Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees secara In Vivo

(1)

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol

Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees

secara In Vivo

SKRIPSI

ENDAH PURNAMASARI

NIM: 108102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JANUARI 2013


(2)

ii

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol

Lumut Hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees

secara In Vivo

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ENDAH PURNAMASARI

NIM: 108102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

JANUARI 2013


(3)

(4)

(5)

(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nama : Endah Purnamasari

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Lumut Hati

Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees Secara In Vivo

Peneletian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web) Nees. Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi yang dipekatkan menggunakan vakum rotary evaporator. Ekstrak kental dengan berbagai variasi dosis 0,1 mg/KgBB, 1 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 100 mg/KgBB, 1000 mg/KgBB secara oral diberikan pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Asetosal digunakan sebagai kontrol positif dengan dosis 135mg/KgBB. Penelitian ini menggunakan metode udem buatan pada telapak kaki tikus dengan induksi karagenan 1% sebanyak 0,2 ml sebagai zat pembuat udem. Dari hasil pengujian ekstrak etanol dari lumut hati M.diclados menunjukkan bahwa persen inhibisi udem maksimal yaitu pada jam keenam dari semua variasi dosis ekstrak tersebut. Pada uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara setiap dosis dengan kontrol negatif pada taraf uji 0,05 (ρ≤0,05) dan semua dosis ekstrak

terdapat perbedaan bermakna dengan kontrol positif (ρ≤0,05) terkecuali pada

dosis 0,1 mg/KgBB tidak terdapat perbedaan bermakna dengan kontrol positif

pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05). Dari semua variasi dosis pada penelitian ini, dosis tertinggi yang mampu menghambat udem yaitu dosis 100 mg/KgBB (79,55% pada jam keenam), sedangkan pada kontrol pembanding yaitu asetosal daya hambat udemnya berada dibawah yaitu (50,39% pada jam keenam).

Kata Kunci : Lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees, Antiinflamasi, Asetosal


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Name : Endah Purnamasari

Program Study : Pharmacy

Title : The Antiinflammatory Effect of Ethanol Extract Liverwort Mastigophora diclados (Bird.ex Web.) Nees In Vivo

The research was conducted in order to determine the antiinflammatory activity of the ethanol extract of the liverwort Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees. Extraction was performed by using a maceration method which was concentrated of using a vacuum rotary evaporator. Variety doses of extract 0.1 mg/kg, 1 mg/kg, 10 mg/kg, 100 mg/kg, 1000 mg/kg body weight are orally given to male albino rat strain Sprague Dawley. Aspirin was used as positive control at a dose of 135mg/Kg body weight. This study used hind paw edema method by the injection of carrageenan with 0.2 ml of 1 % as an edematogenic agent. The resulted showed that the maximal percent inhibition of edema was at the sixth hours of all the extracts dose variation. ANOVA analysis showed that there were significant differences between each dose of the extract with the negative control

(ρ≤0.05) and all doses of the extract are significant differences with the positive control (ρ ≤ 0.05), except at a dose of 0.1 mg / Kg body weight there was no significant difference in the positive control level test 0.05 (ρ ≥ 0.05). From all the variation of doses in this study, the highest dose that could inhibit edema was a dose of 100 mg / kg body weight (79.55% at the sixth hour), whereas the aspirin as positive control only inhibition at sixth hours on 50.39% .

Keywords : Liverwort Mastigophora diclados (Bird. ex Web) Nees, anti-inflammatory, Aspirin


(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Eka Putri, M.Si, Apt selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan, memberikan ilmu dan masukan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan skripsi.

2. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs.Umar Mansur selaku Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga

penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pak Suhendra selaku dosen matematika statistik yang telah membantu memberikan pengarahan dalam pengolahan data.

5. Ibu Ida Haerida selaku devisi botani herbarium bogor LIPI Cibinong dan Dr. Andria Agusta yang telah memberikan petunjuk dalam mendapatkan bahan penelitian lumut hati. Ibu Eliya dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan karagenan. Mas Rusdi bagian inhutani Gunung Slamet Purwokerto yang telah membantu penulis dalam menunjukkan jalan dan pengambilan lumut.


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fadillah, dan semua keluarga besar yang selalu memberikan dorongan moril,

materil, spiritual hingga selesainya skripsi ini, semoga segala amal dan jerih payah kalian semua mendapat balasan yang jauh lebih baik disisi Allah. 7. Buat sahabat-sahabatku, Aemsina, Dewanti, Fitri, Ade, sinthi, ikhsan, yuni,

dina, sivia,intan, dian, ayu,wiwin, pipit (unpad), ogi, nana, yang selalu memberikan masukan, tak bosan memberikan dukungan doa dan semangat serta mendengarkan keluhan,tangisan dan teriakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2008 khususnya ALCOOLIQUE yang sama-sama berjuang bersama selama 4 tahun untuk menyelesaikan pendidikan ini.Teman-teman dari UNMA (candra, ma’ah, een) yang berjuang bersama dalam melakukan uji antiinflamasi.

9. Untuk kak juli yang telah membantu penulis dalam memberikan pengarahan dan nasehat. kak pia, kak eris, mba rani, kak liken, kak lisna, yang telah membantu dalam mempermudah soal persuratan dan hal-hal yang berhungan dengan lab.

10.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa farmasi, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia ilmu pengetahuan.

Jakarta, 14 Januari 2013


(10)

(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Halaman

HALAMAN JUDUL ... .. ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... .. iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... .. iv

HALAMAN PENGESAHAN ... .. v

ABSTRAK ... .. vi

ABSTRACT ... .. vii

KATA PENGANTAR ... .. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... .. x

DAFTAR ISI ... .. xi

DAFTAR TABEL ... .. xiv

DAFTAR GAMBAR ... .. xv

DAFTAR LAMPIRAN ... .. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... .. 1

1.1 Latar Belakang ... .. 1

1.2 Perumusan Masalah... .. 3

1.3 Tujuan Penelitian ... .. 3

1.4 Hipotesis ... .. 4

1.5 Manfaat Penelitian ... .. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... .. 5

2.1 Deskripsi Mastigophora diclados ... .. 5

2.1.1 Klasifikasi Tanaman ... .. 5

2.1.2 Sinonim Mastigophora diclados ... .. 5

2.1.3 Komposisi gelatin ... .. 5

2.1.4 Kandungan Kimia ... .. 5

2.1.5 Aktivitas Biologi ... .. 6

2.2 Simplisia ... .. 6

2.2.1 Pengertian Simplisia ... .. 6


(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.3.3 Freeze Drying ... .. 10

2.4 Inflamasi ... .. 10

2.4.1 Pengertian Inflamasi ... .. 10

2.4.2 Mekanisme terjadinya Inflamasi ... .. 11

2.4.3 Jenis Inflamasi ... .. 11

2.4.4 Obat Antiinflamasi ... .. 12

2.4.5 Beberapa metode uji antiinflamasi ... .. 13

2.5 Karagenan ... 14

2.6 Asam asetil salisilat ... .. 15

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... .. 17

3.1 Tempat dan waktu penelitian ... .. 17

3.2 Alat dan Bahan ... .. 17

3.2.1 Alat Penelitian ... .. 17

3.2.2 Bahan Penelitian ... .. 17

3.2.3 Bahan Kimia ... 17

3.2.4 Bahan Pereaksi ... 18

3.2.5 Hewan Percobaan ... 18

3.3 Prosedur Penelitian ... .. 18

3.3.1 Pengambilan sampel ... .. 18

3.3.2 Determinasi tanaman ... .. 18

3.3.3 Penyiapan bahan yang digunakan ... .. 19

3.3.4 Pembuatan sediaan ... 19

3.3.5 Percobaan Pendahuluan ... 20

3.3.6 Perencanaan dosis asam asetil salisilat ... 20

3.3.7 Penapisan fitokimia... 21

3.4 Uji Antiinflamasi ... .. 22

3.4.1 Aklimatisasi dan pengelompokkan Hewan Percobaan ... .. 22

3.4.2 Uji Antiinflamasi dengan metode udem buatan pada kaki tikus ... .. 23


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1 Hasil Penelitian ... .. 25

4.1.1 Hasil Penapisan Fitokimia ... .. 25

4.1.2 Hasil Ekstraksi dari lumut hati M.diclados ... .. 25

4.1.3 Hasil uji antiinflamasi ... .. 25

4.2 Pembahasan ... .. 29

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 37

5.1 Kesimpulan ... .. 37

5.1 Saran ... .. 37


(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel ... . Halaman

3.1. Pembagian kelompok hewan uji antiinflamasi ... .. 23

4.1. Data hasil penapisan fitokia ... .. 25

4.2. Rata-rata volume udem ... .. 26

4.3. Rata-rata persen udem ... 27


(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Halaman

Gambar 2.1 Struktur asam asetil salisilat ... .. 15

Gambar 4.1 Grafik hubungan rata-rata volume udem terhadap waktu ... .. 26

Gambar 4.2 Grafik hubungan persen rata-rata udem terhadap waktu ... .. 27


(16)

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Halaman

Lampiran 1 Lumut hati M.diclados ... .. 43

Lampiran 2 Perlakuan Hewan ... .. 44

Lampiran 3 Hasil uji antiinflamasi ... 45

Lampiran 4 Determinasi Lumut hati M.diclados... 46

Lampiran 5 Hasil Penapisan Fitokimia ... 47

Lampiran 6 Surat keterangan hewan uji ... 48

Lampiran 7 Proses Pembuatan Ekstrak ... 49

Lampiran 8 Aklimatisasi Hewan percobaan ... 50

Lampiran 9 Skema kerja antiinflamasi ... 51

Lampiran 10 Konversi dosis hewan (Laurance, 1964) ... 52

Lampiran 11 Perhitungan dosis ekstrak etanol lumut hati M.diclados ... 53

Lampiran 12. Perhitungan dosis asam asetil salisilat ... 55

Lampiran 13 Pengukuran volume udem telapak kaki setelah diinduksi karagenan .. 56

Lampiran14 Persentase udem telapak kaki setelah diinduksi karagenan ... 57

Lampiran 15 Persentase inhibisi udem telapak kaki setelah diinduksi karagenan .... 60

Lampiran 16 Perhitungan persen udem dan persen inhibisi ... 62


(17)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1LATAR BELAKANG

Tingginya keanekaragaman hayati, khususnya flora di Tanah Air kita sudah tidak disangsikan. Informasi kajian flora tingkat tinggi sudah banyak dipublikasikan, namun untuk kajian tingkat rendah seperti bryophyta sebagai salah satu komponen penunjang predikat negara megadiversiti, belum banyak diinformasikan (Immamudin, 2006).

Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk ke dalam divisi bryophyta. Pada umumnya tumbuhan lumut menyukai tempat-tempat yang basah dan lembab didataran rendah sampai dataran tinggi. Tumbuhan ini sering disebut sebagai tumbuhan pioneer atau tumbuhan perintis, karena lumut dapat tumbuh dengan berbagai kondisi pertumbuhan dimana tumbuhan tingkat tinggi tidak bisa tumbuh (Immamudin, 2006).

Lumut hati dengan beragam filum yang kecil, merupakan rumput-rumputan yang diperkirakan terdiri dari sekitar 5.000 spesies. Tanaman ini membentuk spora dan dapat tumbuh hampir di semua habitat yang tersedia, terutama di lokasi yang lembab (Ludwiczuk & Asakawa, 2010). Lumut hati dibedakan dari kelas-kelas tumbuhan lumut lainnya karena adanya minyak tubuh (oil bodies), yang mampu mensintesis senyawa yang larut lemak seperti asetogenin, terpenoid dan senyawa aromatik, sementara yang lainnya tidak. Lumut hati memiliki badan minyak (oil bodies) sebagai penanda yang sangat penting untuk klasifikasi lumut hati tersebut. Beberapa kandungan kimia dari lumut hati merupakan senyawa yang khas bagi kelas ini dan menunjukkan berbagai aktivitas biologis yang menarik, seperti antimikroba, sitotoksik, antioksidan dan sejumlah enzim yang bekerja sebagai inhibitor serta memiliki aktivitas yang merangsang apoptosis (Komala, 2010).

Lumut hati Mastigophora diclados tersebar di Indonesia, Malaysia, Jepang, Malagasi, Taiwan (Agnieszka&Asakawa, 2010). Di Indonesia Mastigophora diclados banyak ditemukan di dataran tinggi yang sejuk dan lembab seperti di hutan Gunung Slamet, Baturraden Jawa Tengah


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Purwokerto Mastigophora hidup menempel pada batang pinus dan Agathis

pada ketinggian 800 m blok 55, (Haerida & Gradstein, 2011), hutan pegunungan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah Mastigophora diclados hidup di ketinggian tinggi (Gradstein &Culmsee, 2010), Pada batang pohon palm sepanjang jalan menuju kawah putih pada ketinggian 2050 m Gunung Patuha Bandung Jawa Barat (Gradstein et al, 2011).

Rasa nyeri dan peradangan merupakan gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering terjadi yang disebabkan karena suatu kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan yang diikuti dengan pembebasan dan pembentukan bahan mediator, seperti prostagladin, histamin, serotonin dan bradikinin (Tjay dan Raharja, 2007)

Obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (AINS) merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu obat yang heterogen secara kimia (Gunawan, 2008). Mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi ini dapat mempengaruhi proses sintesa prostagladin dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase yang menyebabkan asam arakidonat tak jenuh tidak dapat membentuk endoperoksida yang merupakan pra zat dari prostagladin (Mustchler, 1991). Selain menimbulkan efek terapi yang sama obat-obat ini juga memiliki efek samping serupa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat peradangan saluran cerna (Gunawan, 2008).

Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, yaitu sekitar 40.000 jenis tumbuhan, dari jumlah tersebut sekitar 1300 diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Rustam, et al., 2007). Baru-baru ini ada kecenderungan yang lebih besar pada obat alami atau tradisional yang berasal dari tanaman atau herbal karena toleransi yang lebih baik dan minimalnya efek samping obat (Manvi, et al., 2011).

Salah satu jenis tumbuhan yang bisa dijadikan obat adalah tumbuhan lumut hati. Dalam penelitian sebelumnya, Komala et al (2010) telah melaporkan bahwa tumbuhan lumut Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti mengandung senyawa-senyawa fenolik seskuiterpenoid


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta herbertan. Senyawa-senyawa golongan fenolik seskuiterpenoid herbertan

dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik, antioksidan, dan antimikrobial. Antioksidan bekerja dapat menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamasi, artitis, diabetes dan penuaan (Ali et al, 2011)

Berdasarkan uraian diatas yang telah dilaporkan, maka diprediksikan bahwa tumbuhan lumut Mastigophora diclados yang tumbuh di Indonesia akan memiliki kandungan kimia yang hampir sama dengan Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti dan juga berkemungkinan memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Hal ini yang menjadi latar belakang penelitian mengenai uji efek antiinflamasi dari ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados pada hewan coba tikus.

1.2PERUMUSAN MASALAH

1. Pada umunya antiinflamasi yang digunakan adalah berupa obat jadi yang berasal dari bahan kimia, yang terkadang banyak menimbulkan efek samping.

2. Banyak tanaman atau tumbuhan di indonesia yang dapat menghasilkan zat berkhasiat dan dapat dijadikan sebagai obat.

3. Salah satu tumbuhan yang dapat dijadikan obat adalah tumbuhan lumut hati

4. Tumbuhan lumut hati di indonesia belum banyak dilakukan penelitian.

1.3TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui daya hambat dari lumut hati M.diclados terhadap edema pada kaki tikus

2. Untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dari lumut hati M.diclados secara in vivo


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.4HIPOTESIS

Ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados ( Brid. ex Web.) Nees memiliki aktivitas antiinflamasi yang dapat menghambat pembentukan edema pada kaki tikus.

1.5MANFAAT PENELITIAN

Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberi masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang tumbuhan lumut hati Mastigophora diclados yang ada di Indonesia dan digunakan sebagai antiinflamasi.

Secara Metodologi

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui pengujian aktivitas antiinflamasi menggunakan metode induksi karagenan sebagai pembentuk edema pada kaki tikus.

Secara Aplikatif

1. Tumbuhan alam yang ada di Indonesia khususnya lumut hati sebagai bahan obat

2. Hasil penelitian ini dapat disampaikan sebagai informasi pada pengobatan-pengobatan baik secara tradisional maupun modern.


(21)

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mastigophora diclados

2.1.1. Klasifikasi Tanaman (Crandall-Stotler B; Stotler RE; Long DG, 2008) Klasifikasi tanaman mastigophora adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Phylum : Marchantiophyta Class : Jungermanniopsida Order : Jungermanniales Suborder : Lophocoleineae Family : Mastigophoraceae Genus : Mastigophora Nees. Species : M. diclados (Brid.) Nees

2.1.2. Sinonim Mastigophora

M diclados f .conferta (nees)sciffin, M diclados f .nana (nees)sciffin, M diclados F.rhizobola (nees)sciffin, f. tenerior schiffin (Konrat, 2010).

2.1.3. Habitat

Pada batang pohon pinus dan agathis, batu – batuan lembab, dinding lereng pegunungan (Ida Haerida et al, 2011).

2.1.4. Kandungan Kimia

Berdasarkan kandungan kimianya, Mastigophoraceae dan herbertaceae memiliki kesamaan, karena sama-sama menghasilkan senyawa seskuiterpenoid herbertan sebagai komponen utamanya (Asakawa, 1995; 2004; Harinantenaina & Asakawa, 2007). Dari pemeriksaan GC / MS ekstrak eter M. diclados (Brid. Ex F. Weber) Nees dari borneo menunjukkan adanya senyawa herbertene, herbertenol, 2,3-diol dan herbertene-1 ,2-diol. Dalam koleksi sebelumnya dari M.diclados Malaysia Timur, selain


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta herbertanes, herbertane dimer, juga ditemukan pada mastigiphorenes A-D

(Asakawa et al, 1991.). Namun, spesies di Malaysia Barat tidak menghasilkan herbertanes, melainkan jenis trachylobane diterpenoids dari hasil diisolasi (Leong & Harrison, 1997). Koleksi Jepang menjabarkan herbertene dan -herbertenol dengan siklik diklorinasi bis-bibenzyls, dimana tidak ada diterpenoids dan dimer herbertane yang telah terdeteksi (Hashimoto et al, 2000.). Data ini menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga ras geografis M. diclados di Asia; tipe bis-bibenzyl di Jepang, jenis mastigophorene di borneo (Malaysia Timur), dan jenis pimarane serta turunan pimarane trachylobane diterpenoid di Taiwan dan Malaysia Barat (Harinantenaina & Asakawa,2004) ( Agnieszka & Asakawa, 2010).

2.1.5. Aktivitas Biologis

M. diclados memiliki aktivitas sitotoksik terhadap HL-60 dan sel KB, antioksidan menggunakan pelarut DPPH dan aktivitas antimikrobial terhadap Bacillus subtilis (Komala, 2010 ; Komala, et al., 2010)

2.2. Simplisia

2.2.1 Pengertian Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral).

Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI, 2000).

Faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah :

1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.

2. Faktor kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. (Depkes RI, 2000)

Kelarutan dan stabilitas senyawa pada simplisia terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman dipengaruhi olah struktur kimia yang berbeda-beda. (Depkes RI, 2000)

Simplisia yang lunak seperti rimpang, akar dan daun mudah diserap oleh pelarut, sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Sedangkan simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus.

Selain sifat fisik dan senyawa aktif dari simplisia, senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak dan gula juga harus diperhatikan (Depkes RI, 2000).

2.3.2 Ekstraksi Dengan Penggunaan Pelarut

Dengan menggunakan metode penyarian atau pelarut dalam ekstraksi dapat dibedakan macam-macam cara ekstraksi diantaranya:

a. Cara Dingin 1. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. (Depkes RI, 2000)

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak. (Depkes RI, 2000)


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Cara Panas

1. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. (Depkes RI, 2000)

2. Soxhletasi

Soxhletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. (Depkes RI, 2000)

3. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. (Depkes RI, 2000)

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96oC-98o C selama waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. (Depkes RI, 2000)

5. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air. (Depkes RI, 2000)


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3.3 Freeze Drying

Pengeringan-beku atau lyophilization adalah proses pengeringan dimana pelarut atau media suspensi yang dapat mengkristal pada temperatur rendah dan sesudahnya mensublimasi dari padat langsung ke fase uap. Pengeringan beku mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap. Karena tekanan uap es rendah, maka volume uap menjadi besar. Tujuan pengeringan beku adalah untuk memproduksi suatu substansi dengan stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air, meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses yaitu pengemasan dan kondisi penyimpanan.

Keuntungan dari proses pengeringan-beku adalah :

1. Pengeringan dengan suhu rendah dapat mengurangi penurunan produk sensitif – panas.

2. Produk cair dapat secara akurat terdosiskan.

3. Kandungan air dari produk akhir dapat dikontrol selama proses. 4. Produk obat dapat memiliki bentuk fisik yang menarik.

5. Produk obat dengan luas permukaan spesifik yang tinggi dengan cepat kembali (Oetjen dan Haseley, 2004)

2.4 Inflamasi

2.4.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vascular terjadi karena rangsangan eksogen dan endogen. Peradangan adalah respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen mikrobiologis. Ini Berupaya untuk menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi Biasanya mereda pada proses Penyelesaian atau penyembuhan tapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga dapat berakibat fatal (Sen et al, 2010).


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kemerahan, suhu yang meningkat, pembengkakan, nyeri,

dan hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat diprovokasi oleh berbagai agen berbahaya, bahan asing, toxines, infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi kekebalan tubuh dan luka fisik (Sen et al, 2010).

2.4.2 Mekanisme Terjadinya Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat.Setelah asam arakidonat tersebut bebas akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrin, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (Katzung, 1998).

2.4.3 Jenis Inflamasi

Umumnya peradangan terbagi menjadi dua jenis yaitu a) peradangan akut dan b) peradangan kronis. Reaksi inflamasi terurai oleh mekanisme yang berbeda dan terjadi pada fase seperti:

a. fase akut : vasodilatasi lokal sementara dan Peningkatan permeabilitas kapiler

b. fase sub-akut : Infiltrasi atau leukosit dan fagositosis sel c. fase Kronis proliferatif : kerusakan jaringan dan fibrosis (Sen et

al, 2010).

Peradangan akut adalah tanggapan awal dari tubuh mengambil faktor risiko seperti infeksi atau trauma dll, ini adalah garis tidak spesifik dan pertahanan pertama tubuh terhadap bahaya. Fitur utama dari peradangan akut termasuk a) akumulasi cairan dan


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta plasma di lokasi yang terkena dampak, b) aktivasi intravaskular datar

atau memungkinkan, c) polymorph-nuklir neutrofil sebagai sel inflamasi. Ketika faktor-faktor risiko memperpanjang dan tidak dihapus, peradangan akut dan kemudian akan berubah menjadi peradangan kronis. Hal ini terjadi untuk durasi yang lebih lama dan terkait dengan adanya macrofagen, limfosit, sel darah proliferasi, fibrosis dan nekrosis jaringan. Para macrofagen menghasilkan sejumlah macam produk biologis aktif yang menyebabkan Kerusakan jaringan dan karakteristik fibrosis peradangan kronis (Sen et al, 2010).

2.4.4 Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara yaitu menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obatan antiinflamasi terbagi dalam golongan steroid yang terutama bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya dan golongan non steroid yang bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang berperan pada biosintesis prostaglandin (Setyarini, 2009).

Obat-obatan antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin dan metabolisme asam arakidonat dengan cara penghambatan sikloooksigense dan lipooksigenase pada kaskade inflamasi. Penekanan prostaglandin sebagai mediator inflamasi pada jaringan menyebabkan kurangnya rasa nyeri dan pembengkakan sehingga fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.4.5 Beberapa Metode Uji Antiinflamasi

1. Metode Pembentukan Edema Buatan

Metode ini berdasarkan pengukuran volume dari edema buatan. Volume edema diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Banyak bahan-bahan radang yang telah digunakan untuk induksi edema yang meliputi ragi, formalin, dextran, telur albumin, kaolin dan polisakarida sulfat seperti karagenan. Di antara bahan-bahan induksi edema, karagenan telah ditemukan untuk menjadi bahan yang paling sesuai dan memberikan nilai input yang baik untuk anti-inflamasi (Parmar & prakash 2006).

2. Metode Pembentukan Eritema

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Hewan percobaan dihilangkan bulu menggunakan suspensi barium sulfat. Dua puluh menit kemudian dibersihkan menggunakan air panas. Hari berikutnya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengah dosisnya lagi diberikan setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2002).

3. Metode Iritasi dengan Panas

Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat edema yang terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna tripan biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan albumin plasma. Kemudian pada daerah penyuntikan tersebut dirangsang dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamine endrogen sehingga timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh darah yang mengalami dilatasi


(30)

bersama-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang

kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang edema yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang (Vogel, 2002).

4. Metode Pembentukan Kantong Granuloma

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2002).

5. Metode Induksi Oxazolon Edema Telinga Mencit.

Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0,01 ml 2% larutan oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam 24 jam. Kemudian hewan dikorbankan dibawah anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi indicator inflamasi udem (Vogel, 2002; Parmar, 2006).

2.5 Karagenan

Karagenan dikenal juga dengan nama carragenan, carragenin, carraghenates, chondrus extrax dan irish moss extrak. Karagenan merupakan suatu ekstrak kering ganggang laut merah (Rhodopyceae) yang diperoleh dari species Chondrus crispus (Sweetman, 2009).

Penggunaan karagenin sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi dibanding

senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).

2.6 Asam Asetil Salisilat

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Gunawan, 2008).

Farmakodinamik:

Gambar 2.1. Asam Asetil Salisilat  Mekanisme Kerja

Asam asetil salisilat bekerja menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel (prostagladin sintetase), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida ; pada dosis yang tepat obat ini akan menurunkan pembentukan prostagladin maupun tronboksan A2, tetapi tidak leukotrien

(Gunawan, 2008; Katzung, 1998)  Efek Antiinflamasi

Asam asetil salisilat menghambat perlekatan granulosit pada pembuluh yang rusak, menstabilkan membran lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan (Katzung, 1998).


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Efek Samping

Terjadi gangguan pada lambung (gastritis), pendarahan saluran cerna, muntah, tinusitus, penurunan pendengaran, vertigo, meningkatkan kadar asam urat serum dan hepatitis ringan (Muatchler, 1991; Guawan, 2008; Katzung, 1998).


(33)

17

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Farmasi (Pharmacy Drug Research, Pharmacy Medicinal Chemistry, Pharmacy Natural Analysis, dan Animal House) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulai dari bulan Mei sampai November 2012.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : neraca analitik (wiggen hauser), spuit injeksi suplantar dan peroral 1 mL dan 3 mL, stopwatch, timbangan hewan, blender, vacum rotari evaporator, freeze dryer, masker, pletismometer, kandang tikus, sonde, tissu gulung, lebel, spatel, elenmeyer, gelas ukur, sarung tangan, alumunium foil, lumpang dan stamfer, termometer, kertas saring, kapas.

3.2.2 Bahan Penelitian

Simplisia yang digunakan adalah lumut hati Mastigophora diclados (mastigophoraceae), yang diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto sebanyak 1 kg basah, simplisia kering 100,8 g, serbuk kering 98,7 g, yang digunakan dalam ekstraksi 90 g,warna hijau, bau khas aromatis.

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan Antiinflamasi

Karagenan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, asam asetil salisilat sebagai zat pembanding dari laboratorium Pharmacy Medicinal Chemistry fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan UIN syarif hidayatullah


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jakarta, natrium karboksimetilselulosa (Na CMC) dari laboratorium

universitas pancasila, NaCl Fisiologis 0,9% dari Pharmacy Natural Analysis fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan UIN Syarif Hidayatullah jakarta.

3.2.4 Bahan Pereaksi

Bahan pelarut untuk ekstraksi adalah etanol.

Bahan untuk penapisan fitokimia adalah kloroform, H2SO4 pekat, amonia

encer, etil asetat, FeCl3 0,1% , reagen mayer, reagen dragendroff, asam

klorida, aquadest.

3.2.5 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian uji aktivitas antiinflamasi adalah tikus putih jantan Strain Sprague Dawley dengan berat 200 – 250 gram umur 2-3 bulan yang didapat di laboratorium farmakologi Universitas Indonesia, disimpan dalam kandang tikus (TOYORIKO), pada suhu ruang, lampu dalam keaadaan hidup selama 12 jam dan lampu keadaan mati selama 12 jam, diberikan makanan standar dan diberikan minum air.

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengambilan Sampel

Bahan yang digunakan adalah lumut hati Mastigophora diclados (Mastigophoraceae) yang diambil di batang pinus dan batang agathis pada ketinggian 800 m blok 55 , Gunung Slamet Purwokerto pada tanggal 21 April 2012 jam 11.30 WIB.

3.3.2 Determinasi Tanaman

Sebelum dilakukan penelitian terhadap tumbuhan, lumut hati Mastigophora diclados terlebih dahulu dilakukan determinasi untuk mengidentifikasi jenis dan memastikan kebenaran simplisia. Determinasi dilakukan di Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi Bidang Botani LIPI


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cibinong (Lampiran 4).

3.3.3 Penyiapan Bahan yang Digunakan

a. Pengumpulan dan penyediaan simplisia

b. Lumut hati Mastigophora diclados disortasi basah, dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan agar bisa bebas dari air sisa cucian, dikering anginkan dalam ruangan, setelah kering dan bebas dari air, disortasi kering, ditimbang kemudian di giling menggunakan blender hingga menjadi serbuk.

3.3.4 Pembuatan Sediaan

1. Pembuatan Ekstrak Etanol Lumut Hati Mastigophora diclados Sebanyak 90 gram serbuk kering dari lumut hati Mastigophora diclados dimasukkan ke dalam wadah diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol sampai serbuk terendam oleh pelarut, disimpan ditempat yang gelap dan sesekali digoyang-goyangkan. Pelarut diganti setiap 3 hari sampai diperoleh filtrat yang bening. Kemudian filtrat disaring dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental, air yang tersisa dikentalkan menggunakan freeze dryer. dihitung hasil % kadar ekstrak dengan rumus :

% kadar ekstrak = Bobot ekstrak yang didapat x 100 % Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi

2.Pembuatan Suspensi Asam asetil salisilat Untuk Dosis 135 mg/KgBB

Asetosal ditimbang sebanyak 675 mg digerus perlahan didalam lumpang, ditambahkan 5 mL suspensi Na CMC 0,5 % diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan suspensi Na CMC 0,5 % sampai 50 mL.


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Pembuatan larutan karagenan

Untuk membuat karagenan 1 % sebanyak 10 mL maka karagenan ditimbang sebanyak 100 mg kemudian dilarutkan dengan NaCl Fisiologis sampai 10 mL lalu diaduk samapai homogen.

3.3.5 Percobaan Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mencari dosis yang mempunyai efek terhadap hewan percobaan. Dosis yang diberikan untuk percobaan pendahuluan adalah 10, 100, dan 1000 mg/kg BB. Dari hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga dosis tersebut mampu menunjukkan efek positif dan setelah di analisa secara statistik hasil hambat udem dari ketiga dosis belum menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf uji statistik 0,05

(ρ≥0,05), maka dilakukan pengujian lagi dengan pengecilan dosis dibawah dosis 10 mg/KgBB, yaitu dosis 1 mg/KgBB dan dosis 0,1 mg/KgBB.

3.3.6 Perencanaan Dosis Asam asetil salisilat

 Dosis Asam asetil salisilat :

Dosis lazim asam asetil salisilat untuk manusia adalah 325-650 mg untuk sekali pakai. Untuk dosis analgetik adalah 500 mg sekali pakai (Tjay & Rahardja, 2007). Dosis asam asetil salisilat sebagai antiinflamasi 2-3 x dosis analgetik (Tjay & Rahardja, 2007). Maka dosis untuk antiinflamasi (1000-1500) mg, sehingga dosis yang dapat diberikan pada tikus (200 g) menggunakan rumus tabel konversi dosis hewan adalah : (Laurence, 1964)

0,018 X (1000 – 1500) mg = (18 – 27 ) mg.

pada penelitian ini akan diambil dosis 27 mg / 200 gBB atau 135 mg/KgBB

keterangan :

0,018 = konversi dari dosis manusia ke dosis tikus (200 g)


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1. Uji Antraquinon

Sejumlah ekstrak didihkan bersama asam sulfat (H2SO4) lalu disaring

selagi hangat. Filtrat yang dihasilkan ditambah dengan 5 mL kloroform dan dikocok. Lapisan kloroform dipipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkan 1 mL ammonia. Perubahan warna yang terjadi pada larutan mengindikasikan adanya antraquinon

2. Uji Terpenoid :

Sejumlah ekstrak ditambahkan dengan 2 mL kloroform. Kemudian dengan hati-hati ditambahkan H2SO4 pekat (3

mL) sampai membentuk lapisan. Terbentuknya warna merah kecoklatan menunjukkan adanya terpenoid.

3. Uji Flavonoid :

Tiga metode yang digunakan untuk menguji flavonoid. Pertama, amonia encer (5 mL) ditambahkan ke sebagian filtrat encer dari ekstrak. kemudian asam sulfat pekat (1 mL) ditambahkan. Sebuah warna kuning yang hilang menunjukkan adanya flavonoid. Kedua, beberapa tetes larutan aluminium 1% ditambahkan ke sebagian dari filtrat. terbentuknya warna kuning menunjukkan adanya flavonoid. Ketiga, sebagian dari ekstrak dipanaskan dengan 10 mL etil asetat yang telah diuapkan selama 3 menit. Campuran kemudian disaring dan 4 mL filtrat dikocok dengan penambahan 1 mL larutan amonia encer. terbentuknya warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.

4. Uji Saponin :

Sejumlah ekstrak ditambahkan 5 mL aquades dalam tabung reaksi. Larutan dikocok kuat dan diamati. Terbentuknya busa stabil menunjukkan adanya saponin.

5. Uji Fenolik :

Sejumlah ekstrak dalam 10 mL air dididihkan dalam tabung reaksi kemudian disaring. beberapa tetes besi klorida 0,1% ditambahkan dan diamati, terbentuknya warna hijau kecoklatan atau biru-hitam menunjukkan adanya fenolik.


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ekstrak dilarutkan dalam asam klorida encer dan kemudian disaring.

a. Uji Mayer : Filtrat diberi reagen mayer. terbentuknya endapan berwarna kuning menunjukkan adanya alkaloid.

b. Uji Dragendroff : Filtrat diberikan reagen dragendroff, terbentuknya endapan merah menunjukkan adanya alkaloid.

3.4 Uji Antiinflamasi

3.4.1 Aklimatisasi dan pengelompokan hewan percobaan

Sebelum digunakan semua hewan percobaan (tikus jantan) dipelihara terlebih dahulu selama 3 minggu untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitar, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanan. Hewan percobaan untuk uji pendahuluan dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor.

Setelah mendapatkan hasil dari uji pendahuluan kemudian akan diteruskan uji antiinflamasi dengan mengacu kepada rumus fedrer yaitu:

(n-1) (t-1) ≥ 15

Keterangan : n = jumlah hewan percobaan perkelompok t = Jumlah kelompok

Rumus Fedrer untuk metode edema buatan pada telapak kaki tikus (Antiinflamasi) :

(n-1) (t-1) ≥ 15 (n-1) (7-1) ≥ 15 (n-1) (6) ≥ 15 6n – 6 ≥ 15

6n ≥ 21

n ≥ 3,5 ≈ 4

Dari hasil perhitungan ferdrer tikus yang digunakan tidak kurang dari 4ekor, namun pada uji aktivitas antiinflamasi digunakan 5 ekor tikus dalam setiap kelompoknya sesuai dengan syarat WHO.


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ekor. Rinciannya sebagai berikut :

Tabel 3.1 Pembagian kelompok hewan uji Antiinflamasi

Kelompok Jumlah Perlakuan

1 5 Kontrol negatif, diberi Na CMC 0,5 %

2 5 Kontrol positif, diberi asetosal dalam Na CMC 0,5 % 3 5 Diberi sediaan ekstrak lumut hati Mastigophora

diclados dalam Na CMC 0,5 % dosis 1000 mg/KgBB 4 5 Diberi sediaan ekstrak lumut hati Mastigophora

diclados dalam Na CMC 0,5 % dosis 100 mg/KgBB 5 5 Diberi sediaan ekstrak lumut hati Mastigophora

diclados dalam Na CMC 0,5 % dosis 10 mg/KgBB 6 5 Diberi sediaan ekstrak lumut hati Mastigophora

diclados dalam Na CMC 0,5 % dosis 1 mg/KgBB 7 5 Diberi sediaan ekstrak lumut hati Mastigophora

diclados dalam Na CMC 0,5 % dosis 0,1 mg/KgBB

3.4.2 Uji Antiinflamasi dengan metode edema buatan pada telapak kaki tikus (Gulecha, et al, 2011).

1. Tikus dipuasakan kurang lebih selama 18 jam sebelum pengujian, minum tetap diberikan (Rustam, et al, 2017).

2. Tikus ditimbang dan dikelompokan secara acak yaitu : kelopok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, dan kelompok uji ekstrak lumut hati Mastigophota diclados.

3. Kaki belakang setiap tikus yang akan diinduksi diberi tanda menggunkaan spidol, pada saat pemasukan kaki ke dalam cairan raksa selalu sama.

4. Setelah diberi tanda volume kaki setiap tikus diukur dan dinyatakan sebagai volume kaki dasar. Pada setiap pengukuran, tinggi cairan pada alat dicatat sebelum dan sesudah pengukuran.

5. Pada kelompok kontrol negatif diberikan Na CMC 0,5%, pada kelompok kontrol positif diberi suspensi asam asetil salisilat dalam Na CMC 0,5%, dan pada kelompok uji diberi zat uji ekstrak dalam Na CMC 0,5% sesuai dosis yang telah direncanakan secara oral.

6. Setelah 1 jam diberi sediaan uji, telapak kaki tikus disuntikan dengan larutan karagenan 1 % sebanyak 0,2 mL secara intrakutan, sebelumnya kaki tikus dibersihkan dengan etanol 70% (Rustam, et al, 2017).


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Setelah 1 jam, volume kaki tikus diukur dengan menggunakan alat

pletismometer setiap satu jam selama 6 jam setelah diinduksi dengan karagenan (Parmar & prakash, 2006).

8. Ukur volume edema telapak kaki masing-masing tikus.

9. Hitung presentase edema dan presentase inhibisi pembentukan edema dengan rumus (Rustam et al, 2007; Swathy et al, 2010)

% Edema = ( Vt-Vo ) X 100% Vo

% Inhibisi Udem = (a – b ) x 100 % a

Keterangan : Vt = Volume telapak untuk setiap kelompok pada waktu t Vo = Volume telapak yg diperoleh untuk setiap kelompok

sebelum perlakuan apapun

a = % udem pada kelompok hewan kontrol b = % udem pada kelompok perlakuan

3.4.3 Analisi Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan dianalisis dengan uji levene untuk melihat homogenitas data. jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan uji Analisi Varians (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaan sehingga dapat diketahui apakah perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan uji nyata terkecil (LSD) (Santoso, 2007).


(41)

25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.1HASIL PENELITIAN

4.1.1 Penapisan Fitokimia Ekstrak lumut hati Mastigophora diclados Tabel 4.1 Data hasil penapisan fitokimia

Pengujian Ekstrak lumut hati

Mastigophora diclados

Antraquinon -

Terpenoid +

Flavonoid -

Alkaloid -

Saponin +

Fenolik +

4.1.2 Hasil Ekstraksi dari Lumut Hati Mastigophora diclados

Dari 90 g lumut hati Mastigophora diclados yang diekstraksi diperoleh ekstrak kental 6 g. Jadi rendemen yang didapat adalah 6,7 %.

4.1.3 Hasil Uji Antiinflamasi

a. Rata-rata volume edema telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing perlakuan


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tabel 4.2 Rata-rata Volume Udem (mL)

Kelompok Rata-rata volume udem (mL) ± SD tiap 1 jam selama 6 jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol negatif 0,010± 0,000 0,040± 0,000 0,052± 0,003 0,060± 0,004 0,064± 0,004 0,063± 0,004 0,061± 0,002 Kontrol positif 0,014± 0,004 0,038± 0,006 0,043± 0,003 0,052± 0,006 0,058± 0,006 0,049± 0,004 0,047± 0,006 Dosis 0,1 mg 0,015± 0,000 0,047± 0,003 0,060± 0,004 0,067± 0,003 0,068± 0,003 0,065± 0,004 0,057± 0,004 Dosis 1 mg 0,018± 0,003 0,040± 0,004 0,049± 0,002 0,057± 0,003 0,058± 0,003 0,056± 0,004 0,051± 0,002 Dosis 10 mg 0,018± 0,003 0,034± 0,004 0,046± 0,004 0,053± 0,003 0,055± 0,006 0,044± 0,005 0,039± 0,005 Dosis 100 mg 0,020± 0,000 0,035± 0,005 0,050± 0,004 0,054± 0,004 0,056± 0,004 0,046± 0,007 0,041± 0,007 Dosis 1000 mg 0,018± 0,003 0,033± 0,004 0,046± 0,007 0,050± 0,005 0,052± 0,006 0,043± 0,003 0,038± 0,003

Gambar 4.1. Grafik hubungan rata-rata volume udem terhadap waktu 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1

0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6 jam

V

o

lu

m

e

Waktu

Rata-rata Volume Udem

kont rol negat if kont rol posit if Dosis 0,1 m g Dosis 1 mg Dosis 10 mg Dosis 100 mg Dosis 1000 mg


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta b. Rata-rata persen udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada

masing-masing perlakuan

Tabel 4.3 Rata-rata Persen Udem

Kelompok Rata-rata persen udem ± SD tiap 1 jam selama 6 jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol negatif 0±0 300±0 420± 27,39 500± 35,36 540± 41,83 530± 44,72 510± 22,36 Kontrol positif 0±0 183,33±

55,28 228,33± 93,84 290± 82,99 338,33± 111,12 268,33± 78,26 251,67± 72,27 Dosis 0,1 mg 0±0 213,33±

18,26 300± 23,57 346,67± 18,26 353,33± 18,26 333,33± 23,57 280± 29,82

Dosis1 mg 0±0 125±

27,64 176,67± 38,37 221,67± 42,33 226,67± 36,52 216,67± 50,00 190± 56,03 Dosis 10 mg 0±0 90± 13,69 158,33±

27,64 198,33± 31,95 208,33± 34,36 146,67± 27,39 118,33± 24,58 Dosis 100 mg 0±0 75±25 150±

17,68 170± 20,92 180± 20,92 130± 32,59 105± 32,59 Dosis 1000 mg 0±0 86,67±

36,13 156,67± 25,28 180± 20,92 191,67± 31,18 145± 51,23 116,67± 46,77

Gambar 4.2 Grafik hubungan persen rata-rata udem terhadap waktu 0 100 200 300 400 500 600

0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6 jam

P

ers

en

(%

)

Waktu

Rata-rata Persen Udem

kont rol negat if kont rol posit if Dosis 0,1 m g Dosis 1 mg Dosis 10 mg Dosis 100 mg Dosis 1000 mg


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Rata-rata persen inhibisi udem telapak kaki tikus pada masing-masing

perlakuan

Tabel 4.4 Rata-rata Persen Inhibisi Udem

Kelompok Persen inhibisi udem ± SD tiap 1 jam selama 6 jam

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol negatif 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0

Kontrol positif 0±0 38,89± 18,43 44,95± 24,77 42,09± 15,57 37,91± 17,87 48,74± 17,31 50,39± 15,18 Dosis 0,1 mg 0±0 28,89±

6,09 28,15± 9,18 30,52± 3,86 34,32± 5,17 36,65± 8,06 45,09± 5,53 Dosis 1 mg 0±0 58,33±

9,22 58,24± 6,39 55,12± 11,14 57,69± 8,38 59,41± 6,89 62,85± 10,52 Dosis 10 mg 0±0 70±

4,56 62,18± 7,29 60,40± 5,02 61,27± 6,62 71,94± 6,52 76,60± 5,52 Dosis 100 mg 0±0 75±

8,33 64,17± 4,54 65,75± 6,05 66,62± 3,52 75,53± 5,30 79,55± 5,63 Dosis 1000 mg 0±0 71,11±

12,04 62,41± 7,67 63,95± 3,92 64,41± 5,89 72,56± 9,89 76,94± 9,67

Gambar 4.3 Grafik hubungan persen rata-rata inhibisi udem terhadap waktu 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6 jam

P

ers

en

(%

)

Waktu

Persen Rata-rata Inhibisi Udem

kont rol negat if kont rol posit if Dosis 0,1 m g Dosis 1 mg Dosis 10 mg Dosis 100 mg Dosis 1000 mg


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2PEMBAHASAN

Pada penelitian uji efek antiinflamasi digunakan ekstrak kental etanol dari lumut hati Mastigophora diclados, lumut tersebut diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto pada ketinggian 800 m blok 55 yang hidup di batang pinus dan batang agathis. Sebelum dilakukan uji, lumut hati Mastigophora diclados terlebih dahulu dilakukan determinasi untuk mengidentifikasi kebenaran simplisia, dan hasilnya menunjukkan bahwa simplisia yang digunakan adalah lumut hati jenis Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees dari suku Mastigophoraceae (Lampiran 4).

Proses pembuatan ekstrak kental lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees dilakukan dengan metode maserasi yaitu dengan cara merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut organik etanol 70 % yang disimpan di tempat yang gelap dan sesekali digoyang-goyangkan. Pelarut diganti setiap 3 hari sampai diperoleh filtrat yang bening. Kemudian filtrat disaring dan dipekatkan menggunakan vakum rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak. Metode ini digunakan karena metode yang sederhana, mudah dilakukan, dan metode yang umum digunakan dalam proses ekstraksi. Karena ekstrak yang dihasilkan belum terlalu kental masih terdapat kandungan air didalamnya maka dilakukan freeze drying, tujuan dilakukan freeze drying yaitu untuk menghilangkan pelarut air dari padatan terlarut dengan tetap mempertahankan senyawa yang ada.

Pemakaian etanol 70% hasil destilasi sebagai pelarut karena etanol 70% dapat melarutkan senyawa organik dalam tumbuhan baik yang bersifat polar, semi polar, maupun non polar. Disamping itu etanol 70% mempunyai titik didih yang rendah (78,40C) sehingga mudah diuapkan, mempunyai harga yang relatif rendah, aman digunakan dan mudah mendapatkannya.

Metode yang digunakan dalam pengujian antiinflamasi adalah pembentukan udem buatan pada telapak kaki kiri belakang tikus putih jantan dengan menggunakan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih karena merupakan metode paling umum digunakan dalam penelitian uji antiinflamasi, murah, dan sederhana dalam pengerjaannya serta hasil yang diperoleh valid. Karagenan dipilih karena merupakan induktor udem yang paling


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta peka dibandingkan dengan induktor lain pada metode pembentukan udem buatan,

selain itu pembentukan udem dengan karagenan tidak menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan sekitar inflamasi. Induktor udem ini akan menginduksi cedera sel melalui pelepasan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada awalnya masih terjadi adaptasi untuk melepaskan mediator inflamasi. Pada tahap ini pelepasan mediator masih belum maksimal. Pada saat terjadi pelepasan mediator maksimal, volum udem mencapai maksimal dan keadaan ini dapat bertahan sampai 6 jam dan berangsur berkurang dalam 24 jam (Siswanto dan Nurlita, 2005). Dalam penelitian ini menggunakan 0,2 mL suspensi karagenan 1% pada telapak kaki tikus secara intrakutan (Rustam, et al, 2007), karena lebih terlihat volum udem yang terbentuk pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi. Pada saat pengukuran volume udem menggunakan alat pletismometer hal-hal yang harus diperhatikan adalah volume air raksa harus sama pada setiap kali pengukuran, tanda pada pergelangan kaki tikus harus jelas dan dipastikan pada saat mencelup telapak kaki tikus harus tercelup sempurna sampai tanda batas yang telah ditentukan, serta ketelitian saat pengukuran pada alat pletismometer . Hal ini bertujuan agar mendapatkan data pengukuran yang selalu konstan pada tiap waktu dan dalam kondisi yang sama.

Hewan yang digunakan adalah tikus putih jantan Strain Sprague Dawley (Green et al, 1999), dengan berat badan 200-250 gram dengan usia 2-3 bulan. Pemilihan jenis kelamin jantan lebih didasarkan pada pertimbangan hewan tikus jantan tidak memiliki hormon estrogen, kalaupun ada hanya dalam jumlah yang relatif sedikit serta kondisi hormonal pada jantan relatif stabil jika dibandingkan dengan betina karena pada tikus betina mengalami perubahan hormonal pada masa-masa tertentu seperti pada masa siklus estrus, masa kehamilan dan menyusui dimana kondisi tersebut dapat mempengaruhi kondisi psikologis hewan uji tersebut. selain itu tingkat stress tikus betina lebih tinggi dibandingkan dengan tikus jantan yang mungkin dapat mengganggu saat pengujian (Suhendi, et al, 2011). Perlakuan hewan dimulai dengan aklimatisasi terlebih dahulu selama 3 minggu agar hewan bisa beradaptasi dengan lingkungan. Kemudian tikus dikelompokkan menjadi 7 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Kelompok kontrol negatif diberi 2mL/200 gBB Na CMC 0,5 % per


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta oral. Kelompok kontrol positif diberi pembanding suspensi asetosal per oral

dengan dosis 135mg/KgBB. Kemudian dilakukan uji pendahuluan pada kelompok dosis rendah (10 mg/KgBB), dosis sedang (100 mg/KgBB), dan dosis tinggi (1000 mg/KgBB). Karena hasil persen inhibisi dari ketiga dosis tersebut tidak terdapat perbedaan yang bermakna yang telah di analisa secara statistik pada taraf

0,05 (ρ≥0,05), maka dilakukan lagi uji dengan pengecilan dosis diperkecil

dibawah dosis rendah (10 mg/KgBB) yaitu dosis 1 mg/KgBB dan dosis 0,1 mg/KgBB.

Kontrol positif sebagai pembanding yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal obat ini dipilih karena merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi dan digolongkan kedalam obat bebas, serta pada pemberian oral sebagian salisilat dapat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Gunawan, 2008).

Pengukuran volume udem pada telapak kaki kiri tikus dilakukan setiap 1 jam selama 6 jam setelah telapak kaki kiri belakang tikus diberikan induksi karagenan (Lampiran 13). Persentase udem dihitung sesuai dengan data volume udem yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan (Lampiran 16). Persentase penghambatan udem dihitung juga sesuai dengan persen radang yang terbentuk setiap jamnya dan dosis uji yang digunakan (Lampiran 16). Pada penelitian ini, volume udem maksimal telapak kaki belakang tikus rata-rata terjadi pada jam ke 4 dan kemudian berangsur menurun pada jam ke 5 dan ke 6 setelah diinduksi karagenan 1 % sebanyak 0,2 mL. Hal ini mungkin disebabkan karena absorbsi karagenan cepat dalam tubuh sehingga efek radang sudah mulai menurun.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima variasi dosis ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados yang digunakan mampu menghambat pembentukan udem dan secara umum maksimal terjadi pada jam ke 6. Pada dosis 1000 mg/KgBB menunjukkan kemampuan menghambat udem terbesar 76,94 % pada jam keenam. Dosis 100 mg/KgBB kemampuan menghambat udem terbesarnya yaitu 79,55 % pada jam keenam. dan Dosis 10 mg/KgBB


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan kemampuan dalam menghambat udem terbesar pada jam keenam

yaitu 76,60 %. Dari ketiga dosis yang telah diuji kemampuan dalam menghambat udem ketiganya belum terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga dosis tersebut, maka selanjutnya dilakukan uji dengan memperkecil dosis dibawah dosis 10 mg/KgBB yaitu dosis 1 mg/KgBB dan 0,1 mg/KgBB. Dosis 1 mg/KgBB mampu menghambat udem sebesar 62,85 % pada jam keenam, sedangakan pada dosis 0,1 mg/KgBB menunjukkan kemampuan menghambatnya sebesar 45,09 % pada jam keenam. Dikarenakan dari semua ke 5 dosis uji sudah terlihat adanya perbedaan yang bermakna untuk masing-masing dosis, kontrol positif, dan kontrol negatif pada persen hambat udem maka tidak dilakukan penyempitan dosis lagi. Bila dilihat secara keseluruhan kelompok kontrol positif hanya mampu menunjukkan persen hambat udem terbesar 50,39 % yang kemampuan menghambat udem berada dibawah atau lebih kecil dari dosis uji 1 mg/KgBB akan tetapi daya hambat kontrol positif lebih besar dari dosis 0,1 mg/KgBB.

Dari semua dosis uji yang digunakan menghasilkan kemampuan dalam menghambat udem mulai dari dosis 0,1 mg/KgBB sampai dosis 100 mg/KgBB menunjukkan peningkatan persen hambat udemnya, terlihat jelas bahwa ekstrak etanol lumut hati Mastigophora diclados dosis 100 mg/KgBB memiliki nilai persen penghambatan udem yang paling tinggi dari pada perlakuan yang lainnya, kemudian diikuti oleh dosis 1000 mg/KgBB. Seharusnya dengan meningkatnya dosis atau konsentrasi, maka aktivitas antiinflamasi akan menunjukkan adanya peningkatan. Tetapi ternyata pada dosis 1000 mg/KgBB justru terjadi penurunan aktivitas antiinflamasinya. Hal tersebut disebabkan memang terdapat beberapa jenis obat dalam dosis tinggi justru menyebabkan pelepasan histamin secara langsung dari mast cell sehingga mengakibatkan pembuluh darah menjadi permeabel terhadap cairan plasma dan menimbulkan proses peradangan (Fitriyani, et al, 2011). Maka dimungkinkan pada ekstrak lumut hati Mastigophora diclados ini mengandung senyawa yang mampu mengakibatkan hal tersebut.

Data yang diperoleh dalam uji antiinflamasi dianalisa secara statistik menggunakan uji ANOVA untuk melihat nyata atau tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok. Dalam uji ANOVA ini harus memenuhi persyaratan-persyaratannya seperti syarat normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan dengan menggunakan metode kolmogorov smirnovz untuk melihat

distribusi data persen penghambatan udem telapak kaki belakang tikus pada jam ke 1, jam ke 2, jam k 3, jam ke 4, jam ke 5 dan jam ke 6 (Lampiran 17), menunjukkan semua kelompok perlakuan terdistribusi normal, terkecuali pada perlakuan jam ke 2 tidak terdistribusi normal. Kemudian dilanjutkan uji homogenitas dengan metode leneve untuk melihat data persen penghambatan udem telapak kaki belakang tikus homogen atau tidaknya, hasilnya menunjukkan

bahwa data seluruh kelompok uji tidak homogen (ρ ≤ 0,05 ). Karena syarat

ANOVA tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis. dan dilanjutkan kembali uji BNT (beda nyata terkecil) dengan metode LSD (Lampiran 17).

Pada jam ke 1, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000

mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ≤0,05). Kelompok kontrol positif berbeda secara

bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05). Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda

bermakna dengan dosis 1, 100,dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mg/Kg. Dosis 1000 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10, dan 100 mg/KgBB pada taraf uji 0,05.

Pada Jam kedua, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,

1000 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ≤0,05). Kelompok kontrol positif berbeda

secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif dan dosis 10,100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100, dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada jam ketiga, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna

dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,

1000 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ≤0,05). Kelompok dosis 1 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1000 tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10 dan 100 mg/KgBB pada taraf uji 0,05

Pada jam keempat, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf uji 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 1 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10,100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05

Pada jam kelima, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf uji 0,05. Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05. Kelompok dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermak.na dengan dosis 100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05.

Pada jam keenam, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100,

1000 mg/Kg pada taraf uji 0,05 (ρ≤0,05). Kelompok kontrol positif berbeda

secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05

(ρ≥0,05). Kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05). Kelompok dosis 1 mg/Kg berbeda secara


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (ρ≤0,05). Kelompok dosis 10 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan dosis 100

dan 1000mg/KgBB pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05).

Pada penelitian uji antiinflamasi ekstrak lumut hati Mastigophora diclados sebagai penghambat antiinflamasi diasumsikan berhubungan dengan kandungan terpenoid, fenolik, dan saponin serta adanya aktivitas sebagai antioksidan. Telah diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa lumut hati Mastigophora diclados memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Komala et al, 2010), dimana antioksidan bekerja dapat menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamsi, diabetes, dan penuaan (Ali et al, 2011). Golongan terpenoid yaitu seskuiterpen dilaporkan Heras et al., (1999) dapat menghambat inflamasi dengan menghambat beberapa faktor transkripsi yang berperan dalam pengaturan ekspresi gen yang terlibat dalam respon inflamasi. Saponin memiliki mekanisme antiinflamasi yang paling mungkin adalah diduga mampu berinteraksi dengan banyak membran lipid seperti fosfolipid yang merupakan prekursor prostaglandin dan mediator-mediator inflamasi lainnya (Hidayati, et al., 2008), serta dapat menghambat pembentukan eksudat dan menghambat kenaikan permeabilitas vaskular (Fitriyani, et al., 2011). Antioksidan mampu menghambat oksidasi asam arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipooxygenase. Apabila oksidasi asam arakhidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif dan mediator-mediator kimia yang dapat menyebabkan nyeri dan radang. selain itu antioksidan dapat menurunkan aktivitas enzim lipooxygenase sehingga tidak menyebabkan terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber dan Leo, 1999). Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat menyebabkan lumut hati Mastigophora diclados berefek sebagai antiinflamasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis penelitian ini terbukti, bahwa lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, yang dibuktikan pada pemberian ekstrak etanol lumut hati dengan dosis 0,1 mg/KgBB, 1 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 100 mg/KgBB, dan 1000 mg/KgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki belakang tikus putih jantan yang telah diinduksi karagenan 1% sebanyak 0,2 ml, dengan daya hambat udem dosis uji di atas daya hambat kelompok asetosal


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai kontrol pembanding.


(53)

37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Ekstrak etanol 70 % dari lumut hati Mastigophora diclados (Bird. ex Web.) Nees dengan dosis 0,1 mg/KgBB, 1mg/KgBB, 10 mg/KgBB, 100 mg/KgBB, 1000 mg/KgBB dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus yang telah diinduksi oleh karagenan secara signifikan (p ≤ 0,05) dengan kontrol negatif, dan semua variasi dosis uji memiliki perbedaan secara bermakna terhadap kontrol positif (asetosal) pada taraf uji 0,05 (p ≤ 0,05) terkecuali dengan dosis 0,1 mg/KgBB tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada taraf uji 0,05 (p ≥ 0,05)

2. Dosis 100 mg/KgBB memiliki daya hambat tertinggi sebesar 79,55 % dari semua dosis uji dan kontrol positif yaitu asetosal. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lumut hati M.diclados mempunyai potensi sebagai antiinflamasi.

5.2 SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam hal isolasi kandngan kimia dari tumbuhan lumut hati M.diclados yang tumbuh di Indonesia untuk mengetahui komponen kimia yang mana yang mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi


(1)

dosis 0,1 mg 30.08800* 5.38436 .000 19.0586 41.1174

dosis 1 mg 6.71200 5.38436 .223 -4.3174 17.7414

dosis 10 mg 3.13800 5.38436 .565 -7.8914 14.1674

dosis 100 mg -2.21200 5.38436 .684 -13.2414 8.8174

jam5 kontrol negatif kontrol positif -48.73800* 5.75970 .000 -60.5362 -36.9398

dosis 0,1 mg -36.64600* 5.75970 .000 -48.4442 -24.8478

dosis 1 mg -59.41400* 5.75970 .000 -71.2122 -47.6158

dosis 10 mg -71.94000* 5.75970 .000 -83.7382 -60.1418

dosis 100 mg -75.53000* 5.75970 .000 -87.3282 -63.7318

dosis 1000 mg -72.56200* 5.75970 .000 -84.3602 -60.7638

kontrol positif kontrol negatif 48.73800* 5.75970 .000 36.9398 60.5362

dosis 0,1 mg 12.09200* 5.75970 .045 .2938 23.8902

dosis 1 mg -10.67600 5.75970 .074 -22.4742 1.1222

dosis 10 mg -23.20200* 5.75970 .000 -35.0002 -11.4038

dosis 100 mg -26.79200* 5.75970 .000 -38.5902 -14.9938

dosis 1000 mg -23.82400* 5.75970 .000 -35.6222 -12.0258

dosis 0,1 mg kontrol negatif 36.64600* 5.75970 .000 24.8478 48.4442

kontrol positif -12.09200* 5.75970 .045 -23.8902 -.2938

dosis 1 mg -22.76800* 5.75970 .000 -34.5662 -10.9698

dosis 10 mg -35.29400* 5.75970 .000 -47.0922 -23.4958

dosis 100 mg -38.88400* 5.75970 .000 -50.6822 -27.0858

dosis 1000 mg -35.91600* 5.75970 .000 -47.7142 -24.1178

dosis 1 mg kontrol negatif 59.41400* 5.75970 .000 47.6158 71.2122

kontrol positif 10.67600 5.75970 .074 -1.1222 22.4742

dosis 0,1 mg 22.76800* 5.75970 .000 10.9698 34.5662

dosis 10 mg -12.52600* 5.75970 .038 -24.3242 -.7278

dosis 100 mg -16.11600* 5.75970 .009 -27.9142 -4.3178

dosis 1000 mg -13.14800* 5.75970 .030 -24.9462 -1.3498

dosis 10 mg kontrol negatif 71.94000* 5.75970 .000 60.1418 83.7382

kontrol positif 23.20200* 5.75970 .000 11.4038 35.0002

dosis 0,1 mg 35.29400* 5.75970 .000 23.4958 47.0922

dosis 1 mg 12.52600* 5.75970 .038 .7278 24.3242

dosis 100 mg -3.59000 5.75970 .538 -15.3882 8.2082


(2)

dosis 100 mg kontrol negatif 75.53000* 5.75970 .000 63.7318 87.3282

kontrol positif 26.79200* 5.75970 .000 14.9938 38.5902

dosis 0,1 mg 38.88400* 5.75970 .000 27.0858 50.6822

dosis 1 mg 16.11600* 5.75970 .009 4.3178 27.9142

dosis 10 mg 3.59000 5.75970 .538 -8.2082 15.3882

dosis 1000 mg 2.96800 5.75970 .610 -8.8302 14.7662

dosis 1000 mg kontrol negatif 72.56200* 5.75970 .000 60.7638 84.3602

kontrol positif 23.82400* 5.75970 .000 12.0258 35.6222

dosis 0,1 mg 35.91600* 5.75970 .000 24.1178 47.7142

dosis 1 mg 13.14800* 5.75970 .030 1.3498 24.9462

dosis 10 mg .62200 5.75970 .915 -11.1762 12.4202

dosis 100 mg -2.96800 5.75970 .610 -14.7662 8.8302

jam6 kontrol negatif kontrol positif -50.39400* 5.48925 .000 -61.6382 -39.1498

dosis 0,1 mg -45.09000* 5.48925 .000 -56.3342 -33.8458

dosis 1 mg -62.85000* 5.48925 .000 -74.0942 -51.6058

dosis 10 mg -76.60400* 5.48925 .000 -87.8482 -65.3598

dosis 100 mg -79.54600* 5.48925 .000 -90.7902 -68.3018

dosis 1000 mg -76.94000* 5.48925 .000 -88.1842 -65.6958

kontrol positif kontrol negatif 50.39400* 5.48925 .000 39.1498 61.6382

dosis 0,1 mg 5.30400 5.48925 .342 -5.9402 16.5482

dosis 1 mg -12.45600* 5.48925 .031 -23.7002 -1.2118

dosis 10 mg -26.21000* 5.48925 .000 -37.4542 -14.9658

dosis 100 mg -29.15200* 5.48925 .000 -40.3962 -17.9078

dosis 1000 mg -26.54600* 5.48925 .000 -37.7902 -15.3018

dosis 0,1 mg kontrol negatif 45.09000* 5.48925 .000 33.8458 56.3342

kontrol positif -5.30400 5.48925 .342 -16.5482 5.9402

dosis 1 mg -17.76000* 5.48925 .003 -29.0042 -6.5158

dosis 10 mg -31.51400* 5.48925 .000 -42.7582 -20.2698

dosis 100 mg -34.45600* 5.48925 .000 -45.7002 -23.2118

dosis 1000 mg -31.85000* 5.48925 .000 -43.0942 -20.6058

dosis 1 mg kontrol negatif 62.85000* 5.48925 .000 51.6058 74.0942

kontrol positif 12.45600* 5.48925 .031 1.2118 23.7002

dosis 0,1 mg 17.76000* 5.48925 .003 6.5158 29.0042


(3)

dosis 100 mg -16.69600* 5.48925 .005 -27.9402 -5.4518

dosis 1000 mg -14.09000* 5.48925 .016 -25.3342 -2.8458

dosis 10 mg kontrol negatif 76.60400* 5.48925 .000 65.3598 87.8482

kontrol positif 26.21000* 5.48925 .000 14.9658 37.4542

dosis 0,1 mg 31.51400* 5.48925 .000 20.2698 42.7582

dosis 1 mg 13.75400* 5.48925 .018 2.5098 24.9982

dosis 100 mg -2.94200 5.48925 .596 -14.1862 8.3022

dosis 1000 mg -.33600 5.48925 .952 -11.5802 10.9082

dosis 100 mg kontrol negatif 79.54600* 5.48925 .000 68.3018 90.7902

kontrol positif 29.15200* 5.48925 .000 17.9078 40.3962

dosis 0,1 mg 34.45600* 5.48925 .000 23.2118 45.7002

dosis 1 mg 16.69600* 5.48925 .005 5.4518 27.9402

dosis 10 mg 2.94200 5.48925 .596 -8.3022 14.1862

dosis 1000 mg 2.60600 5.48925 .639 -8.6382 13.8502

dosis 1000 mg kontrol negatif 76.94000* 5.48925 .000 65.6958 88.1842

kontrol positif 26.54600* 5.48925 .000 15.3018 37.7902

dosis 0,1 mg 31.85000* 5.48925 .000 20.6058 43.0942

dosis 1 mg 14.09000* 5.48925 .016 2.8458 25.3342

dosis 10 mg .33600 5.48925 .952 -10.9082 11.5802

dosis 100 mg -2.60600 5.48925 .639 -13.8502 8.6382

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keterangan

: tanda

*

menunjukkan data berbeba secara bermakna

Dilihat dari data diatas maka :

a.

Jam ke 1

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05 (ρ≤0,05).

2.

Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok

dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan

secara bermakna pada taraf uji 0,05.


(4)

3.

Kelompok dosis 1 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05)

4.

Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100,dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

5.

Dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000 mg/Kg

6.

Dosis 1000 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10, dan 100

mg/KgBB

Jam ke 2

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05 (ρ≤0,05).

2.

Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok

dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan

secara bermakna pada taraf uji 0,05.

3.

Dosis 1mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif dan dosis

10,100 dan 1000 mg/KgBB pada taraf uji 0,05.

4.

Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1,100, dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05.

5.

Dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

Jam ke 3

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05 (ρ≤0,05).

2.

Dosis 1 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05


(5)

3.

Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

4.

Dosis 100 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

5.

Dosis 1000 tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 10 dan 100 mg/KgBB pada

taraf uji 0,05

Jam ke 4

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05.

2.

Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok

dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan

secara bermakna pada taraf uji 0,05.

3.

Dosis 1 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 10,100 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

4.

Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 1, 100 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05

jam ke 5

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05.

2.

Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok

dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan

secara bermakna pada taraf uji 0,05.

3.

Dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan dosis 100 dan 1000

mg/KgBB pada taraf uji 0,05


(6)

Jam ke 6

1.

Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol

positif dan seluruh kelompok uji dosis 0,1, 1, 10, 100, 1000 mg/Kg pada taraf

uji 0,05 (ρ≤0,05).

2.

Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok

dosis uji terkecuai dengan kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak terdapat perbedaan

secara bermakna pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05).

3.

Kelompok dosis 0,1 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif pada

taraf uji 0,05 (ρ≥0,05)..

4.

Dosis 1 mg/Kg berbeda secara bermakna dengan seluruh kelompok dosis uji,

dan kontrol positif pada taraf 0,05

(ρ≤0,05).

5.

Dosis 10 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan dosis 100 dan 1000mg/KgBB

pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05).