kebutuhan perempuan dan anak perempuan korban trafficking yang berasal dari Provinsi Lampung.
B. Rumusan Masalah Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik perempuan korban trafficking serta kondisi
lingkungan sosialnya? 2.
Bagaimanakah modus operasi trafficking perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang digunakan oleh traffickers
dan bentuk bantuan sosial psikologis penangan korban ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan
penelitian ini adalah : 1.
Untuk memperoleh karakteristik perempuan korban trafficking serta gambaran kondisi lingkungan sosialnya.
2. Untuk memperoleh gambaran tentang modus operasi trafficking
perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial yang sering digunakan oleh traffickers dalam menjerat korbannya.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang trafficking perempuan sebagai pekerja seks diharapkan
memiliki kegunaan, secara praktis, untuk menambah atau memulai dilakukan
diskursuswacana trafficking perempuan dengan perspektif sosiologis psikologis yang menekankan pada kebutuhan korban yang hingga kini belum begitu banyak
dilakukan oleh para akademisi, maupun pengamat masalah sosial. Adapun kegunaan lainnya, secara strategis, di antaranya sebagai masukan dalam
penyusunan program maupun kegiatan sehingga pemerintah memiliki formula contents, structure, culture anti trafficking agar Indonesia dapat memenuhi
standar penanganan trafficking seperti yang ada dalam The Trafficking Victim Protection Act of 2000 dan juga dapat merubah tingkatannya, saat ini ada pada
tingkkatan tier 3, kelompok negara-negara yang tidak memiliki program atau kebijakan penanganan dan perlawanan terhadap trafficking.
II . TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perdagangan Manusia Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Mencegah, Menanggulangi dan
Menghukum Trafficking Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak Perempuan 2000 membatasi pengertian Trafficking sebagai:
―Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan
cara menculik, menipu, memperdaya termasuk membujuk dan mengiming- imingi korban, menyalahgunakan kekuasaanwewenang atau memanfaatkan
ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan dan tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan memberikan atau menerima
pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan ijinpersetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang atas diri korban, dengan tujuan
untuk mengisap dan memeras tenaga mengeksploitasi korban‖. Eksploitasi mencakup, sedikitnya, eksploitasi prostitusi atau bentuk-bentuk
eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan atau praktik -praktik sejenisnya, perhambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.
Kunci dari protokol tersebut adalah :
Menjelaskan tentang perdagangan manusia sebagai sesuatu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditandai dengan maksud untuk menipu dan
mengeksploitasi.
Memperluas jarak aksi dengan mempertimbangkan bagian dari proses perdagangan
manusia meliputi
proses perekrutan,
pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan manusia pada akhir
kebiasaannya.
Menunjuk cakupan yang luas dari makna-makna yang digunakan, dari paksaan yang kasar sampai dengan bujukan yang halus yang menjadi modal
untuk mencapai persetujuan.
Membuat persetujuan untuk eksploitasi dengan tujuan yang berhubungan, dimana maksud setiap maksud-maksud rancangan digunakan di dalam
definisi.
Pengakuan bahwa laki-laki juga termasuk korban perdagangan manusia, walaupun menitik beratkan perdagangan manusia tersebut kepada perempuan
dan anak-anak
Mengenali batas-batas tujuan perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi sex.
Mengandung hak-hak dasar dan perlindungan sosial, ekonomi, politik, dan ukuran-ukuran yang sah untuk mencegah perdagangan manusia, melindungi,
membantu, dan mengembalikan korban ke dalam masyarakat dan untuk menghukum pelaku perdagangan manusia dan kejahatan yang berhubungan
dengan perdagangan manusia; dan merupakan panggilan untuk suatu
kerjasama internasional untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia.
1. Bentuk dan Modus Operasi serta Pelaku Perdagangan Perempuan
Dari hasil pemetaan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan 2001 setidaknya ada tujuh bentuk perdagangan perempuan
yang terjadi di Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Perempuan- perempuan tersebut diperdagangkan sebagai:
1. Pekerja domestik
2. Pengemis
3. Pengedar napza obat adiktif
4. Pekerja nondomestik dengan kondisi kerja yang sangat buruk
5. Pekerja seks
6. Pemuas pedofil
7. Pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional
Menurut Global Alliance Against Traffic in Women 2000 bentuk-bentuk perdagangan perempuan dapat diidentifikasikan menurut jenis pekerjaan, yaitu:
1. Perdagangan perempuan sebagai pekerja seks;
2. Perdagangan perempuan untuk pekerja domestik;
3. Perdagangan perempuan untuk perkawinan mail bride order;
4. Perdagangan perempuan untuk kerja paksa;
5. Perdagangan perempuan untuk mengemis.
Modus operasi yang sering digunakan untuk memperoleh sasarannya dengan 1 menyebar agen-agen mereka berkedok jasa tenaga kerja atau entertainment
untuk mencari anak-anak perempuan yang berasal dari kalangan miskin dan anak- anak perempuan yang ingin mencari pekerjaan, 2 memacari atau menikahi untuk
kemudian anak-anak perempuan tersebut mereka jual dengan mendapatkan untung yang berlipat, dan 3 merayu, menjanjikan berbagai kesenangan dan
kemewahan, menipu, menjebak, membohongi, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, menculik, menyekap, memperkosa.
Menurut Ruth Rosenberg 2003:23, pelaku perdagangan perempuan dan anak
perempuan adalah 1 Agen Perekrut Tenaga Kerja; 2 Agencalo; 3 Pemerintah; 4 Majikan; 5 Pemilik dan Pengelola Rumah Bordir; 6 Calo
Pernikahan; 7 Orang Tua dan Sanak Saudara; 8 Suami.
2. Situasi dan Kondisi Perempuan Diperdagangkan
Berdasarkan penelitian Pelapor Khusus PBB 2000 teridentifikasi situasi yang
menyebabkan terjadinya perempuan diperdagangkan, yaitu: 1.
Kelompok pertama mencakup perempuan yang ditipu mentah-mentah dan dipaksa dengan kekerasan. Perempuan tersebut tidak tahu sama sekali ke
mana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan mereka lakukan. 2.
Kelompok kedua terdiri atas perempuan yang diberitahu separuh kebenaran oleh orang yang merekrut mereka mengenai pekerjaan yang
akan dilakukan dan kemudian dipaksa bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak mereka setujui dan mereka hanya mempunyai sedikit atau tidak sama
sekali pilihan lainnya. Baik gerak dan kekuasan mereka untuk mengubah situasi mereka sangat dibatasi oleh jeratan hutang dan penyitaan dokumen
perjalanan atau paspor mereka.
3. Kelompok ketiga adalah perempuan yang mendapat informasi mengenai
jenis pekerjaan yang akan mereka lakukan. Walaupun mereka tidak mau mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya pilihan
ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan, dan karena itu mempercayakan kendali pada pedagang yang mengeksploitasi kerentanan ekonomi dan
hukum mereka untuk keuntungan uang, sementara mereka dipertahankan, sering berlawanan dengan keinginan mereka, dalam jeratan hutang.
4. Kelompok keempat terdiri atas perempuan yang mendapat informasi
sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan, tidak keberatan untuk mengerjakannya, memiliki kendali atas keuangan mereka,
secara relatif gerakannya tidak terbatas. Kelompok keempat adalah satu- satunya dari keempat situasi di atas yang tidak dapat digolongkan sebagai
perdagangan perempuan.
Berdasarkan situasi di atas dapat dinyatakan bahwa perubahan hakikat pengalaman perempuan yang berpindah dan yang dipindahkan dimana status
perempuan seringkali tidak tetap, posisi mereka dapat berubah diantara keempat kategori itu. Sepanjang perpindahan mereka, terlepas dari bagaimana, mengapa
atau di mana mereka pindah, perempuan dihadapkan pada begitu banyak bentuk kekerasan.
Kekerasan dan ancaman kekerasan merupakan bentuk-bentuk paksaan dengan
kekerasan yang biasa muncul seperti perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual sering digunakan untuk mematahkan perempuan yang diperdagangkan
secara fisik, mental, dan emosional dan untuk mendapatkan kerelaan yang terpaksa dalam situasi kerja paksa dan praktik seperti perbudakan lainya.
3. Penyebab Terjadinya Perdagangan Perempuan
Hasil penelitian Suyanto 2001 menunjukkan bahwa kasus perdagangan
perempuan disebabkan beberapa faktor, di antaranya 1 perdagangan perempuan dan anak perempuan merupakan salah satu kegiatan shadow economy ekonomi
bayangan yang menghasilkan keuntungan yang terbesar di antara kegiatan shadow economy lainnya, seperti perdagangan senjata dan narkoba; 2 sering
dijadikan sebagai perangkap pengaruh narkoba yang sengaja dipasang para mucikari untuk menciptakan kondisi ketergantungan para korban; 3 di samping
adanya dukungan oknum-oknum aparat yang bertindak sebagai beking, sebagai pelindung atau bahkan merangkap pemilik; 4 sebagai dampak dari model
penanganan aparat yang bersifat kuratif dari pada preventif; dan 5 aparat cenderung lebih baik mengurus tindak kejahatan lain yang dinilai lebih mendesak
seperti curanmor, unjuk rasa, penodongan, dan lain-lain. Aparat penegak hukum memiliki kontribusi yang besar terhadap banyaknya kasus
perdagangan anak perempuan dikarenakan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus perdagangan anak perempuan dirasakan kurang profesional
seperti yang dilaporkan oleh ILO 2001, yakni: aparat penegak hukum tidak melihat perdagangan anak sebagai masalah dan tidak mengetahui kasus
perdagangan anak, tidak secara efektif mengawasi dan memonitor para anggotanya yang terlibat dalam kejahatan yang terorganisir, keterlibatannya dalam
kegiatan-kegiatan illegal merupakan strategi untuk bertahan hidup.
4. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perdagangan
Menurut Ruth Rosenberg 2003:24, faktor-faktor yang membuat perempuan dan
anak semakin rentan terhadap perdagangan yaitu, kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, peran perempuan dalam keluarga, status dan kekuasaan, peran anak
dalam keluarga, asal mula buruh ijon, pernikahan dini, kebijakan dan undang- undang yang bias gender, korupsi.
Perempuan dan anak perempuan lebih rentan menjadi korban perdagangan
manusia karena :
Tabel 1. Faktor-faktor yang menyebabkan perdagangan
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Permintaan
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Pensuplai-an
Perempuan merasa cocok untuk berkerja sebagai tenaga kerja
produksi yang intensif dan bekerja di sektor informal
tumbuh yang memiliki ciri upah yang rendah, kepegawaian yang
biasa, kondisi kerja yang berbahaya dan tidak adanya
mekanisme penawaran secara kolektif;
Permintaan yang meningkat atas
Hak pendidikan yang tidak seimbang yang membatasi
kesempatan perempuan untuk meningkatkan pendapatan mereka
dari pekerjaan yang lebih baik;
Kurangnya legitimasi dan pemenuhan kesempatan bekerja
khususnya bagi komunitas pinggiran;
Kebijakan migrasi selektif berdasarkan jenis kelamin dan
pekerja asing untuk pekerjaan domestik dan peranan pemberi
perawatan, dan sedikitnya peraturan yang kuat untuk
mendukung; Pertumbuhan industri seks dan
hiburan yang bernilai jutaan dollar, yang ditolerir sebagai
―kepentingan setan‖; sementara perempuan dalam prostitusi
dianggap sebagai kriminal dan didiskriminasikan.
Risiko yang kecil dan keuntungan yang besar dari
perdagangan manusia yang didorong oleh sedikitnya
keinginan agensi untuk menghukum pelaku
perdagangan manusia yang termasuk pemilikmanajer
ditempat kejadian perdagangan manusia
Kemampuan untuk mengendalikan dan
kebijakanhukum yang mengekang, yang sering
dilembagakan sebagai tindakan ―perlindungan‖, yang membatasi
legitimasi migrasi perempuan. Kebanyakan saluran migrasi yang
legal menawarkan kesempatan dalam sektor yang biasanya
didominasi oleh laki-laki konstruksi dan pekerjaan di
bidang agrikultur;
Sedikitnya akses informasi mengenai kesempatan
migrasikerja, saluran perekrutan, dan tingginya tingkat ke
tidaksadaran risiko untuk bermigrasi dibanding dengan laki-
laki
Gangguan sistem pendukung oleh karena alam dan kekacauan yang
diciptakan oleh manusia; dan
Perilaku komunitas dan praktek- praktek, yang mentolerir
memanipulasi perempuan Sedikitnya akses untuk
memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku
perdagangan manusia atau pengobatan untuk korban
perdagangan manusia; dan Devaluasi hak-hak asasi
perempuan dan anak-anak kekerasan terhadap perempuan
5. Rute Perdagangan Perempuan
Rute perdagangan manusia mengikuti perjalanan migrasi: perpindahan secara
tradisional bergerak dari Selatan ke Utara. Namun, kecenderungan modern memperlihatkan bahwa perdagangan juga terjadi di dalam wilayah-wilayah
maupun di dalam negara-negara. Seperti rute migrasi, rute perdagangan dan negara asal, transit dan tujuan, bisa dengan cepat berubah karena perubahan
politik dan ekonomi. Hasil Sidang Umum PBB tahun 1994 mendefinisikan bahwa:
1. Negara asal : Negara di mana perempuan itu tinggal sebelum ia bermigrasi
atau diperdagangkan. 2.
Negara transit : Negara yang dikunjungi selama perjalanan dari negara asal ke negara tujuan, seringkali dengan tujuan memperoleh dokumen
perjalanan, dokumen perkawinan atau visa.
3. Negara tujuan : Negara di mana orang itu tinggal setelah ia menikah
atau diperdagangkan.
Pelapor Khusus PBB 2000 ingin menyoroti negara-negara berikut, yang menjadi perhatiannya sebagai negara asal danatau negara tujuan. Namun, ini
bukanlah daftar lengkap dari negara-negara atau wilayah-wilayah asal atau tujuan. Negara atau wilayah asal: Afganistan, Albania, Banglades, Belarusia, Bulgaria,
Kamboja, Cina, Colombia, Kroasia, Hongaria, India, Indonesia, Yamaica, Kosovo, Latvia, Lithuania, Meksiko, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina,
Polandia, Rusia, Rumania, Slovakia, Thailand, Ukraina, negara-negara bekas Uni Soviet, Vietnam.
Negara atau wilayah tujuan: Austria, Australia, Belgia, Canada, Cina termasuk
Hong kong dan Macao, Cyprus, Dubai, Republik Federasi Yugoslavia, Yunani, Jerman, Hongaria, India, Israel, Italia, Jepang, Malaysia, Belanda, Pakistan,
Polandia, Saudi Arabia, Singapura, Spanyol, Swiss, Taiwan, Thailand, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Emirat Arab.
Namun, perdagangan ini tidak selalu melibatkan perlintasan perbatasan
internasional. Perdagagangan internal terjadi di sebagian besar negara-negara atau wilayah-wilayah tersebut. Di Indonesia, daerah-daerah yang biasanya dijadikan
sebagai daerah asal, daerah tujuan, dan daerah transit. Selain itu, perdagangan tidaklah stagnan. Rute perdagangan terus saja berubah.
B. Masalah dalam Penanganan Perdagangan Perempuan
Upaya penanganan perdagangan perempuan menurut Mansour Fakih 1998 tidak
terlepas dari sejarah perkembangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jender telah menciptakan suatu hubungan yang tidak adil, menindas,
serta mendominasi antara jenis kelamin tersebut. Manifestasi ketidakadilan jender yang dapat muncul dalam bentuk kekerasan kerja terhadap perempuan, salah
satunya adalah pelacuran, yang merupakan suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan selama tidak diakui sebagai suatu profesi kerja yang sama
dengan profesi kerja lainnya. Perempuan korban perdagangan selalu dirugikan karena pola penanganan perempuan korban perdagangan ditempatkan sebagai
―korban‖ atau pelaku tindak kriminal karena kegiatan seksual komersilnya Irwanto, 2002.
Irwin Leslie Magryta 1993 mengungkapkan masalah umum yang dialami
perempuan korban perdagangan dalam penanganan kasusnya, seperti:
Penyuapan perempuan korban, saksi, atau petugas hukum oleh pedagang.
Proses persidangan yang panjang akan menambah tekanan pada si perempuan. Memberikan peluang yang luas bagi pedagang manusia untuk
mengintimidasi saksi, perempuan korban dan keluarga.
Hilangnya saksi jika persidangan terlalu lama.
Pedagang manusia menyewa pengacara dengan kemampuan yang sangat baik namun tidak bermoral.
Tidak adanya belas kasihan dari pihak penguasa, yang melihat para
perempuan korban sebagai penjahat atau migran gelap. Dalam beberapa
kasus, perempuan korban perdagangan yang mengajukan tuntutan sering dikenai tahanan kerena status keimigrasian mereka. Sedangkan lainnya,
banyak yang langsung dideportasi dan tidak mempunyai kesanggupan untuk mengajukan gugatan hukum Pertemuan Stockholm 1996 dan
Yokohama 2001 sepakat bahwa anak- anak adalah ―korban‖ – bukan
pelaku kejahatan. Di Thailand, Kamboja, Filipina dan bahkan AS telah merumuskan UU yang mengakui bahwa individu yang berusia di bawah
18 tahun dan terlibat dalam trafficking dianggap sebagai korban dan diperlakukan seperti layaknya korban dengan berbagai entitlements atau
pelayanan-pelayanan medis dan lain-lain yang seharusnya diterima oleh korban.
Aparat penegak hukum seperti polisi tidak mengerti tentang undang-
undang terkait undang-undang perdagangan manusia, perburuhan, imigrasi, perlindungan anak, dan lain-lain, yang dapat digunakan untuk
menjatuhkan hukuman kepada pedagang manusia.
Petugas berwenang mungkin frustasi dengan banyaknya jumlah gugatan, jaringan operasi perdagangan manusia yang besar, keengganan perempuan
untuk memberikan informasi yang sekaligus juga dianggap sebagai saksi yang paling dapat dipercaya. Mereka mungkin memilih untuk menangani
kasus yang dapat mengacu pada satu gugatan.
Tidak adanya kerja sama bilateral antarnegara yang terlibat.
Keterbatasan jangkauan hukum dan kebutuhan perubahan legislatif untuk hukuman yang lebih berat.
Kemungkinan tidak dilaksanakannya hukuman dan diperlukan
pengawasan.
Prosedur hukum yang tidak memihak perempuan
Prasangka kultural, rasial dan seksual oleh petugas.
C. Bentuk Bantuan Sosial Psikologis