20052006.
Pengusahaan Lahan ha
Rataan Pendapatan Rumah Tangga TKI Rp.000 Kabupaten Indramayu
Kabupaten Pontianak Pertanian
Luar Pertanian Pertanian
Luar Pertanian 0,25
- - - - 0,25 – 0,5
2184,5 15850
- -
0,5 – 1 14105,33
17695,83 6500
21744 1
14073,83 19533,33 5619,92 13975
Sumber: Hasil Analisis Data Primer.
Dengan mencermati Tabel 28, terlihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga TKI yang signifikan pada sub-sektor luar pertanian di kedua lokasi penelitian.
Terlihat juga bahwa ternyata yang bekerja menjadi TKI sebagai diversifikasi usaha justru dilakukan oleh rumahtangga petani contoh yang mengusahakan lahan antara 0,25 - 1 ha
untuk Indramayu. Sementara di Pontianak, petani contoh yang menjadi TKI sebagai diversifikasi usaha rumahtangga justru terjadi pada pengusahaan lahan yang lebih luas
dibanding petani contoh di Indramayu, yakni antara 0,5 - 1 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi TKI bukanlah berasal dari golongan petani berlahan sempit ataupun
70 landless
. Persepsi tersebut telah bergeser kepada golongan petani yang berlahan relatif lebih luas, yang dapat dimaknai sebagai golongan petani yang relatif lebih mampu hingga
golongan petani kaya. Pendapat ini sedikitnya didasari pada keadaan petani tersebut yang berasal dari golongan yang mengusahakan lahan 0,25 - 1 ha.
Perbedaan rataan perolehan pendapatan antara hanya dari TKI dengan usaha selain TKI pada rumahtangga TKI contoh adalah sangat nyata pada seluruh contoh yang
mengusahakan lahan antara 0,25 - 1 ha di Indramayu. Sedang pada rumahtangga petani contoh di Pontianak adalah sangat berbeda nyata pada petani dengan pengusahaan antara
0,5 - 1 ha yang memiliki anggota keluarga sebagai TKI. Demikian halnya yang terjadi bila kenyataan tersebut dikaji melalui perolehan pendapatan rumahtangga luar pertanian
dari usaha TKI dibandingkan dengan usaha rumahtangga di luar TKI. Untuk lebih memperkuat asumsi tersebut, dikaji dari pendapatan luar pertanian dari rumahtangga petani
contoh yang memiliki anggota rumahtangga TKI. Dengan membandingkan perolehan tersebut berdasarkan pendapatan dari TKI terhadap pendapatan dari luar TKI, seperti yang
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 29. Rataan Pendapatan RT TKI Contoh dibanding Non-TKI, sebagai Pendapatan Non-Farm di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2006.
Pengusahaan Lahan ha
Rataan Pendapatan Rumahtangga TKI Luar Pertanian Rp.000 Kabupaten Indramayu
Kabupaten Pontianak TKI
Luar TKI TKI
Luar TKI 0,25
n = 3 RT - 4933,83
n = 3 - 2400
n = 2 0,25 – 0,5
n = 2 RT 15850
n = 2 - - 3500
n = 1 0,5 – 1
n = 13 RT 176957
n = 6 3735
n = 7 21744
n = 2 5132,5
n = 6 1
n = 12 RT 17424,8
n = 9 4850
n = 3 13975
n = 12 1333,33
n = 7
Sumber: Hasil Analisis Data Primer.
Penghasilan dari remitans TKI memang tidak langsung masuk ke kas negara, namun diduga telah turut dinikmati oleh berbagai instansi yang menanganinya seperti Jamsostek,
71 PJTKI, Depnakertrans, maupun pihak perbankan. Uang hasil keringat para TKI baik yang
dikirim remitans kepada keluarganya di desa melalui PJTKI sponsornya, keluargateman yang pulang, maupun Bank, biasanya dipergunakan untuk berbagai keperluan rumahtangga.
Dengan remitans, rumahtangga TKI dapat membiayai sekolah anak, membeli ternak sapi, kambing, dan sebagainya, membeli alat-alat pertanian penggilingan padiselep, hand
tractor, thresser, hand spayer, pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain. Selain itu, untuk memenuhi keinginan membeli barang-barang konsumtif TV berwarna, kulkas, peralatan
rumahtangga listrik yang modern, kendaraan bermotor, serta membangunrerenovasi rumah dan membeli tanahkebunsawah.
Keputusan menjadi TKI diambil sebagai diversifikasi usaha rumahtangga yang dapat memperbaiki perekonomian rumahtangga mereka. Remitans kiriman uang dari
bekerja di luar negeri ternyata mampu meningkatkan status sosial dan taraf hidup rumahtangga petani. Keadaan ini dapat merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari
keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja.
Peran dan pengaruh remitans mempengaruhi mobilitas rumahtangga TKI di daerah asal. Hal ini ditinjau dari bagaimana remitans tersebut dipergunakan, baik sebagai investasi
maupun hanya berfungsi sebagai alat pemuas kebutuhan hidup yang tidak ada ujungnya. Kaum perempuan penerima remitans akan menghabiskannya hanya untuk kebutuhan dasar
mereka sendiri dan anak-anaknya, membeli sembako, dan obat-obatan. Bila penerimanya kaum laki-laki, maka remitans akan dihabiskan hanya untuk membeli kendaraan, bahan
bakar, membangun atau merenovasi rumah, biaya menikah. Kondisi tersebut tidak sepenuhnya bermakna negatif, karena masih banyak makna positip yang dihasilkan melalui
remitans TKI. Situasi krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan sekarang ini menjadi salah satu penyebab makna negatif tersebut. Remitans bagaikan dewa penyelamat bagi
rumahtangga keluarga yang menerimanya. Sudah lumrah bila remitans ludes tanpa terkendali hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, akibat kekeringan ekonomi yang
sudah lama menghinggapi suatu rumahtangga TKI.
72 Beberapa gambaran fisik peran remitans TKI secara kasat mata dapat ditemukan di
daerah asal TKI di lokasi penelitian. Pembangunan dan perkembangan desa yang ditandai dengan bangunan fisik rumah yang permanen dan menyolok merupakan salah satu
indikator mobilitas sosial remitans TKI. Indikator lain seperti: perlengkapan elektronik rumahtangga yang modern, kendaraan bermotor, tanah yang luas, atau sering pulang
mudik ke daerah asal. Peran remitans TKI terhadap sektor pertanian, umumnya dapat dilihat dari meningkatnya luas penguasaan maupun pengusahaan lahan usahatani petani
contoh Tabel 20 dan Tabel 21. Hal tersebut didasari pada penuturan petani contoh bahwasanya peningkatan penguasaan maupun pengusahaan lahan usahatani sedikit
tidaknya berasal atau terkait dengan kiriman uang remitans anggota rumahtangga mereka yang bekerja di luar negeri TKI.
Bagi rumahtangga penerima yang bijak, sebagian besar remitans akan dipergunakan sebagai investasi dan kebutuhan produktif. Membeli kebun dan memperluas lahan usaha
pertanian atau luar pertanian, menjadi tujuan penting penggunaan remitans tersebut. Mereka berupaya untuk tetap dapat mencukupi kebutuhan hidup subsisten dengan
pendapatan dari usaha lainnya. Bagi mereka, investasi remitans diharapkan dapat menjadi prioritas untuk merubah jalan kehidupan, persiapan pernikahan, biaya investasi pendidikan
lanjutan anak-anak, bekal anak bila merantau kelak. Bila tidak bisa terlaksana dalam jangka pendek, mereka secara bijak akan menabungnya dulu untuk menunggu waktu yang tepat
agar tabungan lebih besar untuk mencukupi biaya bisnis kecil, dan sebagainya.
TKI: Aset Ekonomi bagi Daerah
Dorongan dan daya tarik bekerja di luar negeri makin memuncak saat calon TKI mendengar cerita dan melihat kesuksesan teman atau kerabat yang pernah bekerja di luar
negerin ditambah iming-iming dan janji kemewahan dari calo. Menghadapi kenyataan makin sempitnya lapangan kerja dan lahan usahatani di negeri sendiri, serta sangat kecilnya
upah yang diterima memperkuat dorongan pergi bekerja ke luar negeri. Untuk mengetahui peran remitans yang dikirimkan beberapa TKI ke desa asalnya, yang membuktikan mereka
73 sebagai aset ekonomi bagi daerahnya terutama bagi rumah tangganya sendiri, dapat disimak
dari berbagai penuturan TKI yang diperoleh di lokasi penelitian. Sebut saja Mrkm 28. Seorang pemuda TKI asal desa Jeruju, Kecamatan Sungai
Kakap, Pontianak ini adalah salah seorang anggotarumah tangga contoh yang orang tuanya mengusahakan sekitar 2,4 ha lahan pasang surut. Ia mengakui telah bekerja di Hongkong
selama kurang lebih lima tahun. Total uang yang dibawanya pulang ke Indonesia cukup besar, sekitar Rp.95 juta, belum termasuk remitans yang telah tiga kali dikirimkannya ke
kampung. Uang tersebut rencananya akan membuat usaha agribisnis VCO minyak inti kelapa sederhana dikampungnya, dengan dibantu keluarga dan teman-temannya. Dengan
pola pikir sederhana tersebut, Mrkm bukan saja ikut membantu perkembangan kampunya, namun ia juga telah membuat lapangan kerja walau masih terbatas pada keluarga dan
teman. Mrkm tetap berniat berangkat menjadi TKI kembali, dengan alasan untuk lebih menimba ilmu dan pengalaman dari negeri lain.
Mrty 45, ibu dari Sr 26 seorang TKW di Malaysia yang berasal dari desa Rasau Jaya I, Pontianak. Ia mengusahakan sekitar 0,55 ha lahan pasang surut yang lebih sering
ditanami sayuran. Padi lokal hanya diusahakan di lahan seluas 0,25 ha, dimana hasilnya terutama untuk mencukupi beras untuk kebutuhan makan keluarga semata. Sudah dua kali
menerima Mrty kiriman uang dari SR dengan total Rp. 15 juta dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. Uang hasil remitans tersebut sudah ludes setengahnya untuk membiayai
operasi usus buntu anaknya adik Sr, dengan seizin Sr. Sisanya dibelikan kebun sesuai permintaan Sr sebagai bekalnya di hari tua dan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk biaya
rumahtangga sehari-hari, Murtiyah mengusahakan tanaman kelapa di kebun tersebut, diolah menjadi gula merah dan hasil olahan kelapa lainnya. Murtiyah adalah seorang janda cerai
dengan tiga orang anak. Pendapatan lainnya diperoleh dengan bertanam umbi-umbian singkong, rambat dan menjadi buruh tani bila ada tetangga yang memerlukannya.
Semuanya diperuntukkan mencukupi biaya sekolah dan makan sehari-hari.
Sndg 25, seorang pemuda TKI asal desa Santing, Indramayu. Orang tuanya mengusahakan sekitar 0,85 ha lahan sawah tadah hujan, dimana 0,5 ha diantaranya
merupakan lahan yang disewa dari salah seorang petani kaya di desanya. Baru dua tahun lebih Sndg mengadu nasib sebagai TKI di Taiwan. Pulang ke Indonesia untuk
memperpanjang kontrak yang sudah habis dengan membawa uang Rp.10 juta. Termasuk sedikit bila dibanding uang bawaan rekan-rekannya, karena sebagai TKI pemula, gajinya
masih dipotong berbagai biaya keberangkatan, pengurusan surat-surat dan kesehatan. Sndg belum mau berhenti sebagai TKI, sebab majikannya di Taiwan menjanjikan untuk
menerimanya kembali bila kelengkapan surat-surat sudah diperpanjang. Uang tersebut rencananya untuk membiayai hidup orangtua dan pendidikan tiga orang adiknya di
kampung.
It 30, seorang ibu rumahtangga yang sudah 8 tahun bekerja sebagai TKW di Malaysia. Di desanya di Ranjeng, Indramayu ia sebenarnya memiliki sawah tadah hujan
yang relatif luas 1,5 ha. Namun, karena merasa tidak sanggup mengusahakan seorang diri,
74 karena toh ia harus memakai tenaga kerja upahan, maka ia memutuskan lebih baik
merantau dan bekerja sebagai PRT di luar negeri Malaysia. Sawahnya di kampung dititipkan pada mertuanya untuk diusahakan sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi
kebutuhan rumahtangga selama ditinggalkannya merantau, di samping kiriman uang yang rutin dilakukannya setiap tahun. Ia sudah 4 kali berganti majikan dan pernah mudik
sebanyak 3 kali, sebab sepulang mudik ia tidak kembali ke majikan semula karena sering mendapat perlakuan yang kurang baik. Semua keadaan tersebut ditanggungnya demi
membantu perekonomian rumahtangga. Anaknya dua orang, sudah SMP dan dititipkan pada mertuanya, karena It adalah anak yatim piatu. Suaminya pergi meninggalkan It dan
kedua anaknya dengan membawa uang yang sudah pernah dikirimkannya ke kampung sebesar lebih kurang Rp.30 juta. Ia tidak mau larut menyesali nasib, karena anak-anak dan
mertuanya membutuhkannya sebagai tulang punggung penopang ekonomi keluarga. Mertua dan anaknya telah berhasil membuka warung sembako dan warung nasi walau kecil
dan sederhana sebagai sumber nafkah keluarga sehari-hari. Baru dua kali keberangkatan ia jalani melalui jalur resmi, karena sudah punya biaya dari kepergian sebelumnya. It belum
mau berhenti sebagai TKW. Menurutnya, bila pergi jauh merantau untuk bekerja dengan niat baik dan tulus, pasti akan dilindungi Allah. It bercita-cita dan berharap agar anak-
anaknya dapat mencapai pendidikan yang tinggi sebagai bekal hidup kelak. Ia tidak akan mengizinkan anaknya unuk mengikuti jejaknya sebagai TKW. Menurutnya, bahaya dan
resikonya sangat berat, meski gajinya jauh lebih besar dibanding bekerja di negeri sendiri. It berniat pensiun sebagai TKW 3-4 tahun mendatang, setelah tabungannya dirasa cukup.
Uraian di atas hanyalah sekelumit fakta sukses menjadi TKI yang ditemukan pada penelitian ini, di samping fakta menyedihkan dan mengenaskan yang menimpa para
pahlawan keluarga, desa, dan negara tersebut, seperti penuturan berikut ini. Ryd 22, seorang pemuda warga desa Jeruju, Pontianak. Orangtuanya memiliki dan
mengusahakan lahan yang cukup luas dan cukup berhasil sebagai petani sayuran dan peternak sapi. Namun, karena tergiur keberhasilan teman dan saudaranya menjadi TKI, Ryd
nekad berangkat ke Malaysia, walau hanya memiliki pendidikan kelas 2 SMA saja. Ia bekerja sebagai penebang dan penarik kayu dari hutan. Di tahun kedua, ia mulai merasa tak
betah, karena gajinya tak jelas pembayarannya. Pada suatu hari yang naas, 3 buah jari tangan kirinya nyaris putus terjepit kayu yang harus disusunnya sebelum ditarik kepinggir
hutan. Perusahaannya tidak bersedia memberikan ganti rugi, hanya sekedar biaya pengobatan saja. Tak lama kemudian, iapun dipecat majikannya karena dianggap tidak
mampu lagi menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna, gajinyapun tidak dibayarkan secara utuh. Atas saran orangtuanya melalui telepon dari kampung, iapun dibujuk untuk
segera pulang. Sekarang Ryd terlunta-lunta dan malas-malasan di kampung, karena belum rela menjadi petani dan masih menyesali jari tangannya yang jadi cacat.
Ipn 30, seorang warga desa Ranjeng, Indramayu. Meski memiliki lahan sawah tadah hujan seluas 1,2 ha hasil warisan dari orangtuanya, Ipn lebih memilih menjadi TKI di
Malaysia sebagai mandor di perusahan kayu shawmill, karena kecewa istrinya Ay
75 meninggalkannya dengan membawa kedua anaknya. Ay lari bersama laki-laki lain dengan
membawa uang Rp.50 juta yang dikirimkannya untuk keluarganya tersebut, karena tak tahan ditinggal suaminya bertahun-tahun dan mendengar gosip bahwa suaminya telah
kawin lagi di Malaysia. Nasib sial terus merundung Ipn, seluruh simpanan dan surat-surat berharga miliknya digondol maling di Malaysia. Perusahaan kayu tempatnya bekerjapun
bangkrut dan pemiliknya melarikan diri tanpa memberikan pesangon bagi para pekerjanya. Ipn sempat terlunta-lunta selama 6 bulan di hutan di Malaysia karena takut dikejar-kejar
Polisi Diraja Malaysia, sebab surat-surat resminya hilang tanpa sepengetahuannya. Ia berhasil pulang ke Indonesia berkat bantuan teman-temannya yang prihatin atas nasibnya.
Sampai penelitian ini selesai dilakukan, ia mengaku kapok menjadi TKI dan memilih menjadi petani mengusahakan lahan usahataninya dan mulai menata kembali
kehidupannya. Mengenai anak-anaknya yang dilarikan istrinya, ia hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah agar dapat dipertemukan kembali, sebab ia telah mengupayakan
berbagai cara untuk mencari mereka.
Syt 20, seorang gadis yang berparas lumayan rupawan, lulusan SMP asal desa Rasau Jaya I, Pontianak. Pada awalnya, orangtua Syt keberatan bila ia merantau ke Saudi
Arabia, karena lahan mereka yang cukup luas sekitar 2 ha dirasa sanggup untuk mencukupi kebutuhan Syt dan saudara-saudaranya. Namun karena bujukan calo TKI dan
teman-temannya yang menjamin keselamatannya, dan keinginan Syt yang telah terbujuk rayu untuk mencari pengalaman dan uang sendiri, maka dengan berat hati orangtuanyapun
melepaskannya pergi merantau. Setelah setahun merantau, dugaan buruk orangtuanya terbukti. Syt sering mendapat perlakuan buruk majikannya, bahkan nyaris diperkosa. Setiap
hari ia menerima pukulan, karena pekerjaannya dinilai tidak memuaskan oleh majikannya. Gajinya tidak pernah diberikan. Syt dipaksa bekerja dari pk.2 pagi hingga larut malam, dan
harus membantu di toko, karena majikannya seorang pedagang kain. Untunglah ia berhasil pulang ke Indonesia dengan berbohong mengatakan bahwa ia punya penyakit paru-paru
kronis. Karena takut ketularan dan Syt meninggal di tangan mereka, Syt-pun dipulangkan tanpa dibekali uang yang cukup, apalagi gaji yang menjadi haknya selama 20 bulan kerja
pada majikannya tersebut. Pengalaman ini dituturkan Syt sendiri, dan mengaku kapok untuk bekerja kembali sebagai PRT ke luar negeri. ”Saya lebih baik membantu bapak dan
ibu menjadi petani di sini. Saya masih sering ketakutan dan mimpi buruk bila mengingat siksaan dan perlakuan tidak senonoh dari keluarga majikan saya itu. Jangankan untuk
istirahat, sholat saja saya tak diijinkan, padahal mereka keluarga muslim. Saya terus diawasi, makan aja dijatah, mandipun jarang. Kata mereka, semuanya mahal, apalagi air.
Saya dituduh sangat boros, air dibuang-buang percuma hanya untuk mandi.”
Meski demikian, pada kenyataannya berbagai keberhasilan maupun kesengsaraan bekerja di luar negeri, sedikitnya akan terobati saat menerima gaji yang sangat diharapkan
untuk dapat segera dikirimkan kepada keluarga di desa asal. Bekerja sebagai TKI nyatanya mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani yang melakukannya. Remitans
kiriman uang dari bekerja di luar negeri ternyata mampu meningkatkan status sosial dan
76 taraf hidup rumahtangga petani. Dari remitans tersebut mereka mampu membiayai
pendidikan anak-anak, membeli ataupun menyewa lahan untuk memperluas usahatani, melaksanakan teknologi intensifikasi tanaman pupuk dan obat-obatan tanaman, membeli
kendaraan bermotor sepeda dan sepeda motor, ternak sapi atau kambing, peralatan rumahtangga yang modern, merenovasi dan membangun rumah, serta menabung untuk
masa depan. Secara keseluruhan, pada uraian sebelumnya telah dikemukakan peran remitans
bekerja dari luar negeri memberi pendapatan yang cukup besar sebagai sumber maupun tambahan pendapatan suatu rumahtangga yang melakukannya. Hal tersebut terlihat dari
kisaran rataan remitans yang dikirimkan TKI contoh kepada keluarganya di Indramayu antara Rp.15,85 juta hingga Rp.17,425 juta per tahun, dengan kisaran antara Rp.9 juta
hingga Rp.20 juta per tahunnya. Sedangkan di Pontianak kisaran rataan remitans yang dikirimkan TKI contoh kepada keluarganya di desa antara Rp.13,975 juta hingga Rp.21,744
juta per tahun, dengan kisaran antara Rp.4 juta hingga Rp.20 juta per tahunnya. Sungguh suatu perbedaan pendapatan yang cukup besar bila dibandingkan pendapatan non-farm
selain dari TKI, yaitu hanya sekitar Rp.2,18 juta hingga Rp.14,07 juta per tahun untuk rumahtangga contoh di Indramayu. Sedangkan untuk petani contoh di Pontianak antara
Rp.5,62 juta hingga Rp.6,5 juta per tahunnya seperti yang diperinci pada Tabel 29. Dengan remitans TKI, mereka mampu lebih mengembangkan usahataninya karena
mampu membeli saprodi pupuk dan obat-obatan, sehingga produksinya relatif lebih tinggi. Pertanian, merupakan harapan utama mereka sebagai usaha utama sumber
pendapatan rumahtangga apalagi setelah mereka tidak berniat untuk seumur hidup menjadi TKI. Setelah berhenti menjadi TKI, mereka umumnya akan memilih menjadi petani
kembali; sebab, meski pendapatannya kecil, namun merasa aman dalam mengusahakannya. Resiko kegagalan usahatani juga telah mereka sadari tetap akan berlangsung, karena semua
tergantung kondisi alam dan lahan. Selain itu, mereka masih memiliki harapan yang besar akan memperoleh tambahan pendapatan rumahtangga yang relatif besar dari diversifikasi
usaha seperti yang disajikan pada bagian berikut dari tulisan ini.
77 Oleh karena itu, di samping penanganan remitans dari para TKI tersebut, pihak
pemerintah hendaknya memikirkan lebih serius penanganan dalam suatu program kebijakan sebagai suatu bentuk pengaturan atau undang-undang yang mampu memberi
perlindungan bagi hak-hak mereka. Peraturan yang disusun tersebut hendaknya sejak awal pengurusan administrasi pemberangkatan, jaminan keselamatan dan kesejahteraan mereka
selama bekerja di luar negeri, hingga kepulangan mereka ke desa asal. Perbaikan penanganan TKI selayaknya merupakan suatu peraturan kebijakan yang berpihak.
Keberpihakan, layak mereka peroleh mengingat besarnya pengorbanan dan resiko yang telah mereka hadapi selama bekerja di luar negeri, dan kontribusi devisa negara yang luar
biasa besar melalui remitans yang mereka kirimkan ke Indonesia.
78
KONTRIBUSI PENDAPATAN ON-FARM, OFF-FARM, NON- FARM, SEBAGAI DIVERSIFIKASI USAHA TERHADAP
PENDAPATAN RUMAHTANGGA DI PEDESAAN
Kontribusi dalam hal ini adalah besarnya sumbangan yang dapat diberikan pada suatu waktu dan keadaan. Kontribusi pendapatan mengindikasikan besarnya andil atau
peran setiap jenis usaha dalam memberikan pendapatan sumbangan penghasilan terhadap pendapatan suatu rumahtangga. Keterbatasan pendapatan rumahtangga petani
dari usahatani semata, apalagi dengan pengusahaan lahan yang relatif sempit. Kondisi tersebut menyebabkan rumahtangga petani berupaya mencari tambahan pendapatan dari
berbagai sumber usaha diversifikasi usaha selain usahatani sendiri, ataupun diversifikasi usaha pada usahatani itu sendiri. Berbagai jenissumber usaha yang
dilakukan dengan melakukan diversifikasi usaha rumahtangga petani pada sub-sektor on-farm
, off-farm, danatau non-farm, baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan. Seberapa besar kontribusi ketiga sub-sektor pertanian tersebut
terhadap pendapatan suatu rumahtangga di pedesaan pada dasarnya mengindikasikan peran diversifikasi usaha rumahtangga terhadap pendapatan rumahtangga itu sendiri,
seperti yang diuraikan berikut.
Struktur Pendapatan RT dari Diversifikasi Usaha On-farm, Off-farm, Non-farm a. Kabupaten Indramayu
Dari 30 rumah tanggapetani contoh di Indramayu terdapat sebanyak tiga rumahtangga yang mengusahakan lahan kurang dari 0,25 Ha. Pendapatan mereka dari:
1 on-farm, berkisar antara Rp.910.500 - Rp.2.541.000 dengan rataan sekitar Rp.1.150.500; 2 off-farm, berkisar antara 0 - Rp.960.000 dengan rataan sekitar
Rp.1.350.000; 3 non-farm, sekitar Rp.1.300.000 - Rp.4.500.000 dengan rataan sekitar Rp.2.433.330,-
79 Pada pengusahaan lahan antara 0,25 – 0,5 ha, terdapat 2 rumahtangga petani
contoh. Pendapatan mereka dari: 1 on-farm, antara Rp.1.262.500 - Rp.3.106.500 dengan rataan sekitar Rp.2.184.500; 2 off-farm, antara Rp.475.000 - Rp.18.800.000
dengan rataan Rp.9.637.500; 3 non-farm, sekitar Rp.10.700.000 - Rp.21.000.000,- dengan rataan sekitar Rp.15.850.000,-
Pada pengusahaan lahan 0,5 - 1 ha, terdapat 13 rumahtangga petani contoh dengan pendapatan dari: 1 on-farm, antara Rp.1.054.000 - Rp.28.652.000 dengan
rataan sekitar Rp.10.239.270; 2 off-farm, 0 - Rp.18.800.000 dengan rataan sekitar Rp.2.035.000; 3non-farm, sekitar 0 - Rp.26.810.000 dengan rataan sekitar
Rp.9.891.150,- Pada pengusahaan lahan 1 ha, terdapat 12 rumahtangga petani contoh dengan
pendapatan dari: 1 on-farm, antara Rp.5.104.000 - Rp.46.019.500 dengan rataan sekitar Rp.12.688.290; 2 off-farm, antara 0 - Rp.16.800.000 dengan rataan Rp.3.501.000:
3non-farm, sekitar 0-Rp.25.360.000 dengan rataan sekitar Rp.15.458.330,- Kisaran dan rataan pendapatan rumah tangga petani contoh secara lebih rinci disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 30: Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Indramayu, berdasarkan Penguasaan Lahan. 20052006.
Pengusahaan Lahan Ha
Total Pendapatan On-Farm Rp.000
Total Pendapatan Off-Farm Rp.000
Total Pendapatan Non-Farm Rp.000
Total Pendapatan RT Rp.000
0,25 910,5-2541
1150,5 0-960
1350
1300-4500 2433,33
3370.5-7881 4933,83
0,25 – 0,5 1262,5-3106,5
2184,5 475-18800
637,5 10700-21000
15850
14281.5-41062.5
27672
0,5 - 1 1054-28652
10239,27 0-18800
2035
0-26810 9891,15
6417-54805 22802,96
1 5104-46019,5
12688,29 0-16800
3501,25 0-25360
15458,33 9251-81819.5
31647,88
Sumber: Data Primer Diolah. 2006
Pada sub-sektor
on-farm , selain tanaman pangan pendapatan rumahtangga
contoh melalui diversifikasi berasal dari usaha hortikultura terutama petani yang mengusahakan 0,5 - 1 ha, perkebunan hanya pada 0,5 – 1 ha, dan peternakan
80 pengusahaan 0,25 - 1 ha. Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha
sub-sektor on-farm, disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-Farm terhadap Total Pendapatan On-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Indramayu.
Pengusahaan Lahan Ha
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha dari Rp.000
Tan.Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Total
Pendapatan On-Farm
0,25 1150,5
1150,5 0,25 – 0,5
2109,5 75
2184,5 0,5 – 1
6664,27 336,54
323,08 2915,38
10239,27 1
6955,13 499,83
3233,33 12688,29
Sumber: Data Primer Diolah. 20052006
Pada sub-sektor off-farm, pendapatan rumahtangga contoh dengan diversifikasi usaha, sekitar 56,67 yang berasal dari buruh tani ditemukan pada semua lapisan
pengusahaan lahan, usaha menyewakan lahan ditemukan hanya pada satu rumahtangga contoh, sedangkan usaha menyewakan alat pertanian dilakukan sekitar 23,33 contoh.
Pada sub-sektor off-farm, usaha menyewakan alat pertanian, seperti: thresher, gembot, hand sprayer
, bahkan hand tractor ternyata mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga secara signifikan. Modal untuk membeli alat pertanian tersebut umumnya
diperoleh dari remitans bekerja dari luar negeri TKI. Perbandingan rataan pendapatan rumahtangga petani contoh dengan diversifikasi usaha sub-sektor off-farm, disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 32: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-Farm terhadap Total Pendapatan Off-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Indramayu.
Pengusahaan Lahan Ha
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha dari Rp.000 Buruh Tani
Sewa Lahan Sewa Alsintan
Total Pendapatan Off-farm
0,25 1350
1350 0,25 – 0,5
9637,5 9400
9637,5 0,5 – 1
2035 1346,2
2035 1
3501,25 275
2811,67 3501,5
Sumber: Data Primer Diolah. 20052006
.
81 Pada sub-sektor non-farm, pendapatan rumahtangga petani contoh melalui
diversifikasi, berasal dari: usaha industri petani yang mengusahakan 0,25 - 1 ha, usahajasa lain ditemukan pengusahaan 0,25 – 0,5 ha, dagang dan tukang bangunan
pada 0,5 - 1 ha, aparat desa kecuali pada pengusahaan 0,25 ha, buruh bangunan pada 0,5 - 1 ha, TKI kecuali pada pengusahaan 0,25 ha, pemulung pada
pengusahaan lahan 0,5 - 1 ha, dan usaha tukang ojek ditemukan pada semua lapisan pengusahaan lahan. Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha sub-
sektor non-farm, disajikan pada tabel berikut.
Tabel 33: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-Farm terhdp Tot.Pendptan Non-Farm, menurut Pengusahaan Lahan di Kabupaten Indramayu.
Rataan Pdptan Rp.000 dari
0,25 ha
0,25 – 0,5 Ha
0,5 – 1 ha
1 ha
Usaha industri 3500
913,08 1270
Us.jasa lain 1500
61,54 100
Dagang 0 449,23
920 Tk.bangunan 500
80 Aparat desa
850 46,15
225 Buruh bangunan
201,92 670
TKI 0 10500
6538,46 11333,33
Pemulung 0 1200,77
240 Tk. Ojek
433,33 1000
400 700
Total Pendapatan Non-farm RT
2400 3500
9145,5 8585
Sumber: Data Primer Diolah. 20052006
Sementara itu, pada musim gadu kering, para petani yang berdiam di dekat pantai umumnya juga mengusahakan pembuatan garam di lahan yang berkadar air asin.
Untuk lahan garam umumnya petani mengusahakan rata-rata 2 petak sekitar 0,2 Ha. Lahan garam diperoleh disewa dari pemerintah desa Lurah dengan sistem lelang. Nilai
sewanya sekitar Rp.1 – 2 juta per tahun. Di lahan tersebut, mereka juga sekalian mengusahakan empang kolam bandeng ataupun udang, dengan nilai panen yang cukup
besar bila berhasil.
82 Pada kenyataannya di daerah penelitian ditemukan bahwa sumber pendapatan
lain sebagai penambah penghasilan rumahtangga, rata-rata berasal dari diversifikasi usaha di luar on-farm usaha tani. Diversifikasi usaha tersebut berasal dari usaha off-
farm seperti: menjadi 1 buruh tani; 2 menyewakan sebagian lahan yang dikuasai; dan
3 menyewakan alat pertanian yang mereka miliki. Juga dari usaha non-farm seperti: 1 usaha industri membuat tempetahu, anyaman bambu, garam; 2usahajasa lain; 3
dagang; 4 tukang bangunan; 5 aparat desa; 6 buruh bangunan; 7 TKI; 8 pemulung; 9 jasa transportasi ojek.
A
sumsi di atas tidak sepenuhnya benar. Bila dikaji lebih mendalam, terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan pada rumahtangga petani contoh yang
mengusahakan diversifikasi usahatani. Mereka mampu memperoleh penghasilan yang relatif tinggi dibanding dengan hanya mengusahakan satu jenis usahatani. Peningkatan
pendapatan juga ditemukan pada petani contoh yang melakukan usaha hortikultura, tanaman tahunan, dan memelihara ternak. Usaha tersebut dapat dilakukan secara
bersamaan dengan kegiatan usahatani yang utama tanaman pangan dan palawija, sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga.
Dengan demikian, peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan juga dapat diperoleh dari sub-sektor on-farm melalui diversifikasi usahatani dan jenis tanaman
perbaikan pola tanam, multi crops, integrated farming system, integrasi usahatani- ternak, tumpang sari, dan sebagainya. Pola diversifikasi usaha rumahtangga selain pada
sub-sektor on-farm tersebut, juga ditemukan pada sub-sektor off-farm maupun non-farm yang dilakukan rumahtangga petani contoh, terutama pada sektor non-farm seperti:
menjadi karyawanpegawai aparat desa, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, buruh pabrik industri, tukang dan buruh bangunan, tukang beca, pengamen, pedagang
asongan, TKI 17 rumahtangga petani dari 30 rumahtangga petani contoh atau sekitar 56,67, bahkan menjadi pemulung sekitar 13,33 ke Jakarta dan sekitarnya.
Beberapa di antara rumahtangga petani contoh yang bermigrasi, tidak sepenuhnya terlepas dari sebagai petani. Pada kegiatan tertentu seperti pada aktivitas
musim tanam maupun panen, mereka tetap mudik untuk melakukan tanam ataupun panen. Umumnya rumahtangga petani contoh tetap menempatkan sektor pertanian
83 sebagai sumber matapencahariannya, walau produksi padi sering tidak memadai karena
kurang terkoordinasinya sarana air. Hal ini karena mereka masih memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan panen mangga, maupun hasil usaha lain seperti:
membuat garam, pembuatan tempe, tahu, batubata, menjadi pengamen, supir, TKI, PRT, dan bahkan menjadi pemulung sebagai divesifikasi usaha rumahtangga.
Menjadi pemulung bukan menjadi suatu kondisi yang memalukan bagi mereka, sebab dengan pekerjaan tersebut mereka dapat memperoleh penghasilan yang memadai
bahkan dapat melebihi dari pendapatan dari berusahatani. Mereka beralasan bahwa dari usahatani, pendapatan yang diperoleh relatif rendah, jangka waktu lama, dengan resiko
kegagalan panen yang tinggi serta mahalnya biaya usahatani, apalagi mereka rata-rata menggunakan pupuk dan obat-obatan pestisida dan herbisida agar diperoleh produksi
usahatani yang lumayan. Keadaan ini sangat tidak sesuai bila dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh dari mengamen, memulung, ataupun mengemis
sekalipun. Hampir seluruh rumahtangga contoh mengakui bahwa hasil diversifikasi usaha rumahtangga tersebut menjadi sumber penghasilan keluarga yang cukup besar.
b. Kabupaten Pontianak
Rumahtangga petani contoh di Pontianak umumnya melakukan diversifikasi usahatani, terutama dengan tanaman sayuran dan buah-buahan. Mereka umumnya
memiliki kebun kelapa, pepaya, pisang, dan tanaman tahunan lainnya. Meski demikian, pendapatan yang mereka peroleh dari usahatani tidaklah sebanding dengan luas areal
yang mereka usahakan. Kondisi ini menggambarkan kemarjinalan lahan pasang surut yang mereka usahakan. Keterbatasan produktivitas lahan tersebut salah satunya dapat
diatasi dengan diversifikasi usaha rumahtangga baik pada sub-sektor on-farm, off-farm, maupun non-farm. Upaya tersebut bertujuan untuk mengantisipasi semakin sulitnya
memperoleh pendapatan dan sebagai upaya adaptasi mereka terhadap usaha pemenuhan kebutuhan hidup.
Di Pontianak, pola diversifikasi usahatani yang biasa dilakukan petani adalah menanami lahan mereka dengan berbagai jenis sayuran. Hasil pendapatan yang mereka