Uji efek Antiinflamasi Ekstrak etil Asetat lumut hati Mastigophora diclados secara IN VIVO

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETIL ASETAT

LUMUT HATI Mastigophora diclados

SECARA IN VIVO

SKRIPSI

CHURMATUL WALIDAH

NIM : 109102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JANUARI 2014


(2)

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETIL

ASETAT LUMUT HATI Mastigophora diclados

SECARA IN VIVO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

CHURMATUL WALIDAH

NIM : 109102000047

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JANUARI 2014


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

ABSTRAK

Nama : Churmatul Walidah Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados secara In Vivo

Peneletian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web) Nees secara in vivo. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode remaserasi yang dipekatkan menggunakan vaccum rotary evaporator. Ekstrak kental dengan berbagai variasi dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB secara oral diberikan pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Asetosal digunakan sebagai kontrol positif dengan dosis 125 mg/KgBB secara oral. Penelitian ini menggunakan metode udem buatan pada telapak kaki tikus dengan induksi karagenan 1% sebanyak 0,2 mL sebagai penginduksi udem. Pada uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara setiap dosis dengan kontrol negatif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05) dan semua dosis ekstrak terdapat perbedaan bermakna dengan kontrol

positif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05). Dari semua kelompok uji pada

penelitian ini, kelompok yang mempunyai daya inhibisi udem terbesar adalah kelompok kontrol pembanding yaitu asetosal dengan daya hambat udemnya sebesar 76,35% pada jam kesatu diikuti dengan dosis 5 mg/KgBB dengan daya hambat 71,44% pada jam keenam.

Kata Kunci : Lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees, Antiinflamasi, Asetosal


(7)

vii

ABSTRACT

Name : Churmatul Walidah Program Study : Pharmacy

Title : The Antiinflammatory Effect of Ethyl Acetate Extract Liverwort Mastigophora diclados In Vivo.

The research was conducted in order to determine the antiinflammatory activity of the ethyl acetate extract of the liverwort Mastigophora diclados (Bird. Ex Web.) Nees in vivo. Extraction was performed by using a remaceration method which was concentrated by using a vacuum rotary evaporator . Variety doses of extract was 5 mg/kg, 10 mg/kg, 50 mg/kg, and 100 mg/kg body weight are orally given to the male albino rat strain Sprague dawley . Aspirin was used as positive control at 125 mg/Kg body weight dose given orally. This study used hind paw edema method by the injection of carrageenan with 0,2 mL of 1 % as an edematogenic agent. ANOVA analysis showed that there were significant differences between each doses of the extract with the negative control (ρ ≤ 0,05) and all doses of the extract are significant differences with the positive control (ρ ≤ 0,05). From all experimental groups in this study, the highest dose that could inhibit edema was a dose of positive control, aspirin 125 mg/Kg body weight, on 76,35% at first hour followed by dose of 5 mg/Kg body weight that could inhibit edema at sixth hour on 71,44%.

Keywords : Liverwort Mastigophora diclados (Bird. ex Web) Nees, anti-inflammatory , Aspirin


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah, serta inayah-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Saya sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan, memberikan ilmu, masukan, dan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan skripsi.

2. Bapak Prof. DR. dr. (hc), M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Para laboran laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan dalam hal penggunaan alat dan bahan untuk keperluan penelitian.


(9)

ix

6. Kedua Orang tua saya, ayahanda Ainul Huri dan ibunda Mushonnifah, dan semua keluarga besar yang selalu memberikan dorongan moril, materil, spiritual hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, semoga segala amal dan jerih payah kalian semua mendapat balasan yang sebaik-baiknya disisi Allah SWT.

7. Untuk sahabatku, Neneng Nurhalimah, yang tak pernah bosan memberikan masukan, dukungan, doa dan semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan penelitian uji aktivitas, Ira, Migi, Widya, Indah, Nida, Liza, Ota, yang telah membantu dalam segala hal yang bersangkutan dengan hewan percobaan dari awal hingga akhir penelitian serta tak henti memberikan semangat dan dukungan bagi penulis selama proses penyelesaian skripsi.

9. Teman-teman farmasi angkatan 2009 khususnya EDTA-C yang sama-sama berjuang bersama-sama selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.

10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 28 November 2013 Penulis


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

GAMBAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 2

1.3Tujuan ... 3

1.4Manfaat ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1Mastigophora diclados ... 4

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan ... 4

2.1.2 Kandungan Kimia ... 5

2.1.3 Aktivitas Biologis ... 5

2.2Simplisia ... 5

2.3Ekstrak ... 6

2.3.1 Ekstraksi ... 6

2.3.2 Ekstraksi dengan Pelarut ... 7

2.4Inflamasi ... 9

2.4.1 Definisi ... 9

2.4.2 Mekanisme ... 10

2.4.3 Jenis-jenis Inflamasi ... 11

2.4.4 Obat-obat Antiinflamasi ... 11

2.4.5 Asam Asetil Salisilat ... 12

2.4.6 Metode Uji Antiinflamasi ... 13

2.4.7 Karagenan ... 17

2.4.8 Natrium Karboksimetil Selulosa (Na CMC) ... 17

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2Alat dan Bahan ... 19

3.2.1 Alat ... 19

3.2.2 Bahan Penelitian ... 19

3.2.3 Bahan Kimia ... 20


(12)

xii

3.3Rancangan Prosedur Kerja ... 20

3.3.1 Preparasi Sampel ... 20

3.3.2 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 21

3.3.3 Penapisan Fitokimia ... 21

3.3.4 Uji Parameter Non-Spesifik Ekstrak ... 23

3.3.5 Uji Efek Antiinflamasi ... 23

3.4Analisis Data ... 28

BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 29

4.1.1Hasil Ekstraksi dari Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

4.1.2 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu ... 29

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

4.1.4 Hasil Uji Antiinflamasi ... 30

4.1.5 Hasil Uji Statistik ... 33

4.2 Pembahasan ... 34

BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Antiinflamasi ... 25

Tabel 4.1 Data Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados ... 29

Tabel 4.2 Rata-rata Volume Udem ... 30

Tabel 4.3 Rata-rata Persen Udem ... 31


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi ... 10

Gambar 2.2 Struktur Kimia Asam Asetil Salisilat ... 12

Gambar 4.1 Grafik Hubungan Rata-rata Volume Udem terhadap Waktu ... 31

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Persen Rata-rata Udem terhadap Waktu ... 32


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird.ex Web)

Nees ... 48 Lampiran 2 Perlakuan Hewan Uji pada Saat Penelitian ... 49 Lampiran 3 Hasil Uji Antiinflamasi ... 50 Lampiran 4 Determinasi Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird.ex Web)

Nees ... 52 Lampiran 5 Proses Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora

diclados ... 53 Lampiran 6 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophora diclados ... 54 Lampiran 7 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak Etil Asetat

Lumut Hati Mastigophora diclados ... 56 Lampiran 8 Aklimatisasi Hewan Percobaan ... 57 Lampiran 9 Skema Kerja Antiinflamasi ... 58 Lampiran 10 Perhitungan Dosis Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati

Mastigophora

diclados ... 59 Lampiran 11 Konversi Dosis Hewan ... 61 Lampiran 12 Perhitungan Dosis Asam Asetil Salisilat ... 62 Lampiran 13 Hasil Pengukuran Volume Udem Telapak Kaki Tikus Setelah

Diinduksi Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 63 Lampiran 14 Hasil Persentase Udem Telapak Kaki Tikus Setelah Diinduksi

Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 65 Lampiran 15 Hasil Persentase Inhibisi Udem Telapak Kaki Tikus Setelah

Diinduksi Karagenan pada Masing-masing Perlakuan ... 67 Lampiran 16 Perhitungan Persen Udem dan Persen Inhibisi Udem Telapak

Kaki

Tikus ... 69 Lampiran 17 Hasil Statistik Uji Efek Antiinflamasi dengan Metode Udem


(16)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, yaitu sekitar 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300 diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Rustam, et al., 2007). Salah satu tumbuhan yang berpotensi untuk dijadikan obat adalah tumbuhan tingkat rendah yaitu lumut hati.

Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk ke dalam divisi bryophyta. Informasi kajian flora tingkat rendah seperti bryophyta masih belum banyak diinformasikan, berbeda dengan flora tingkat tinggi yang sudah banyak dipublikasikan (Immamuddin, 2006).

Lumut hati dengan beragam filum yang kecil, merupakan rumput-rumputan yang diperkirakan terdiri dari sekitar 5.000 spesies. Tanaman ini membentuk spora dan dapat tumbuh hampir di semua habitat yang tersedia, terutama di lokasi yang lembab. Lumut hati dibedakan dari kelas-kelas tumbuhan lumut lainnya karena adanya minyak tubuh (oil bodies), yang mampu mensintesis senyawa yang larut lemak seperti asetogenin, terpenoid dan senyawa aromatik, sementara yang lainnya tidak (Ludwiczuk & Asakawa, 2010). Lumut hati memiliki badan minyak (oil bodies) sebagai penanda yang sangat penting untuk klasifikasi lumut hati tersebut. Beberapa kandungan kimia dari lumut hati merupakan senyawa yang khas bagi kelas ini dan menunjukkan berbagai aktivitas biologis yang menarik, seperti antimikroba, sitotoksik, antioksidan dan sejumlah enzim yang bekerja sebagai inhibitor serta memiliki aktivitas yang merangsang apoptosis (Komala, 2010).

Dalam penelitian sebelumnya, Komala, et al. (2010) telah melaporkan bahwa tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti mengandung senyawa-senyawa fenolik seskuiterpenoid herbertan. Senyawa-senyawa golongan fenolik seskuiterpenoid herbertan


(17)

2

dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik, antioksidan, dan antimikrobial. Antioksidan bekerja dapat menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamasi, artitis, diabetes dan penuaan (Ali et al., 2011). Maka dapat diasumsikan bahwa tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados yang tumbuh di Indonesia memiliki kandungan kimia yang hampir sama dengan Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti dan ada kemungkinan mempunyai aktivitas antiinflamasi.

Rasa nyeri dan peradangan (inflamasi) merupakan gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering terjadi yang disebabkan karena suatu kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan yang diikuti dengan pembebasan dan pembentukan bahan mediator, seperti prostagladin, histamin, serotonin dan bradikinin (Tjay, 2007).

Pada penelitian sebelumnya, Purnamasari (2013) melaporkan bahwa terdapat aktivitas antiinflamasi pada ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados dengan menggunakan metode pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan sebagai penginduksi udem pada dosis ekstrak 0,1 mg/kgBB, 1mg/kgBB, 10 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 1000 mg/kgBB. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek antiinflamasi lumut hati Mastigophora diclados ekstrak etil asetat dengan cara maserasi bertingkat, diawali dengan pelarut non polar (n heksan) kemudian dilanjutkan dengan pelarut semi polar (etil asetat). Ekstrak yang diujikan adalah ekstrak etil asetat dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya aktivitas antiinflamasi pada ekstrak semi polarnya.

1.2Rumusan Masalah

Apakah ekstrak etil asetat dari lumut hati Mastigophora diclados mempunyai efek antiinflamasi secara in vivo?


(18)

3

1.3Tujuan

Untuk menguji aktivitas antiinflamasi ekstrak etil asetat dari lumut hati Mastigophora diclados secara in vivo pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dan metode induksi karagenan.

1.4Manfaat

1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan data ilmiah mengenai efek antiinflamasi ekstrak etil asetat dari lumut hati Mastigophora diclados.

2) Secara Metodologi

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui pengujian aktivitas antiinflamasi dengan menggunakan metode induksi karagenan pada kaki tikus.

3) Secara Aplikatif

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bahwa tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados merupakan bahan obat dengan aktivitas antiinflamasi, sehingga dapat mendukung penggunaan dan pengembangan lumut hati ini sebagai altenatif pengobatan inflamasi.


(19)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mastigophora diclados

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan lumut hati mastigophora menurut Crandall et al. (2008) adalah :

Kingdom : Plantae

Phylum : Marchantiophyta Class : Jungermanniopsida Order : Jungermanniales Suborder : Lophocoleineae Family : Mastigophoraceae Genus : Mastigophora Nees. Species : M. diclados (Brid.) Nees

2.1.2 Kandungan Kimia

Menurut Asakawa (2007), berdasarkan kandungan kimianya, mastigophoraceae dan herbertaceae memiliki kesamaan, karena sama-sama menghasilkan senyawa seskuiterpenoid herbertan sebagai komponen utamanya.

Asakawa et al. (2004) mengemukakan bahwa dari pemeriksaan GC / MS ekstrak eter M. diclados (Brid. Ex F. Weber) Nees dari Borneo menunjukkan adanya senyawa herbertene, herbertenol, herbertene-2,3-diol dan herbertene-1 ,2-diol. Dalam koleksi sebelumnya dari M.diclados Malaysia Timur, selain herbertanes, herbertane dimer, juga ditemukan senyawa pada mastigophorenes A-D. Spesies di Malaysia Barat tidak menghasilkan herbertanes, melainkan jenis trachylobane diterpenoid. Hashimoto et al. (2000) menyebutkan bahwa koleksi Jepang mempunyai herbertene dan α-herbertenol dengan


(20)

5

siklik diklorinasi bis-bibenzyls, dimana tidak ada diterpenoids dan dimer herbertane yang telah terdeteksi.

Menurut Asakawa (2004), data ini menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga ras geografis M. diclados di Asia, tipe bis-bibenzyl di Jepang, jenis mastigophorene di borneo (Malaysia Timur), dan jenis pimarane serta turunan pimarane trachylobane diterpenoid di Taiwan dan Malaysia Barat.

2.1.3 Aktivitas Biologis

M. diclados memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel HL-60 dan KB, antioksidan, dan aktivitas antimikrobial terhadap Bacillus subtilis (Komala, 2010 ; Komala, et al., 2010)

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan belum mengalami pengolahan apapun, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).

2.3 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI, 2000).


(21)

6

Faktor-faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah : 1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan (Depkes RI, 2000).

2. Faktor kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000).

Kelarutan dan stabilitas senyawa pada simplisia terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman dipengaruhi oleh struktur kimia yang berbeda-beda (Depkes RI, 2000).

Simplisia yang lunak seperti rimpang, akar dan daun mudah diserap oleh pelarut, sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Sedangkan simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus. Selain sifat fisik dan senyawa aktif dari simplisia, senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak dan gula juga harus diperhatikan (Depkes RI, 2000).


(22)

7

2.3.2 Ekstraksi dengan Pelarut

Dengan menggunakan metode penyarian atau pelarut dalam ekstraksi dapat dibedakan macam-macam cara ekstraksi diantaranya:

a. Cara Dingin

1. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak (Depkes RI,2000).


(23)

8

b. Cara Panas

1. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

2. Soxhletasi

Soxhletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik (Depkes RI, 2000).

3. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes RI, 2000).

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 2000).


(24)

9

5. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.4Inflamasi

2.4.1 Definisi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vaskular terjadi karena rangsangan eksogen dan endogen. Peradangan adalah respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen mikrobiologis yang berupaya untuk menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi Biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan tapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga dapat berakibat fatal (Sen, et al., 2010).

2.4.2 Mekanisme

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrin, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (Katzung, 2006).


(25)

10

Gambar 2.1 Mekanisme Inflamasi

(Katzung, 2006)

Saat berlangsungnya feomena inflamasi ini banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal seperti histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT) atau serotonin, faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin (Utami, 2011).

2.4.3 Jenis-jenis Inflamasi

Umumnya peradangan terbagi menjadi dua jenis yaitu peradangan akut dan peradangan kronis (Sen et al., 2010).

Reaksi inflamasi terurai oleh mekanisme yang berbeda dan terjadi pada fase seperti:

a) fase akut : vasodilatasi lokal sementara dan peningkatan permeabilitas kapiler

b) fase sub-akut : Infiltrasi leukosit dan fagositosis sel

c) fase Kronis proliferatif : kerusakan jaringan dan fibrosis (Sen et al., 2010).


(26)

11

Peradangan akut adalah tanggapan awal dari tubuh mengambil faktor risiko seperti infeksi atau trauma dan lain-lain, ini adalah garis tidak spesifik dan pertahanan pertama tubuh terhadap bahaya. Fitur utama dari peradangan akut termasuk :

a) akumulasi cairan dan plasma di lokasi yang terkena dampak b) aktivasi intravaskular datar atau memungkinkan

c) polymorph-nuklir neutrofil sebagai sel inflamasi (Sen et al., 2010).

Ketika faktor-faktor risiko memperpanjang dan tidak dihapus, akan terjadi peradangan akut dan kemudian akan berubah menjadi peradangan kronis. Hal ini terjadi untuk durasi yang lebih lama dan terkait dengan adanya makrofagen, limfosit, sel darah proliferasi, fibrosis dan nekrosis jaringan. Para makrofagen menghasilkan sejumlah macam produk biologis aktif yang menyebabkan kerusakan jaringan dan karakteristik fibrosis peradangan kronis (Sen et al., 2010).

2.4.4 Obat-obat Antiinflamasi

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam golongan :

a) Antiinflamasi Steroid

Obat ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah: prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 2006).

b) Antiinflamasi Non Steroid

Obat ini bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah : aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon, dan pirosikam (Katzung, 2006).


(27)

12

2.4.5 Asam Asetil Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan aspirin atau asetosal adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas (Gunawan, 2009).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Asam Asetil Salisilat

(Gunawan, 2009)

Asam asetil salisilat bekerja menghambat enzim siklooksigenase secara irreversibel (prostagladin sintetase), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida. Pada dosis yang tepat obat ini akan menurunkan pembentukan prostagladin maupun tronboksan A2, tetapi tidak leukotrien (Gunawan, 2009).

Efek samping dari asam asetil salisilat adalah terjadinya gangguan pada lambung (gastritis), pendarahan saluran cerna, muntah, tinusitus, penurunan pendengaran, vertigo, meningkatkan kadar asam urat serum dan hepatitis ringan (Gunawan, 2009).

2.4.6 Metode Uji Antiinflamasi

1. UV-Eritema pada Hewan Babi

Level prostaglandin E (PGE) pada kulit babi telah menunjukkan adanya peningkatan selama 24 jam setelah terpapar radiasi UV 280-320 nm. Perkembangan dari peningkatan level PGE sejalan dengan perkembangan fase perlambatan terjadinya eritema. Perlambatan terjadinya UV-eritema pada hewan percobaan babi albino ini akibat diberikannya pretreatment


(28)

13

dengan fenilbutazon dan obat-obat NSAID lainnya. Eritema adalah tanda awal terjadinya inflamasi yang nantinya akan muncul tanda lainnya yakni eksudasi plasma dan terjadinya edema (Patel, et al., 2012).

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Hewan percobaan dihilangkan bulu menggunakan suspensi barium sulfat. Dua puluh menit kemudian dibersihkan menggunakan air panas. Hari berikutnya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengah dosisnya lagi diberikan setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm di atas hewan. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2002).

2. Permeabilitas Vaskular

Selama terjadinya inflamasi, permeabilitas vaskular meningkat sehingga memungkinkan komponen-komponen plasma seperti antibodi dan komponen lain menyebabkan luka atau infeksi jaringan. Uji digunakan untuk mengevaluasi aktivitas penghambatan obat terhadap peningkatan permeabilitas vaskular dengan induksi radang. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrin dilepaskan selama stimulasi terhadap sel mast. Hal ini digunakan untuk mendilatasi arteriola dan venula dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Sebagai konsekuensinya, cairan dan protein plasma dikeluarkan dan ternetuklah edema. Peningkatan permeabilitas dapat dikenali dengan infiltrasi dari injeksi pada kulit hewan percobaan dengan


(29)

14

3. Induksi Oxazolon pada Telinga Mencit

Metode ini adalah model penurunan kontak hipersensitivitas yang memungkinkan adanya evaluasi secara kuantitatif dari aktivitas antiinflamasi sistemik dan topikal dari pemberian senyawa-senyawa secara topikal. Oxazolon meningkatkan level Th2 sitokin dan menurunkan level Th1 sitokin pada kulit yang

mengalami luka. Th2 sitokin, terutama IL-4, berperan penting pada

perkembangan dermatitis pada metode ini (Patel, et al., 2012).

Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0,01 ml 2% larutan oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam24 jam. Kemudian hewan dikorbankan dengan anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi indikator inflamasi udem (Vogel, 2002).

4. Edema Minyak Croton pada Tikus dan Mencit

Minyak croton mengandung 12-o-tetracanoilphorbol-13-asetat (TPA) dan ester probol yang lain sebagai agen iritasi utama. TPA mampu mengaktivasi protein kinase C (PKC), yang mampu mengaktivasi enzim lain seprti mitogen activated protein kinases (MPAK) dan phospholipase A2 (PLA2) yang menstimulasi pelepasan platelet activation factor (PAF) dan AA. Hal ini menstimulasi permeabilitas vaskular, vasodilatasi, polymorphonuclear leukocytes migration, pengeluaran histamin dan serotonin dan sintesis moderat dari inflammatory eicosanoids oleh enzim siklooksigenase (COX) dan 5-lipooksigenase (5-LOX). Inhibitor COX dan 5-LOX, antagonis leukotrin B4 (LTB4) dan kortikosteroid menunjukkan efek antiinflamasi secara topikal dengan metode ini (Patel, et al., 2012).


(30)

15

5. Induksi Radang Pada Tikus

Kemampuan obat-obat antiinflamasi untuk menghambat radang pada telapak kaki tikus setelah diinjeksikan agen penginduksi radang. Beberapa senyawa penginduksi radang (iritan) telah digunkan, misalnya brewer’s yeast, formaldehid, dextran, egg albumin, kaolin, aerosil, sulfated polysaccharides like carrageenan atau naphthoylheparamine. Volume telapak kaki tikus diukur sebelum dan sesudah diinjeksikannya senyawa penginduksi radang dan tikus yang diberi perlakuan dibandingkan hasilnya dengan tikus yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dengan menggunakan pletismograf. Induksi radang dengan karagenan berhubungan dengan 3 fase, yakni pada fase pertama terjadi degranulasi oleh sel mast sehingga terjadilah pelepasan histamin dan serotonin (1 jam), fase kedua (60-150 menit) dikarakterisasi oleh pelepasan bradikinin dan nyeri serta produksi eikosanoid pada fase terakhir (3-4 jam) (Patel, et al., 2012).

6. Uji Pleura

Dapat digunakan beberapa iritan, seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, degranulator sel mast, dextran, enzim, antigen, mikroba, dan iritan non spesifik seperti turpentin dan karagenan. Induksi karagenan pada tes pleura ini merupakan metode yang paling baik untuk pengukuran inflamasi akut dimana metode ini mampu dengan mudah untuk mengukur fluid extravasation, migrasi leukosit, dan beberapa parameter biokimia yang termasuk dalam respon inflamasi (Patel, et al., 2012).

Prosedur untuk pengujian ini adalah pleura tikus mula-mula diinduksi dengan injeksi intrapleural 0,1 mL karagenan 1%. Setelah 4 jam, hewan tersebut dibunuh dengan pemberian eter kemudian toraks dibuka dan pleural cavity dicuci dengna 1,0 mL steril PBS, yang mengandung heparin (20 IU per mL). Sampel dari


(31)

16

pleura tersebut diambil dan dideterminasi exudasi, myeloperoksidase, aktivitas adenosin deaminase, dan level nitrat oksida sebagaimana pada determinasi dari total perhitungan leukosit. Hitung leukosit total dilakukan dengan Neubauer chamber (Patel, et al., 2012).

7. Teknik Pembentukan Kantong Granuloma

Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa iritan secara subkutan pada hewan percobaan. Granulasi jaringan mulai membelah dan akan terus membelah sampai menutupi bagian dalam kantong granuloma. Jaringan ini terdiri dari fibroblas, sel-sel endotel, dan infiltrasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear. Pada GPA, jaringan yang terus tumbuh ini dapat mengarah menjadi senyawa karsinogenik dan mutagenik. Salah satu keuntungan dari teknik ini adalah kemungkinan untuk membawa senyawa uji untuk kontak langsung dengan sel target dengan menginjeksikannya pada kantong granuloma. Senyawa dapat diberikan per oral atu injeksi parenteral (Patel, et al., 2012).

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2002).

2.4.7 Karagenan

Karagenan adalah polimer linear yang tersusun dari sekitar 25.000 turunan galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi. Karagenan dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambdakaragenin. Karagenan lambda (λ karagenin) adalah karagenan yang diisolasi dari ganggang Gigartina


(32)

17

pistillataatau atau Chondrus crispus, yang dapat larut dalam air dingin (Annis Hidayati, 2008). Sedangkan karagenan kappa dan iota larut dalam air pada suhu 800C (Rowe, et al., 2006).

Karagenan sebagai suatu turunan polisakarida akan dikenali tubuh sebagai suatu substansi asing sehingga mampu menginduksi terjadinya edema melalui berbagai mekanisme. Karagenan akan merangsang fosfolipida membran sel mast yang terdapat di jaringan ikat di sekitar telapak kaki tikus untuk mengeluarkan asam arakidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A2 sehingga menghasilkan berbagai

macam produk mediator inflamasi dengan bantuan Radical Oxygen Spesies (Nuswantoro, 2011).

Setelah pelepasan mediator inflamasi, terjadi edema yang mampu bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam setelah injeksi (Hidayati, 2008).

Uji aktivitas antiinflamasi dengan metode induksi karagenan merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antiinflamasi yang sederhana, mudah dilakukan dan sering dipakai. Selain itu, pembentukan radang oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan jaringan (Fitriyani, 2011). Karagenan digunakan sebagai penginduksi inflamasi karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi (Vogel, 2002).

2.4.8 Natrium Karboksimetil Selulosa (Na CMC)

CMC adalah polisakarida anionik linear yang larut dalam air dan merupakan gom alami yang dimodifikasi secara kimia. Bubuk CMC yang telah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa, dan tidak berbau. Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air, menstabilkan komponen lain, dan mencegah pengerutan (Nussinovitch 1997).


(33)

18

Natrium CMC adalah garam dari asam karboksilat. Pada pH 3.0 atau lebih rendah,CMC akan kembali menjadi bentuk asam bebas tidak larut. Sifat yang paling berguna dari CMC adalah daya pengentalannya. Viskositas larutan hampir tidak terpengaruh pada pH

5−7, pada pH<3 viskositas mungkin meningkat dan pengendapan bentuk asam bebas dari CMC dapat terjadi, pada pH>10 terjadi sedikit penurunan viskositas. Viskositas larutan CMC menurun dengan meningkatnya suhu (Nussinovitch 1997) .


(34)

19 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi (Laboratorium Penelitian I) dan Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret – Agustus 2013.

3.2Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : neraca analitik, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, spatula, kertas saring, batang pengaduk, kaca arloji, cawan penguap, pipet tetes, lumpang dan stamper, blender, vaccum rotary evaporator, krus, desikator, oven, spuit, sonde, stopwatch, kandang tikus, timbangan hewan, pletsimometer, sarung tangan, masker, alumunium foil, label, kapas.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumut hati Mastigophora diclados (mastigophoraceae) yang diambil di pohon batang pinus dan batang agathis pada ketinggian 800 m blok 55, Gunung Slamet, Purwokerto, sebanyak 2,220 kg basah, serbuk kering (simplisia) 2,203 kg, simplisia yang digunakan dalam ekstraksi sebanyak 2,103 kg dengan warna hijau dan bau khas aromatis.


(35)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan untuk uji efek antiinflamasi yang digunakan adalah karagenan jenis kappa untuk induksi radang yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, asam asetil salisilat sebagai zat pembanding diperoleh dari Laboratorium Penelitian Kimia Obat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, natrium karboksimetil selulosa (Na CMC), dan NaCl fisiologis 0,9%.

Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah n-heksan, etil asetat. Sedangkan bahan untuk penapisan fitokimia adalah kloroform, amonia, pereaksi dragendorf, pereaksi meyer, HCl, H2SO4, FeCl3,

NaOH, etil asetat dan aquadest.

3.2.4 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus jantan strain Sprague Dawley umur 2-3 bulan dengan bobot badan berkisar antara 200-250 g (Widiyantoro, 2012). Hewan tersebut diperoleh dari Gajah Mada Veterinary (Gamavet), Yogyakarta yang disimpan dalam kandang tikus pada suhu ruang, lampu dalam keaadaan hidup selama 12 jam dan lampu keadaan mati selama 12 jam, diberikan makanan standar dan diberikan minum air.

3.3Rancangan Prosedur Kerja

3.3.1 Preparasi Sampel

1) Pengumpulan dan penyediaan lumut hati Mastigophora diclados. 2) Lumut hati Mastigophora diclados disortasi basah, dicuci dengan

air sampai bersih, dikeringanginkan dalam ruangan, disortasi kering, ditimbang kemudian dihaluskan dengan blender hingga menjadi serbuk.


(36)

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3.2 Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora

diclados

Pembuatan Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophora diclados dilakukan dengan cara remaserasi bertingkat, diawali dengan perendaman menggunakan pelarut n-heksan, kemudian etil asetat, dan terakhir metanol. Campuran bubuk daun dan pelarut tersebut dimaserasi /direndam sampai diperoleh filtrat jernih (Asmaliyah, 2010). Pada penelitian ini yang diambil adalah ekstrak etil asetat. Oleh karena itu, setelah dimaserasi dengan etil asetat, maserat disaring dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Dihitung hasil % rendemen ekstrak dengan rumus :

% rendemen ekstrak = Bobot ekstrak yang didapat

Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi

x

100%

3.3.3 Penapisan Fitokimia (Ayoola, et al., 2008)

1. Uji Antraquinon

Sejumlah ekstrak didihkan bersama asam sulfat (H2SO4) lalu

disaring selagi hangat. Filtrat yang dihasilkan ditambah dengan 5 mL kloroform dan dikocok. Lapisan kloroform dipipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan 1 mL ammonia. Perubahan warna yang terjadi pada larutan mengindikasikan adanya antraquinon.

2.Uji Terpenoid

Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 2 mL kloroform. Kemudian dengan hati-hati ditambahkan H2SO4 pekat (3 mL)

sampai membentuk lapisan. Terbentuknya warna merah kecoklatan menunjukkan adanya terpenoid.


(37)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Uji Flavonoid

Tiga metode yang digunakan untuk menguji flavonoid. 1) Amonia encer (5 mL) ditambahkan ke sebagian filtrat

encer dari ekstrak. Kemudian asam sulfat pekat (1 mL) ditambahkan. Sebuah warna kuning yang hilang menunjukkan adanya flavonoid.

2) Beberapa tetes larutan aluminium 1% ditambahkan ke sebagian dari filtrat. Terbentuknya warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.

3) Sebagian dari ekstrak dipanaskan dengan 10 mL etil asetat yang telah diuapkan selama 3 menit. Campuran kemudian disaring dan 4 mL filtrat dikocok dengan penambahan 1 mL larutan amonia encer. Terbentuknya warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.

4. Uji Saponin

Sejumlah ekstrak ditambahkan 5 mL aquades dalam tabung reaksi. Larutan dikocok kuat dan diamati. Terbentuknya busa stabil menunjukkan adanya saponin.

5. Uji Fenolik

Sejumlah ekstrak dalam 10 mL air dididihkan dalam tabung reaksi kemudian disaring. beberapa tetes besi klorida 0,1% ditambahkan dan diamati, terbentuknya warna hijau kecoklatan atau biru-hitam menunjukkan adanya fenolik.

6. Uji Alkaloid

Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam asam klorida encer, dipanaskan kemudian disaring. 5 mL filtrat ditambahkan dengan 2 mL amonia dan 5 mL kloroform, dikocok. Lapisan kloroform ditambahkan etil asetat 10 mL. Filtrat kemudian dibagi dua.


(38)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Uji Mayer : Filtrat diberi reagen mayer, terbentuknya endapan berwarna kuning menunjukkan adanya alkaloid. 2. Uji Dragendroff : Filtrat diberikan reagen dragendroff,

terbentuknya endapan merah menunjukkan adanya alkaloid.

3.3.4 Uji Parameter Non-Spesifik Ekstrak (Depkes RI, 2000)

1. Uji Kadar Air

Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah ditara. Krus yang berisi ekstrak kemudian dikeringkan pada suhu 1050C selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%.

2. Uji Kadar Abu Total

Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Dihitung kadar abu total terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.3.4 Uji Efek Antiinflamasi

Uji aktivitas antiinflamasi atau anti radang dilakukan berdasarkan kemampuan ekstrak/fraksi/senyawa aktif mengurangi atau menekan derajat udema (pembengkakan karena radang) yang diinduksi zat penyebab radang pada hewan percobaan (Widiyantoro et al., 2011).


(39)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada penelitian ini, induksi udema dilakukan pada kaki tikus dengan cara penyuntikan suspensi karagenan 1% 0,2 mL intraplantar.

a. Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari dosis yang mempunyai efek terhadap hewan percobaan. Dosis yang diberikan untuk percobaan pendahuluan adalah 10, 100, dan 1000 mg/kg BB. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa dosis 1000 mg/kg BB menyebabkan kematian semua hewan coba dalam satu kelompok dalam kurun waktu 24 jam. Sedangkan pada dosis 10 dan 100 mg/kg BB mampu menunjukkan efek positif dan setelah dianalisa secara statistik hasil hambat udem dari kedua dosis belum menunjukkan perbedaan yang bermakna

pada taraf uji statistik 0,05 (ρ ≥ 0,05), maka dilakukan pengujian lagi dengan penurunan dosis di bawah dosis 100 mg/kg BB, yaitu dosis 50 mg/kg BB dan penurunan dosis di bawah dosis 10 mg/KgBB, yaitu dosis 5 mg/Kg BB.

b. Pengelompokan Hewan Percobaan

Jumlah hewan percobaan yang digunakan menurut WHO adalah 5 ekor untuk tiap kelompok. Dalam penelitian ini digunakan 5 ekor tikus untuk masing-masing kelompok.

Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus dengan rincian sebagai berikut :


(40)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Hewan Uji Antiinflamasi

Kelompok Jumlah Tikus Perlakuan

1 5 Kelompok kontrol negatif : diberi suspensi Na CMC 0,5 %

2 5

Kelompok kontrol positif : diberi suspensi asetosal dalam Na CMC 0,5%

3 5

Kelompok uji 1: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 5 mg/kg BB

4 5

Kelompok uji 2: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 %dengan dosis 10 mg/kg BB

5 5

Kelompok uji 3: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 50 mg/kg BB

6 5

Kelompok uji 4: diberi suspensi ekstrak etil asetat Mastigophora diclados dalam Na CMC 0,5 % dengan dosis 100 mg/kg BB

c. Penyiapan Hewan Percobaan

Tikus dipuasakan selama lebih kurang 18 jam sebelum perlakuan, namun air minum tetap diberikan. Pada awal penelitian, tiap tikus diberi tanda dengan spidol pada sendi belakang kiri, agar pemasukan kaki dalam air raksa setiap kali selalu sama, kemudian


(41)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tiap tikus ditimbang. Volume kaki tikus diukur dan dicatat sebagai volume dasar untuk tiap tikus (Fitriyani, 2011).

d. Perencanaan Dosis Asetosal

Dosis lazim asetosal untuk manusia adalah 325-650 mg untuk sekali pakai. Untuk dosis analgetik adalah 500 mg sekali pakai. Dosis asetosal sebagai antiinflamasi 2-3 x dosis analgetik (Tjay, 2007). Maka dosis untuk antiinflamasi (1000-1500) mg. Dosis yang dapat diberikan pada tikus (200 g) dihitung menggunakan rumus tabel konversi dosis hewan (Reagan-Shaw, et al., 2007) (Lampiran 12)

Pada penelitian ini digunakan asetosal dengan dosis 25 mg/200 g atau 125 mg/kgBB.

e. Pembuatan Suspensi Asetosal

Untuk dosis 25 mg/200 g atau 125 mg/kgBB, asetosal ditimbang sebanyak 625 mg, digerus perlahan dalam lumpang, kemudian ditambahkan sebagian NaCMC 0,5% diaduk sampai homogen dan ditambahkan Na CMC 0,5% sampai volume 25 mL.

f. Pembuatan Suspensi Bahan Uji

Ekstrak lumut hati Mastigophora diclados dibuat dalam sediaan suspense Na CMC 0,5%. Konsentrasi ekstrak pada dosis 5 mg/KgBB adalah 1 mg/mL, pada dosis 10 mg/KgBB adalah 2 mg/mL, pada dosis 10 mg/KgBB adalah 10 mg/mL, pada dosis 50 mg/KgBB adalah 20 mg/mL (Lampiran 10)

Untuk dosis 5 mg/KgBB, ditimbang sebanyak 10 mg ekstrak, didispersikan dalam suspensi Na CMC 0,5% yang telah dibuat sebelumnya, dicampur sampai homogen dan dicukupkan sampai 10 mL dengan Na CMC 0,5% (Lampiran 10).


(42)

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

g. Pembuatan Karagenan 1% (b/v)

Karagenan 1% dibuat dengan melarutkan 100 mg karagenan dalam 10 mL larutan fisiologis (NaCl 0,9%) (Annis Hidayati, 2008).

h. Prosedur Uji Efek Antiinflamasi (Patel, 2011)

1. Hewan percobaan (tikus putih) diaklimatisasi dalam ruang penelitian selama 4 minggu dan dipuasakan selama lebih kurang 18 jam sebelum perlakuan dan tetap diberi minum. 2. Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok (kelompok kontrol

negatif, kelompok kontrol positif, kelompok uji 1, kelompok uji 2, kelompok uji 3, dan kelompok uji 4) secara acak, dimana masing masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus.

3. Setiap tikus diberi tanda dengan spidol pada sendi belakang kiri, agar pemasukan kaki dalam air raksa setiap kali selalu sama.

4. Menimbang berat badan setiap tikus.

5. Mengukur volume kaki tikus (sebagai volume dasar untuk setiap tikus) dengan pletismometer.

6. Pada kelompok kontrol negatif diberikan Na CMC 0,5 %, pada kelompok kontrol positif diberikan suspensi asetosal dalam Na CMC 0,5%, dan pada kelompok uji diberikan zat uji ekstrak dalam Na CMC 0,5% sesuai dosis yang direncanakan secara oral.

7. 1 jam setelah pemberian suspensi zat uji atau suspensi kontrol, disuntikkan larutan karagenan 1% pada telapak kaki tikus sebanyak 0,2 mL setelah sebelumnya kaki tikus dibersihkan dengan alkohol 70%.

8. Volume kaki tikus yang telah disuntik karagenan 1% dalam larutan NaCl 0,9% diukur dengan alat pletismometer dengan cara mencelupkan telapak kaki tikus ke dalam alat tersebut sampai tanda spidol. Pengukuran dilakukan setiap 1 jam


(43)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

selama 6 jam yaitu pada jam ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, dan ke-6 (Buadonpri, 2009).

9. Mengukur volume udem telapak kaki masing-masing tikus. 10.Menghitung persentase udem dan persentase inhibisi

pembentukan udem dengan rumus :

 Perhitungan persentase radang tiap waktu ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Hidayati, 2008) :

% radang = Vt − Vo

Vo x 100% Dimana :

Vt = volume telapak kaki tikus pada waktu t

Vo= volume telapak kaki tikus sebelum injeksi

karagenan

 Persentase inhibisi radang dihitung dengan rumus sebagai berikut (Rustam, 2007):

% inhibisi radang = ( − )x 100% Dimana :

a = volume udem pada kelompok hewan kontrol b = volume udem pada kelompok hewan uji

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji Levene untuk melihat homogenitas data. jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan uji Analisis Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaan sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan ujinyata terkecil / Least Significant Difference (LSD) (Santoso, 2007).


(44)

29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 Hasil Ekstraksi dari Lumut Hati Mastigophora diclados

Dari 2,103 kg lumut hati Mastigophora diclados yang diekstraksi, diperoleh ekstrak kental 41,78 g. Jadi rendemen yang didapat adalah 1,98 %.

4.1.2 Hasil Uji Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak

Dari hasil uji kadar air ekstrak didapatkan bahwa kadar air ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 0,47% dan hasil uji kadar abu didapatkan bahwa kadar abu ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 10%.

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat lumut hati

Mastigophoradiclados

Tabel 4.1 Data Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Lumut Hati Mastigophoradiclados

Pengujian Ekstrak etil asetat lumut

hati Mastigophoradiclados

Antraquinon - Terpenoid + Flavonoid -

Saponin -

Fenolik -


(45)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk gambar hasil penapisan fitokimia ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophoradiclados dapat dilihat pada lampiran 6.

4.1.4 Hasil Uji Antiinflamasi

1) Rata-rata volume udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.2 Rata-rata Volume Udem (mL)

Kelompok Rata-rata Volume Udem (mL) ± SD tiap 1 jam selama 6 jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol Negatif 0,024 ± 0,001 0,03 ± 0,001 0,041 ± 0,001 0,043 ± 0,001 0,039 ± 0,001 0,037 ± 0,002 0,036 ± 0,001 Kontrol Positif 0,029 ± 0,001 0,033 ± 0,001 0,039 ± 0,001 0,040 ± 0,000 0,038 ± 0,002 0,037 ± 0,001 0,036 ± 0,000 Dosis 5 mg/kg 0,028 ± 0,002 0,033 ± 0,002 0,036 ± 0,002 0,036 ± 0,004 0,034 ± 0,002 0,033 ± 0,002 0,032 ± 0,002 Dosis 10 mg/kg 0,028 ± 0,002 0,034 ± 0,003 0,037 ± 0,003 0,038 ± 0,002 0,036 ± 0,002 0,035 ± 0,001 0,034 ± 0,002 Dosis 50 mg/kg 0,027 ± 0,002 0,035 ± 0,003 0,037 ± 0,003 0,040 ± 0,002 0,038 ± 0,002 0,037 ± 0,002 0,036 ± 0,002 Dosis 100 mg/kg 0,026 ± 0,003 0,036 ± 0,002 0,039 ± 0,001 0,042 ± 0,000 0,039 ± 0,001 0,037 ± 0,002 0,036 ± 0,001


(46)

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.1. Grafik hubungan rata-rata volume udem terhadap waktu

2) Rata-rata persen udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.3 Rata-rata Persen Udem

Kelompok Persen Rata-rata Udem (%) ± SD tiap 1 Jam Selama 6 Jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol Negatif

0 ± 0,000

58,33 ± 4,65

70,83 ± 9,89

79,16 ± 6,47

62,50 ± 5,69

54,16 ± 4,17

50 ± 1,72 Kontrol

Positif

0 ± 0,000

13,79 ± 5,24

34,48 ± 5,82

37,93 ± 5,21

31,03 ± 10,04

27,58 ± 6,57

24,13 ± 4,69 Dosis

5 mg/kg

0 ± 0,000

17,85 ± 18,42

28,57 ± 26,82

28,57 ± 28,24

21,42 ± 22,72

17,85 ± 18,42

14,28 ± 14,32 Dosis

10 mg/kg

0 ± 0,000

21,42 ± 9,03

32,14 ± 6,85

35,71 ± 6,01

28,57 ± 8,22

25 ± 8,23

21,42 ± 4,96 Dosis

50 mg/kg

0 ± 0,000

29,62 ± 4,54

37,03 ± 4,56

48,14 ± 6,58

40,74 ± 5,24

37,03 ± 6,53

33,33 ± 4,96 Dosis

100 mg/kg

0 ± 0,000

38,46 ± 11,78

50 ± 14,49

61,53 ± 18,29

50 ± 19,35

42,30 ± 22,50

38,46 ± 19,20 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05

0 1 2 3 4 5 6

v ol u m e (m L) waktu (jam)

Rata-rata Volume Udem

kontrol negatif kontrol positif dosis 5 mg/kg dosis 10 mg/kg dosis 50 mg/kg dosis 100 mg/kg


(47)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.2 Grafik hubungan persen rata-rata udem terhadap waktu

3) Rata-rata persen inhibisi udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing perlakuan

Tabel 4.4 Rata-rata Persen Inhibisi Udem

Kelompok Persen Inhibisi Udem (%) ± SD tiap 1 Jam Selama 6 Jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol Negatif 0 ± 0,000 0 ± 0,000 0 ± 0,000 0 ± 0,000 0 ± 0,000 0 ± 0,000 0 ± 0,000 Kontrol Positif 0 ± 0,000 76,35 ± 8,71 51,32 ± 9,46 52,08 ± 7,44 50,35 ± 17,68 49,07 ± 13,31 51,74 ± 8,88 Dosis 5 mg/kg 0 ± 0,000 69,39 ± 5,87 59,66 ± 7,33 63,90 ± 6,49 65,72 ± 12,22 67,04 ± 7,49 71,44 ± 15,16 Dosis 10 mg/kg 0 ± 0,000 63,27 ± 17,63 54,62 ±13,71 54,88 ± 11,55 54,28 ± 18,68 53,84 ± 16,64 57,16 ± 10,36 Dosis 50 mg/kg 0 ± 0,000 49,21 ± 9,92 47,71 ± 8,97 39,18 ± 8,82 34,81 ± 3,40 31,62 ±15,50 33,34 ± 8,89 Dosis 100 mg/kg 0 ± 0,000 34,06 ± 20,74 29,40 ± 19,83 22,27 ± 44,96 20 ± 16,19 21,89 ± 19,65 23,08 ± 18,01 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 1 2 3 4 5 6

P

e

rsen

(%)

Waktu (jam)

Persen Rata-rata Udem

kontrol negatif kontrol positif dosis 5 mg/kg dosis 10 mg/kg dosis 50 mg/kg dosis 100 mg/kg


(48)

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.3 Grafik hubungan persen rata-rata inhibisi udem terhadap waktu

4.1.5 Hasil Uji Statistik

Ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados dengan dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi dengan penginduksi udem karagenan 1% sebanyak 0,2 mL secara bermakna (ρ ≤ 0,05) dengan kontrol negatif dan semua variasi dosis uji memiliki perbedaan secara bermakna terhadap kontrol positif (asetosal 125 mg/KgBB) pada taraf uji (ρ≤ 0,05).

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 1 2 3 4 5 6

P

e

rsen

(%)

Waktu (jam)

Persen Rata-rata Inhibisi Udem

kontrol negatif kontrol positif dosis 5 mg/kg dosis 10 mg/kg dosis 50 mg/kg dosis 100 mg/kg


(49)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan uji efek antiinflamasi ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados secara in vivo. Lumut tersebut diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto pada ketinggian 800 m blok 55 yang hidup di batang pinus dan batang aghatis. Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu lumut dideterminasi untuk menguji kebenaran tumbuhan. Hasil dari determinasi menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan dalam penelitian adalah lumut hati jenis Mastigophora diclados (Brid ex. Web) Nees dari suku Mastigophoraceae (Lampiran 4).

Bagian yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah semua bagian tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados. Sebanyak 2,220 kg lumut terlebih dahulu dicuci bersih untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang menempel pada bahan, kemudian disortasi basah yang fungsinya untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan, dikeringanginkan pada suhu kamar, disortasi kering dengan tujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal, kemudian bahan dihaluskan dengan blender dengan tujuan untuk memperkecil luas permukaan bahan sehingga memudahkan difusi pelarut pada simplisia yang diekstraksi. Hasil akhirnya diperoleh simplisia sebanyak 2,203 kg. Simplisia tersebut kemudian digunakan untuk membuat ekstrak kental etil asetat.

Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebagai bahan uji dalam penelitian ini dibuat dengan metode ekstraksi maserasi. Pada proses pembuatan ekstrak ini dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, yang dikenal dengan istilah remaserasi. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan (Depkes RI, 2000). Metode maserasi dipilih karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan merupakan metode yang umum digunakan dalam proses ekstraksi.

Dalam hal ini pelarut yang digunakan adalah n-heksan dan etil asetat. Pada awalnya simplisia dimaserasi dengan n-heksan (non polar) dalam wadah yang gelap. Pelarut diganti setiap 2 hari sekali sampai diperoleh filtrat bening.


(50)

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kemudian, simplisia tersebut dimaserasi kembali dengan menggunakan pelarut etil asetat (semi polar) dalam wadah yang gelap. Pelarut diganti setiap 2 hari sekali sampai diperoleh filtrat bening. Filtrat tersebut kemudian disaring dan pelarut diuapkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator sehingga didapatkanlah ekstrak kental etil asetat. Karena ekstrak yang dihasilkan belum terlalu kental dan masih terdapat kandungan air di dalamnya, maka dilakukan freeze drying dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut air dari padatan terlarut dengan tetap mempertahankan senyawa yang ada. Ekstrak kental etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang diperoleh sebesar 41,78 g dengan rendemen 1,98 %.

Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados menunjukkan bahwa dalam ekstrak etil asetat positif mengandung metabolit sekunder terpenoid, sedangkan hasil uji metabolit sekunder saponin, fenolik, alkaloid, flavonoid, dan antrakuinon menunjukkan hasil negatif. Pengujian parameter non spesifik ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang dilakukan adalah uji kadar air dan kadar abu ekstrak. Kadar air ekstrak sebesar sebesar 0,47%. Penentuan kadar air ini menggunakan metode gravimetrik yang pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan pada suhu 1050C, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan. Kadar air ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak. Menurut literatur, kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dan mikroba dalam ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997). Untuk hasil uji kadar abu didapatkan bahwa kadar abu ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados sebesar 10%. Menurut literatur Materia Medika Indonesia (MMI), kadar abu dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 15%. Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral ekstrak (Dekes RI, 2000). Disini ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja.

Metode yang digunakan dalam pengujian antiinflamasi adalah pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih


(51)

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

karena merupakan salah satu metode pengujian aktivitas antiinflamasi yang sederhana, mudah dilakukan, dan sering dipakai (Fitriyani, 2011). Karagenan 1% digunakan sebagai penginduksi udem karena waktu pembengkakan yang disebabkan oleh karagenan relatif pendek yaitu sekitar 3-5 jam sehingga memudahkan pengamatan. Pembengkakan yang disebabkan oleh karagenan akan berkurang dalam waktu 1-5 hari tanpa meninggalakan bekas (Musfiroh, 2009). Selain itu, pembentukan radang oleh karagenan tidak menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan sekitar inflamasi. Karagenan sebagai penginduksi udem merupakan turunan polisakarida yang akan dikenali tubuh sebagai substansi asing sehingga mampu menginduksi terjadinya udem melalui beberapa mekanisme. Karagenan akan merangsang fosfolipid membran sel mast yang terdapat di jaringan ikat di sekitar telapak kaki tikus untuk mengeluarkan asam arakidonat dengan bantuan enzim fosfolipase A2

sehingga menghasilkan berbagai macam produk mediator inflamasi dnegan bantuan Radical Oxygen Species (Kee dan Hayes, 1996). Akibatnya terjadi pembengkakan lokal pada telapak kaki tikus yang disertai warna kemerahan akibat akumulasi mediator inflamasi. Hal ini ditandai dengan gerakan kaki tikus yang tidak normal setelah diinjeksikan karagenan. Pada penelitian ini digunakan 0,2 mL suspensi karagenan 1% pada telapak kaki tikus karena lebih terlihat volume udem yang terbentuk pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi (Rustam, et al., 2007). Karagenan yang dipakai pada penelitian ini adalah karagenan dengan jenis kappa sebesar 1% 0,2 mL. Hal ini mengacu pada penelitian sebelumnya (Purnamasari, 2013) yang juga menggunakan karagenan dengan jenis kappa dan konsentrasi 1% sebanyak 0,2 mL. Pada penelitian sebelumnya (Purnamasari, 2013) telah dilakukan uji pendahuluan mengenai konsentrasi karagenan jenis kappa, dimana hasilnya adalah karagenan jenis kappa dengan konsentrasi 1% sebanyak 0,2 mL mampu menghasilkan volume udem yang jelas pada telapak kaki tikus.

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley (Widiyantoro, 2012) dengan umur 2-3 bulan dan bobot badan 200-250 gram. Pemilihan jenis kelamin jantan didasarkan pada pertimbangan tikus jantan tidak memiliki hormon estrogen, kalaupun ada


(52)

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hanya dalam jumlah yang relatif sedikit serta kondisi hormonal pada jantan relatif stabil jika dibandingkan dengan betina, karena pada tikus betina mengalami perubahan hormonal pada masa-masa tertentu seperti pada masa siklus estrus, masa kehamilan dan menyusui dimana kondisi tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis hewan uji tersebut, selain itu tingkat stress tikus betina lebih tinggi dibandingkan dengan tikus jantan yang mungkin dapat mengganggu saat pengujian (Suhendi, et al., 2011).

Perlakuan hewan dimulai dari aklimatisasi terlebih dahulu selama 4 minggu agar hewan bisa beradaptasi dengan lingkungan. Kemudian tikus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok kontrol negatif diberi 1 mL/200 gBB Na CMC 0,5% per oral. Kelompok kontrol positif diberi suspensi asetosal per oral dengan dosis 125 mg/KgBB. Kemudian dilakukan uji pendahuluan ekstrak pada kelompok dosis rendah (10 mg/KgBB), dosis sedang (100 mg/KgBB), dan dosis tinggi (1000 mg/KgBB). Hasilnya pada dosis tinggi, 1000 mg/KgBB, semua tikus dalam satu kelompok mengalami kematian dalam kurun waktu 24 jam. Oleh karena itu, dosis yang dipertahankan adalah dosis rendah dan sedang. Akan tetapi, karena hasil persen inhibisi dari kedua dosis tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada taraf uji 0,05

(ρ ≥ 0,05), maka dosis divariasikan lagi menjadi dosis 5 mg/KgBB dan dosis

10 mg/KgBB.

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan asetosal. Obat ini dipilih sebagai pembanding karena merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, dan digolongkan ke dalam obat bebas, serta pada pemberian oral sebagian salisilat dapat diabsorbsi dengan cepat dalam bentuk utuh di lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Gunawan, 2008). Dalam penelitian ini asetosal digunakan dengan dosis 125 mg/KgBB.

Pengukuran volume udem pada telapak kaki tikus dilakukan setiap 1 jam selama 6 jam setelah telapak kaki tikus diinduksi dengan karagenan 1% (Lampiran 13). Persentase udem dihitung sesuai dengan data volume udem


(53)

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan (lampiran 14). Persentase inhibisi udem dihitung sesuai dengan persen radang yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan (Lampiran 15). Pada penelitian ini, volume udem maksimal telapak kaki tikus terjadi pada jam ke 3 dan berangsur menurun pada jam ke 4 sampai 6 setelah diinduksi karagenan 1% sebanyak 2 mL. Hal ini disebabkan karena karagenan cepat diabsorbsi dalam tubuh sehingga efek radang sudah mulai menurun.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat variasi dosis ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados yang digunakan mampu menghambat pembentukan udem. Pada dosis 5 mg/KgBB menunjukkan kemampuan menghambat udem terbesar pada jam ke 6 sebesar 71,44%. Pada dosis 10 mg/KgBB kemampuan menghambat udem terbesar pada jam ke 1 sebesar 63,27%. Kemampuan terbesar penghambatan udem dosis 50 mg/KgBB adalah 49,21% pada jam ke 1. Dosis 100 mg/KgBB menunjukkan hambatan udem terbesar pada jam ke 1 sebesar 34,06%. Setelah diuji secara statistik, dari keempat dosis uji tersebut terlihat adanya perbedaan yang bermakna untuk masing-masing dosis, kontrol positif, dan kontrol negatif pada persen inhibisi udem, maka dosis tidak divariasikan lagi. Secara umum dari hasil penelitian menunjukkan bahwa daya inhibisi udem terbesar adalah 76,35% pada kontrol positif, diikuti oleh dosis 5 mg/KgBB sebesar 71,44%. Kemudian 63,27% pada dosis 10 mg/KgBB, 49,21% pada dosis 50 mg/KgBB, dan 34,06% pada dosis 100 mg/KgBB.

Dari semua dosis uji yang digunakan menunjukkan kemampuan inhibisi udem mulai dari dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 50 mg/KgBB, dan 100 mg/KgBB. Dari keempat dosis uji ini yang memiliki daya inhibisi udem terbesar adalah dosis 5 mg/KgB, sedangkan pada dosis 10 mg/kgBB terjadi penurunan daya inhibisi udem secara berurutan sampai pada dosis 100 mg/KgBB. Seharusnya dengan meningkatnya dosis atau konsentrasi, maka aktivitas antiinflamasinya juga akan menunjukkan peningkatan. Akan tetapi pada ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados ini memilki aktivitas yang sebaliknya. Hal ini disebabkan memang terdapat beberapa jenis obat dalam dosis tinggi justru menyebabkan pelepasan histamin secara langsung


(54)

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dari sel mast sehingga mengakibatkan pembuluh darah menjadi permeabel terhadap cairan plasma dan menimbulkan peradangan (Fitriyani, 2011). Maka diasumsikan pada ekstrak etil asetat lumut hati Mastigophora diclados ini mengandung senyawa yang mampu mengakibatkan hal tersebut. Aktivitas antiinflamasi pada ekstrak lumut hati Mastigophora diclados pada dosis rendah menunjukkan hasil yang optimum juga dikarenakan oleh ikatan senyawa dalam ekstrak dengan reseptor inflamasi terjadi secara optimum, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi, aktivitas antiinflamasi semakin menurun karena senyawa dalam ekstrak berikatan dengan banyak reseptor lain. Dengan demikian, aktivitas antiinflamasi pada ekstrak ini tidak menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan meningkatnya dosis atau konsentrasi.

Uji statistik ANOVA digunakan untuk melihat nyata atau tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok. Dalam uji ANOVA ini harus memenuhi persyaratan normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data persen penghambatan udem telapak kaki tikus pada jam ke 1, 2, 3,4, 5, dan 6 (Lampiran 17), dimana hasilnya menunjukkan bahwa data semua kelompok perlakuan terdistribusi normal. Sedangkan untuk menguji homogenitas data digunakan metode Levene untuk melihat data persen penghambatan udem telapak kaki tikus homogen atau tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa data persen inhibisi udem telapak kaki tikus bervariasi

homogen (ρ ≥ 0,05) pada jam ke 1,2,dan 5, sedangkan pada jam ke 3,4 dan 6

tidak bervariasi homogen (ρ ≤ 0,05) (Lampiran 17). Dengan demikian maka syarat uji ANOVA tidak terpenuhi karena data tidak bervariasi homogen. Oleh karena itu, pengujian dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan metode LSD (Least Significant Difference) (Lampiran 17).

Pada jam ke 1, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan

100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05). Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan klompok uji dosis


(1)

Dosis 100 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg

28.77200* -16.41000 -34.25800* -17.83200* -4.30400 8.50323 8.50323 8.50323 8.50323 8.50323 .002 .066 .000 .047 .617 11.2222 -33.9598 -51.8078 -35.3818 -21.8538 46.3218 1.1398 -16.7082 -.2822 13.2458 Jam 5 Kontrol Negatif Kontrol Positif

Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

-52.47600* -65.99800* -51.20400* -31.95800* -33.26400* 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .000 .000 .000 .001 .001 -69.6474 -83.1694 -68.3754 -49.1294 -50.4354 -35.3046 -48.8266 -34.0326 -14.7866 -16.0926

Kontrol Positif Kontrol Negatif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

52.47600* -13.52200 1.27200 20.51800* 19.21200* 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .000 .117 .880 .021 .030 35.3046 -30.6934 -15.8994 3.3466 2.0406 69.6474 3.6494 18.4434 37.6894 36.3834

Dosis 5 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

65.99800* 13.52200 14.79400 34.04000* 32.73400* 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .000 .117 .088 .000 .001 48.8266 -3.6494 -2.3774 16.8686 15.5626 83.1694 30.6934 31.9654 51.2114 49.9054

Dosis 10 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

51.20400* -1.27200 -14.79400 19.24600* 17.94000* 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .000 .880 .088 .030 .041 34.0326 -18.4434 -31.9654 2.0746 .7686 68.3754 15.8994 2.3774 36.4174 35.1114

Dosis 50 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 100 mg/kg

31.95800* -20.51800* -34.04000* -19.24600* -1.30600 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .001 .021 .000 .030 .877 14.7866 -37.6894 -51.2114 -36.4174 -18.4774 49.1294 -3.3466 -16.8686 -2.0746 15.8654


(2)

Dosis 100 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg

33.26400* -19.21200* -32.73400* -17.94000* 1.30600 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 8.31987 .001 .030 .001 .041 .877 16.0926 -36.3834 -49.9054 -35.1114 -15.8654 50.4354 -2.0406 -15.5626 -.7686 18.4774 Jam 6 Kontrol Negatif Kontrol Positif

Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

-71.12800* -56.21000* -32.09000* -30.47800* 71.12800* 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 .000 .000 .000 .001 .000 -87.1818 -72.2638 -48.1438 -46.5318 55.0742 -55.0742 -40.1562 -16.0362 -14.4242 87.1818

Kontrol Positif Kontrol Negatif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

14.91800 39.03800* 40.65000* 56.21000* -14.91800 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 .067 .000 .000 .000 .067 -1.1358 22.9842 24.5962 40.1562 -30.9718 30.9718 55.0918 56.7038 72.2638 1.1358

Dosis 5 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

24.12000* 25.73200* 32.09000* -39.03800* -24.12000* 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 .005 .003 .000 .000 .005 8.0662 9.6782 16.0362 -55.0918 -40.1738 40.1738 41.7858 48.1438 -22.9842 -8.0662

Dosis 10 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 50 mg/kg Dosis 100 mg/kg

1.61200 30.47800* -40.65000* -25.73200* -1.61200 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 .836 .001 .000 .003 .836 -14.4418 14.4242 -56.7038 -41.7858 -17.6658 17.6658 46.5318 -24.5962 -9.6782 14.4418

Dosis 50 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 100 mg/kg

-71.12800* -56.21000* -32.09000* -30.47800* 71.12800* 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 .000 .000 .000 .001 .000 -87.1818 -72.2638 -48.1438 -46.5318 55.0742 -55.0742 -40.1562 -16.0362 -14.4242 87.1818


(3)

Dosis 100 mg/kg Kontrol Negatif Kontrol Positif Dosis 5 mg/kg Dosis 10 mg/kg Dosis 50 mg/kg

14.91800 39.03800* 40.65000* 56.21000* -14.91800

7.69612 7.69612 7.69612 7.69612 7.69612

.067 .000 .000 .000 .067

-1.1358 22.9842 24.5962 40.1562 -30.9718

30.9718 55.0918 56.7038 72.2638 1.1358

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keterangan : tanda * menunjukkan data berbeda secara bermakna.

Dilihat dari data di atas, maka :

a. Jam ke 1

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan klompok uji dosis 10,50 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kontrol positif dan kelompok uji dosis 10 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05). 4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan

kelompok uji dosis 5 dan 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok uji dosis 10 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).


(4)

b. Jam ke 2

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 10 dan 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok control positif, kelompok dosis 5 dan 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

c. Jam ke 3

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok control positif, kelompok dosis 10,50 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 50 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).


(5)

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5, 10 dan 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

d. Jam ke 4

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 5 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 10 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 5 dan 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 10 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif, kelompok dosis 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

e. Jam ke 5

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif dan dosis 50 dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).


(6)

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 10 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan kelompok dosis 5 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

f. Jam ke 6

1. Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50, dan 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

2. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan kelompok dosis 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

3. Kelompok dosis 5 mg/Kg berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji, kelompok kontrol positif dan negatif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

4. Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis 100 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).

5. Kelompok dosis 50 mg/Kg berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji, kelompok kontrol positif dan negatif pada taraf uji 0,05 (ρ ≤ 0,05).

6. Kelompok dosis 100 mg/Kg tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol negatif dan kelompok dosis 50 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ ≥ 0,05).