UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Identifikasi Alkaloid
Untuk identifikasi alkaloid, ekstrak dilarutkan dengan etanol 96 kemudian ditambahkan asam klorida encer 2 N. Filtrat yang diperoleh disaring
kemudian diidentifikasi menggunakan pereaksi Mayer, Bouchardat, dan Dragendroff. Pada penambahan Mayer, hasil positif ditandai dengan terbentuknya
endapan berwarna putih atau kuning. Hasil positif Dragendroff ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata. Penambahan Bouchardat
memberikan hasil positif jika terbentuk endapan coklat sampai hitam. Ayoola et al., 2008
f. Identifikasi Kuinon
Identifikasi kuinon dilakukan terhadap ekstrak 1. Sejumlah dipanaskan dalam air selama 5 menit lalu disaring. Sebanyak 5 ml filtat ditambahkan
beberapa tetes larutan NaOH 1 N sehingga terbentuk warna merah menunjukkan adanya kuinon.
3.3.4 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak
1. Pengujian Parameter Spesifik Uji parameter spesifik hanya dilakukan penetapan organoleptik ekstrak
meliputi bentuk, bau, warna, dan rasa. 2. Pengujian Parameter Non Spesifik
a. Kadar Air
Krus porselin kosong dikonstankan terlebih dahulu dengan pemanasan pada suhu 100-105
C selama 1 jam, didinginkan dalam desikator, dan kemudian ditimbang. Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dan dimasukkan
ke dalam krus yang telah diketahui beratnya. Ekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110
C selama 3 jam, didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang kembali. Perlakuan ini diulang sampai beratnya
konstan. Kadar air dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal Depkes RI, 2000.
b. Kadar Abu
Krus porselin kosong dikonstantakan dengan pemanasan pada suhu 100-105
C selama 2 jam lalu didinginkan dalam desikator. Sebanyak 2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gram ekstrak dimasukkan ke dalam krus yang telah konstan, dipijarkan dalam tanur pada suhu 600
C selama 6 jam hingga sampel menjadi abu, kemudian didinginkan dan ditimbang. Penimbangan dilakukan secara
berulang sampai didapatkan berat konstan. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat awal Depkes RI, 2000
3.4 Rancangan Percobaan
Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar, berumur 2-3 bulan dengan berat badan antara 140-180 gram. Yang diaklimatisasi
selama 1 bulan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dimana selama proses adaptasi, dilakukan pengamatan kondisi umum dan keseimbangan
berat badan. Hewan uji yang akan dipilih sebanyak 30 ekor tikus putih jantan secara
acak untuk dibagi menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor dalam setiap kelompoknya sesuai dengan syarat WHO.
3.4.1 Pembagian kelompok perlakuan
Tabel 1. Kelompok Perlakuan pada Metode Induksi Aloksan
Kelompok hewan
Perlakuan Jumlah
tikus KN
Diberi air suling 5
K - Diinduksi aloksan, diberi air suling
5 K +
Diinduksi aloksan, diberi glibenklamid 5
D1 Diinduksi aloksan, diberi dosis 1 mgkg Mastigophora
diclados 5
D2 Diinduksi aloksan, diberi dosis 10 mgkg Mastigophora
diclados 5
D3 Diinduksi aloksan, diberi dosis 100 mgkg Mastigophora
diclados 5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan : KN
= Kontrol Normal K-
= Kontrol Negatif K+ = Kontrol Positif
D1 = Dosis Rendah 1 mgkgbb
D2 = Dosis Sedang 10 mgkgbb
D3 = Dosis Tinggi 100 mgkgbb
3.4.2 Persiapan hewan percobaan aklimatisasi
30 ekor tikus putih jantan galur wistar dengan berat 140-180 gram dibagi menjadi 6 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Sebelum
penelitian dimulai, hewan uji diaklimatisasi selama 30 hari, diberi makan pellet, diberi air minum dan dipuasakan sehari sebelum perlakuan. Selama perlakuan,
hewan uji diberi pakan dan minum.
3.5 Pembuatan sediaan dosis uji
1 Dosis ekstrak lumut hati Mastighopora diclados Dosis yang digunakan pada ekstrak etil asetat Mastigophora diclados adalah
dosis 1 mgkg bb, 10 mgkg bb dan 100 mgkg bb yang kemudian di konversikan ke dalam dosis tikus masing-masing menjadi 0,2 mg200 g bb, 2 mg200 g bb dan
20 mg200 g bb.
2 Dosis glibenklamid sebagai kontrol pembanding Glibenklamid yang diberikan dalam bentuk larutan sesuai dosis oral efektif
pada manusia, 5 mg60 kg bb Suherman, 2007 yang dikonversikan yaitu dosis untuk setiap 200 g tikus menjadi 0,1 mg.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 Dosis aloksan Dosis aloksan secara intraperotoneal yang digunakan dalam percobaan ini
adalah 100 mgkg bb Nandhagopal, 2013 atau untuk tikus dengan berat badan 200 gram adalah 20 mg200 gr bb. Dosis intraperitoneal 2-3 kali dari dosis
intravena yaitu 65 mgkg BB Szkudelski, 2001.
3.6 Induksi Diabetes pada Tikus
Sebelum diinduksi aloksan, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 18 jam namun tetap diberikan air minum. Hal ini dilakukan karena hewan uji yang
dipuasakan terlebih dahulu lebih rentan mengalami hiperglikemia dibanding hewan uji yang tidak dipuasakan. Setelah itu, larutan aloksan monohidrat
disuntikkan secara intraperitoneal dengan dosis 20mg200gbb tikus pada kelompok K- Kontrol Negatif, K+ Kontrol Positif, D1 Dosis Rendah, D2
Dosis Sedang, dan D3 Dosis Tinggi yang masing-masing terdiri dari 5 hewan uji. Setelah penyuntikan, tikus diberi makan dan minum seperti biasa.
Pengukuran kadar glukosa darah puasa tikus dilakukan kembali pada hari ke 5 , ke 10 dan ke 14 setelah induksi aloksan untuk memastikan bahwa tikus
mengalami hiperglikemia permanen Lanzen, 2008. Dimana kenaikan kadar glukosa darah puasa yang melebihi 140 mgdl Manjusha et al, 2011 sedangkan
kadar gula darah normal pada tikus adalah 50-135 mgdl Carvalho,2003.
3.7 Pemberian Bahan Uji