13
Tabel 3. Pertumbuhan dan Proporsi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia, 1997 – 2003.
Tingkat Pendidikan Pertumbuhan tahun
Proporsi 1997 - 1999
2000 - 2003 1997 - 1999
2000 - 2003 Tidak sekolah
-5.74 -6.12
41.85 41.85
SD 7.28 2.34
42.66 42.66
SLTP 16.96 14.05
10.42 10.42
SLTA 17.72 3.91
4.78 4.78
DiplomaSarjana 8.09 -3.99
0.28 0.28
Total TK 000 orang 3.34
1.19 37.880
40.763 Sumber: BPS, Data Ketenagakerjaan, 1998 – 2004.
b. Daerah
Secara regional, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan mencermati Tabel 4, terlihat bahwa sektor
pertanian di Jawa Barat menyerap 29,82, dan di Kalimantan Barat 66,92 tenaga kerja. Khususnya di pedesaan pertanian merupakan sumber pendapatan utama
rumahtangga dan lapangan kerja yang dominan bagi sebagian besar masyarakat.
Tabel 4. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berbagai Sektor Ekonomi, di Daerah Penelitian, 2004.
Sektor Jawa Barat
Kalimantan Barat
1. Pertanian 29,82
66,92 2. Pertambangan
0,44 2,10
3. Industri 17,60
5,12 4. Listrik, Gas air Minum
0,27 0,21
5. Bangunan 5,82
3,03 6. Perdagangan, Hotel Rest.
22,82 11,86
7. Angkutan 8,80
2,87 8. Bank Lembaga Keuangan
1,86 0,42
9. Jasa-jasa 12,55
7,47 10. Lainnya
0,02 -
Total 100,00
100,00
Sumber: BPS, Jawa Barat dalam Angka, 2004; KalimantanBarat dalam Angka, 2004.
Pada kenyataan, sektor pertanian di daerah penelitian masih memberikan kontribusi besar terhadap PDRB. Sektor pertanian secara regional mempunyai pangsa
terbesar dibanding berbagai sektor lainnya, seperti disajikan pada Tabel 5.
14
Tabel 5. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDRB, di Daerah Penelitian, 20042005. Sektor
Jawa Barat Kalimantan Barat
Pertanian 13,15 27,60
Pertambangan 6,80 1,28
Industri 40,44 20,2
Listr.gas air minum 2,60
0,88 Bangunankonstruksi 2,78
6,40 Perdag.hotel restoran
17,64 23,56
Angkutan 5,28 5,82
Bank dan Lembaga Keuangan 2,86
4,87 Jasa-jasa 8,44
9,28 Lainnya -
-
Total 100 100
Sumber: Data Ketenagakerjaan, BPS. 20042005.
Dari Tabel 5, pada tahun 2004 pangsa sektor pertanian bila dibanding dengan sektor-sektor lainnya dalam PDRB di Jawa Barat menempati peringkat 3 sebesar
13,15. Sedangkan di Kalimantan Barat pangsa sektor pertanian dalam PDRB, menempati peringkat 1 sebesar 27,6.
Petani: Metamorphosis dan Dimensi Struktur Sosial
Pelaksanaan pembangunan pertanian yang menganut paradigma modernisasi
dengan mengutamakan prinsip efisiensi, telah menyebabkan terjadinya perubahan
struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Perubahan terutama terkait dengan struktur pemilikan lahan pertanian yang mengakibatkan terjadinya: 1 petani lapisan
atas, yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta mempunyai peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan;
2 petani lapisan bawah yang relatif miskin dari segi lahan dan modal hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan
masyarakat tersebut terlibat dalam ketimpangan suatu hubungan kerja. Kebijakan pembangunan pertanian seperti revolusi hijau justru meninggalkan
kaum petani “wong cilik”. Bisa jadi petani adalah korban pembangunan pertanian tersebut karena terbukti terjadi proses ketergantungan teori dependensi petani terhadap
15 pupuk dalam usahatani. Ketergantungan tersebut sebagai dampak dari program
pemupukan intensif dan pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, InSus sampai Supra-Insus. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan kestabilan subsidi dan harga
pupuk, serta tidak transparannya tujuan pasar dan harga jual produksi pertanian sangat memberatkan petani. Meski tidak dipungkiri program kebijaksanaan pembangunan
pertanian oleh pihak pemerintah mampu membawa hasil seperti swasembada beras pada tahun 1984
2
. Meskipun Hayami dan Kikuchi 1981 menyimpulkan revolusi hijau tidak
mendorong polarisasi, namun kenyataannya petani lapisan atas lebih diuntungkan
dibanding petani lapisan bawah. White 1992 menyebutnya sebagai proses eksploitasi
penghisapan dari golongan kapitalis. Petani lapisan atas dapat menarik manfaat lebih dari kemajuan sektor pertanian, bahkan dari berbagai usaha sektor non-pertanian, yang
tidak terjadi pada petani lapisan bawah. Petani berlahan sempit landless dan buruh tani bahkan tidak mengalami perkembangan dan peningkatan taraf hidup. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa kemajuan yang dicapai sektor pertanian sebenarnya merupakan perjuangan dan pengorbanan kaum tani, terutama petani lapisan bawah.
Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan produksi si petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan kemungkinan
untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin merebaknya iklim konsumerisme hingga ke pedesaan. Perubahan yang muncul setidaknya menunjukkan keterkaitan petani
dengan globalisasi sistem ekonomi dunia, sebagai akibat proses adaptasi ketika mereka terintegrasi dalam sistem ekonomi global, serta mempengaruhi sistem ekonomi, sosial,
dan budaya. Momentum yang fenomenal tersebut mencerminkan perubahan sosial petani yang masih di naungi dimensi struktural.
Petani sebagai orang yang bermatapencaharian dengan bercocok tanam di tanah.
3
Petani di Indonesia umumnya berlahan relatif sempit, penguasaan sumberdaya sangat terbatas, sangat menggantungkan hidup pada usahatani, rendahnya tingkat pendidikan,
2
Dr. Sajogyo. 1993. Partisipasi Petani . PSP. IPB
3
Poerwadarminta 1985.
16 dan tergolong miskin secara ekonomi.
4
Kondisi tersebut mencerminkan keterbatasan mereka. Petani sebagai mayoritas masyarakat yang hidup di pedesaan, tidak primitif,
tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitif tribe dan masyarakat industri, sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur
masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Wolf 1985, mengkaji petani secara antropologis
historis, dari manusia primitif hingga menjadi petani modern berdasarkan pemikiran lain seperti Sahlins 1960 dan Malinowski 1922, untuk melakukan perbandingan
seperti yang dirinci pada Tabel 6.
Tabel 6: Perbandingan Masyarakat Primitif, Petani, dan Petani Modern. Primitif Tribe
Petani Peasant Petani Modern Farmer
Bertani berpindah. Kebutuhan primer dan kerabat.
Ada ikatan dengan tetangga. Surplus diserahkan ke golongan.
Intensitas hub. dg luar rendah. Belum ada spesialisasi.
Belum ada sewa tanah. Bertani tetap.
Subsisten. Ada ikatan nilai-nilai.
Surplus diserahkan ke penguasa. Intensitas hub.dg luar tinggi.
Semi spesialisasicampuran. Sudah ada sewa tanah.
Rumah kaca. Keuntungan maksimum.
Hub.longgar dalam simbol. Surplus sebagai keuntungan.
Mobilitas tinggi. Spesialisasiprofesional.
Cenderung sewa.
Kaum petani pedesaan peasantry memiliki arti penting, karena di masa kini mereka mendiami bagian “yang terbelakang” dari bumi ini. Dunia petani merupakan
satu dunia yang teratur, yang memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas yang meskipun tidak tampak dari tingkat atas tatanan sosial. Dunia petani bukanlah
amorphous tanpa bentuk yang seolah hanya ruang kosong, yang hanya membutuhkan
masukan modal industri dan ketrampilan untuk dapat membuatnya bergerak. Masyarakat petani di pedesaan, oleh sejumlah penulis sebagai fenomena yang
jelek dan memperlakukannya sebagai agregat-agregat tanpa bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional dan men-cap-nya sebagai manusia-manusia yang terikat tradisi,
artinya kebalikan dari modern. Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah
4
Singh 2002.
17 kekuasaannya fund of power. Padahal, petani juga merupakan pelaku ekonomi
economic agent dan kepala rumahtangga, dimana tanah-nya merupakan ‘satu unit ekonomi dan rumahtangga’
Wolf, 1985.
Petani tidak homogen, melainkan ada yang kaya, menengah, gurem, serta dinamis. Sedikitnya 4 ciri utama dalam masyarakat petani, yaitu: 1 satuan rumah tangga
keluarga petani adalah satuan dasar dalam masyarakat yang berdimensi ganda; 2 petani hidup dari usahatani, dengan mengolak tanahlahan; 3 pola kebudayaan petani
berciri tradisional dan khas; 4 petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, sebagai “wong cilik” orang kecil terhadap level masyarakat di atas desa.
5
Ave
6
mengemukakan pengertian petani dari segi matapencaharian. Manusia
memulai matapencaharian dari meramu dan berburu, berubah menjadi peladangan berpindah. Keadaan berubah menjadi peladangan menetap, lalu berkembang menjadi
pertanian dengan menggunakan peralatan sederhana. Akhirnya dengan berkembangnya sistem pengairan irigasi dan teknologi di bidang pertanian, melatarbelakangi
berkembangnya kehidupan sosial bermasyarakat dan membentuk suatu lingkungan hidup, meningkatkan intensitas hidup berinteraksi di antara masyarakatnya.
Konsep Chayanov
7
menjelaskan karakteristik fundamental pertama dari ekonomi usahatani farm economy petani adalah merupakan suatu perekonomian keluarga
family economy. Cara penghitungan “laba” tidak dapat diterapkan pada perekonomian
5
dalam kata pengantar “Perlawanan Kaum Tani” James C. Scott 1993.
6
Wolf. E.R. 1985. Petani. Suatu tinjauan Antropolgis. Rajawali.
7
Dalam: Wiradi.G.1993.
PETANI
Salah satu peran dalam masyarakat desa
Menurut konsep Ilmuwan:
-. Sruktur sosial -. Struktur ekonomi petani
-. Struktur politik -. Struktur sosiokultural
-. Daerah hukum adat -. Jenis matapencaharian
-. Partisipasi Petani
18 petani, karena dalam perekonomian petani dinyatakan unsur-unsur biaya produksi tidak
dapat dapat diperbandingkan dengan yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Masalah petani adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan dari dunia luar
dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya yang berlangsung selamanya,
dimana hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari hari kerja
unit kerja, sebagai fakta yang menarik.
Bagan 1: Gambaran Masyarakat Petani Chayanov
8
Bagan 2: Gambaran Masyarakat Petani di Desa van Vollenhoven
Sementara itu, Redfield 1982
9
mengemukakan kesamaan sikapnilai petani, yaitu: 1 sikap yang intim dan hormat kepada tanah; 2 ide bahwa pekerjaan pertanian
8
ibid.
Marxian Masyarakat Desa
Chayanov Antropologis
Petani kaya dan Petani miskin Usahatani Keluarga
Fosil dan Culture lag Keseimbangan
Subyektifitas garapan Jangkauan terbuka
Masyarakat Petani masyarakat desa
Kesatuan Geografi-Kultural Lingkungan Geografis lahan
Kultural:
aturan-aturan: adat, pribumi, tentang tanah, lahan garapan, hubungan
kekeluargaan, kehidupan ekonomi rakyat
19 adalah baik dan perdagangan merupakan usaha yang tidak begitu baik; 3 tekanan
terhadap kegiatan produktif sebagai suatu kebijakan utama. Masyarakat petani memiliki kesamaan dengan tipe masyarakat lain di dunia Barat dan Timur, dalam hal: 1 adanya
ikatan pribadi dengan tanah; 2 keterikatan kepada desa atau komunitas lokal; 3 pentingnya keluarga secara sentral; 4 perkawinan sebagai persiapan kecukupan
ekonomi menuju makmur; 5 adanya ketegangan antara keterikatan kepada tanah dan dunia lokal dengan keharusan menghasilkan tanaman penghasil uang; dan seterusnya.
10
Menurut Landsberger dan Alexandrov 1981
11
, dari suatu pernyataan Moore, disimpulkan adanya 3 substansi penting, yaitu: 1 kepemilikan tanah secara de facto
12
; 2 subordinasi legal
13
; 3 kekhususan kutural. Selain kepemilikan secara de facto, Wolf meyakini bahwa kaum petani di pedesaan yang dicirikan oleh surplus yang dialihkan
dengan eksploitasi kepada kelompok para pengusaha yang dominan; dengan catatan, yang umumnya tidak melakukan pengusahaan proses produksi langsung.
Pernyataan Wolf dan Moore, dinilai Bahari
14
sebagai: menekankan adanya relasi sosial dalam aspek ekonomi kaum petani pedesaan dengan sistem di luar komunitasnya;
dimana makna petani bukan hanya sebagai komunitas tertutup eksklusif atau terisolasi, melainkan berinteraksi dengan pihak luar. Apalagi di masa sekarang, perkembangan
teknologi telah membuat akses ke luar daerah semakin terbuka dan tidak lagi bersifat otonom, sehingga para petani yang hidup dan bermukim di desa dimungkinkan untuk
dapat tinggal di luar desanya migrasi.
Dinamika dan Entitas Sosial Petani yang Khas
9
Hasil penelitian Redfield terhadap masyarakat petani Inggris, petani Yucatan sekarang dan Boetica kuno.
10
Menurut Hadlin, dalam: Redfield, 1982
11
“Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial”, dikutip dari “Social Origins of Dictatorship and Democracy” Moore, 1966. Boston.
12
Bagi petani, tanah tidak hanya bermakna materialekonomi, tapi juga sosial-budaya. Tanah menjadi simbol terhadap status sosial-ekonomi bagi petani dalam komunitasnya.
13
Dimana kelas sosial petani adalah berada di bawah kelas sosial tuan tanah.
14
2002 dalam: ”Petani dalam Perspektif Moral Rkonomi dan Politik Ekonomi “ ; dalam “‘Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan W. ”, Akatiga Bandung.
20 Dinamika masyarakat petani dikaji Koentjaraningrat
15
melalui terdapatnya
berbagai tipe masyarakat yang hidup di desa terpencil, yaitu: 1 struktur sosial yang sangat sederhana, hidup dari kebun ubi dan keladi yang dikombinasikan dengan berburu
dan meramu ada pengaruh zending Kristen; 2 masyarakat yang hidup dalam desa yang berhubungan dengan kota kecil yang dibangun kolonial Belanda, yang agak
kompleks, hidup dari bercocok tanam padi di ladang atau sawah misi dan zending Kristen; 3 petani yang hidup dari bercocok tanam padi di sawah atau ladang,
berhubungan dengan kota kecil yang pernah jadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pengaruh budaya Islam mulai kuat; 4 petani yang hidup dari bercocok tanam padi di
sawah , yang berhubungan dengan kota bekas pusat kerajaan pribumi dan administrasi Belanda pengaruh Hindu Islam dan Kolonial Belanda; 5 masyarakat perkotaan yang
berperan sebagai pusat pemerintahan, sektor industri masih lemah disebut tipe masyarakat dan kebudayaan kota kecil; 6 masyarakat dan kebudayaan kota
metropolitan, sektor industri sudah maju.
Selain pemikiran di atas, terdapat 3 golongan berbeda, yaitu: 1 sebagai seluruh penduduk desa termasuk petani, buruh, jasa, PNS, pedagang dan lainnya; 2 mengacu
hanya ke petani saja termasuk petani-penggarap; 3 buruh tani yang mengkuli pada petani lain tidak punya garapan.
16
Peasant adalah suatu tipe ideal, yang diacukan pada golongan individu bercirikan khas secara sosial, kultural, ekonomis dan politis. Menurut
Kroeber dalam: Marzali adalah masyarakat pedesaan, hidup berhubungan dengan kota dekat pasar seperti telah dikemukakan sebelumnya. Petani peisan dalam perkembangan
sosio-kulturalnya, yaitu: 1 berada di antara masyarakat modern dan primitif; 2 bersama dengan masyarakat primitif dan petani farmer; masyarakat yang hidup
menetap dalam komunitas pedesaan; 3 dari sudut perkembangan mode of production, berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani farmer.
Semakin terbukanya akses petani pada era globalisasi sebagai suatu proses perubahan akibat perkembangan teknologi dan daerah. Untuk itu dibutuhkan strategi
alternatif dalam mengatasi masalah dan dilema petani kekurangan dari segi ekonomi,
15
Masinambow, E.K.M 1997.Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.. Yayasan Obor.
16
Konsep peasant Marzali
21 subsisten. Upaya utama mereka adalah menekan pola konsumsi yang konsumeris,
menyesuaikan pengeluaran dengan penghasilan, melakukan diversifikasi usaha rumahtangga. Mengerahkan seluruh anggota keluarga sebagai upaya untuk
menghasilkan bahan makanan dan barang kebutuhan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kaum tani selalu dinamis tidak statis seperti yang secara klise literatur. Petani
bergerak terus antara dua kutub mencari pemecahan dilema pokok mereka. Keadaan ini melibatkan proses pemberdayaan sebagai adaptasi penyesuaian penopang mereka
dalam mempertahan diri dan sesamanya, dalam suatu tatanan hidup sosial. Aliran neo-klasik yang dianut paradigma pembangunan pertanian, nyatanya
kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil bahkan menciptakan ketergantungan di tingkat nasional dan lokal Korten dan Sjahrir, 1984. Campur tangan pemerintah
yang terlalu jauh menyebabkan hegemoni proses globalisasi demi pemudahan pelaksanaan kontrol global, seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal.
Strategi pemerataan pembangunan melalui trickle down effect terbukti sulit diimplementasikan. Di satu sisi, sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil
masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang relatif mapan. Di sisi lain, proses pembangunan yang sarat kapital menciptakan polarisasi. Sebagian besar peysan
“terpaksa” melepaskan penguasaan sumberdaya lahan menjadi kelompok petani gurem bahkan landless, buruh tani atau kelompok masyarakat miskin Hayami Kikuchi,
1987. Kondisi tersebut diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Berdasar data BPS 1998,
pemerintah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta 1976 menjadi 22,5 juta 1998, namun kembali meningkat sekitar 23,8 menjadi 49,5 juta pada awal
tahun 1999 yang ditenggarai sebagai akibat krisis tersebut. Sentralitas
dan sifat top down mekanisme pembangunan yang terwujud dalam aplikasi teknologi berisi input eksternal yang menuntut modal tinggi untuk memperbaiki
proses produksi dan memperbaiki produktivitas, hanya mampu diadopsi dan dinikmati petani berlahan luas lapisan menengah dan atas. Pengaplikasian paket teknologi
tersebut berdampak luas terutama menjadi longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang berorientasi sosial dan bersifat komunal sebagai akibat lebih mengedepankan efisiensi
22 ekonomi. Sementara, pengetahuan lokal indigenous knowledge yang ada dan
berkembang di masyarakat dimana kehadirannya merupakan refleksi norma dan nilai kearifan lokal. Namun semakin terhambat penerapan dan pelestariannya karena kian
longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang ada, serta merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan
material dan non-material. Masyarakat selanjutnya jadi semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar
desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan
eksploitasi dan sukses finansial semata. Artinya, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah memudarnya
keterjaminan pekerjaan bagi buruh tani yang selama ini hidup dan eksis di pedesaan akibat memudarnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya. Dengan demikian, etika
subsistensi yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial tidak dapat difungsikan dalam era pembangunan modern Scott, 1981.
Adalah suatu keniscayaan bahwa peluang dan kesempatan kerja menjadi berkurang bahkan menghilang, sebagai konsekuensi penerapan paket teknologi pupuk,
pestisida, dan mekanisasi pada kegiatan usahatani. Tenaga kerja sebagai modal utama untuk memperoleh pendapatan buruh tani petani miskin. Dengan berkembangnya
sistem tanam serentak menyebabkan pekerjaan sebagai buruh menjadi kian terbatas. Namun, terkait model ekonomi neo-klasik, laju teknologi dalam hal kapital dan laju
pertumbuhan penduduk dalam hal tenaga kerja cenderung berkorelasi negatif. Dalam arti, untuk meraih keuntungan maksimal, penambahan penggunaan kapital akan
menekan penggunaan tenaga kerja, akibatnya melemahkan bargaining position buruh. Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke pedesaan, berupa penerapan
teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi. Kondisi tersebut bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian
besar buruh tani, namun kian longgarnya norma dan jalinan nilai ikatan sosial masyarakat di pedesaan. Ekonomi uang menyebabkan makin lemahnya peran
ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih
23 menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Namun, masih kuatnya
sentimen individu dalam kelompok dan kemampuan merespon perkembangan teknologi dan beradaptasi dengan kemajuan pembangunan. Di beberapa wilayah yang traditional
society -nya masih hidup dan bertahan, sebagai asset pembangunan yang perlu
ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Hal tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu potensi lembaga yang adop teknologi dan berorientasi
pasar, serta bermanfaat bagi kesempatan kerja dan pendapatan kaum tani. Pembangunan pertanian yang umumnya menganut paradigma modernisasi yang
mengutamakan prinsip efisiensi telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat. Menurut Horton dan Hunt 1984, aspek ketenagakerjaan merupakan suatu
sistem norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat. Aspek ketenagakerjaan turut mengalami perubahan
dalam proses modernisasi tersebut, sehingga dibutuhkan upaya memecahkan masalah tenaga kerja yang berkembang seiring makin kompleksnya suatu masyarakat. Awalnya
dikenal sistem sambat sinambat tolong menolong secara bergiliran, dengan imbalan makanan bila berhalangan, makanan diganti uang. Berkembang dengan ditemukannya
sistem ceblokan buruh tanam padi hak panen, tidak upah langsung. Ditemukan sistem “kedokan”, dimana selain menanam si buruh juga harus menyiangi. Ikatan hubungan
kerja pemilik dan buruh pada kedua sistem tersebut bukan hanya dari produksi uang, tapi lebih lekat dengan aktivitas sosial, saling menghargai dan seremonial lainnya.
Selanjutnya, hubungan kerja mulai didominasi oleh sistem upah. Ajakan terhadap buruh kerja mulai terbatas pada tetanggakerabat dekat, langganan, dan masih terdapat muatan
unsur luar produksi yang menganut sistem resiprositas. Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan berlebihnya tenaga kerja
pertanian, terjadi perubahan struktur pemilikan lahan, yang juga sebagai imbas pesatnya pembangunan. Persaingan ketat antar buruh kerja, namun tidak disertai kenaikan upah,
ditambah peningkatan teknologi, turut menggeser peran tenaga kerja dan melemahkan “posisi tawar” bargaining position buruh dalam transaksi kerja termasuk penentuan
tingkat upah, dan tunduk pada hukum supply and demand. Dampak serius pelaksanaan sistem pembangunan terhadap kehidupan buruh tani masyarakat miskin di pedesaan di
24 atas, digunakan untuk mengkaji kemungkinan dan potensi pemberdayaan
ketenagakerjaan pertanian. Salah satunya melalui diversifikasi usaha rumahtangga agar dapat beradaptasi dan berkelanjutan dalam rangka mengentaskan kemiskinan tanpa
harus kehilangan norma-norma dan nilai-nilai yang menjiwainya. Perubahan-perubahan sosial ekonomi di sektor pertanian turut mempengaruhi
struktur penyerapan tenaga kerja dan pendapatan. Berdasarkan data input-output I-O BPS, menunjukkan bahwa pangsa penyerapan kesempatan kerja di sektor pertanian
relatif menurun, namun secara absolut jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 1971 pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian berkisar 64,16, turun menjadi 56,06 pada
tahun 1980, relatif konstan sekitar 56 pada tahun 1980-1985, dan terus menurun sampai 43,9 pada tahun 2000.
17
Menurunnya pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian terhadap perekonomian nasional ini merupakan konsekuensi logis dari
pembangunan ekonomi yang mengarah pada pengembangan sektor industri. Gambaran umum penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian pada tahun 1971-2000
18
adalah sebagai berikut: 1 pangsa sektor industri pada tahun 2000 sebesar 12,36 persen,
meningkat dibanding tahun 1971 yang hanya berkisar 6,59; 2 sektor jasa dan perdagangan meningkat dari 24,49 pada tahun 1971 menjadi 42,69 pada tahun 2000.
Sampai tahun 2000, sub-sektor tanaman pangan di sektor pertanian tetap merupakan sub sektor yang menyerap tenaga kerja paling tinggi di antara sub-sektor
pertanian yang lain. Dimana pada tahun 1971, sub-sektor tanaman pangan mampu menyerap tenaga kerja 58,67, dan pada tahun 2000 serapan tenaga kerjanya menurun
menjadi 32,82 dari total sektor pembangunan. Sedangkan sub-sektor yang lain rata- rata kurang dari 5 dari total penyerapan kerja.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga berpengaruh besar terhadap serapan tenaga kerja dan pendapatan sub-sektor pertanian. Meskipun secara rata-rata
sektor pertanian menurun pertumbuhannya, namun sub sektor perkebunan dan perikanan justru mengalami pertumbuhan lebih dari 400 persen Adriani, 2004. Komoditas
subsitusi impor dengan faktor input tradeable impor, namun produksinya berorientasi
17
Malian, dkk., 2004
18
Hasil olahan data I-O BPS.
25 ekspor mengalami lonjakan yang drastis. Depresiasi nilai rupiah justru mengakibatkan
penerimaan dari komoditas ini meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas tanaman pangan, dimana produksinya berorientasi untuk pasar dalam negeri dan banyak
menggunakan input dari luar. Struktur pendapatan tersebut juga sejalan dengan pola penyerapan tenaga kerja.
Daerah dengan komoditas perkebunan yang luas luar Jawa cenderung lebih mampu menampung luapan tenaga kerja migran dibanding dengan daerah-daerah dengan basis
tanaman pangan Jawa. Sektor pertanian di Jawa, dengan adanya krisis ini, tidak memiliki kapasitas penyerapan tenaga kerja yang besar. Langkah terpenting yang harus
diambil adalah merevitalisasi peran pembangunan pertanian di desa. Hal ini penting karena kecenderungan pola penyerapan tenaga kerja pada saat krisis tersebut bersifat
sementara, karena pada kenyataannya, booming komoditas pertanian salah satunya hanya disebabkan terjadinya depresiasi nilai rupiah semata.
Pertumbuhan populasi angkatan kerja, migrasi dan perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan pekerja kaum petani pada posisi yang lemah. Tekanan
ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi, menyebabkan tingginya
konversi tanah pertanian ke non-pertanian. Keadaan tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian besar buruh tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan
sosial yang terjalin dalam masyarakat pedesaan. Kondisi ini terutama terjadi di Jawa, dimana Sumaryanto, dkk. 1994, mengestimasikan rata-rata 23.100 hektar per tahun
lahan di Jawa terkonversi ke penggunaan di luar pertanian. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang, telah
terbukti memberi pengaruh terhadap pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta pendapatan petani di pedesaan.
Berbagai pengertian dalam upaya mendefenisikan “petani”, pada dasarnya saling menyempurnakan, tergantung dari berbagai sisi dan perspektif mereka masing-
masing. Kajian yang diperlukan adalah mengenai perubahan pola-pola hubungan, interaksi, institusi dan sebagainya yang dialami oleh masyarakat petani di sepanjang
sejarah.
26
Kemiskinan: Fenomena Sosial Ketidak berdayaan Masyarakat
Masalah kemiskinan sebagai salah satu bentuk ketidakberdayaan masyarakat, dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan. Menurut Prakash, Voth, dan Woolcock,
kemiskinan merupakan konvergensi atau resultan dari berbagai faktor, dantaranya seperti: akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak dalam mengentaskan
golongan masyarakat miskin, struktur sosial yang timpang Mateju, 2002, modal sosial setempat yang lemah dan tidak berkembang, sulit dikembangkannya sistem usaha
pertanian dan teknologi, atau tidak terdesentralisasinya penyelenggaraan sistem pemerintahan Baigorri, 1999.
Beberapa hal yang mungkin terabaikan dalam pengkajian sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan berbagai konsep pemikiran, seperti: variabel rasio penduduk dan
tanah man-land ratio
19
, yang dapat membedakan derajat kemiskinan di suatu daerah. Pembeda derajat kemiskinan, antara lain seperti: 1 tidak ada tanah yang bisa disewakan;
2 tidak ada praktek pinjam meminjam uang dengan bunga; 3 rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan; 4 terjadinya perebutan rejeki yang intensif, setiap orang
beralih jadi pedagang perantara, meski keuntungan kecil dan memperkecil penerimaan. Konteks ini kiranya dapat menunjukkan kepadatan penduduk yang sangat tinggi
dan akibat ekonomi yang parah, seperti konsep shared poverty Geertz 1963. Sulit dan tidak adil bila menimpakan kesalahan pokok hanya pada sistem pasar semata, sebab
sebenarnya cukup banyak faktor lain yang perlu dikaji untuk menjelaskan kemiskinan penduduk pedesaan. Kemiskinan yang membelenggu masyarakat petani bukanlah
permasalahan atau gejala baru. Ironisnya tingkat pengetahuan kita masih sangat terbatas dan tidak dikembangkan secara sistematis mengenai fenomena dan wajah kemiskinan,
struktur-struktur sosial dan kebudayaan kemiskinan di negeri ini. Dari sejarah ekonomi Indonesia lebih 100 tahun lalu, Belanda mulai meresahkan kemiskinan yang kian
menjadi di Jawa. Namun mereka lebih melihatnya sebagai akibat pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan tidak menghubungkan dengan cultuur stelsel. Keadaan
tersebut diperparah politik liberal penyebab derasnya arus masuk barang produk industri
19
Penny 1990.
27 murah ke pedesaan. Kondisi tersebut dimaknai sebagai hancurnya keterampilan non-
pertanian di pedesaan dan lajunya “proses pemelaratan” improverishment, sehingga kemampuan petani yang tinggal hanyalah menanam padi.
Soedjatmoko 1980 meyakini keadilan sebagai landasan konsensus pada hubungan antara kemiskinan dan ketidak adilan. Jika retak, maka ketidakadilan menjadi
faktor penting dalam proses polarisasi yang dapat menghancurkan keutuhan suatu masyarakat. Penting untuk meneliti dimensi struktural kemiskinan tersebut adalah dari
perspektif struktur ketenagakerjaan, karena keduanya berhubungan dengan pola organisasi sosial dan pengaturan institusional institutional arrangements di pedesaan.
Struktur dalam hal ini dimaksudkan sebagai: pola organisasi sosial yang mantap, luas, stabil, dan yang mampu self reproducing meneruskan diri. Sebagai pola organisasi
institusional lintas semua sektor pada suatu masyarakat, suatu institusi atau lembaga merupakan rangkaian hubungan antar manusia, teratur dan disahkan secara sosial, yang
menentukan hak, kewajiban, dan sifat hubungannya dengan orang lain. Pakpahan 1995 memaknainya sebagai market failure terjadi bila upah
angkatan kerja rumahtangga miskin tidak mampu mencukupi subsistensi dan political failure
terjadi bila struktur politik ekonomi menyebabkan distorsi dalam penyampaian kepentingan masyarakat miskin. Penyebab kemiskinan Sumodiningrat, dkk, 1999
dibedakan dalam 2 faktor, yaitu: 1 faktor eksternal, yang merupakan hambatan kelembagaan, dimana struktur sosial menyebabkan sekelompok orang tidak mampu
mengakses sumber pendapatan yang ada; 2 faktor internal, berkaitan nilai-nilai dan kebudayaan, dikenal sebagai kemiskinan kultural.
Dimensi struktural yang mempengaruhi kemiskinan
20
adalah: 1 tingkat isolasi; 2 diferensiasi struktural tingkat spesialisasi lembaga dan keaktifannya berdasarkan
common sense observation pengamatan akal-sehat; 3 spektrum antara kekakuan
rigidity dan keluwesan flexibility, dimana semakin kaku suatu sistem sosial, maka semakin sulit menembus batasan sosial, sehingga semakin banyaklah orang miskin.
Spektrum ini mempengaruhi kuat lemahnya gejala dualisme dalam struktur sosial, pola
20
Soedjatmoko 1980, yang juga menjelaskan keterkungkungan individu dalam berbagai ketimpangan struktur sosial sebagai salah satu faktor penting yang mengakibatkan ketidakberdayaan mereka; baik
antara desa dan kota; antara daerah dan pusat; antar suku bangsa maupun daerah.
28 diskriminasi rasial kesukuan pola pembagian peranan pria-wanita, serta pola
eksploitasi golongan lebih kuat terhadap golongan lemah; 4 sentralitas, yaitu kebutuhan dan kepentingan suatu daerah yang sangat diperhatikan pusat, dalam tingkat penanaman,
pengembangan infrastruktur, dan sebagainya, untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu pekerjaan empiris perlu dikembangkan, yaitu hubungan antara indikator sosial
dan berbagai dimensi yang bersifat struktural. Pemikiran Soedjatmoko tersebut tidak berbeda jauh dengan pendapat yang telah
dikemukakan oleh Valentine 1968. Dimana terjadinya kemiskinan, bila dikaji dari perspektif struktural, adalah dikarenakan adanya ketimpangan struktur sistem sosial. Hal
ini menyebabkan individunya tidak dapat mengakses sumberdaya pendapatan yang tersedia akibat terbentur dengan sistem struktur sosial tersebut. Dengan demikian,
kemiskinan struktural memposisikan kelompok miskin pada tempat yang tidak menguntungkan walau tidak selalu bersifat merugikan. Keadaan ini seakan-akan
dikondisikan oleh klas sosial atas dengan tujuan untuk memelihara dan melindungi eksistensi posisi, keuntungan dan kepentingan mereka melalui kontrol dan monopoli
akses atas sumberdaya tersebut. Di samping itu, Valentine juga mengemukakan adanya sikap dan perilaku adaptasi pada masyarakat tertentu sebagai aspek positif dalam upaya
menjawab kemiskinan. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat yang heterogen, yang terdiri dari berbagai etnis, sebagai aspek lain di samping aspek patogen tersebut.
Sebagian besar masyarakat pertanian pedesaan, dimana mereka pada umumnya masih tergolong miskin secara ekonomi, terutama para buruh tani, merupakan kelompok
yang mengandalkan tenaga kerja semata sebagai modal utama proses produksi. Sebagai gambaran, pertumbuhan penduduk miskin secara nasional pada periode 2003 – 2004
menurun sebesar 3,19, dimana pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin absolut secara nasional sekitar 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,66 dari total penduduk Indonesia.
Jika dilihat dari persentase penduduk miskin Head Count Index, terdapat sekitar 20,11 penduduk miskin di pedesaan, lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan.
Tahun 2003 – 2004, persentasenya daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 7,30; sedang di daerah pedesaan sekitar 1,19. Tahun 2004 distribusi penduduk
miskin secara nasional menunjukkan bahwa 31,45 penduduk miskin berdomisili di
29 daerah perkotaan, dan sekitar 68,55 sisanya berada di daerah pedesaan. Sementara itu,
penguasaan dan pengusahaan sumberdaya baik lahan, tenaga kerja, teknologi, maupun pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki petani, sangat menentukan seberapa besar
kontribusi sektor pertanian terhadap struktur pendapatan rumahtangga di pedesaan.
Tingkat Upah Sektor Pertanian: Prospek Pendapatan RT di Pedesaan
Manning 2000 mengkaji dinamika kesempatan kerja melalui pendekatan inflexibilitas
Keynesian Model dan adanya flexibilitas dalam penyesuaian tingkat upah Neoclassical Model. Disimpulkannya bahwa: 1 pada masyarakat pertanian, sebagian
besar angkatan kerja merupakan self-employed bekerja pada usaha sendiri atau bekerja di sektor informal, sehingga kesempatan kerja dan tingkat upah akan cenderung lebih
fleksibel; 2 di negara industri, sebagian besar angkatan kerja terlibat dalam pasar tenaga kerja dengan memperoleh upah wage employment maka kesempatan kerja dan tingkat
upah cenderung bersifat tidak fleksibel rigid. Besaran dan kecenderungan tingkat upah juga dapat menggambarkan kemampuandaya beli suatu rumahtangga.
Tingkat upah di sektor pertanian berperan sebagai salah satu faktor penting dalam menentukan struktur kesempatan kerja. Gerak laju tingkat upah tidak hanya
ditentukan oleh kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, namun dipengaruhi unsur-unsur lain termasuk ketersediaan infrastruktur Rachman,1993, pasar
komoditas dan pasar uang Erwidodo, dkk., 1992. Terlepas dari semua kelemahan yang ada, tingkat upah akan merupakan indikator yang paling mudah untuk menjelaskan
dinamika kesempatan kerja pada salah satu sektor pembangunan. Analisis data BPS tahun 1990-2001 mengenai peluang tingkat upah terkait
prospek ketenagakerjaan dan kesempatan kerja pertanian di pedesaan, seperti di provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jatim, Sulawesi Selatan, Sulut, dan NTB, menunjukkan:
atingkat upah absolut kegiatan buruh tani selalu meningkat; bterjadinya disparitas tingkat upah antar wilayah; dan cterdapatnya perbedaan tingkat upah antar kegiatan
usahatani mencangkul, menyiang, dan menanam, dimana upah tertinggi diperoleh dari
30 kegiatan mencangkul. Hal ini mencerminkan keterkaitan antara kelangkaan tenaga kerja
dan tingkat upah, serta terjadinya diskriminasi tingkat upah. Sementara itu, upah riil buruh tani pada sektor pertanian pada tahun 1996 sampai
akhir 1997 menunjukkan kondisi membaik dengan nilai indeks lebih besar dari 100, walau sejak awal tahun 1998 hingga Oktober 2003 cenderung menurun, dengan nilai
indeks dibawah 70. Tingkat upah sektor industri cenderung meningkat dengan indeks lebih besar dari 100, pada periode 1996 sampai tahun 1998 cenderung meningkat,
namun selanjutnya menurun sampai tahun 2000, cenderung turun hingga tahun 2000, dan meningkat kembali mulai Mei 2000 – akhir Juli 2003.
21
Deskripsi tingkat upah buruh informal sampai Oktober 2003, menunjukkan upah riil pekerja wanita di
perkotaan masih sekitar 20-35 dibawah upah riil mereka pada Juli 1996, namun upah pembantu meningkat 8,2. Upah buruh tani di Jawa pada Oktober 2003, masih 30
lebih rendah dibanding upah pada Juli 1997, sedangkan upah riil untuk luar Jawa relatif sama antara tahun 2003 dan 1997 perbedaannya kurang lebih 5 .
Struktur tingkat upah usahatani, secara umum menggambarkan: 1 Berfungsinya pasar tenaga kerja, diindikasikan adanya perbedaan tingkat upah menurut lokasi. Daerah
dengan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang lebih besar di luar Jawa cenderung memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi; 2 Konvergensi tingkat upah
tidak nampak di daerah dengan mobilitas tenaga kerja yang tinggi; 3 Terdapat diskriminasi dalam pasar tenaga kerja; 4 Kurangnya akselerasi peningkatan daya beli
buruh usahatani padi direfleksikan dari selalu lebih rendahnya laju pertumbuhan upah riil daripada upah absolut; 5 Tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap
keuntungan dan penawaran pada usahatani padi.
Diversifikasi Usaha RT: Pemberdayaan TK dan Peningkatan Pendapatan RT
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu integrated farming system
bagi petani kecil lebih menguntungkan dan meluaskan kesempatan kerja dibanding single commodity. Sistem tersebut bahkan diyakini berdampak multi
fungsi, baik dalam aspek sosial, budaya, menciptakan lapangan kerja, dan fungsi
21
Simatupang, P. et al. 2004
31 ketahanan pangan. Dengan demikian, sektor pertanian menjadi safety net penyelamat,
serta sebagai stabilisator sosial dan ekonomi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi 1998, sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan pada
sektor lain di perkotaan. Othman, 2004 Di samping keterbatasan petani, masih terdapat berbagai peluang diversifikasi
usaha yang mengindikasikan perolehan tambahan pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dasar yang semakin lama semakin meningkat. Keberagaman sumber
pendapatan rumahtangga petani di pedesaan, pada pedesaan di Jawa Barat, 51 berasal dari sektor pertanian, dagang dan usaha lain usaha sendiri sekitar 20,6, dan 21,5
dari berburuh non-pertanian.
22
Dalam konteks ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan yang berimplikasi pada keberagaman sumber pendapatan rumahtangga,
mengungkapkan bahwa ragam kegiatan ekonomi cenderung meningkat.
23
Meski demikian, sektor pertanian masih merupakan sumber utama pendapatan rumahtangga.
24
TKI: Fenomenal Ketenagakerjaan Era Globalisasi
Menjadi TKI sebagai pilihan fenomenal angkatan kerja pada era globalisasi kini. Keputusan tersebut dipilih untuk memperoleh pendapatan suatu rumahtangga, termasuk
oleh rumahtangga petani di pedesaan. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan ketrampilan, mereka menghadapi berbagai resiko menjadi TKI di negara lain demi
memperoleh kehidupan yang memadai dan berkecukupan. Peran TKI sebenarnya cukup dilematis, karena di samping berkontribusi luar biasa bagi devisa negara dan
peningkatan pendapatanrumah tangga, juga mengandung berbagai permasalahan. Permasalahan diawali sejak pengurusan administrasi sebelum berangkat, perlakuan di
penampungan dan di negara tempat bekerja, hingga ketika mereka kembali ke Indonesia. Di pihak TKI dan rumahtangganya, umumnya miskin dan berpendidikan rendah,
menjadi salah satu pendorong mereka mengikuti TKI lainnya bekerja ke luar negeri demi memperbaiki taraf hidup dan ekonomi rumahtangga.
22
Susilowati, et al 2002.
23
Hasil penelitian Saliem, et al 2005.
24
Sebagai gambaran, pada tahun 2003, pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga pertanian di 3 provinsi adalah 62,5 di Sulawesi Selatan; 50,6 di NTB; 48,2 di Jawa Timur.
32
Tabel 7. Persentase TKI menurut GajiUpah Sebulan Rp.000,-
GajiUpah Sebulan Rp.000,- -tase
= 1.000,- 16,7
1.000,- sd 2.000,- 69,9
2.000,- sd 3.000,- 1,7
3.000,- 11,7
Sumber: Depnakertrans RI. 20042005.
Peningkatan pendapatan TKI yang diperoleh dari bekerja di luar negeri, secara makro cukup mendukung keuangan negara, dilihat dari sisi devisa inflow yang
dihitung berdasarkan remitansinya kiriman uang. Secara mikro, jelas para pekerja ke luar negeri tersebut TKI tersebut dapat meningkatkan taraf hidupnya maupun
rumahtangganya. Menjadi TKI, sebagai salah satu diversifikasi usaha rumahtangga, bahkan imbasan terhadap lingkungannya, antara lain dengan membantu finansial
pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Bekerja di luar negeri sebagai TKI atau TKW, baik secara legal maupun ilegal,
memiliki potensi yang besar dalam menyumbang masuknya devisa ke dalam negeri, juga sebagai alternatif penyerap surplus tenaga kerja di dalam negeri. Keadaan ini dapat
merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja.
Untuk itu, peran pemerintah sebagai pembuat keputusan dan kebijakan yang mampu mengantisipasi dan melindungi keberadaaan mereka di luar negeri. Kebijakan tersebut
sebagai salah satu upaya memperkecil resiko ketertindasan yang mereka hadapi dari berbagai pihak yang terkait. Selain itu, juga sebagai suatu upaya keberpihakan karena
kontribusi dari pendapatan mereka terhadap devisa melalui remitans, yang diperoleh negara terhadap penghasilan dari pekerjaan yang telah mereka lakukan. Kebijakan
tersebut juga agar mampu mewujudkan impian para TKI, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rumahtangga mereka.
Tabel 8. Penempatan TKI ke Luar Negeri menurut Kawasan, 2001-2003. -tase
Kawasan 2001 2002 2003 Asia Pasifik
60,4 49,6
37,3
33 Timur Tengah
39,5 50,4
62,5 Amerika 0,1
0,0 0,1
Eropa 0,0 0,0
0,1 Jumlah
100,0 295.148
100,0 480.393
100,0 293.865
Sumber: Depnakertrans RI. 20042005.
Pekerjaan para Tenaga Kerja Indonesia TKI di luar negeri umumnya masih di sektor informal yaitu menjadi pembantu rumah tangga PRT. Namun, kondisi ini
hendaknya jangan dipandang sebelah mata, sebab kontribusi pendapatan melalui remitans para TKI sebagai sumbangan devisa bagi negara luar biasa besar setiap
tahunnya dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Menurut sumber Bank Indonesia BI, pada tahun 2003 dari TKI tersebut
menghasilkan devisa sekitar 2 milyar US .
25
Sungguh suatu jumlah nilai yang luar biasa yang ternyata mampu dihasilkan oleh para TKI, yang merupakan golongan masyarakat
yang dianggap miskin dan berpendidikan rendah. Sebagian dari devisa tersebut digunakan sebagai cadangan devisa yang dipakai negara untuk transaksi luar negeri.
Devisa merupakan nilai pembayaran luar negeri dalam bentuk mata uang asing, dimana besarnya devisa negara dapat diketahui melalui Neraca Pembayaran Indonesia
NPI atau dikenal sebagai Balance of Payment BOP. Sedangkan NPI merupakan salah satu indikator ekonomi makro penting, yang dijadikan tolok ukur keberhasilan
pemerintah dalam pengelolaan suatu perekonomian terbuka.
26
Dalam NPI yang disusun oleh BI, yang merupakan devisa adalah hasil penjumlahan dari pendapatan bersih net income yang berasal dari compensation of
employees dan transfer yang berasal dari pengiriman uang dari luar negeri atau net
remittance pekerja di dalamnya termasuk yang berasal dari TKI. Besarnya devisa
negara yang bersumber dari TKI yang bekerja ke luar negeri dihitung melalui nilai remitansi, yaitu besarnya uang yang dikirim ke Indonesia melalui Bank.
Berdasarkan data perolehan remitansi dalam bentuk US selama 5 tahun terakhir, dapat dilihat pada Tabel 9.
25
Depnakertrans, 20042005.
26
Widodo, T. 2004
34
Tabel 9. Perolehan Remitansi TKI Tahun 1999 – 2003. dalam Milyar US .
1999 2000 2001 2002 2003
1,11 1,16 1,90 2,10 1,49
Sumber: Dit. Pemberdayaan TKLN, Depnakertrans.
Jumlah remitansi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan perolehan pendapatan TKI yang sebenarnya, karena banyak TKI yang membawa pulang uang
valuta asing secara tunai. Perolehan remitansi yang terus meningkat dari tahun 1999 hingga tahun 2002, mengalami penurunan pada tahun 2003 sekitar 29 menjadi sekitar
1,49 milyar US , dikarenakan terjadinya penurunan sekitar 39 jumlah TKI yang dikirim ke luar negeri tahun 2003 dibandingkan pengiriman TKI pada tahun 2002.
27
Manfaat yang luar biasa bagi pengembangan ekonomi di dalam negeri telah diberikan oleh penempatan TKI ke luar negeri tersebut. Pengiriman para TKI ke luar
negeri bagaikan pahlawan devisa. Meski tidak secara signifikan telah mengurangi barisan pengangguran yang terus meningkat jumlahnya di negeri ini dari waktu ke
waktu. Berbagai sektor lain seperti maskapai penerbangan juga seharusnya berterima kasih kepada para TKI tersebut. Ribuan orang TKI yang berangkat ke luar negeri
seperti: negara Timur Tengah, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, terkadang sampai dicarterkan pesawat oleh PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia untuk mengirim mereka ke negara tujuan. Meski tidak meminta tambahan biaya jasa langsung kepada calon TKI, namun perusahaan mendapat marjin memotong
gaji mereka selama beberapa bulan pertama sedikitnya 3 hingga 6 bulan. Sementara itu, meski berbagai potongan dan pemungutan terhadap TKI terus
berlangsung, namun aturan yang dijadikan pedoman belum jelas. Hampir seluruh PJTKI melakukan pemungutan biaya rekruitmen yang diterima dari agen di luar negeri
ditetapkan sebesar 700 AS untuk kawasan Timur Tengah, 200 AS sebagai deposito jaminan yang langsung ditransfer ke rekening Depnakertrans di Bank Mandiri, sisanya
27
Dit. Pemberdayaan TKLN, Depnakertrans
.
35 untuk biaya-biaya lain termasuk transportasi. Menurut I. R Bahasuan
28
, sejak tahun 1999, setiap bulan dana deposito yang terkumpul mencapai 3 juta AS per bulan dari
penempatan sebanyak 13.000 TKI khusus ke Arab Saudi. Soeramsihono
29
menjelaskan bahwa perputaran uang yang luar biasa dari bisnis penempatan TKI ke luar negeri dapat dijelaskan dari remitansi atau uang yang dikirim
oleh sekitar 1,3 juta orang TKI di Bank dan kantor pos di daerah asal masing-masing mencapai 3,1 milyar AS. Bila kurs 1 AS adalah sekitar Rp.10.000,- maka dana yang
masuk ke Indonesia, terutama daerah penghasil TKI Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, NTT, akan mencapai Rp 3 trilyun lebih. Sungguh suatu jumlah yang sangat fantastik
bila dipandang dari asal perolehannya yaitu hanya dari sektor PRT, dan sangat menggiurkan, sehingga sanggup memancing banyak pihak untuk terjun ke bisnis
tersebut. Sebagai perbandingan lain, remitansi yang dikirim tahun 1990 sekitar 1,2 milyar AS, yang meningkat 3 milyar AS pada tahun 2000.
Menyikapi derasnya arus TKI yang bekerja ke luar negeri mendorong pemerintah untuk menargetkan devisa dari remitans sebesar 5 milyar AS sampai tahun
2005. Hal ini didasari dengan memproyeksikan penerimaan tahun 1990 sebesar 1,2 milyar AS dari pengiriman sekitar 178.000 TKI ke luar negeri. Angka tersebut belum
termasuk raibnya uang mereka yang merupakan ”pendapatan sampingan” oleh oknum aparat terkait baik saat tiba di bandara di tanah air maupun saat proses pemulangan ke
desa asal, serta saat penukaran uang tunai dalam bentuk valuta asing yang mereka bawa pulang. Kondisi ini menyebabkan pihak Depnakertrans berencana untuk mengambil alih
proses pemulangan TKI dari bandara sampai ke desa asal mereka guna memberi perlindungan keamanan dan rasa nyaman terhadap para TKI tersebut.
Di samping penanganan remitans dari para TKI tersebut, pihak pemerintah hendaknya lebih serius menangani dan mampu memberi perlindungan bagi hak-hak
mereka dalam suatu program kebijakan atau suatu bentuk peraturanundang-undang. Peraturan yang disusun tersebut hendaknya sejak awal pengurusan administrasi
pemberangkatan, jaminan keselamatan dan kesejahteraan mereka selama bekerja di luar
28
Ketua Badan Otonom BO.
29
Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri PPTKLN
36 negeri, hingga kepulangan ke desa asal mereka. Peraturan tersebut suatu peraturan
kebijakan yang berpihak, yang layak mereka peroleh mengingat besarnya pengorbanan dan resiko yang telah mereka hadapi selama bekerja di luar negeri.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian mencakup dua aspek pokok, yaitu: pertama: mengkaji peran remitansi bekerja dari luar negeri TKI dan diversifikasi usaha rumah
tangga sebagai potensi dan peluang perbaikan dan peningkatan perolehan pendapatan di pedesaan. Kedua: pendekatan umum penelitian dengan model deskriptif terkait dinamika
struktur kesempatan kerja yang mengacu pada pemikiran adanya kesamaan orientasi dan fokus dengan mempertimbangkan keunggulan kompetitif lokal dalam pengembangan
perilaku ekonomi ketenagakerjaan. Keterbatasan pengetahuan, modal usaha, ketrampilan, dan lainnya, menyebabkan
petani hanya mampu mengusahakan single commodity terutama tanaman secara subsisten. Salah satunya diindikasikan dari sebagian besar penduduk miskin berdomisili
di daerah pedesaan yang menggantungkan matapencaharian utama dari sektor pertanian. Petani seperti ini umumnya dicirikan oleh sangat terbatasnya penguasaan sumberdaya,
tingkat pendidikan yang rendah, bahkan miskin secara ekonomi.
30
Sebenarnya, selama ini petani di Indonesia secara sederhana telah melakukan sistem diversifikasi usahatani.
Di samping usahatani, dalam waktu bersamaan mereka juga membudidayakan ternak. Kotoran ternak dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik tanaman, dan limbah
tanaman hijauan digunakan menjadi pasokan pakan ternak hubungan sinergis. Ternak juga berfungsi sebagai tabungan dan tenaga kerja dalam pengolahan
lahan untuk persiapan usahatani. Petani harus mencari sumber pendapatan lain di luar sub-sektor usahatani, seperti: berburuh tani, menyewakan lahan, dan menyewakan alat
pertanian off-farm; maupun usaha non-farm seperti: PRT, TKI, ojek, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat dan sering
30
Singh 2002.
37 tidak dapat dicukupi hanya dari berusahatani. Secara sederhana, kerangka pemikiran
disajikan dalam bagan berikut:
Bagan 3: Pendekatan Umum Hubungan Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dengan Pendapatan di Pedesaan
Terbatasnya penguasaan dan pengusahaan sumberdaya, sangat menggantungkan kehidupan pada usahatani, tingkat pendidikan, rendahnya akses sumber modal, dan
rendahnya penerapan adop teknologi. Kondisi ini menunjukkan keterbatasan tergolong miskin secara ekonomi yang melekat pada sebagian besar petani. Keadaan
ini mengakibatkan rendahnya produktivitas sumberdaya dan pendapatan rumahtangga di pedesaan. Di sisi lain, terdapatnya diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan sebagai
peluang memperoleh kerja, baik melalui usahatani terpadu perbaikan efisiensi usahatani, maupun di luar usahatani sendiri. Diversifikasi usaha rumahtangga adalah
sebagai upaya memperoleh tambahan pendapatanrumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar yang semakin meningkat.
Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga
Di Pedesaan
Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Di Pedesaan
multi usahatani, buruh tani, penyewaan asset produksi petani, usaha industri dan
jasa lain, dagang, TKI, PRT, pemulung, dll
Bekerja di Luar Negeri TKI
-. Prospek kebijakan TKI ke luar negeri. -. Dinamika dan prospek kesempatan kerja.
-. Struktur dan respon TK dalam usahatani. -. Tingkat Upah.
Rumah Tangga:
Di pedesaan lokal keterbatasan aset produksi,
pendidikan, ketrampilan, modal, dll
38
METODE PENELITIAN
Jenis dan Analisis Data
Data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden, sedang data sekunder diperoleh dari berbagai
instansi yang terkait dengan penelitian ini. Jenis data primer yang dibutuhkan, antara lain terdiri dari:
1. Karakteristik rumahtangga jumlah anggota rumahtangga yang terlibat, pendidikan, anggota keluarga yang bekerja, jenis pekerjaan masing-masing, dll.
2. Tingkat pendapatan dari diversifikasi usaha masing-masing sub-sektor. 3. Skalaluas penguasaan aset produksi lahan, ternak, alsintan, dsb.
4. Pengusahaan dan sistem usahatani yang dilakukan petani jenis komoditas, pola usahatani, adopsi teknologi yang dilakukan, dll.
5. Peran penghasilan TKI terhadap pendapatan ekonomi dan kondisi fisik dan non-fisik rumahtangga petani.
6. Komposisi tingkat pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. 7. Permasalahan kendala yang dihadapi dalam usahatani dan luar usahatani.
8. Data dan informasi lainnya yang dianggap relevan. Jenis data sekunder yang dibutuhkan, antara lain:
1. Peran sektor pertanian terhadap PDRB. 2. Kependudukan demografi.
3. Tataguna lahan di lokasi. 4. Komoditas unggulan daerah, dan program daerah terkait pengembangan sistem
usahatani komoditas unggulan tersebut. 5. Kondisi sarana dan prasarana infrastruktur, dan program daerah terkait
dengannya sebagai pendukung pertanian. 6. Data distribusi negara tujuan TKI.
7. Data remitansi TKI diperoleh dari instansi terkait dan literatur pendukung. 8. Data dan informasi lainnya yang dianggap relevan.
39
Pemilihan Responden
Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebagai representasi agro-ekosistem sawah tadah hujan, dan kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat untuk
mewakili responden petani dengan agro-ekosistem rawa pasang surut. Alasan pemilihan lokasi adalah didasarkan atas keterbatasan secara fisik atau kemarginalan
lahan sawah tadah hujan dan lahan pasang surut, yang mengindikasikan terdapatnya diversifikasi usaha rumahtangga. Ketersediaan data petani yang ada turut mendukung
sehingga hasil pengkajian yang dilakukan dapat lebih qualified dan lebih bermanfaat. Penelitian ini akan difokuskan pada peran dan peluang TKI melalui remitans
yang dihasilkannya terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan, yang dilakukan petani contoh. Strategi
yang dipilih adalah dengan melakukan survai turun lapang terhadap 60 rumahtangga petani contoh di empat desa di dua kabupaten tersebut, masing-masing 30 rumahtangga
petani di Indramayu dan 30 rumahtangga petani di Pontianak. Penentuan keenam puluh rumahtangga petani sebagai responden contoh adalah didasari maksud untuk
menggambarkan kondisi dan mobilitas rumahtangga petani yang berperan sebagai TKI. Strategi survai sebagai upaya menangkap fenomena berkembangnya minat rumahtangga
contoh menjadi TKI. Di samping itu, ditemukan berbagai usaha sebagai diversifikasi usaha rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga petani contoh.
Ke enam puluh rumahtangga petani responden dipilih dengan metode pemilihan contoh secara acak sederhana random sampling. Pengumpulan data primer diperoleh
melalui wawancara interaktif terhadap para responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang fleksibel sebagai alat bantu lapang. Di samping itu, agar pengkajian
yang dilakukan lebih terarah dan tidak terpengaruh oleh temuan-temuan lapang yang dianggap tidak berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Responden lain yang akan
dikunjungi direncanakan terdiri atas instansi terkait, petani produsen, pelaku agribisnis, dan informan kunci terkait lainnya, namun semuanya terpulang pada kondisi di lapang,
jadi bersifat fleksibel dan tidak kaku.
40
Spesifikasi Alat Analisis
Data dan informasi yang diperoleh dikaji dan ditabulasi, serta akan dilakukan deskripsi yang relevan. Untuk mengukur diversifikasi usaha rumahtangga, analisis
dilakukan dengan menggunakan indeks Entropy.
1
Tingkat pendapatan usahatani, perimbangan penerimaan dengan biaya RC, merupakan indikator yang digunakan
dalam mengevaluasi sistem usahatani, dengan menggunakan analisis finansial usahatani. Juga akan dilakukan perhitungan rasio pengusahaan dan penguasaan sumberdaya dan
intensitas tanam. Hasil analisis usahatani digunakan untuk mengevaluasi kontribusi pendapatan
usahatani terhadap pendapatan rumahtangga. Untuk mengukur relasi antara penguasaan sumberdaya, tingkat pendidikan, dan pendapatan rumahtangga terhadap diversifikasi
usaha rumahtangga, digunakan analisis korelasi, yang akan dikaji untuk mendeskripsikan peluang kesempatan kerja dan berusaha rumahtangga di pedesaan.
Indeks Entropy
Secara matematis, indeks Entropy dapat dirumuskan sebagai berikut:
n
Є = -
Σ
ρ
i
Ln ρ
i
1
i=1
ρ
i
= l
i
L
2 Dimana:
Є = indeks Entropy. ρ
i
= proporsi tenaga kerja rumahtangga yang bekerja pada jenis usaha ke-i, terhadap seluruh anggota rumahtangga yang bekerja pada semua sektor.
l
i
= jumlah tenaga kerja rumahtangga yang bekerja pada jenis usaha ke-i.
L = total anggota rumahtangga yang bekerja di semua jenis pekerjaan. n
= banyaknya jenis usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Makin tinggi indeks Entropy makin beragam diversifikasi usaha yang dilakukan oleh
anggota rumahtangga di pedesaan.
1
Dari Theil and Finke 1983.
41
Analisis Usahatani
Untuk menganalisis efisiensi usahatani, maka indikator-indikator yang digunakan adalah pendapatan bersih usahatani ¥, RC, rasio pengusahaan lahan Ф, dan intensitas
tanam IT, dengan rumusan sebagai berikut:
¥ = TR − TC 3 RC = TRTC
4
Ф = LULT 5
n pop-akt
i
IT
= -
Σ
6
i=1
pop-nor
i
Dimana: ¥ = keuntungan bersih usahatani. TR
= total penerimaan = produksi x harga, dalam Rpunit usahatani.
TC = total biaya dalam Rpunit usaha.
RC
= revenue-cost ratio.
Ф = rasio pengusahaan terhadap penguasaan lahan. LU = lahan yang diusahai.
LT = lahan yang dikuasai.
pop-akt
i
= populasi aktual tanaman ke-i, pada satuan luas tertentu. pop-nor
i
= populasi normal tanaman ke-i, pada satuan luas tertentu.
Analisis Korelasi
Analisis korelasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
r
=
n
Σ
XY −
Σ
X
Σ
Y
7
√ {
Σ
X − X
}
2
{
n
Σ
Y
2
−
Σ
Y
2
}
Dimana: r = koefisien korelasi. n = banyak sampel pengamatan.
X = peubah lain luas lahan, pendidikan, dan pendapatan. Y = indeks diversifikasi usaha sama dengan
Є.
42
Waktu Penelitian
Proses penyusunan proposal sebagai rencana penelitian tesis dilakukan peneliti bulan Oktober-Desember 2005, dengan mengamati dan membandingkan rumahtangga di
beberapa daerah terutama yang memiliki tenaga kerja sebagai TKI. Survai lapang dilakukan bulan April-Juni 2006. Dalam dan proses penulisan tesis, peneliti melakukan
survai lapang kembali bulan Agustus 2006. Survai tersebut bertujuan melakukan pendalaman materi dan informasi, klarifikasi dan validasi data, serta melengkapi
berbagai data, informasi, dan literatur lain dalam proses penyempurnaan penulisan akhir. Seluruh kegiatan dikemukakan secara rinci dalam jadwal palang berikut:
Jadwal Palang
Uraian Kegiatan
Tahun 2005, Bulan ke
Tahun 2006, Bulan ke
Tahun 2007,
Bln 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
Pengamatan untuk penentuan lokasi penelitian.
Penyusunan rancangan proposal penelitian
Kolokium, perbaikan proposal penelitian,
konsultasi dengan komisi pembimbing
Survei lapang Analisis temuan lapang,
penulisan, konsultasi dengan komisi pembimbing
Klarifikasi kepada responden dan narasumber
Penyempurnaan analisis, perbaikan penulisan.
Penulisan draft tesis dan penyusunan makalah
seminar, konsultasi dengan komisi pembimbing
Seminar hasil
penelitian tesis
Perbaikan tesis, penyusunan draft ujian akhir, konsultasi
dengan komisi pembimbing. Ujian
akhir Penyempurnaan penulisan
akhir tesis, konsultasi dengan komisi pembimbing.
43
KARAKTERISTIK LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN
a. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat