Efektifitas EkstrakKulit Duku ( Lansiumdomesticum) Sebagai Insektisida Nabati Dalam Membunuh Nyamuk Aedesspp Tahun 2014

(1)

EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU ( Lansiumdomesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedesspp

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH :

IKA JUNI A.GINTING NIM. 101000188

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU ( Lansiumdomesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedesspp

TAHUN 2014

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

IKA JUNI A.GINTING NIM. 101000188

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

ABSTRAK

Nyamuk Aedes spp merupakan vektor berbagai penyakit yakni demam berdarah, filariasis, chikungunya, dan demam kuning. Pengendalian penyebaran penyakit dilakukan melalui pengendalian vektor penyakit tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis yang bersifat toksik pada manusia, sehingga diperlukan insektisida nabati yang lebih aman digunakan.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak kulit duku yaitu konsentrasi 0% ,konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dilakukan dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan selama 30 menit,jumlah nyamuk yang mati berbeda-beda pada masing-masing konsentrasi. Pada konsentrasi 0,5% mencapai kematian 42%, konsentrasi 1% mencapai kematian 56 %, konsentrasi 1,5% mencapai kematian 82% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.Untuk pengamatan selama 24 jam menunjukan hasil kematian untuk konsentrasi 0,5% mencapai kematian 44%, konsentrasi 1% mencapai kematian 62,konsentrasi 1,5% mencapai kematian 89% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah konsentrasi ekstrak kulit duku ( Lansium domesticum) yang paling cepat untuk membunuh nyamuk aedes spp adalah konsentrasi 1% dengan kematian nyamuk yang mencapai 60% dan dalam waktu pengamatan 30 menit.


(5)

ABSTRACT

Aedes spp is vectors of any diseases such as dengue, phylariasis, chikungunya

and yellow fever. Control of transmission of diseases is by control the vector of disease. One of efforts is by using toxic synthetic insecticide on human so it need the safe bio insecticide.

The method applied in this research is complete random sampling in which the experiment with 3 treatments and one control, the spraying with concentration of extract duku (Lansium domesticum) peel for concentration 0%, 05%. 1% and 1.5% by 3

repetition.

The result of research indicates that on the observation during 30 minutes, the number of dead mosquito is differed on each concentration. On concentration 0.5% the dead is 47%, concentration 1% is 60% dead, concentration 1.5% is 87% the death and on control with concentration 0% there is not the death of Aedesspp. For observation during 24 hours indicates that the death for concentration 0.5%, 1%, 1.5% and 0% is 47%, 67%, 95% and 0%, respectively.

The conclusion of this research is the concentration of duku (Lansium

domesticum) peel extract (Lansium domesticum) that kill the Aedes spp is concentration

of 1% with the death of mosquito is 60% in the observation for 30 minutes.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU (Lansium Domesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes spp TAHUN 2014.” Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk memperkaya materi skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. DR. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir.Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr.dr.Wirsal Hasan,MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Dra. Nurmaini,MKM,PhD selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ir. Indra Chahaya S,Msi selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan bimbingan saran, serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. dr. Devi Nuraini Santi,M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.


(7)

7. dr. Surya Dharma,MPH selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU. 8. Kak Dian serta seluruf Staf di FKM USU yang telah banyak membantu

dalam penyelesaian urusan administrasi.

9. Teristimewa untuk Kedua Orangtua saya tercinta R. Ginting dan S. Br Barus serta adik saya Rafinus Ginting yang telah memberikan dukungan doa, kasih sayang serta semangat dalam penyelesaian skripsi ini

10.Sahabat tersayang Juliana Elisabeth Nainggolan SKM,Netty Paska Laoli SKM dan Heditra Sitepu SE,terimakasih telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis

11.Terima kasih kepada kak Dian serta seluruh keluarga besar Kesehatan Lingkungan FKM USU

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Medan, Oktober 2015

Penulis

Ika Juni A.Ginting


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... ...iii

ABSTRAK ...iii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR GAMBAR...viii

DAFTAR ISTILAH...viii

RIWAYAT HIDUP ...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...4

1.3. Tujuan Penelitian...4

1.3.1. Tujuan Umum...4

1.3.2. Tujuan Khusus...4

1.4. Manfaat Penelitian...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1. Duku...6

2.1.1. Karakteristik Duku...6

2.1.2. Toksonomi Duku...6

2.1.3. Sifat dan Khasiat Tumbuhan Duku(L.domesticum)...7

2.1.4 Kandungan Kimia Kulit Buah Duku...7

2.2.Vektor Penyakit...12

2.3. Nyamuk Penular Peyakit DBD...15

2.4. Gambaran Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp...16

2.4.1. Asal Mula Aedes spp...16

2.4.2. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp...17

2.4.3. Morfologi Nyamuk Aedes spp...18

2.4.4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp...29

2.4.5. Perilaku Aedes spp...21


(9)

2.5. Insektisida...22

2.5.1.pembagian insektisida...22

2.5.1.1 Insektisida Nabati...25

2.5.1.2 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati...26

2.5.1.3 Larvasida...27

2.5.1.4 Repellent...29

2.4. Kerangka Konsep...30

BAB III METODE PENELITIAN...31

3.1. Jenis Penelitian...31

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...31

3.2.1. Lokasi Penelitian...31

3.2.2. Waktu Penelitian...31

3.3. Objek Penelitian...31

3.4. Metode Pengumpulan Data...32

3.5.1. Data Primer...32

3.5.2. Data Sekunder...32

3.5. Alat dan Bahan Penelitian...32

3.5.1. Alat Penelitian...32

3.5.2.Bahan Penelitian... ..33

3.6. Prosedur Penelitian... ..33

3.6.1.Penyediaan hewan uji dan sampel...33

3.7. Cara mendapatkan ekstrak kulit duku...33

3.8. Definisi oprasional...34

3.9. Cara Mendapatkan Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku...35

3.10. Cara melakukan percobaan...35

3.11. Analisis Data...36

BAB IV HASIL PENELITIAN...37

4.1.Pengaruh Perlakuan Ekstrak Kuli Duku (Lansium Domesticum)terhadap Kematian Nyamuk Aedes spp...37

4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)...37

4.1.2. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0,5%...37

4.1.3.Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1 %...38

4.1.4.Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%...39

4.1.5.Rata-rata Kematian Aedes spp Pada 4 Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum) Selama 30 Menit Waktu Pengamatan...39


(10)

4.1.6. Rata-rata Kematian Aedes spp Pada 4 Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum) Selama 24 Jam Waktu

Pengamatan...40

4.1.7.Jumlah Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada saat Lethal Dose 50 Tercapai setelah 30 Menit Pengamatan...40

4.2. Suhu Ruangan Penelitian...41

4.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian...42

BAB V PEMBAHASAN...43

5.1. Pengaruh Ekstrak kulit Duku (Lansium Domesticu) Terhadap kematian nyamuk Aedes spp...43

5.2. Suhu dan Kelembaban...46

5.2.1. Suhu...46

5.2.2. Kelembaban...46

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...48

6.1. Kesimpulan...48

6.2. Saran...48 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Kematian nyamuk Aedes spp Pada

Konsentrasi 0,5% ... 38 Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada

Konsentrasi 1 % ... 38 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada

konsentrasi 1,5 % ... 39 Tabel 4.4 Rata-rata dan Persentasi kematian nyamuk Aedes spp pada

Empat Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium

Domesticum ) Selama 30 Menit Waktu Pemgamatan ... 39 Tabel 4.4 Rata-rata dan Persentasi kematian nyamuk Aedes spp pada

Empat Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Duku (Lansium domesticum) ...6

Gambar 2.2. Struktur Kimia Triterpenoid...9

Gambar 2.3. Struktur Kimia Flavonoid...10

Gambar 2.4. Struktur Kimia Saponin...12


(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ika Juni Astaria Ginting

Tempat/ Tanggal Lahir : Tigajumpa/ 28 Juni 1991

Agama : Katholik

Status Perkawinan : Belum Menikah

Suku : Batak Karo

Jumlah Saudara : 2 orang

Nama Orang Tua : R. Ginting / S. Br Barus

Alamat Rumah : Suka Julu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri No. 040516 Tigajumpa : Tahun 1997- 2003 2. SMP Santa Maria Kabanjahe : Tahun 2003- 2006 3. SMA Santo Thomas 1 Medan : Tahun 2006-2009 4. Universitas Sumatera Utara : Tahun 2010- 2015


(14)

ABSTRAK

Nyamuk Aedes spp merupakan vektor berbagai penyakit yakni demam berdarah, filariasis, chikungunya, dan demam kuning. Pengendalian penyebaran penyakit dilakukan melalui pengendalian vektor penyakit tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis yang bersifat toksik pada manusia, sehingga diperlukan insektisida nabati yang lebih aman digunakan.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak kulit duku yaitu konsentrasi 0% ,konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dilakukan dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan selama 30 menit,jumlah nyamuk yang mati berbeda-beda pada masing-masing konsentrasi. Pada konsentrasi 0,5% mencapai kematian 42%, konsentrasi 1% mencapai kematian 56 %, konsentrasi 1,5% mencapai kematian 82% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.Untuk pengamatan selama 24 jam menunjukan hasil kematian untuk konsentrasi 0,5% mencapai kematian 44%, konsentrasi 1% mencapai kematian 62,konsentrasi 1,5% mencapai kematian 89% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah konsentrasi ekstrak kulit duku ( Lansium domesticum) yang paling cepat untuk membunuh nyamuk aedes spp adalah konsentrasi 1% dengan kematian nyamuk yang mencapai 60% dan dalam waktu pengamatan 30 menit.


(15)

ABSTRACT

Aedes spp is vectors of any diseases such as dengue, phylariasis, chikungunya

and yellow fever. Control of transmission of diseases is by control the vector of disease. One of efforts is by using toxic synthetic insecticide on human so it need the safe bio insecticide.

The method applied in this research is complete random sampling in which the experiment with 3 treatments and one control, the spraying with concentration of extract duku (Lansium domesticum) peel for concentration 0%, 05%. 1% and 1.5% by 3

repetition.

The result of research indicates that on the observation during 30 minutes, the number of dead mosquito is differed on each concentration. On concentration 0.5% the dead is 47%, concentration 1% is 60% dead, concentration 1.5% is 87% the death and on control with concentration 0% there is not the death of Aedesspp. For observation during 24 hours indicates that the death for concentration 0.5%, 1%, 1.5% and 0% is 47%, 67%, 95% and 0%, respectively.

The conclusion of this research is the concentration of duku (Lansium

domesticum) peel extract (Lansium domesticum) that kill the Aedes spp is concentration

of 1% with the death of mosquito is 60% in the observation for 30 minutes.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang dapat berakibat fatal dalam waktu yang relatif singkat.Penyakit ini susah dibedakan dari penyakit DBD lain.Penyakit ini dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun orang dewasa.(Hastuti,2008)

Penyakit ini tidak saja ditemukan di daerah perkotaan namun juga terdapat di daerah pedesaan. Cara penularan penyakit DBD terjadi secara propagatif yaitu virus dengue berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes spp. (Gandahusada,dkk,1998). WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat 50-100 juta penduduk dunia terinfeksi virus dengue, 500 ribu diantaranya membutuhkan perawatan intensif di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap tahun dilaporkan sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap 20 menit terdapat satu orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008).

Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi hingga tahun 2006 terjadi 188.684 kasus.Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat meskipun angka kematian dapat ditekan di bawah 1%.Infeksi DBD berada di semua negara di Asia Tenggara.Hingga tahun 2003, Thailand merupakan Negara dengan jumlah infeksi DBD terbanyak.Namun, sejak tahun 2004, posisi itu ditempati Indonesia hingga saat ini (Hadinegoro,2004).

Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1970.Di Jakarta kasus pertama


(17)

dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972) di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974, epidemic dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.Pada tahun 1994 DBD menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Saat ini, DBD sudah endemis di berbagai kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di perdesaan. (Hadinegoro, 2004)

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita.( Depkes RI,2014)

Untuk daerah Sumatera Utara angka kejadian DBD mengalami peningkatan dari Januari hingga September 2012, ditemukan sebanyak 3.060 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).Dari jumlah tersebut sebanyak 18 orang yang meninggal.(Dinkes Prov. Sumut, 2012).

Data Dinas Kesehatan Kota Medan menyatakan penderita DBD di kota Medan sejak Januari hingga Oktober tahun 2014 yakni sebanyak 1.077 pasien dan 9 orang meninggal dunia.Penderita DBD di kota Medan mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013, adapun total kasus yang ditemukan sejak Januari hingga Oktober 2014 mencapai 60 persen. (Dinkes Kota Medan,2014)

Cara yang tepat dalam pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pengendalian vektor nyamuk sebagai penular. Pengendalian vektor nyamuk


(18)

Aedes spp dapat dilakukan dengan cara menggunakan insektisida atau tanpa menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida yang berlebihan dan berulang dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu pencemaran lingkungan dan mungkin timbul keracunan pada manusia dan hewan. Untuk mengurangi efek samping dari bahan kimia maka perlu dikembangkan obat-obat penolak nyamuk dari bahan yang terdapat di alam yang lebih aman untuk manusia dan lingkungan, serta sumbernya tersedia dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan insektisida alami dalam pemberantasan vektor diharapkan mampu menurunkan kasus DBD. Selain itu karena terbuat dari bahan alami, maka diharapkan insektisida jenis ini akan lebih mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang.(Kardinan, 2004).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Mirnawaty dan Supriadi (2012), kulit duku mengandung flavonoid, saponin, dan triterpen (asam langsat/minyak atsiri).Efek kandungan tersebut bisa mempengaruhi syaraf pada nyamuk dan akibat yang ditimbulkannya adalah nyamuk mengalami kelabilan dan akhirnya mati.Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ekstrak kulit duku mempunyai kemampuan sebagai membunuh nyamuk Aedes spp agar dapat diperoleh suatu produk yang berguna bagi masyarakat yang dapat digunakan sebagai alternatif terbaik sebagai pengendalian penyebaran penyakit DBD.

Berdasarkan survei pendahuluan pada waktu musim buah duku, kulit duku banyak ditemukan disembarangan tempat.Oleh karena itu, kulit duku tersebut dapat dimanfaatkan kembali sebagai insektisida nabati.Keuntungan dalam


(19)

pemanfaatan kulit duku tersebut dapat memperoleh insektisida murah dan ramah lingkungan serta dapat memanfaatkan kembali sampah kulit duku.

1.2. Perumusan Masalah

Nyamuk Aedes spp dapat menyebabkan terjadinya penyakit DBD berdasarkan hal tesebut perlu dicari insektisida nabati yang dapat mengendalikan nyamuk Aedes spp, oeh karena ituperlu diteliti pengaruh ekstrak kulit duku (Lansium Domesticum) dalam pengendalian nyamuk Aedes spp dan pemanfaatan sampah kulit duku sebagai insektisida nabati.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektifitas ekstrak kulit duku(L. domesticum)sebagai insektisida nabati dalam membunuh nyamuk Aedes spp Tahun 2014

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes spp setelah di beri perlakuan disemprot dengan aquadest tanpa campuran ekstrak kulit duku(L. domesticum)sebagai kontrol dan diamati selama 30 menit.

2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kematian nyamuk Aedes spp setelah diberi perlakuan disemprot dengan ekstrak kulit duku (L. domesticum ) pada konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1%, konsentrasi 1,5%, diamati selama 30 menit.

3. Untuk mengetahui konsentrasi yang paling cepat mematikan nyamuk Aedes spp dari ekstrak kulit duku (Lansium Domesticum )


(20)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam memanfaatkan insektisida nabati yang aman dan mudah di dapat dalam upaya pengendali nyamuk Aedes spp.

2. Dapat digunakan sebagai insektisida alternatif, untuk mengurangi pemakaian insektida nabati dalam pengendalian nyamuk Aedes spp sehingga dampak negatif pemakaian insektisida dapat ditekan.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain, untuk melakukan penelitian sejenis mengingat begitu banyaknya tanaman yang bersifat larvasida. 4. Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan mahasiswa khususnya

mahasiswa kesehatan lingkungan tentang insektisida nabati yang berasal dari kulit duku.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Duku

2.1.1. Karakteristik Duku

Duku (L. domesticum) merupakan tanaman buah tropis bertipe iklim basah yang berasal dari Malaysia dan Indonesia (Kalimantan Timur).Dari negara asalnya, duku menyebar ke Vietnam,Myanmar, dan India. Nama lain yang sering digunakan untuk duku L. domesticum adalah Aglaila dooko atau Aglala domesticum (Corr). Duku merupakan tanaman hutan yang pohonnya menjulang tinggi hingga 30m.Tanaman ini tidak besar dan berkayu keras.( Sunarjono.2002)

Gambar 2.1 : Duku (L.domesticum)

2.1.2. Toksonomi Duku

Sistematika tumbuhan Duku adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Lansium


(22)

Species :L.domesticum Corr var. ( widyastuti, 2000)

2.1.3. Sifat dan Khasiat Tumbuhan Duku (L. domesticum )

Duku (L.domesticum) selain buahnya dapat dimakan, masyarakat juga menggunakan biji duku sebagai obat tradisional misalnya sebagai obat cacing dan demam yaitu dengan cara menumbuknya dan mencampurnya dengan air. Kayu pohom duku cukup keras untuk bahan bangunan.Kulit duku dikeringkan untuk obat nyamuk atau setanggi.Sementara babakan (kulit batang) dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu penyakit demam.( Sunarjono. 2002)

2.1.4.Kandungan Kimia Kulit Buah Duku

Kulit buah Duku banyak mengandung triterpenoid (asam lansat dan asam lansiolat), Flavonoid, dan saponin.

A. Triterpenoid

Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)─CH==CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut, 2 (C10), 3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8 (C40).

a. Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen. Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan. Rumus molekul terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid disebut juga dengan isoprenoid. Hal ini disebabkan karena kerangka karbonnya sama seperti senyawa isopren.


(23)

Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan dari unit isoprena, dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat mengandung ikatan rangkap, gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi lainnya.

b. Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Minyak atsiri berasal dari tumbuhan yang pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hydrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa teresbut adalah golongan terpenoid. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan campuran senyawa organic yang kadangkala terdiri dari lebih dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hydrogen atau karbon, hydrogen dan oksigen. Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap sehingga mudah dipisahkan dari bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuhan. Salah satu cara yang paling banyak digunakan adalah memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuhan adalah destilasi. Dimana, uap air dialirkan kedalam tumpukan jaringan tumbuhan sehingga minyak atsiri tersuling bersama-sama dengan uap air. Setelah pengembunan, minyak atsiri akan membentuk lapisan yang terpisah dari air yang selanjutnya dapat dikumpulkan. Minyak atsiri terdiri dari golongan terpenoid berupa monoterpenoid (atom C 10) dan seskuiterpenoid (atom C 15)


(24)

1. Sifat fisika dari terpenoid adalah :

2. Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap

3. Mempunyai bau yang khas 4. Indeks bias tinggi

5. Kebanyakan optik aktif 6. Kerapatan lebih kecil dari air

7. Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol Sifat Kimia 2. Sifat kimia

1.Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)

2.Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk enantiomer.

Gambar 2.2. Struktur Kimia Triterpenoid

B. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari,


(25)

bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu, dan biru . Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar. Flavnoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpn divakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola.

Flavonoid merupakan salah satu jenis golongan fenol dan banyak ditemukan di dalam tumbuhan. Secara biologis flavonoid memainkan peran penting dalam penyerbukan tanaman pada serangga. Namun, ada sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak serangga. Bila senyawa flavonoid masuk ke mulut serangga dapat mengakibatkan kelemahan pada saraf dan kerusakan pada spirakel sehingga serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati. Selain itu, sekolompok flavonoid yang berupa isoflavon juga memiliki efek pada reproduksi serangga, yakni menghambat proses pertumbuhan serangga. (Mirnawaty.2012).

Gambar 2.3. Struktur Kimia Flavonoid (Sastrohamidjojo. 1996)

C. Saponin

Saponin adalah sebuah kelas senyawa kimia, salah satu metabolit sekunder yang banyak ditemukan dalam sumber-sumber alam, dengan saponin ditemukan


(26)

dalam kelimpahan khusus dalam berbagai jenis tumbuhan. Khususnya, mereka glikosida amphipathic dikelompokkan fenomenologis oleh sabun-seperti berbusa yang mereka hasilkan ketika terguncang dalam larutan air, dan secara struktural oleh komposisi mereka satu atau lebih gugus hidrofilik glikosida dikombinasikan dengan triterpen lipofilik derivatif. contoh yang relevan adalah agen digoksin cardio-aktif, dari foxglove umum.

Saponin secara historis dipahami sebagai tanaman yang diturunkan, tetapi mereka juga telah diisolasi dari organisme laut. Saponin memiliki sifat seperti detergen sehingga dinilai mampu meningkatkan penetrasi zat toksin karena dapat melarutkan bahan lipofilik dalam air. Saponin juga dapat mengiritasi mukosa saluran pencernaan. Selain itu, saponin juga memiliki rasa pahit sehingga menurunkan nafsu makan larva kemudian larva akan mati kelaparan(Gunawan, 2004).

Saponin mempunyai efek yang kuat jika digunakan sebagai insektisida karena sifatnya yang sitotoksik dan hemolitik (Chaieb, 2010). Saponin juga dapat menaikkan pemeabilitas kertas saring. Dengan adanya saponin, filter yang cukup kecil untuk menahan partikel yang berukuran tertentu dapat meloloskan partikel tersebut. Saponin juga dapat digunakan sebagai pengemulsi bagi cairan yang tidak saling campur seperti minyak dan air (Mulyani dan Gunawan, 2010).

Saponin memiliki aktivitas insektisida yang jelas, saponin bekerja dengan tepat dan cepat terhadap serangga. Efek yang paling sering diamati adalah menyebabkan kematian, menurunkan nafsu makan, menurunkan berat badan, dan menurunkan kemampuan reproduksi serangga. Saponin juga mempunyai aktivitas penolak serangga, dapat menimbulkan masalah pencernaan, menimbulkan cacat


(27)

serangga atau menimbulkan efek toksisitas. Rasa pahit dari saponin membuat serangga ini menjadi tidak menyukai makanannya (Geyter, dkk, 2007).

Gambar 2.4. Struktur Kimia Saponin (Wikipedia,2014)

2.2. Vektor Penyakit

Salah satu cara mekanisme penularanatau transmisi agen infeksius adalah melalui vektor antropoda.Antropodborne disease/vektorbornedisease adalah penyakit yang ditularkan kepada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga. Vektor adalah antropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia (Kemenkes,2010). Di Indonesia, beberapa penyakit yang ditularkan melalui serangga antara lain, demam berdarah dengue (DBD), malaria, kaki gajah dan kemudian muncul chikungunya serta penyakit saluran pencernaan seperti kolera, disentri, demam tifoid, dan demam paratifoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah (Chandra, 2007).

Ada 3 jenis cara penularan anthropodborne disease (Chandra, 2007) yaitu :


(28)

1. Kontak langsung

Agen penyakit dipindahkan oleh anthropoda dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung.

2. Transmisi secara mekanis

Anthropoda hanya bertindak sebagai pembawa mikroorganisme penyebab penyakit yang berasal dari penderita (berupa tinja, muntahan atau bahan-bahan infektif lainnya) ke makanan atau minuman orang yang sehat. Dengan cara hanya melekat pada permukaan tubuh arthropoda, agen masuk ke mulut anthropoda dan kemudian dimuntahkan atau melalui kotoran anthropoda itu sendri. Di dalam tubuh anthropoda mikroorganisme penyebab penyakit tidak mengalami perubahan apapun, baik jumlah, bentuk maupun sifatnya. Sebagai contoh, peranan lalat rumah dalam penularan penyakit amubiasis dan disentri basiler (Soedarto, 1990). 3. Transmisi secara biologi

Agen penyakit akan mengalami perubahan siklus dengan atau tanpa multiplikasi di dalam tubuh anthropoda. Transmisi secara biologi dibagi 3 cara, yaitu :

a. Cyclo Propogative

Agen penyakit mengalami multiplikasi dan perubahan siklus di dalam tubuh anthropoda. Misalnya, penularan plasmodium penyebab penyakit malaria pada tubuh nyamuk Anopheles.

b. Cyclo Developmental

Agen penyakit mengalami perubahan bentuk/morfologi tanpa mengalami penambahan jumlah dalam tubuh anthropoda. Misalnya,


(29)

cacing Wuchereria bancrofti penyebab filariaris yang ditularkan oleh nyamuk Culex fatigans.

c. Propogative

Agen penyakit mengalami multiplikasi tetapi tidak mengalami perubahan bentuk/morfologi di dalam anthropoda. Misalnya, pada penularan penyakit pes, maka kuman pasteurella pestis akan memperbanyak diri dalam tubuh pinjal tikus, dengan bentuh tubuh yang sama dengan morfologi kuman pada saat dihisap dari tubuh penderita. Penularan virus dengue pada nyamuk Ae.aegypti juga merupakan propogative transmission.

Gambar 1. Diagram Propogative (Chandra, 2007)

Nyamuk betina menyimpan virus tersebut pada telurnya, sedangkan nyamuk jantan akan menyimpan virus tersebut pada nyamuk betina saat melakukan kontak seksual. Nyamuk betina akan menularkan virus tersebut ke manusia melalui gigitannya. Nyamuk mengambil virus dengue dari manusia yang mempunyai virus tersebut. Virus akan masuk ke dalam lambung nyamuk,kemudian virus akan memperbanyak diri dalam tubuh nyamuk dan menyebar ke seluruh jaringan tubuh nyamuk termasuk kelenjar air liurnya. Jika

Defenitive Host Manusia

Intermediate Host Aedes Aegypti


(30)

nyamuk yang telah mengandung virus ini menggigit orang sehat maka akan mengeluarkan air liurnya agar darah tidak beku. Bersamaan dengan air liur tersebut virus akan ditularkan. Siklus ini layaknya lingkaran setan yang sulit ditemukan ujung pangkalnya (Satari dan Meiliasari, 2004).

Selain tiga penularan biologik tersebut diatas, penularan mikroorganisme penyebab penyakit juga dapat terjadi secara transovarial. Pada keadaan ini mikroorganisme penyebab penyakit sudah masuk ke dalam tubuh serangga (vektor) akan mengadakan multiplikasi didalam tubuh anthropoda tersebut, kemudian mikroorganisme penyebab penyakit akan menginfeksi ovarium dan sel telur dari anthropoda. Anthropoda generasi berikutnya akan mengalami penularan. Penularan yang seperti ini adalah Srub typhus yang disebabkan oleh Rickettesia tsutsugamushi dan Trombicula akamushi (Soedarto, 1990).

2.3. Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Di Indonesia nyamuk Aedes yang paling penting adalah nyamuk Ae. aegypti dan nyamuk Ae. albopictus, keduanya merupakan vektor penyakit demam berdarah (Soedarto, 1990).

Demam berdarah tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue yang merupakan penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk (Satari dan Meiliasari, 2004). Nyamuk merupakan kelompok yang paling penting dari serangga lain dalam bidang kesehatan masyarakat,karena dapat mengirimkan sejumlah penyakit, seperti malaria, filariasis, demam berdarah, ensefalitis Jepang,dan menyebabkan jutaan kematian setiap tahun (Vinayaka, dkk, 2010).


(31)

Dalam penularan DBD di Indonesia, nyamuk Ae.aegypti di perkotaan merupakan vektor endemik yang paling penting. Di daerah perkotaan nyamuk Ae.aegypti selalu menggigit di dalam rumah sedangkan nyamuk Ae.albopictus menggigit di luar rumah karena perindukan nyamuk ini berada di kebun dan pohon-pohon (Soedarmo, 2009). Ae. aegypti juga dikenal sebagai vektor penular penyakit demam kuning (yellow fever), sehingga sering disebut yellow fever mosquito.

2.4. Gambaran Umum mengenai Nyamuk Aedes spp 2.4.1 Asal Mula Nyamuk Aedes, spp

Nyamuk Ae.aegypti pada awalnya berasal dari Mesir dan menyebar ke seluruh dunia melalui kapal laut dan kapal udara. Ae.aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan, biasanya berada diantara 40 LU dan 40 LS seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika (Hadinegoro dan Satari, 2004). Distribusi Aedes juga dibatasi oleh ketinggian. Nyamuk aedes ini biasanya tidak ditemukan diatas 1000 m.

Nyamuk Ae. albopictus adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan hidup manusia di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Di laboratorium, nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat menularkan virus dengue secara vertikal melalui nyamuk betina ke telur sampai keturunannya, walaupun albopictus lebih cepat melakukannya (WHO, 2004).

2.4.2. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp

Mudah untuk membedakan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dari bentuknya, pada albopictus garis toraksnya tidak mempunyai garis yang melengkung. Ae. albopictus sering dijumpai diluar rumah (Soedarto, 1990). Ciri


(32)

utama nyamuk Ae. aegypti adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan dikedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam sehingga sering disebut black white mosquito (Soegijanto, 2006). Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu nyamuk rumah.

Aedes spp pengebarannya sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, Aedes aegypti merupakan pembawa utama (primary vektor) dan bersama Aedes albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan di kota. Mengingat keganasan penyakit DBD masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara – cara mengendalikan jenis nyamuk ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit DBD (Wikipedia, 2014).

Kedudukan nyamuk Aedes spp dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:

Filum: Arthropoda Kelas: Insecta Ordo: Diptera Famili: Culicidae Genus: Aedes

Spesies: Aedes spp (Sembel, 2009).

2.4.3. Morfologi Nyamuk Aedes spp

Nyamuk Aedes spp biasanya berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus). Telur Aedes spp


(33)

mempunyai dinding bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Sedangkan larva Aedes spp Nyamuk Aedes spp dewasa memiliki ukuran sedang, dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan.

Di bagian punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari Spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk ini sering kali berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Gandahusada, ilahude dan Pribadi, 1998).

2.4.4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp

Gambar 2.5. Siklus hidup Nyamuk Aedes spp.

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes sppdapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk metamorphosis sempurna (holometabola).


(34)

1. Telur

Telur biasanya diletakkan diatas permukaan air satu persatu atau dalam kelompok.Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama ditempat yang kering tanpa air dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 2 0 C-420C Namun bila air cukup tersedia, telur-telur itu biasanya menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. Telur Nyamuk Aedes spp berwarna gelap, berbentuk oval biasanya telur diletakkan diatas permukaan air satu- persatu dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya.( Sembel . 2009 ).

2. Larva

Telur menetes menjadi larva atau sering disebut jentik.Perkembangan berlangsung 5-7 hari, perkembangan larva tergantung pada temperatur air, kepadatan larva, dan tersedianya makanan, larva nyamuk hidup dengan memakan organisme-organisme kecil. Larva akan mati pada suhu dibawah 100C dan diatas suhu 360C Larva Aedes spp memiliki kepala yang cukup besar serta torak dan abdomen yang cukup jelas. Untuk mendapatkan oksigen biasanya larva menggantungkan dirinya agak tegak lurus pada permukaan air. (Sembel, 2009).

3. Pupa

Pupa berbentuk agak pendek, tidak memerlukan makanan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Bila perkembangan pupa sudah sempurna, yaitu sesudah 2 atau 3 hari berkisar 270C - 320C umum nya nyamuk jantan menetas terlebih dahulu dari nyamuk betina, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang (Sembel, 2009).


(35)

4. Nyamuk Dewasa

Pada stadium dewasa nyamuk yang keluar dari pupa menjadi nyamuk jantan dan nyamuk betina dengan perbandingan 1 : 1. Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak diatas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa akan segera kawin dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalamwaktu 24-36 jam kemudian. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk mematang kan telurnya. Umur nyamuk dewasa dipengaruhi aktifitas produksi dan jumlah makanan. Nyamuk Aedes spp dewasa rata-rata dapat hidup selama 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai umur 2 bulan, Aedes spp mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya pendek yaitu kurang lebih 40 meter dan maksimal 100 meter.( Sembel, 2009 ).

2.4.5. Perilaku Nyamuk Aedes spp

Nyamuk demam berdarah betina menghisap darah untuk proses pematangan telurnya sedangkan nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi menghisap sari bunga atau nektar. Nyamuk betina sangat sensitif terhadap gangguan sehingga memiliki kebiasaan menggigit berulang-ulang. Nyamuk biasanya menggigit pada pukul delapan pagi hingga 1 siang dan pukul tiga hingga lima sore. Sementara itu, pada malam hari, mereka bersembunyi disela-sela pakaian yang tergantung, gorden dan diruang yang gelap serta lembab. Umumnya, penyebaran nyamuk demam berdarah tidak terlalu jauh karena radius terbangnya hanya 100-200 meter, kecuali jika terbawa angin (Kardinan, 2003).


(36)

2.4.6. Tempat Perkembangbiakan

Nyamuk-nyamuk Aedes yang aktif pada waktu sianghari seperti Ae, aegypti dan Ae, albopictus biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (dirumah, sekolah, kantor atau dipekuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastic bekas, diatas lantai gedung terbuka, talang rumah, bamboo pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambuatan, tempurung kelapa, ban-ban bekas, dan semua bentuk container yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk (nyamuk muda) dapat terlihat berenang naik turun ditempat-tempat penampungan air tersebut. Kedua jenis nyamuk Aedes tersebut merupakan vektor utama penyakit demam berdarah.( Sembel, 2009)

2.5. Insektida

Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata insekta dan cida.Insektisida merupakan golongan dari pestisida yang berfungsi untuk mengendalikan serangga. Bahan aktif dari golongan organofosfat dan karbamat selain memiliki persistensi lebih rendah, efektif untuk mengendalikan hama tanah (soil borne) dan hama daun. Waktu aplikasi untuk pestisida dengan persistensi rendah adalah faktor yang sangat menentukan. Persistensi yang rendah berarti waktu yang efektif dari residu pestisida untuk menjadi racun bagi hama penggangu yang lebih sempit. Secara umum, pengendalian serangga pada tahap larva lebih disarankan, karena lebih mudah dilakukan dan lebih berhasil guna (Novizan, 2002).


(37)

Insektida dapat membunuh serangga dengan dua mekanisme, yaitu dengan meracuni makanan (tanaman) dan dengan langsung meracuni serangga tersebut.

2.5.1 Pembagian Insektisida

Menurut cara masuknya insektida ke dalam tubuh serangga dibedakan menjadi 5 kelompok sebagai berikut :

1. Racun Lambung

Racun lambung adalah insektida yang membunuh serangga sasaran dengan cara masuk ke pencernaan melalui makanan yang mereka makan. Insektida akan masuk ke organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektida. Beberapa tempat sasaran itu seperti : menuju ke pusat saraf serangga, menuju ke organ-organ respirasi, meracuni sel-sel lambung dan sebagainya. Dalam hal ini serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk membunuh.

2. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektida yang masuk kedalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh (trachea) atau langsung mengenai mulut serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan insektida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun lambung.


(38)

3. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektida yang masuk melalui trachea serangga dalam bentuk pertikel mikro yang melayang di udara. Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun pernapasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektida cair.

4. Racun Metabolisme

Racun ini membunuh serangga dengan mengintervensi proses metabolismenya.contoh insekrestisida dengan mode ofaction ini yaitu deafentiuron yang mengganggu respirasi sel dan bekerja di mitokondria.

5. Racun Fisik (Racun Non Spesifik)

Racun fisik membunuh serangga dengan sasaran yang tidak spesifik sebagai contohnya debu inert yang bisa menutupi lubang-lubang pernapasan serangga sehingga serangga mati lepas karena kekurangan oksigen. Debu yang hygrokopis (misalnya bubuk karbon atau tanah diatom) bisa membunuh serangga karena debu yang menempel dikulit serangga menyerap cairan tubuh berlebihan.

Tabel 2.1. Insektisida ditinjau dari mekanisme terjadinya efek.

Kelas Sub-Golongan Mekanisme terjadinya efek Organoklor Tipe DDT

Siklodin, Derivative, sikloheksan

Umumnya terjadi pada perifer pada sistem syaraf sensor. Menghasilkan negatif potensial yang lama dengan menginhibisi enzim, yang diperlukan untuk transport ion, hasilnya adalah persisten depolarisasi. Umumnya terjadi pada SP dengan menginhibisiion transport enzim dan memblok GABA, termasuk dalam


(39)

transport klorida, menghasilkan ikatan pola yang persisten.

Piretroid Piretroid alamiah

Piretroid buatan tipe I

Piretroid buatan tipe II

Sama dengan piretroid buatan dibawah, tetapi juga menyebabkan reaksi alergi

Menghasilkan potensial negatif lebih lama, sebagian dari sistem prifer syaraf, hampir sama dengan inhibisi transport, menyebabkan ikatan polar yang persisten, juga mengihibisi GABA disebabkan transport klorida.

Perbedaan antara tipe I dan tipe II ester adalah pada kekuatan dan durasi inhibisi enzim. Anti

kolinesterase

Organofosfat

Karbamat

Inhibisi jaringan syarafasetilkolinesterase (Ache) terjadi, pada keadaan asetilkolin yang tinggi yang tidak dapat didegradasi dengan rangsangan berlebihan.

Berbeda sedikit dalam gejala, karbamat menginhibisi Ache secara reversible, organofosfat menginhibisi menjadi persisten. (Soemirat, 2005)


(40)

2.5.1.1 Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang sangat perlu dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan manusia, dan terhadap makhluk hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Salah satu komponen dalam budi daya organik adalah pemanfaatan pestisida nonkimiawi sintetis baik merupakan insektisida hayati maupun nabati untuk mengendalikan serangga. (sarjan, 2007)

Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit skunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawan bio aktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik. perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa dari tumbuhan dan jenisnya bisa lebih dari satu macam (campuran).

Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit dan batang dan sebagiannya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi (dengan air ataupun pelarut organik). Insektisida nabati merupakan bahan alami bersifat mudah terurai di alam (bio dgredable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun ternak karena residunya mudah hilang (Naria.2005).

2.5.1.2 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan yaitu sebagai berikut :


(41)

I. Keunggulan

1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman dari pada insektisida sintetis/kimia.

2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.

3. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.

4. Bahan membuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah.

5. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida. (Naria, 2005)

II. Kelemahan

Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut kelemahanya antara lain :

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi di banding kan dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida nabati adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering di aplikasikan.

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple activeingredient ) dan kadang kala tidak dapat di deteksi.

3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang berbeda. Iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi. (Naria, 2005)


(42)

2.5.1.3 Larvasida

Pemberantasan Aedes spp dapat dilakukan dengam memberantas nyamuk dewasa dan memberantas larvanya. Pemberantasan larva dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (Nurcahyo, 1996)

1. Meniadakan tempat perindukannya, yang dikenal dengan gerakan 3M (menguras dan menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang bekas yang bisa menampung air hujan), dan

2. Menggunakan larvasida untuk tempat penampungan air yang sulit dikuras menurut Gafur (2006) mengutip dari penelitian ponlawat, dkk, saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva Ae. Aegypty adalah temefos. Di Indonesia temefos 1% (Abate 1 SG) telah digunakan sejak 1976, dan sejak 1980 abate telah dipakai secara massal untuk program Ae. Aegypti di Indonesia. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula dibutuhkan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaanya (cahaya, 2003)

Selain dengan abate, telah banyak penelitian yang menghasilkan larvasida yang terbuat dari bahan alami misalnya penelitian Susana, dkk (2003) mengenai potensi daun pandan wangi untuk membunuh larva nyamuk Ae. Aegypti. Ekstrak daun pandan wangi mempunyai pengaruh terhadap tingkat kematian larva Ae. Aegypti. Semakin tinggi yang digunakan maka tingkat kematian larva semakin tinggi pula. LC5o dengan waktu pengamatan kematian 24 jam setelah perlakuan terletak pada 2198,4665 ppm dan untuk waktu pengamatan 48 jam setelah


(43)

perlakuan terletak pada 1669,1678 ppm penelitian mengenai uji toksisitas jamur Metarhizu anisoppliae terhadap larva nyamuk Ae. Aegypty yang memberi hasil M. anisoplia membunuh 50% (LC5o) dan membunuh 90%(LC9o) larva nyamuk III Ae. Aegypty asal Denpasar pada kondisi laboratorium (Widianti. 2004)

2.5.1.4Repellent

Repellent adalah bahan-bahan kimia yang mempunyai kemampuan untukmenjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan serangga atau gangguan oleh serangga trhadap manusia. DEET (N,N-diethyl-m-tolaumide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi repellent ini menimbulkan rasa terbakar bila mengenai mata, luka dan jaringan membran (Soedarto,1992).

Penyakit demam berdarah yangditularkan oleh nyamuk Aedes spp merupakan penyakit yang hampir selalu terjadi setiap tahunnya dibeberapa daerah di Indonesia. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan penggunaan lotion anti nyamuk yang pada umumnya berbahan aktif bahan kimia sintetis (Kardinan, 2007). Repellent harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak mengganggu orang disekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit,tidak beracun, tidak merusak pakaian, dan daya bertahan mengusir serangga cukup lama (Soedarto, 1992).


(44)

2.6.Kerangka konsep

Jumlah Nyamuk Aedes spp

Jumlah Nyamuk Aedes spp yang mati

Ekstrak kulit duku yaitu : konsentrasi 0%, konsentrasi 0,5%,

konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% diamati selama 30 menit

- Suhu


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Penelitian ini berbentuk eksperimen semu (Quasi ekspperiment) yaitu meneliti efektifitas ekstrak kulit duku (L.domesticum) dalam pengendalian nyamuk Aedes spp, dan tidak mengabaikan faktor yang mempengaruhi kehidupan nyamuk Aedes spp, yaitu suhu dan kelembaban udara. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan penyemprotan dengan ekstrak kulit duku konsentrasi 0%,konsentrasi 0,5%,konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5 % serta 3 kali pengulangan.

3.2. Lokasi dan Waktu penelitian 3.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari- Maret 2015. 3.3. Objek penelitian

Objek penelitian adalah ekstrak kulit duku sebagai pengendali nyamuk Aedes spp stadium dewasa yang diambil dari kotak pemeliharaan, dan dimasukkan kedalam kotak perlakuan berukuran 50cm x 50cm x 50cm (p x l x t) sebanyak 10 kotak. Jumlah nyamuk Aedes spp pada masing-masing perlakuan dan kontrol sebanyak 15 ekor. Jumlah sampel diambil berdasarkan kebutuhan penelitian yaitu 150 ekor nyamuk Aedes spp dewasa.


(46)

3.4. MetodePengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal serta literatur-literatur yang mendukung sebagai bahan kepustakaan.

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat Penelitian

1. Pisau 2. Timbangan 3. Blender 4. Saringan 5. Beaker glass

6. Jam untuk mengukur 7. Alat penyemprot 8. Aspirator

9. Pipet Tetes 10. Alat destilasi 11. Erlenmeyer 12. Thermometer 13. Hygrometer

14. Wadah tempat kulit duku 15. Kotak pemeliharaan


(47)

16. Kotak pengamatan 3.5.2. Bahan penelitian 1. Air gula

2. Aquadest

3. nyamuk Aedes spp dewasa 4. Kulit duku ( L. domesticum ) 5. Kloroform

6. Metanol

3.6.Prosedur penelitian

3.6.1. Penyediaan Hewan Uji dan Sampel

Nyamuk Aedes spp, diperoleh dari Laboratorium BTKL Medan 3.7. Cara Mendapatkan ekstrak kulit duku

Untuk mendapatkan ekstrak kulit duku dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Siapkan kulit duku yang sudah dipotong-potong haluskan potongan kulit

duku dengan blender.

2. Diperoleh sebanyak 750 gram kulit duku yang sudah dihaluskan

3. Ekstraksi sampel dengan cara maserasi yaitu merendam sampel dalam pelarut methanol teknisi selama 24 jam.

4. Saring hasil ekstraksi agar terpisah antara residu dan filtrat

5. Masukkan filtrat kedalam alat evaporator untuk memisahkan ekstrak kulit duku dengan pelarutnya.


(48)

3.8. Definisi Operasional

1. Jumlah nyamuk Aedes spp adalah sebanyak 150 ekor yang belum disemprot dengan beberapa ekstrak kulit duku.

2. Ekstrak kulit duku adalah banyaknya hasil penyulingan dengan metode ekstrak yang akan disemprotkan terhadap nyamukAedes spp yaitu : konsentrasi 0 %,konsentrasi 0,5 %,konsentrasi 1 %, dan konsentrasi 1,5 %. 3. Suhu adalah temperatur yang diukur selama penelitian dilakukan dengan

menggunakan alat thermometer, dinyatakan dalam derajat celcius.

4. Kelembaban adalah kelembaban udara di tempat penelitian yang diukur dengan menggunakan alat hygrometer, dinyatakan dalam persen.

5. Jumlah nyamuk Aedes spp yang mati adalah banyaknya nyamuk Aedes spp yang mati setelah dilakukan perlakuan dengan masing-masing konsentrasi ekstrak kulit duku.

6. Keefektifan ekstrak kulit duku adalah : konsentrasi ekstrak kulit duku yang paling rendah yang dapat membunuh nyamuk Aedes spp, sebanyak 50 % hewan percobaan (LD50).

3.9. Cara Mendapatkan Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku

Cara untuk mendapatkan masing-masing konsentrasi kulit duku adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan Konsentrasi 0 %

Untuk mendapatkan konsentrasi 0 % maka yang digunakan aquadest sebanyak 100 ml tanpa penambahan larutan kulit duku.


(49)

2. Untuk mendapatkan konsentrasi 0,5%

Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 0,5 gram Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml. 3. Untuk mendapatkan konsentrasi 1%

Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 1 gram Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml. 4. Untuk mendapatkan konsentrasi 1,5%

Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 1,5 gram Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.

3.10. Cara melakukan percobaan A. Pada Konsentrasi 0 %

1. Sediakan 1 buah kotak pengamatan

2. Masukkan 15 ekor nyamuk Aedes spp dewasa diambil dari kotak pemeliharaandengan menggunakan alat aspirator ke dalam kotak pengamatan

3. Lakukan penggunaan penyemprotan dengan konsentrasi 0% ekstrak kulit duku dengan jarak 30 cm dari kotak pengamatan.

4. Amati dan catat nyamuk Aedes spp yang mati setelah 30 menit B. Pada Konsentrasi 0,5%, Konsentrasi 1% dan Konsentrasi 1,5%

1. Sediakan 3 buah kotak pengamatan untuk masing-masing ( konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1%, dan konsentrasi 1,5% )

2. Beri label pada setiap kotak pengamatan, yaitu label A untuk konsentrasi 0,5%, label B untuk konsentrasi 1% dan label C untuk konsentrasi 1,5%.


(50)

3. Masukkan 15 ekor nyamuk Aedes spp dewasa diambil dari kotak pemeliharaan dengan menggunakan alat aspirator ke dalam masing-masing kotak pengamatan

4. Lakukan penggunaan penyemprotan dengan konsentrasi 0,5%,konsentrasi 1%, dan konsentrasi 1,5% ekstrak kulit duku dengan jarak 30 cm dari kotak pengamatan .

5. Amati dan catat nyamuk Aedes spp yang mati setelah 30 menit

6. Lakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada konsentrasi 0,5%,konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5%.

3.11. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil percobaan dianalisa menggunakan metode distribusi frekwensi ( Deskriptif ) data diperoleh dari hasil 3 kali perlakuan dan satu kontrol dengan ekstrak kulit duku konsentrasi 0%,konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1%, konsentrasi 1,5%, serta 3 kali pengulangan pada yang paling efektif (Hanafiah, 2005).


(51)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Pengaruh Perlakuan Ekstrak Kulit Duku (Lansium domesticum) terhadap kematian nyamuk Aedes spp.

Dalam penelitian ini menggunakan nyamuk Aedes spp sebanyak 150 nyamuk dewasa dengan masing-masing perlakuan 15 ekor nyamuk yang berada didalam masing-masing kotak pengamatan. Tiap perlakuan dilakukan pengamatan selama 30 menit dan 24 jam. Hasil penelitian menggunakan berbagai yaitu konsentrasi 0%, konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dengan ekstrak kulit duku yang di semprot untuk membunuh nyamuk Aedes spp atau 3 perlakuan dan 1 kontrol dengan 3 kali pengulangan selama 30 menit pengamatan.

4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0 % ( Kontrol )

Pada konsentrasi 0% ( Kontrol ) dengan waktu pengamatan selama 30 menit dan 24 jam tidak ada nyamuk yang mati (konsentrasi 0% ).

4.1.2. Kematian nyamuk Aedes spp pada konsentrasi 0,5%

Hasil pengamatan Kematian nyamuk setelah penyemprotan Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum ) pada Konsentrasi 0,5%


(52)

Tabel 4.1. Hasil pengamatan Kematian nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0,5%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah

Perlakuan pada Konsentrasi 0,5%

Rata- Rata Ulangan

I II III

30 menit 6 6 7 6

24 jam 6 7 7 7

Berdasarkan tabel 4.1. di atas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes spp untuk konsentrasi 0,5% sudah mencapai LD50 dimana rata-rata kematian nyamuk Aedes spp 7 ekor setelah 24 jam. Kematian nyamuk Aedes spp tertinggi terjadi pada 24 jam pengamatan dengan kematian rata-rata sebanyak 7 ekor.

4.1.3. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1% Tabel 4.2.Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah Perlakuan pada Konsentrasi 1%

Rata- Rata Ulangan

I II III

30 menit 8 9 8 8

24 jam 9 10 8 9

Berdasarkan tabel 4.2. diatas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes spp untuk konsentrasi 1% sudah mencapai LD50 yaitu rata-rata kematian 8 ekor terjadi padapengamatan 30menit.Kematian nyamuk Aedes spp tertinggi terjadi pada 24 jam pengamatan dengan kematian rata-rata sebanyak 9 ekor.


(53)

4.1.4. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%

Tabel 4.3. Hasil pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah

Perlakuan pada Konsentrasi 1,5%

Rata- Rata Ulangan

I II III

30 menit 13 10 14 12

24 jam 14 12 14 13

Berdasarkan tabel 4.3. di atas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes spp untuk konsentrasi 1,5% selama 30 menit pengamatan sudah mencapai LD50 dengan rata-rata 12 ekor nyamuk. Kematian seluruh nyamuk Aedes spp setelah 24 jam dengan rata-rata 13

4.1.5. Rata-Rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada 4 Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum )Selama 30 Menit Waktu Pengamatan.

Tabel 4.4. Rata-Rata dan Persentasi Kematian Nyamuk Aedes spp Pada empat konsetrasi Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum ) Selama 30 Menit Waktu Pengamatan

Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan

Rata Rata % Kematian Rata-rata nyamuk

I II III Suhu Kelem-

(ekor) baban

Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0 0 28oC 65%

Konsentrasi 0,5% 15 6 6 7 7 42 27oC 70%

Konsentrasi 1% 15 8 9 8 9 56 27oC 62%

Konsentrasi 1,5% 15 13 10 14 13 82 28oC 70%

Berdasarkan tabel 4.4. menunjukan kematian tertinggi nyamuk Aedes spp dalam presentasi setiap berturut-turut adalah untuk 0,5% mencapai kematian 42% selama 30 menit pengamatan, 1% mencapai kematian 56 % selama 30 menit pengamatan dan 1,5% mencapai kematian 82% selama 30 menit pengamatan,


(54)

pada kontrol dengan 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp selama 30 menit pengamatan.

4.1.6. Rata-Rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada 4 Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum )Selama 24 jam Waktu Pengamatan.

Tabel 4.5. Rata-Rata dan Persentasi Kematian Nyamuk Aedes sppPada empak konsentrasi Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum ) Selama 24 jam Waktu Pengamatan

Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan

Rata Rata

% Kematian

Rata-rata nyamuk

I II III Suhu Kelem-

(ekor) baban

Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0 0 27oC 65%

Konsentrasi 0,5% 15 6 7 7 7 44 27oC 70%

Konsentrasi 1% 15 9 10 9 9 62 28oC 70%

Konsentrasi 1,5% 15 14 12 14 14 89 27oC 63%

Berdasarkan tabel 4.5. menunjukan kematian tertinggi nyamuk Aedes spp dalam presentasi setiap berturut-turut adalah untuk 0,5% mencapai kematian 44% selama 24 jam pengamatan, 1% mencapai kematian 62% selama 24 jam pengamatan dan 1,5% mencapai kematian 89% pengamatan selama 24 jam, pada kontrol dengan 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp selama 24 jam pengamatan.

4.1.7. Kematian nyamuk Aedes spp Pada saat Lethal Dose 50

Lethal Dose 50 (LD 50) dicapai setelah 30 menit pengamatan untuk semua perlakuan, sehingga untuk melakukan perbandingan uji Deskriptif dapat menggunakan data kematian nyamuk Aedes spp seperti pada tabel berikut :


(55)

Tabel 4.6.Jumlah dan Rata-rata Kematian nyamuk Aedes spp Pada 4 Konsentrasi Dengan 3 kali ulangan pada saat Lethal Dose 50 (LD 50) Tercapai Setelah 30 Menit Pengamatan

Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan Rata-rata

nyamuk

I II III %

(ekor) Kematian

Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0

Konsentrasi 0,5% 15 6 6 7 42

Konsentrasi 1% 15 8 9 8 56

Konsentrasi 1,5% 15 13 10 14 82

Hasil penelitian tersebut dianalisa secara Deskriptif setelah terlebih dahulu jumlah kematian nyamuk Aedes spp pada setiap ulangan ditransformasi untuk menghilangkan angka nol dalam perhitungan. Transformasi data dilakukan dengan tujuan supaya data yang diolah telah memenuhi asumsi yang mendasari pemakaian suatu analisa data, sehingga hasil analisa data ini akan mampu mencerminkan kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu percobaan. Karena terdapat jumlah kematian nyamuk Aedes spp dibawah 10 ekor maka digunakan transformasi data (Hanafiah, 2005 )

4.2. Suhu Ruangan Penelitian

Suhu ruangan merupakan variabel penting yang mempengaruhi penelitian. Oleh sebab itu, pengukuran suhu perlu dilaksanakan selama berlangsungnya penelitian. Suhu ruangan diukur dengan menggunakan thermometer dan diperoleh hasil pengukuran yakni pada ulangan I adalah 27oC, ulangan II adalah 27oC, ulangan III adalah 28oC dan rata-rata suhu ruangan penelitian adalah 27,33oC.


(56)

4.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian

Kelembaban merupakan salah satu variabel yang dihitung dalam penelitian ini. Kelembaban diukur dengan menggunakan hygrometer dan didapatkan hasil yaitu kelembaban pada pengulangan I sebesar 65%, pada pengulangan II sebesar 62,5%, pada pengulangan III sebesar 70% maka rata-rata kelembaban ruangan penelitian tersebut yaitu sekitar 65,83%.


(57)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Ekstrak kulit Duku (Lansium Domesticum) Terhadap kematian nyamuk Aedes spp

Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan 4 macam konsentrasi perlakuan yaitu konsentrasi 0% ( sebagai kontrol ),konsentrasi 0,5%,konsentrasi konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dengan tiga kali ulangan selama 30 menit dan 24 jam pengamatan diperoleh jumlah kematian nyamuk Aedes spp pada waktu pemaparan yang berbeda-beda dan yang berbeda pula. Pada tabel 4.6. terlihat bahwa pada konsentrasi 0% yang berisi Aquadest tanpa ekstrak kulit duku ( Lansium Domesticum) ( sebagai kontrol) tidak dijumpai adanya nyamuk Aedes spp yang mati. Hal ini membuktikan bahwa Aquadest yang disemprotkan pada nyamuk Aedes spp tidak menimbulkan kematian. Pada konsentrasi 1% tingkat kematian 60% lebih tercapai setelah 30 menit pengamatan untuk memenuhi Lethal Dose 50 ( LD50 ), sedangkan pada konsentrasi 1,5% tingkat kematian 86% yang memenuhi Lethal Dose 50 (LD 50) tercapai setelah 30 menit pengamatan.

Pada 24 jam pengamatan jumlah kematian nyamuk Aedes spp di tiap berbeda-beda.Pada konsentrasi 0,5 % terdapat 7 ekor jumlah nyamuk yang mati dari 15 ekor nyamuk dalam percobaan, dengan persentasi kematian 47%, Pada 1% terdapat jumlah rata-rata kematian 9 ekor nyamuk dari 15 ekor dan persentasi kematian 60%, Pada 1,5% jumlah rata-rata kematian 14 ekor dari 15 ekor nyamuk dan persentasi kematian sebesar 93%.


(58)

Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat diketahui semakin tinggi perlakuan maka semakin banyak jumlah nyamuk Aedes spp yang mati. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan kimia dalam ekstrak kulit duku (Lansium domesticum) yaitu triterpenoid yang mengandung minyak atsiri yang memiliki zat insektisida dasar toksisitas yang juga tinggi dan kandungan flavonoid yang menghambat pertumbuhan serangga serta kandungan saponin. Sedangkan bila diperhatikan dari waktu lamanya pemaparan bahwa semakin lama waktu paparannya, jumlah nyamuk Aedes spp yang mati semakin berkurang.Berdasarkan cara masuk insektisida dalam hal ini ekstrak kulit duku (Lansium domesticum) ke dalam tubuh nyamuk Aedes spp dapat dinyatakan sebagai racun kontak, dan racun pernafasan. Sebagai racun kontak, ekstrak kulit duku (Lansium domesticum) yang disemprotkan dapat langsung mengenai bagian tubuh nyamuk yang menyebabkan nyamuk jatuh dan akhirnya mati ditandai dengan tubuh nyamuk mengering karena dehidrasi. Dimana, dinyatakan sebagai racun kontak apabila insektisida dapat masuk kedalam tubuh nyamuk lewat kulit bersinggungan langsung (Djojosumarto, 2000).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Mirnawatydan Supriadi (2012), yang memanfaatkan ekstrak kulit duku sebagai anti nyamuk elektrik terhadap nyamuk Aedes spp ternyata kulit duku mengandung flavonoid, saponin, dan triterpen (asam langsat/minyak atsiri) yang mengakibatkan tingkat kematian nyamuk berbeda-beda setiap.Efek kandungan tersebut bisa mempengaruhi syaraf pada nyamuk dan akibat yang ditimbulkannya adalah nyamuk mengalami kelabilan dan akhirnya mati. yang efektif pada penelitian tersebut terdapat pada 35% dimana tingkat yang dilakukan pada penelitian


(59)

tersebut adalah 15%, 20%, 30% dan 35%. paling tinggi adalah 35% dan pada tersebut tingkat kematian nyamuk aedes spp paling tinggi.

Senyawa flavonoid bekerja sebagai racun inhalasi dengan masuk ke dalam mulut serangga melalui saluran pencernaan berupa spirakel yang terdapat di permukaan tubuh yang kemudian akan menimbulkan gangguan pada saraf dan kerusakan pada spirakel, akibatnya serangga tidak bisa bernafas dan mati (Ariani dalam Pane,2009), sehingga kulit duku dapat digolongkan sebagai insektisida racun inhalasi dan racun kotak. Dinyatakan racun kontak apabila insektisida dapat masuk kedalam tubuh nyamuk lewat kulit dan bersinggungan langsung (Djojosumarto, 2000).

Senyawa saponin dalam kulit duku bersifat sitotoksik dan hemolitik terhadap serangga (Chaieb, 2010). Senyawa ini dapat mengakibatkan kematian, menurunkan nafsu makan, menurunkan berat badan, dan menurunkan kemampuan reproduksi serangga.Rasa pahit dari saponin membuat serangga ini menjadi tidak menyukai makanannya (Geyter, dkk, 2007). Sebagai racun inhalasi yang merupakan racun yang bekerja lewat sistem pernapasan.Kulit duku dapat dimanfaatkan sebagai insektisida dalam bentuk racun pernafasan, yaitu dengan cara nyamuk menghirup kulit duku (Lansium domesticum) yang menyebabkan nyamuk tergelepar sehingga akhirnya mengalami kematian. Racun pernafasan bekerja lewat saluran pernafasan.(Djojosumarto, 2000). Serangga akan mati bila insektisida dalam jumlah yang cukup masuk kedalam pernapasan serangga dan selanjutnya di transpportasikan ketempat racun tersebut bekerja. Sedangkan racun pernapasan adalah insektisida yang mematikan serangga karena mengganggu kerja organ pernapasn (misalnya menghentikan kerja otot yang mengatur pernapasan ), sehingga mati akibat tidak bisa bernapas (Soemirat, 2005).


(60)

5.2. Suhu dan Kelembaban 5.2.1 Suhu

Pengukuran suhu ruangan dilakukan pada awal penelitian pada tiap-tiap pengulangan. Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan penelitian. Pada penelitian ini suhu tertinggi yaitu sekitar 28oC dan suhu terendah yaitu 27⁰C, maka rata-rata suhu ruangan tersebut yaitu sekitar 27,33⁰C. Menurut Yotopranoto, dkk (1998) dan Susanna dan Sembiring (2011) dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C. Pada suhu diatas 35oC dapat mengalami perubahan dan lambatnya proses fisiologi, dan pertumbuhan nyamuk akan terhenti pada suhu kurang dari 10oC atau diatas 40oC serta nyamuk mempunyai toleransi suhu berkisar 5oC-6oC. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa suhu pada penelitian ini masih mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes, spp.

5.2.2 Kelembaban

Kelembaban ruangan diukur untuk informasi yang mendukung penelitian. Hasil pengukuran kelembaban yang tertinggi yaitu 70% dan kelembaban terendah yaitu 62,5% sehingga rata-rata kelembaban ruangan penelitian yaitu sekitar 65,83%. Menurut Jumar (2000), kelembaban yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan nyamuk adalah 60%-89%, sehingga kelembaban ruangan pada saat percobaan tidak mengganggu. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor, tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah (Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Adaptasi pada kelembaban yang tinggi juga dapat menyebabkan nyamuk cepat lelah (Susanna dkk,2011).


(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari empat konsentrasi dengan 3 kali pengulangan selama 30 menit pengamatan menunjukkan kematian nyamuk Aedes spp dengan Lethal dose 50 (LD50) tercapai dengan rata-rata kematian pada konsentrasi 0,5% sebanyak 42% ;konsentrasi 1% sebanyak 56% ;konsentrasi 1,5% telah mencapai 82%.Pada kontrol berisi aquadest dengan pengamatan selama 30 menit tidak ditemukan kematian nyamuk Aedes spp.

2. Ekstrak kulit duku dengan konsentrasi yang rendah dan cepat untuk membunuh nyamuk Aedes spp adalah konsentrasi 1% dengan tingkat kematian nyamuk mencapai 56 % (memenuhi LD50).

6.2. Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya nyamuk Aedes spp sebagai insektisida nabati yang aman bagi lingkungan dan manusia.

Perlunya penelitian lebih lanjut dengan menggunakan yang lebih rendah dan menentukan bahan aktif yang spesifik yang bersifat racun terhadap nyamuk Aedes spp.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Anies.2006, Manajemen Berbasis Lingkungan: Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Chahaya, I. 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia.FKM

USU. Medan

Chandra, B 2007, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Cetakan Pertama, EGC, Jakarta

Departemen Kesehatan R.I. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2009. Sebaran Kasus DBD di Provinsi Sumatera Utara.Ditjen P2PL DinasKesehatanProvinsiSumut.Medan. Dinas Kesehatan Kota Medan. 2011. Sebaran Kasus DBD di Kota Medan. Ditjen

P2PL Dinas Kesehatan Kota Medan.Medan.

DjojoSumarto, P. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Gandahusada, S, Illahude,H, & Pribadi,W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Geyter, ED, Lambert E, Geelen, D, danSmagghe, G 2007, Novel Advances with Plant Saponins as Natural Insectisides to Control Pest Insects, Journal of University of Belgium, Belgia

Hadinegoro & Satari. 2004. Demam Berdarah Dengue. FKUI. Jakarta

Hanafiah.K.A. 2005.Rancangan Percobaan Aplikatif. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hastuti,O .2008. Demam Berdarah Dengue. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. Jumar.2000.EntomologiPertanian.RinekaCipt. Jakarta

Kardinan, A. 2003.Tanaman Pengusirdan Pembasmi Nyamuk.Agromedia Pustaka. Jakarta

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Naria, E. 2005. Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Medan.


(63)

Mirnawaty, S &Jaya, B. 2012.Uji Efektivitas Ekstrak KulitLangsat (Lansium domesticum) sebagai Anti Nyamuk Elektrik Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. FKIB Universitas Tadulako.Palu.Diakses tanggal 23 September 2014.

Mulyani, S, dan Gunawan, D 2010, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), cetakan kedua, Penebar Swadaya, Jakarta.

Munaf, S. 1997. Keracunan Akut Pestisida:Teknik diagnosis, Pertolongan Pertama, Pengobatan dan Pencegahannya. Widya Medika. Jakarta.

Sarjan, M. 2007. Potensi Pemanfaatan Insektisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Pada Budidaya Sayuran Organik.Fakultas Pertanian Mataram

Sastrohamidjojo, H. 1996.Sintesis Bahan Alam.Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Satari, HI dan Meiliasari, M 2004, Demam Berdarah Perawatan di Rumah & RumahSakit Menu, Cetakan Pertama, Puspa Swara, Jakarta.

Sembel ,D. 2009. Entomologi Kedokteran. CV Andi Offset. Yogyakarta. Setiawan, I. A. 2001. Kiat memilih Tanaman Buah.Penebar Swadaya. Jakarta Soedarto 1990, Entomologi Kedokteran, EGC, Jakarta.

Soedarmo, SS 2009, Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak, Universitas Indonesia, Jakarta.

Soegijanto, S 2006 Demam Berdarah Dengue, University Press, Surabaya Soemirat.2005. Toksikologi Lingkungan.UGM.Yogyakarta.

Susanna, D & Sembiring, T. 2011.Entomologi Kesehatan (Antropoda Pengganggu Kesehatan danParasit yang Dikandungnya).UI Press. Jakarta.

WHO 2004, Panduan Lengkap Pencengahan & Pengendalian Dengue & Demam Berdarah Dengue, EGC, Jakarta

Widyastuti, Y. E & Kristiawati R. 2000. Duku: Jenis dan Budidaya. Penebar Swadaya. Jakarta

Wikipedia, 2014. Aedes

aegypti.http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti”diakses pada 21 September 2014

Wikipedia,2014.Struktur_kimia_.http://id.wikipedia.org/wiki/Saponin+Triterpen” diaksespada 2 Oktober 2014.


(64)

Yudhastuti, R &Vidiyani, A 2005.Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer & Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis DBD Surabaya.Jurnal KesehatanLingkungan. Surabaya.


(65)

Lampiran Dokumentasi Penelitian


(66)

Gambar 2. Proses Maserasi Kulit Duku


(67)

Gambar 4. Ekstrak Kulit Duku


(68)

Gambar 6. Tempat Pemeliharaan Jentik Nyamuk


(1)

Mirnawaty, S &Jaya, B. 2012.Uji Efektivitas Ekstrak KulitLangsat (Lansium domesticum) sebagai Anti Nyamuk Elektrik Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. FKIB Universitas Tadulako.Palu.Diakses tanggal 23 September 2014.

Mulyani, S, dan Gunawan, D 2010, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), cetakan kedua, Penebar Swadaya, Jakarta.

Munaf, S. 1997. Keracunan Akut Pestisida:Teknik diagnosis, Pertolongan Pertama, Pengobatan dan Pencegahannya. Widya Medika. Jakarta.

Sarjan, M. 2007. Potensi Pemanfaatan Insektisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Pada Budidaya Sayuran Organik.Fakultas Pertanian Mataram

Sastrohamidjojo, H. 1996.Sintesis Bahan Alam.Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Satari, HI dan Meiliasari, M 2004, Demam Berdarah Perawatan di Rumah & RumahSakit Menu, Cetakan Pertama, Puspa Swara, Jakarta.

Sembel ,D. 2009. Entomologi Kedokteran. CV Andi Offset. Yogyakarta. Setiawan, I. A. 2001. Kiat memilih Tanaman Buah.Penebar Swadaya. Jakarta Soedarto 1990, Entomologi Kedokteran, EGC, Jakarta.

Soedarmo, SS 2009, Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak, Universitas Indonesia, Jakarta.

Soegijanto, S 2006 Demam Berdarah Dengue, University Press, Surabaya Soemirat.2005. Toksikologi Lingkungan.UGM.Yogyakarta.

Susanna, D & Sembiring, T. 2011.Entomologi Kesehatan (Antropoda Pengganggu Kesehatan danParasit yang Dikandungnya).UI Press. Jakarta.

WHO 2004, Panduan Lengkap Pencengahan & Pengendalian Dengue & Demam Berdarah Dengue, EGC, Jakarta

Widyastuti, Y. E & Kristiawati R. 2000. Duku: Jenis dan Budidaya. Penebar Swadaya. Jakarta

Wikipedia, 2014. Aedes

aegypti.http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes_aegypti”diakses pada 21 September 2014

Wikipedia,2014.Struktur_kimia_.http://id.wikipedia.org/wiki/Saponin+Triterpen” diaksespada 2 Oktober 2014.


(2)

Yudhastuti, R &Vidiyani, A 2005.Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer & Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis DBD Surabaya.Jurnal KesehatanLingkungan. Surabaya.


(3)

Lampiran Dokumentasi Penelitian


(4)

Gambar 2. Proses Maserasi Kulit Duku


(5)

Gambar 4. Ekstrak Kulit Duku


(6)

Gambar 6. Tempat Pemeliharaan Jentik Nyamuk