Uji efek Antiinflamasi ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados terhadap tikus putih jantan Strain Sprague Dawley
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK n-heksan
LUMUT HATI Mastigophora diclados TERHADAP TIKUS
PUTIH JANTAN Strain Sprague Dawley
SKRIPSI
MIGI FEBRI ARINI
NIM: 109102000039
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
(2)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK n-heksan
LUMUT HATI Mastigophora diclados TERHADAP TIKUS
PUTIH JANTAN Strain Sprague Dawley
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
MIGI FEBRI ARINI
NIM: 109102000039
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
(3)
(4)
(5)
(6)
Nama
: Migi Febri Arini
Program Studi : Farmasi
Judul
: Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak n-heksan Lumut
Hati Mastigophora diclados Terhadap Tikus Putih
Jantan Strain Sprague Dawley
Dari hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa ekstrak etanol lumut hati
Mastigophora diclados aktif sebagai antiinflamasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melanjutkan meneliti lumut hati Mastigophora diclados yang diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut n-heksana. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 30 ekor tikus Strain Sprague Dawley, yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, dan 50 mg/KgBB serta kelompok kontrol negatif (Na CMC 0,5%) dan kelompok kontrol positif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pembentukan udem buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi karagenan 1% sebanyak 0,2 mL sebagai induktor radang. Sebagai kontrol positif digunakan asetosal dengan dosis 125 mg/KgBB. Hasil udem telapak kaki tikus diukur dengan menggunakan alat plestimometer setiap 1 jam selama 6 jam pengamatan pada setiap kelompok. Hasil penelitian menunjukan bahwa daya hambat terbesar yang dihasilkan pada ekstrak
n-heksan lumut hati Mastigophora diclados terjadi pada dosis 50 mg/KgBB dengan persentase inhibisi radang sebesar 82,04%, dosis 10 mg/KgBB sebesar 60,07% dan dosis 5 mg/KgBB sebesar 34,2%. Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara setiap dosis dengan kontrol negatif pada taraf
uji 0,05 (ρ≤0,05) dan semua dosis ekstrak terdapat perbedaan bermakna dengan
kontrol positif (ρ≤0,05) terkecuali pada dosis 10 mg/KgBB tidak terdapat perbedaan bermakna dengan kontrol positif pada taraf uji 0,05 (ρ≥0,05).
Kata kunci: Lumut Hati Mastigophora diclados, n-heksan, Asetosal, Karagenan 1%.
(7)
Name
: Migi Febri Arini
Program Study : Pharmacy
Title
: The Antiinflammatory Effect of n-hexane Extract
of Livermorts Mastigophora diclados on Sprague
Dawley white rats.
From the result of the previous study, it is known that the ethanol extract of liverworts Mastigophora diclados is active as anti inflammatory. The purpose of this study was to continue the research on liverworts Mastigophora diclados
which was extracted with maceration method using n-hexane. This research was conducted using 30 Sprague Dawley rats, which were divided in 5 dosage treatments; 5 mg/kgBW, 10 mg/KgBW, and 50mg/KgBW, along with negative control group (0,5% Na CMC) and positive control group. This research was carried out by using artificial edema formation method on the sole of 1% carrageenan-induced mice with the amount of 0,2 mL as an inflammation inductor. As positive control, acetosal was used with a dosage of 125 mg/KgBW. The production of edema on the rat sole foot was measured with plethysmometer every 1 hour for 6 hours under surveillance for each group. The result of the research showed that the strongest inhibition produced by n-hexane extract of Liverworts Mastigophora diclados occurred on the dosage of 50 mg/KgBW with the percentage of inflammation inhibition 82,04%, dosage of 10 mg/KgBB 60,07% and dosage of 5 mg/KgBB 34,2%. It was known from the result of ANOVA showed that there were significant differences between each dose of the extract with the negative control (ρ≤0.05) and all doses of the extract are significant differences with the positive control (ρ ≤ 0.05), except at a dose of 10 mg/Kg body weight there was no significant difference in the positive control
level test 0.05 (ρ ≥ 0.05).
Key words : Liverworts, Mastigophora diclados, n-hexane, Acetosal, Carrageenan 1%.
(8)
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga sehingga penulis dapat
menyelasaikan skripsi dengan judul “Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak n-heksan Lumut Hati Mastigophora diclados Terhadap Tikus Putih Jantan Strain Sprague Dawley” Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan ibu mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya
2. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs.Umar Mansur selaku Ketua Jurusan Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitar Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua saya, ayahanda Purdjiman, SE panutan dalam keluarga dan ibunda Sumiyati wanita luar biasa yang selalu memberikan doa,
(9)
Nana Rohana, yang selalu memberikan doa, nasihat dan motivasi, hingga selesainya skripsi ini.
6. Bapak H. M. Riko Rohim, Pak Purwo Priyanto yang selalu memberikan doa, ilmu Allah SWT yang luar biasa dan energi positif pada penulis. 7. Untuk teman-teman Farmasi 2009 dan teman “GK” Nida Ghania Lidinilla,
Arestya Otary, Umu Aiman, Nda, Qory, Liza, Widya, Agung, Isti, Andy, Ema yang selalu memberikan semangat kebersamaan dan bantuan kepada penulis.
8. Untuk kakak senior Farmasi 2008 khususnya Endah Purnamasari yang telah membantu penulis dalam memberikan pengarahan dan nasehat. 9. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh Karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat member sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Universtas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 22 Januari 2014
(10)
(11)
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Mastigophora diclados ... 4
2.1.1 Klasifikasi Tanaman ... 4
2.1.2 Kandungan Kimia Mastigophora diclados ... 4
2.1.3 Aktivitas Biologi ... 5
2.1.4 Habitat ... 5
2.2 Simplisia ... 5
2.3 Ekstrak dan Ekstrasi ... 6
2.3.1 Pengertian Ekstrak dan Ekstraksi ... 6
2.3.2 Proses Pembuatan Ekstrak ... 7
2.3.3 Metode Ekstraksi... 8
2.3.4 Parameter Ektrak ... 10
2.4 Freeze Drying ... 11
2.5 Inflamasi ... 11
2.5.1 Definisi Inflamasi ... 12
2.5.2 Mekanisme Inflamasi ... 13
2.5.3 Obat Inflamasi... 13
2.5.3 Metode Uji Antiinflamasi ... 14
2.6 Karagenan... 16
2.7 Asetosal... ... 16
(12)
3.2.1 Alat ... 18
3.2.2 Bahan... 18
3.3 Prosedur Penelitian ... 19
3.3.1 Penyiapan Bahan ... 18
3.3.2 Penapisan Fitokimia ... 19
3.4 Uji Aktivitas Antiinflamasi ... 21
3.4.1 Pengelompokan Hewan Uji ... 21
3.4.2 Penyiapan Hewan Uji ... 21
3.5 Perencanaan Dosis dan Pembuatan Sediaan ... 21
3.5.1 Perhitungan Dosis ... 21
3.5.2 Pembuatan Asetosal... 22
3.5.4 Pembuatan Karagenan 1%... 22
3.5.4 Pembuatan Sediaan Ekstrak... 22
3.6 Prosedur Kerja Antiinflamasi... 23
3.6.1 Analisa Data... 24
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1 Hasil Penelitian ... 25
4.1.1 Determinasi Tanaman ... 25
4.1.2 Pembuatan Ekstrak ... 25
4.1.3 Penapisan Fitokimia ... 26
4.1.4 Uji Antiinflamasi ... 27
4.1.5 Hasil Uji Antiinflamasi ... 29
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
5.1 Kesimpulan ... 37
5.2 Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
(13)
Halaman
Tabel 3.1 Pembagian Kelompok Dosis ... 22
Tabel 4.1 Karakteristik Ekstrak ... 27
Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia ... 28
Tabel 4.3 Rata-rata Volume Udem Kaki Tikus ... 30
Tabel 4.4 Rata-rata Persen Volume Udem Kaki Tikus ... 32
(14)
Halaman
Gambar 2.1 Gambar Struktur Asetosal ... 17
Gambar 4.2 Grafik Hubungan Rata-rata Volume Udem ... 31
Gambar 4.3 Grafik Hubungan Rata-rata Persen Udem... 32
(15)
Halaman
1. Tanaman Lumut Hati Mastigophora diclados ... 43
2. Determinasi tanaman lumut hati Mastigophora diclados ... 44
3. Hasil Penapisan Fitokimia ... 45
4. Perlakuan Pada Tikus Galur Sprague Dawley ... 47
5. Parameter Ekstrak ... 49
6. Rumus Perhitungan Dosis Hewan ... 50
7. Perhitungan Dosis Asam Asetil Salisilat (Asetosal) ... 51
8. Perhitungan Dosis Tikus ... 52
9. Hasil Volume Udem Telapak Kaki Tikus ... 53
10.Hasil Persen Udem Telapak Kaki Tikus ... 54
11.Hasil Persen inhibisi udem telapak kaki tikus... 55
12.Perhitungan Persen Udem dan Inhibisi Telapak Kaki Tikus ... 56
13.Aklimatisasi Hewan Uji Antiinflamasi ... 59
14.Alur Penelitian ... 60
15.Skema Kerja Ekstrak Kental Mastigophora diclados ... 61
16.Skema Kerja Uji Antiinflamasi ... 62
17.Analisis Data Statistik Uji Efek Antiinflamasi ... 63
(16)
1.1 Latar Belakang
Inflamasi adalah respon biologis dari jaringan vaskuler atas adanya bahaya, seperti pathogen, kerusakan sel, atau iritasi. Ini adalah usaha perlindungan diri organisme untuk menghilangkan rangsangan penyebab luka dan inisiasi proses penyembuhan jaringan. Jika inflamasi tidak ada maka luka dan infeksi tidak akan sembuh dan akan menggalami kerusakan yang lebih parah. Inflamasi yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan penyakit, seperti demam, atherosclerosis, dan reumathoid arthritis (Gard, 2001).
Saat ini ada bermacam-macam obat yang digunakan untuk mengatasi peradangan. Antiinflamasi golongan steroid misalnya dapat menyebabkan penurunan imunitas terhadap infeksi, osteoporosis, atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra okular, serta bersifat diabetik. Sedangkan pada gangguan fungsi ginjal, tukak lambung hingga perdarahan, hipersensitivitas, bronkospasme merupakan efek samping dari obat antiinflamasi golongan non steroid (Fajriani, 2005).
Tumbuhan herbal dapat menjadi salah satu sumber bahan obat alami yang berasal dari senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan. Senyawa kimia yang berkhasiat sebagai obat tersebut merupakan hasil dari metabolisme sekunder, seperti senyawa golongan terpen, alkaloid, fenol, poliketida, dan flavonoid berserta turunannya (Solikin, 2007).
Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk ke dalam divisi bryophyta. Pada umumnya tumbuhan lumut menyukai tempat-tempat yang basah dan lembab didataran rendah sampai dataran tinggi. Tumbuhan ini sering disebut sebagai tumbuhan pioneer atau tumbuhan perintis, karena lumut dapat tumbuh dengan berbagai kondisi pertumbuhan dimana tumbuhan tingkat tinggi tidak bisa tumbuh (Immanudin, 2006).
Lumut hati dibedakan dari kelas-kelas tumbuhan lumut lainnya karena adanya minyak tubuh yang mampu mensintesis senyawa yang larut lemak seperti asetogenin, terpenoid dan senyawa aromatik, sementara yang lainnya
(17)
tidak. Lumut hati memiliki badan minyak (oil bodies) sebagai penanda yang sangat penting untuk klasifikasi lumut hati tersebut. Beberapa kandungan kimia dari lumut hati merupakan senyawa yang khas bagi kelas ini dan menunjukkan berbagai aktivitas biologis yang menarik, seperti antimikroba, sitotoksik, antioksidan dan sejumlah enzim yang bekerja sebagai inhibitor serta memiliki aktivitas yang merangsang apoptosis (Komala, 2010).
Di Indonesia Mastigophora diclados banyak ditemukan di dataran tinggi yang sejuk dan lembab seperti di hutan Gunung Slamet, Baturraden Jawa Tengah Purwokerto Mastigophora hidup menempel pada batang pinus dan agathis pada ketinggian 800 m blok 55. di hutan pegunungan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah Mastigophora diclados hidup diketinggian tinggi, Pada batang pohon palm sepanjang jalan menuju kawah putih pada ketinggian 2050 m Gunung Patuha Bandung Jawa Barat (Haerida & Gradstein, 2011 ; Gradstein &Culmsee, 2010).
Pada penelitian sebelumnya, Komala, et al (2010) telah melaporkan bahwa tumbuhan lumut Mastigophora diclados yang tumbuh di Tahiti mengandung senyawa-senyawa fenolik seskuiterpenoid herbertan. Senyawa-senyawa golongan fenolik seskuiterpenoid herbertan dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik, antioksidan, dan antimikrobial. Antioksidan dapat bekerja menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamasi, artitis, diabetes dan penuaan (Ali et al, 2011).
Dari hasil penelitian lumut Mastigophora diclados dari Tahiti yang menghasilkan aktivitas antioksidan maka lumut hati Mastigophora diclados
dimungkinkan memiliki aktivitas antiinflamasi, maka penelitian dilanjutkan dengan mengamati aktivitas antiinflamasi pada lumut Mastigophora diclados
dengan pelarut etanol yang terdapat di Indonesia. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Mastigophora diclados yang mengandung senyawa terpenoid, fenolik, dan saponin yang ternyata memiliki aktivitas antiinflamasi (Purnamasari, 2013).
Berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan tersebut, maka perlu dilanjutkan penelitian mengenai lumut Mastigophora diclados yang terdapat di
(18)
Indonesia terhadap aktivitas antiinflamasi dengan metode ekstraksi bertingkat yaitu dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. Pada penelitian ini akan dilakukkan uji antiinflamasi dari ekstrak senyawa non polar yang terdapat dalam pelarut n-heksan dari lumut hati Mastigophora diclados.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ekstrak n-heksan dari lumut Mastigophora diclados dapat memberikan efek antiinflamasi pada tikus putih
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menguji aktivitas antiinflamasi dari ekstrak n-heksan lumut
Mastigophora diclados melalui penggukuran volume udem pada telapak kaki tikus putih jantan Sprague Dawley secara in vivo.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang aktivitas lumut hati Mastigophora diclados, yang dapat digunakan sebagai antiinflamasi sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif pengobatan inflamasi.
(19)
2.1 Tanaman Lumut Hati (Mastigophora diclados)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi Tanaman Mastigophora diclados adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Phylum : Marchantiophyta Class : Jungermanniopsida Order : Jungermanniales Suborder : Lophocoleineae Family : Mastigophoraceae Genus : Mastigophora Nees.
Species : M. diclados (Brid.) Nees
(Crandall-Stotler B; Stotler RE; Long DG, 2008)
2.1.2 Kandungan Kimia Mastigophora diclados
Berdasarkan kandungan kimianya, Mastigophoraceae dan herbertaceae memiliki kesamaan, karena sama-sama menghasilkan senyawa seskuiterpenoid herbertan sebagai komponen utamanya (Asakawa, 1995; 2004; Harinantenaina & Asakawa, 2007).
Dari pemeriksaan GC / MS ekstrak eter M. diclados (Brid. Ex F. Weber) dari borneo menunjukkan adanya senyawa herbertene, herbertenol, herbertene-2,3-diol dan herbertene-1 ,2-diol. Dalam koleksi sebelumnya dari M. diclados
Malaysia Timur, selain herbertanes, herbertane dimer, juga ditemukan pada Mastigophorenes A-D (Asakawa et al, 1991.). Namun, menurut Leong & Harrison, 1997 spesies di Malaysia Barat tidak menghasilkan herbertanes, melainkan jenis trachylobane diterpenoids dari hasil diisolasi.
Koleksi Jepang menjabarkan herbertene dan α-herbertenol dengan siklik diklorinasi bis-bibenzyls, dimana tidak ada diterpenoids dan dimer herbertane yang telah terdeteksi (Hashimoto et al, 2000.).
(20)
Data ini menunjukan bahwa setidaknya ada tiga ras geografis
Mastigophora diclados di Asia: tipe bis-bibenzyl di Jepang, jenis Mastigophorene di borneo (Malaysia Timur), dan jenis pimarane serta turunan pimarane trachylobane diterpenoid di Taiwan dan Malaysia Barat (Harinantenaina & Asakawa, 2004) ( Agnieszka & Asakawa, 2010).
2.1.3 Aktivitas Biologi
Aktivitas yang dimiliki Mastigophora diclados adalah aktivitas sitotoksik terhadap HL-60 dan sel KB, aktivitas antimikrobial, dan aktivitas antioksidan (Komala, 2010 ; Komala, et al., 2010).
2.1.4 Habitat
Lumut Mastigophora diclados dapat tumbuh pada batang pohon pinus dan agathis, batu-batuan, dan dinding lereng gunung (Ida Haerida, et al, 2011).
2.2. Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat dan belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1979).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni (Depkes RI, 2000).
Simplisia Hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian dari hewan atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1979).
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Depkes RI, 1979).
(21)
2.3. Ekstrak dan Ekstrasi
2.3.1 Pengertian Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair, dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Depkes RI, 1979).
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Adapun faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Sedangkan faktor kimia meliputi beberapa hal, yaitu: faktor internal (Jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan peptisida) ( Depkes RI, 2000).
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yag dapat larut dan senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat. Simplisia yang lunak seperti rimpang, akar dan daun mudah diserap oleh pelarut, sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Sedangkan simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus. Selain sifat fisik dan senyawa aktif dari simplisia, senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak dan gula juga harus diperhatikan. Dengan diketahuinya akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. (Depkes, 2000).
Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 2008).
(22)
Metode dasar ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode diatas disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari (Harborne, 1987).
2.3.2 Proses Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak dapat dilakukkan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembuatan Serbuk Simplisia
Zat aktif semula berada di dalam sel akan ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Dengan demikian maka makin halus serbuk simplisia seharusnya makin baik penyariannya. Tetapi dalam pelaksanaannya tergantung pada sifar fisik dan sifat kimia simplisia yang bersangkutan, serbuk yang terlalu halus membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dengan penyarian serta serbuk yang terlalu halus menyebabkan banyak dinding sel yang pecah, sehingga zat yang tidak diinginkan pun ikut ke dalam hasil penyarian (Depkes, 2000).
b. Pembasahan
Pembasahan serbuk dilakukan pada penyarian. Dimaksudkan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada cairan penyari memasuki pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya (Depkes, 2000).
c. Penyari/Pelarut
Cairan peyari yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah penyari yang baik untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau aktif. Penyari tersebut harus dapat dipisahkan dari bahan dan sari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Faktot utama yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan penyari adalah selektifitas, ekonomis, dan kemudahan bekerja (Depkes, 2000).
(23)
d. Pemisahan dan Pemurnian
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi, serta proses absorbsi, dan penukaran ion (Depkes, 2000).
e. Pemekatan/Penguapan
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partikel solute (senyawa terlarut) dengan cara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kering tetapi ekstrak hanya menjadi kental/pekat (Depkes, 2000).
f. Pengeringan Ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan, ada berbagai proses pengeringan ekstrak, yaitu dengan cara pengeringan evaporasi, vaporasi, sublimasi, konveksi, kontak, radiasi, dielektrik (Depkes, 2000).
g. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal (Depkes, 2000).
2.3.3 Metode Ekstraksi
Metode ekstraksi dengan mengguakan pelarut terdiri dari dua cara yaitu dengan cara dingin dan cara panas.
a. Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka
(24)
larutan terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya (Depkes, 2000).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes, 2000).
b. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukkan pengulangan proses pada residu pertama 3-5 kali sehingga dapat termasuk pada proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000)
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 0C (Depkes, 2000).
4. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air
(25)
dari bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90 0C selama 15-20 menit (Depkes, 2000).
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 0
C (Depkes, 2000). 6. Destilasi Uap
Destilasi Uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase air dan kentel secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguap ikut Terdestilasi) menjadi destilasi air bersama senyawa kandungan yang memisah yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Depkes, 2000).
2.3.4 Parameter Ekstrak
1. Parameter Non spesifik Ekstrak ( Depkes RI, 2000).
a. Kadar Air
Kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan. Tujuannya adalah memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai untuk kadar air sesuai dengan yang tertera dalam monografi (Depkes, 2000).
b. Kadar Abu
Untuk penentuan kadar abu, bahan yang dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga hanya tersisa unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran tentang kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbenttuknya ekstrak. Nilai untuk kadar abu sesuai dengan yang tertera dalam monografi (Depkes, 2000).
(26)
1. Parameter Spesifik
Parameter spesifik dilakukan dengan uji parameter organoleptik ekstrak dengan menggunakan pancaindera mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa.
2.4 Freeze Drying
Freeze drying atau pengeringan beku merupakan proses pengeringan yang pelarut atau media suspensinya dikristalkan dengan suhu rendah dan selanjutnya tersublimasi dari padatan menjadi ke fase uap. Pengeringan beku lebih sering menggunakan air sebagai pelarutnya. Pengeringan mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap. Langkah ini relatif lebih mudah untuk prose pemurnian. Jika didalam produk mengandung dua komponen atau lebih suspensi. Proses tersebut bisa terjadi sehingga perlu disederhanakan dalam model pembuatanya agar lebih mudah dan dimengerti. Pengeringan mengubah es atau air dalam fasa amorf menjadi uap. Hal tersebut dapat terjadi karena tenakan uap es yang rendah, volume uap menjadi besar. Pengeringan bertujuan untuk menghasilkan subtansi dengan stabilitas yang baik dan yang tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air, meskipun hal ini tergantung sangat tergantung juga pada langkah terakhir yaitu prose pengemasan dan kondisi penyimpanan.
Dalam pengeringan beku memiliki beberapa keuntungan diantaranya: a. pengeringan pada suhu rendah dapat mengurangi produk sensitif-panas. b. Produk cair dapat secara akurat terdosiskan.
c. Kadar air dari produk akhir dapat dikontrol selama proses. d. Produk kering dapat memiliki bentuk fisik yang menarik.
e. Produk obat dengan luas permukaan spesifik yang tinggi dengan cepat dibentuk kembali (Oetjen & Haseley, 2004).
2.5 Inflamasi
2.5.1 Definisi Inflamasi
Inflamasi merupakan respon kompleks dalam jaringan vaskular yang terjadi akibat adanya rangsangan eksogen dan endogen. Peradangan adalah respon normal, perlindungan terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh trauma,
(27)
bahaya bahan kimia atau mikrobiologis yang merupakan pertahanan dari tubuh. Peradangan terjadi untuk menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi merupakan tahap pertama perbaikan jaringan. Proses inflamasi biasanya dapat sembuh pada proses pengobatan, tetapi dapat juga menjadi lebih buruk menjadi radang yang parah yang dapat berakibat fatal (Sen et al, 2010).
Tanda-tanda dari peradangan adalah kemerahan, suhu tubuh meningkat, bengkak, nyeri, dan hilangnya fungsi. Peradangan dipicu oleh berbagai macam zat berbahaya, benda asing, racun, infeksi, radang, dingin, bahan kimia, patogen, antibodi, nekrosis, tumpul, reaksi kekebalan tubuh dan luka fisik. Mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikin, neuropeptida, eikosanoid (prostaglandin dan leukotrein B4, C4, D4, E4), oksida nitrat, oksidan biologis, faktor mengaktifkan trombosit, faktor narkosis tumor, metabolit oksigen, protein komplemen sitokin, faktor adhesi dan pencernaan yang memiliki peranan pentin dalam patogenesis dari peradangan. Sel-sel seperti neutrofil, eosinofil, monosit, limfosit, basofil, sel mast, fibroblas, jaringan ikat, makrofag juga terlibat dalam patogenesis dari peradangan (Sen et al, 2010).
Peradangan atau inflamasi umumnya dibagi menjadi:
- Infalamasi akut : respon awal terhadap cedera jaringan, hal tersebut terjadi
melalui mediator respon inflamasi akut yang terlibat antara lain: histamin, serotonin, bradikin, prostaglandin, leukotrin, dan pada umumnya didahului oleh pembentukan respon imun. Respon imun terjadi ketikas sel yang kompeten secara imunologis menjadi aktif sebagai respon terhadap organisme atau zat antigenik asing yang dibebaskan selama respon peradangan akut atau kronik. Dilain pihak, hasil akhir respon imun dapat bersifat merugikan jika menyebabkan peradangan kronik, tanpa adanya resolusi dari poses cedera yang mendasari.
- Inflamasi kronis melibatkan pelepasan sejumlah mediator yang tidak terlihat
jelas pada respon akut. Salah satu keadaan yang paling penting yang meibatkan mediator-mediator ini adalah arthitis reumatoid; pada keadaan ini terjadi peradangan kronik yang menyebabkan nyeri, serta penghancuran
(28)
tulang kartilago yang dapat menimbulkan cacat berat dan terjasi perubahan sistemik yang dapat mengakibatkan pemendekan usia hidup (Katzung, 2010).
2.5.2 Mekanisme Inflamasi
Inflamasi terjadi dengan diawali adanya stimulus yang merusak jaringan, mengakibatkan sel mast pecah dan terlepasnya mediator-mediator inflamasi. Kemudian terjadi vasodilatasi dari seluruh pembuluh darah pada daerah inflamasi sehingga aliran darah meningkat. Perubahan volume darah dalam kapiler dan venula, yang menyebabkan sel-sel endotel pembuluh darah meregang dan kemudian meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, protein plasma keluar dari pembuluh darah lalu menimbulkan edema. Infiltrasi leukosit ke tempat inflamasi, pada tingkat awal infiltrasi oleh neutrofil, selanjutnya infiltrasi oleh sel monosit. Sel monosit akan berubah menjadi makrofag. Baik neutrofil maupun mkrofag dapat melepaskan enzim lisosom unttuk membantu mencerna eksudat radang. Bila tidak terjadi resolusi, maka dapat meningkat menjadi inflamasi kronik (Underwood, 1999).
2.5.3 Obat Inflamasi
1. Obat Antiinflamasi Golongan Non Steroid (AINS)
Obat golongan AINS yang mempunyai khasiat sebagai analgetik, antipiretik, serta antiinflamasi merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu menghambat biosintesis prostaglandin (Wilmana, 2007).
AINS mengambat siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan yang berperan dalam menimbulkan reaksi peradangan terganggu. Tetapi antiinflamasi nonsteroid tidak menghambat biosintesis leukotrein yang diketahui ikut berperan dalam proses inflamasi. Obat anti infalamasi non steroid adalah indometasin, Na. Diklofenak, Fenilbutazon dan Ibuprofen.(Wilmana, 2007).
(29)
2. Obat Antiinflamasi Golongan Steroid
Golongan obat anti antiinflamasi golongan steroida (glukokortikoid) berhubungan dengan kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin, leukotrin, prostasiklin, dan tromboksan. Gukokortikoid dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Obat-obatan golongan steroida adalah prednisolon, betametason, triamsolon, hidrokortison dan sebagainya (Katzung, 2010).
2.5.4 Beberapa Metode Uji Antiinflamasi 1. Metode Pembentukan Edema Buatan
Salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkan kemampuan agen tersebut untuk menghambat produksi edema di kaki belakang tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang. Volume edema diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa iritan yang dipakai sebagai penginduksi edema antara lain formalin, kaolin, ragi, dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan yang tinggi adalah karagen (Vogel, 2002).
2. Metode Pembentukan Eritema
Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya dengan suspense barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat. Hari esoknya senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2002).
(30)
3. Metode Iritasi dengan Panas
Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat edema yang terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna tripan biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan albumin plasma. Kemudian pada daerah penyuntikan tersebut dirangsang dengan panas yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamine endrogen sehingga timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh darah yang mengalami dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas radang akibat perembesan zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menimbang edema yang terbentuk, dimana jaringan yang meradang dipotong kemudian ditimbang (Vogel, 2002).
4. Metode Pembentukan Kantong Granuloma
Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk di dalam kantong granuloma. Mula-mula benda terbentuk pellet yang terbuat dari kapas yang ditanam di bawah kulit abdomen tikus menembus lapisan linia alba. Respon yang terjadi berupa gejala iritasi, migrasi leukosit dan makrofag ke tempat radang yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan timbul granuloma (Vogel, 2002).
5. Metode Iritasi Pleura
Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk karena iritasi dengan inductor radang. Adanya aktivitas obat yang diuji ditandai dengan berkurangnya volume eksudat. Obat diberikan secara oral. Satu jam kemudian disuntik dengan inductor radang seperti formalin secara intra pleura. Setelah 24 jam, hewan dibunuh dengan eter lalu rongga pleura dibuka dan volume eksudat diukur (Vogel, 2002).
(31)
6. Metode Induksi Oxazolon Edema Telinga Mencit.
Pada percobaan ini tikus telinga tikus diinduksi 0.01 ml 2% larutan oxazolon ke dalam telinga kanan. Inflamasi terjadi dalam 24 jam. Kemudian hewan dikorbankan dibawah anastesi lalu dibuat preparat dengan 8 mm dan perbedaan berat preparat menjadi indicator inflamasi udem (Vogel, 2002).
2.6 Karagenan
Karagenan dikenal juga dengan nama carragenan, carragenin, carraghenates, chondrus extrax dan irish moss extrak. (Sweetman, 2009).
Karagenan merupakan polisakarida hasil ekstraksi rumput laut dari family
Euchema, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecokelatan, ada yang berbentuk butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di lidah. Berdasarkan kandungan sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu lamda karagenan, Iota karagenan, dan Kappa karagenan. Ketiga karagenan ini memiliki sifat larut dalam air bersuhu 80 OC (Rowe et al, 2009).
Penggunaan karagenan sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).
2.7 Asetosal
(32)
Rumus molekul : C9H8O4
Nama kimia : Asam Asetil Salisilat Beratmolekul : 180,16
Pemerian : Hablur, tidak berwarna, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau; rasa asam. Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam
etanol, larut dalam kloroform, dan dalam eter (Farmakope Indonesia, 1979).
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin merupakan salah satu senyawa yang secara luas digunakan, aspirin digunakan sebagai obat analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan (Wilmana,1995).
2.7.1 Mekanisme Kerja Asam Asetil Salisilat
Asam asetil salisilat bekerja menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel (prostagladin sintetase), yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida ; pada dosis yang tepat obat ini akan menurunkan pembentukan prostagladin maupun tronboksan A2, tetapi tidak leukotrien (Gunawan, 2008 ; Katzung, 1998).
2.7.2 Efek Samping Asam Asetil Salisilat
Terjadi gangguan pada lambung (gastritis), pendarahan saluran cerna, muntah, tinusitus, penurunan pendengaran, vertigo, meningkatkan kadar asam urat serum dan hepatitis ringan (Muatchler, 1991; Guawan, 2008; Katzung, 1998).
(33)
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Hewan (Animal house), dan Labolatorium Kimia Obat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulai dari bulan April sampai Juli 2013.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Neraca analitik (wiggen hauser), blender, vacuum rotary evaporator, spatel, erlenmeyer, gelas ukur, gelas becker, tabung reaksi, batang pengaduk, spatula, kaca arloji, pipet tetes, almunium foil, lumpang dan satmfer, kertas saring, kapas, tisu gulung, lebel, spuit injeksi suplantar dan peroral 1 mL dan 3 mL, stopwatch, timbangan hewan, plestimometer, kandang tikus, sonde, sarung tangan, masker.
3.2.2 Bahan
Ekstrak n-heksan dari lumut hati Mastigophora diclados yang diperoleh gunung slamet purwokerto. Bahan dalam uji antiinflamasi yaitu: n-heksan (Bratako), kappa karagenan (Balitro bogor), Natrium Karboksimetilselulosa ( Na CMC ), Etanol 70%, NaCl Fisiologis 0,9%, air raksa (Hg) (Bratako & Dwinika), Asam asetil salisilat (Bratako), Aquadest, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendroff, amonia encer, HCl, FeCl3 0,1%, kloroform, H2SO4 1 M, NaOH, pereaksi Lieberman-Buchard, HCl pekat, Tikus jantan putih galur Sprague Dawley (SD).
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Penyiapan Bahan dan Pembuatan Ekstrak Uji
Lumut hati Mastigophora diclaodos terlebih dahulu dipisahkan dari pengotor yang menempel pada lumut, dan dibersihkan dengan air mengalir hingga bersih, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di dalam ruangan
(34)
selama 2 hari, setelah benar-benar kering dilakukan kembali sortasi kering untuk memastikan lumut hati Mastigophora diclados bebas dari pengotor, kemudian ditimbang dan dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.
Sampel serbuk Mastigophora diclaodos sebanyak 2103 gram dimasukan kedalam botol gelap 1 L, diekstraksi dengan metode maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut non polar, semi polar, dan polar yaitu pelarut n-heksan, etil asetat dan metanol sampai serbuk terendam oleh pelarut, disimpan di tempat yang gelap dan sesekali digoyang-goyangkan. Pelarut diganti sampai diperoleh filtrat yang bening, kemudian filtrat disaring, filtrat yang telah disaring, dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental, kemudian dihitung hasil % rendemen ekstrak dengan rumus:
3.3.2 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan dengan menguji adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin, tanin dan fenolik. Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi Golongan Alkaloid
Untuk mengidentifikasi alkaloid, ekstrak dilarutkan dengan etanol 96% kemudian ditambahkan asam klorida encer 2N. Filtrat yang diperoleh disaring kemudian diidentifikasi menggunakan pereaksi Mayer LP, Bouchardat LP, Dragendorff LP. Pada penambahan Mayer LP, hasil positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih atau kuning. Hasil positif Dragendorff LP ditunjukan dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata. Penambahan Bouchardat LP memberikan hasil positif jika terbentuk endapan coklat sampai hitam (Ayoola et al, 2008)
b. Identifikasi Golongan Flavonoid
Tiga metode yang digunakan untuk menguji flavonoid. Pertama, amonia encer (5 mL) ditambahkan ke sebagian filtrat encer dari ekstrak.
(35)
kuning menunjukan adanya flavonoid. Kedua, beberapa tetes larutan aluminium 1% ditambahkan ke sebagian dari filtrat, terbentuknya warna kuning menunjukan adanya flavonoid. Ketiga, sebagian dari ekstrak dipanaskan dengan 10 mL etil asetat yang telah diuapkan selama 3 menit. Campuran kemudian disaring dan 4 mL filtrat dikocok dengan penambahan 1 mL larutan amonia encer, terbentuknya warna kuning menunjukan adanya flavonoid. (Ayoola et al, 2008).
c. Identifikasi Golongan Saponin
Ekstrak ditambahkan 5 ml aquadest panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Hasil positif ditunjukan dengan terbentuknya buih yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm dan pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang (Ayoola et al, 2008).
d. Identifikasi golongan Terpenoid
Sejumlah 0,5 g ekstrak masing-masing ditambahkan dengan 2 mL kloroform. Kemudian dengan hati-hati ditambahkan (3 mL) H2SO4 pekat sampai membentuk lapisan. Terbentuknya warna merah kecoklatan pada permukaan menunjukan adanya terpenoid (Ayoola et al, 2008).
e. Identifikasi Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dipanaskan dalam 10 ml air dalam tabung reaksi dan kemudian disaring. Ditambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% dan diamati perubahan warna menjadi hijau kecoklatan atau biru kehitaman. (Ayoola et al, 2008).
f. Identifikasi Fenolik
Sejumlah ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan besi klorida, terbentuknya warna biru-hitam menunjukan adanya fenolik (Tiwari et al, 2011).
(36)
3.4 Uji Aktivitas Antiinflamasi 3.4.1 Pengelompokan Hewan Uji
Jumah tikus yang digunakan sebanyak 30 ekor tikus putih jantan
Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing- masing terdiri dari 6 ekor tikus.
Tabel 3.1. Pembagian Kelompok Dosis
Kelompok Jumlah tikus Perlakuan
1 6 Kontrol negatif diberikan larutan Na CMC 0,5%
2 6 Kontrol positif, diberikan asetosal 125 mg/KgBB dalam Na CMC 0,5%
3 6 Diberikan sediaan ekstrak n-heksan lumut hati
M.diclados dosis 5 mg/KgBB dalam Na CMC 0,5%
4 6 Diberikan sediaan ekstrak n-heksan lumut hati
M.diclados dosis 10 mg/KgBB dalam Na CMC 0,5%
5 6 Diberikan sediaan ekstrak n-heksan lumut hati
M.diclados dosis 50 mg/KgBB dalam Na CMC 0,5%
3.4.2 Penyiapan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan pada uji antiinflamasi ini adalah tikus jantan putih strain Sprague Dawley (SD) yang diperoleh dari Model hewan UGM gamavet yogyakarta yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 200-250 gram. Hewan uji percobaan diaklimatisasi terlebih dahulu selama 3 minggu agar dapat beradaptasi dengan lingkungan.
3.5 Perencanaan Dosis dan Pembuatan Sediaan 3.5.1 Perhitungan Dosis Asam asetil salisilat
Dosis lazim asam asetil salisilat untuk manusia adalah 325-650 mg untuk sekali pakai. Dosis analgetik adalah 500 mg sekali pakai. Dosis asam asetil salisilat sebagai antiinflamasi 2-3 x dosis analgetik (Tjay & Rahardja, 2007).
(37)
Maka dosis untuk antiinflamasi (1000-1500) mg, sehingga dosis yang dapat diberikan pada tikus (200 g) menggunakan rumus tabel konversi dosis hewan (Reagan-Shaw, et al., 2007):
Dari hasil perhitungan tersebut, pada penelitian uji aktivitas antiinflamasi ekstrak
n-heksan lumut Mastigophora diclados akan digunakan asetosal dengan dosis 25 mg/200 g atau 125 mg/KgBB.
3.5.2 Pembuatan Suspensi Asam asetil salisilat (Asetosal)
Untuk dosis 125 mg/KgBB
Timbang asam asetil salisilat (asetosal) sebanyak 625 mg, digerus perlahan, kemudian ditambahkan 5 mL suspensi Na CMC 0,5 % diaduk sampai homogen di dalam lumpang, kemudian dipindahkan dalam labu ukur 25 mL kemudian ditambahkan sampai tanda batas pada labu ukur dengan suspensi Na CMC 0,5 %.
3.5.3 Pembuatan Karagenan 1%
Karagenan ditimbang sebanyak 100 mg kemudian dilarutkan dalam 10 mL NaCl fisiologis diaduk hingga homogen (Annis Hidayati, 2008).
3.5.4 Pembuatan Sediaan Ekstrak n-heksan lumut Mastigophora diclados
Dosis yang digunakan pada ekstrak n-heksan Mastigophora diclados
adalah 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB, dan 50 mg/KgBB. masing-masing dosis uji dihitung sesuai dengan berat badan tikus, kemudian ekstrak kental lumut hati
(38)
dipindahkan ke dalam lumpang dan ditambahkan dengan suspensi Na CMC 0,5% aduk hingga homogen. Sediaan diberikan secara oral pada masing-masing tikus.
3.6 Prosedur Pengujian Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak n-heksan Pada Lumut M.diclados
1. Tikus dipuasakan kurang lebih selama 18 jam sebelum percobaan dimulai (air minum tetap diberikan).
2. Tikus ditimbang dan dikelompokan secara acak yaitu: kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, dan kelompok uji ekstrak
n-heksan lumut hati Mastigophora diclados dengan jumlah tikus masing-masing kelompok 6 ekor tikus.
3. Kaki belakang tikus yang akan diinduksi, diberi tanda pada mata kaki tikus dengan menggunakan spidol, agar pemasukan kaki dalam air raksa setiap kali pengukuran selalu sama. kemudian volume kaki tikus diukur dengan mencelupkan kaki tikus ke dalam raksa dan dicatat sebagai volume awal (V0) .
4. Pada kelompok kontrol negatif, setiap tikus diberi Na CMC 0,5% sesuai dengan dosis yang telah dihitung.
5. Pada kelompok kontrol positif, setiap tikus diberi suspensi obat asetosal dalam Na CMC 0,5% sesuai dengan dosis yang telah dihitung.
6. Pada masing-masing kelompok uji dosis diberi ekstrak n-heksan lumut M. diclados dalam Na CMC 0,5% sesuai dosis yang telah dihitung secara oral.
7. Setelah 1 jam diberikan sediaan uji, telapak kaki tikus disuntikan dengan larutan karagenan 1 % sebanyak 0,2 mL secara intrakutan.
8. Setelah 1 jam, volume kaki tikus diukur dengan menggunakan alat plestimometer hingga batas mata kaki lalu diukur setiap 1 jam selama 6 jam pengamatan.
9. Ukur volume udem telapak kaki pada masing-masing telapak tikus. 10.Hitung persentase udem dan persentase inhibisi udem (Rustam et
(39)
3.6.1 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji kolmogorov smirnov untuk melihat distrbusi data dan hasil data dengan uji levene untuk melihat homogenitas data. Jika data terdistribusi normal dan homogenitas maka dilanjutkan dengan pengujian uji analisis varian (ANOVA) satu arah dengan taraf kepercayaan 95 % sehingga dapat diketahui perbedaan yang diperoleh bermakna atau tidak. Jika terdapat perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji nyata kecil (LSD) (Satoso, 2008). Jika terdapat perbedaan bermakna, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD) dan setiap kelompok tikus dihitung presentasi penghambatan udem rata-rata untuk setiap dosis zat uji dengan menggunakan rumus (Rustam et al, 2010 ; Swathy et al, 2010):
Keterangan:
a = Volume udem kelompok kontrol negatif b = Volume udem kelompok kelompok hewan uji
Keterangan :
Vt dan Vo adalah Volume udem telapak kaki tikus pada waktu t dan volume awal kaki tikus (waktu nol)
(40)
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Determinasi Tanaman
Tanaman lumut hati yang digunakan diperoleh dari Gunung Slamet Purwokerto. Kemudian dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk mengetahui kebenaran tanaman tersebut. Hasil determinasi tanaman lumut hati Mastigophora diclados
menunjukan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tanaman lumut hati spesies Mastighopora diclados (Brid.) Nees.
4.1.2 Pembuatan Ekstrak
Tanaman lumut hati Mastigophora diclados diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Metode ini dipilih karena peralatan yang digunakan sederhana, mudah dan dapat mencegah terjadinya degradasi pada senyawa yang bersifat termolabil (Sarker, et al, 2006). Proses maserasi dilakukan dengan menggunakan teknik maserasi bertingkat dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda yaitu n-heksan, etil asetat dan metanol. Teknik maserasi bertingkat ini bertujuan untuk memaksimalkan proses ekstraksi dimana senyawa akan terekstraksi berdasarkan tingkat kepolarannya.
Lumut hati Mastigophora diclados dibersihkan, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, dan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga memperoleh serbuk halus, pembuatan serbuk bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan sampel sehingga diharapkan pelarut lebih mudah masuk ke dalam sel dan menagkap komponen aktif yang larut keluar dari dalam sel (Sarker, et al, 2006). Simplisia lumut hati Mastigophora diclados yang digunakan untuk maserasi sebanyak 2103 gram. Hasil maserasi dengan pelarut n -heksan di pekatkan dengan vacuum rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental sebanyak 46 gram, dan rendemen yang dihasilkan sebesar 2,18%.
(41)
Karakteristik ekstrak dilakukan untuk mengetahui mutu dari ekstrak yang akan digunakan sebagai bahan uji. Hasil karakteristik ekstrak dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1. Tabel Karakteristik Ekstrak
No. Parameter Ekstrak n-heksan
1. Organoleptik :
a. Bentuk Gumpalan Kasar
b. Warna Hitam
c. Bau Jamu
2. Kadar air 0,048%
3. Kadar abu 0,636%
Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal hingga terbentuk ekstrak (Depkes RI, 2000). Hasil kadar abu menunjukan bahwa jumlah kandungan mineral Ekstrak Mastigophora diclados masih dibawah ambang batas dari peraturan (Depkes RI, 1980) yaitu tidak lebih dari 14%.
4.1.3 Penapisan Fitokimia
Hasil penapisan fitokimia ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados yang diuji hanya diperoleh senyawa terpenoid. Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat yang terkandung dalam jaringan tanaman (Depkes RI, 1987), sehingga memungkinkan untuk mengetahui senyawa yang berpotensi sebagai antiinflamasi. Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak n-heksan tanaman lumut hati Mastigophora diclados dapat dilihat pada tabel berikut:
(42)
Tabel 4.2. Tabel Penapisan Fitokimia
No. Golongan Senyawa Hasil Penapisan
1. Alkaloid -
2. Flavonoid -
3. Saponin -
4. Tanin -
5. Steroid -
6. Terpenoid +
7. Fenol -
Ket: (+) memberikan reaksi positif, (-) memberikan reaksi negatif
4.1.4 Uji Antiinflamasi dengan Metode Pembuatan Udem Buatan
Metode pengujian antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan metoda pembentukan udem buatan pada telapak kaki belakang tikus putih jantan yang diinduksi dengan karagenan sebagai induktor udem. Metode ini dipilih karena merupakan metode standar dalam penelitian uji antiinflamasi, dan sederhana dalam pengerjaannya (Chakraborty et al., 2004).
Karagenan dipilih sebagai induktor udem karena memiliki kepekaan yang tinggi dibandingkan dengan induktor lain pada metode pembentukan udem buatan, selain itu pembentukan udem dengan karagenan tidak bersifat antigenik dan tidak menimbulkan efek sistemik pada jaringan sekitar inflamasi (Chakraborty et al., 2004).Karagenan akan menginduksi cedera sel sehingga sel yang cedera melepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Setelah pelepasan mediator inflamasi, terjadi udem yang mampu bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam setelah injeksi. Pengukuran daya antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat kemampuan ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados dalam mengurangi pembengkakan telapak kaki hewan percobaan akibat penyuntikan larutan karagenan 1%. Setelah disuntik karagenan, hewan percobaan memperlihatkan adanya pembengkakan dan kemerahan pada telapak kaki serta tidak dapat berjalan lincah seperti sebelum diinjeksi. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 0,2 mL suspensi karagenan 1% pada telapak kaki tikus secara intrakutan (Rustam et al, 2007). Pengukuran
(43)
volume udem dilakukan dengan menggunakan alat plestimometer dengan cara mencelupkan telapak kaki kiri tikus hingga tanda batas pergelangan kaki tikus. Hal yang perlu diperhatikan adalah volume air raksa harus sama pada setiap kali pengukuran, tanda pada pergelangan kaki tikus harus jelas dan telapak kaki tikus harus tercelup sempurna sampai tanda batas yang ditentukan dengan tujuan agar mendapatkan data pengukuran yang konstan pada tiap waktu dan dalam kondisi yang sama.
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Sprague Dawley
yang telah diaklimatisasi selama 3 minggu agar dapat memenuhi syarat berat badan yaitu 200-250 gram serta dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan selama penelitian berlangsung. Pemilihan jenis kelamin tikus putih jantan bertujuan agar hasil uji tidak dipengaruhi oleh hormon estrogen, karena hormon ekstrogen lebih banyak terdapat pada tikus betina yang dapat meningkatkan inflamasi melalui mediator kimia (bradikin) (Green, et al, 1999). Tikus dikelompokan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (1 mL/200g Na CMC 0,5%), dosis rendah (5 mg/kgBB) , dosis sedang (10 mg/KgBB) dan dosis tinggi (50 mg/KgBB). Penentuan variasi dosis untuk percobaan diperoleh setelah dilakukan uji pendahuluan pada dosis 10 mg/KgBB, 100 mg/KgBB, dan dosis 1000 mg/KgBB. Dari hasil persen ihhibisi ketiga dosis uji pendahuluan tersebut menunjukan bahwa dosis 10 mg/KgBB memiliki persen inhibisi sebesar 66,63% pada jam ke-5, dosis 100 mg/KgBB memiliki persen inhibisi sebesar 42,58 pada jam ke-5,dan dosis 1000 mg/KgBB memiliki persen inhibisi sebesar 55,36% pada jam ke-5. Dari hasil persen inhibisi udem yang diperoleh dari uji pendahuluan tersebut didapatkan dosis 10 mg/KgBB memiliki persen inhibisi yang baik, maka untuk penentuan dosis uji dilakukan pengecilan dosis yaitu menjadi dosis 5 mg/KgBB, 10 mg/KgBB dan 50 mg/KgBB untuk melihat aktivitas antiinflamasi yang lebih optimal.
Kontrol positif sebagai pembanding digunakan asam asetil salisilat (asetosal) dengan dosis 125 mg/KgBB dalam Na CMC 0,5%. Pemilihan asam asetil salisilat (asetosal) pada penelitian ini dikarenakan asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik dan antiinflamasi dan digolongkan kedalam obat bebas, serta pada pemberian oral sebagian
(44)
salisilat dapat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian, asetosal memiliki mekanisme kerja dengan menghambat enzime sikloooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang mengkatalis perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan yang berperan mengganggu timbulnya reaksi peradangan (Wilmana, 2007; Gunawan, 2008).
Pengukuran volume udem dilakukan setiap 1 jam selama 6 jam pengamatan pada telapak kaki kiri tikus yang telah diinduksi dengan karegenan. Setelah mendapatkan hasil pengukuran kemudian dapat dihitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari volume udem telapak kaki tikus.
4.1.5 Hasil Uji Antiinflamasi Ekstrak n-heksan Lumut Hati Mastigophora diclados
Tabel 4.3 Tabel Rata-rata volume udem kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing kelompok perlakuan selama 6 jam.
No Perlakuan
Rata-rata Volume Udem (ml) ± SD Selama 6 jam Pengamatan
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Kontrol negatif 0,024± 0,000 0,038± 0,000 0,041± 0,001 0,044± 0,002 0,042± 0,002 0,039± 0,001 0,037± 0,001
2 Kontrol positif 0,029± 0,001 0,033± 0,001 0,037± 0,002 0,04± 0,002 0,039± 0,001 0,037± 0,001 0,036± 0,001
3 Dosis 5 mg/KgBB 0,027± 0,001 0,039± 0,002 0,04± 0,002 0,042± 0,002 0,041± 0,001 0,038± 0,002 0,037± 0,002
4 Dosis 10 mg/KgBB 0,028± 0,002 0,032± 0,002 0,035± 0,002 0,037± 0,001 0,036± 0,002 0,035± 0,001 0,034± 0,001
5 Dosis 50 mg/KgBB 0,028± 0,001 0,031± 0,002 0,033± 0,001 0,036± 0,002 0,035± 0,001 0,033± 0,001 0,033± 0,001
(45)
Gambar 4.1. Grafik hubungan rata-rata volume udem terhadap waktu
Hasil dari grafik rata-rata volume udem telapak kaki tikus setelah diinduksi karagenan menunjukan kenaikan udem maksimal yang diperoleh pada kelompok kontrol negatif, kontrol positif, dosis 5 mg/KgBB, dosis 10 mg/KgBB dan dosis 50 mg/KgBB terjadi pada jam ke-3, yang kemudian mengalami penurunan pada jam keempat dan terus berangsung turun hingga jam keenam pengamatan.
Dari hasil data volume udem telapak kaki tikus yang diperoleh tersebut, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus (% udem) untuk mendapatkan persentase udem yang dihasilkan pada masing-masing tikus dari setiap kelompok perlakuan. Menghitung persen volume udem dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui besar udem dalam (%) yang dihasilkan masing-masing tikus pada setiap kelompok perlakuan. Hasil rata-rata persen volume udem telapak kaki tikus yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:
0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04 0,045 0,05
jam 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6
V olu m e (m L ) u d em Waktu (T)
Rata-rata Volume Udem Telapak Kaki Tikus Setiap Kelompok kontrol negatif kontrol positif dosis 5 dosis 10 dosis 50
(46)
Tabel 4.4 Tabel Rata-rata persentase udem kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing kelompok perlakuan selama 6 jam.
No Perlakuan
Rata-rata Persen Volume Udem (ml) ± SD Selama 6 jam Pengamatan
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Kontrol
negatif 0±0
58,33± 0,000 69,45± 4,302 84,72± 6,275 76,39± 6,271 62,5± 4,568 54,17± 4,563
2 Kontrol
positif 0±0
19,04± 3,687 31,27± 9,432 36,98± 8,228 34,6± 5,228 30,08± 6,633 25,4± 4,245
3 Dosis 5
mg/KgBB 0±0
44,5± 5,189 50,6± 5,659 55,58± 3,936 50,73± 4,294 42,12± 8,386 37,18± 8,561
4 Dosis 10
mg/KgBB 0±0
17,64± 3,718 22,33± 2,337 29,66± 6,613 26,25± 9,729 24,98± 7,342 21,47± 7,338
5 Dosis 50
mg/KgBB 0±0
10,47± 3,843 15,15± 3,105 24,44± 3,925 23,33± 4,108 18,73± 7,636 14,04± 4,679
Gambar 4.2. Grafik hubungan persen rata-rata udem terhadap waktu
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
jam 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6
P er se n ( % ) ud em Waktu (T)
Rata-rata Persen Udem Telapak Kaki Tikus Setiap Kelompok
kontrol negatif kontrol positif dosis 5 dosis 10 dosis 50
(47)
Hasil grafik rata-rata persentase udem pada telapak kaki tikus setiap kelompok menunjukan bahwa pada kelompok kontrol negatif pembentukan udem terbesar terjadi pada jam ketiga dengan persentase 84,72% kemudian berangsur turun pada jam keenam dengan persentase sebesar 54,17%. Pada kontrol positif persentase udem tertinggi 36,27% pada jam ketiga dan mengalami penurunan udem pada jam keenam dengan presentase sebesar 25,4%. Sedangkan pada kelompok dosis 5 mg/KgBB persentase udem tertinggi terjadi pada jam ketiga sebesar 55,58% kemudian presentase terendah yang dihasilkan sebesar 37,18% pada jam keenam. Pada dosis 10 mg/KgBB menunjukan udem tertinggi terjadi pada jam ketiga dengan persentase 29,66% dan berangsur mengalami penurunan udem pada jam keenam dengan persentase 21,47% dan hal yang sama tejadi pada dosis 50 mg/KgBB persentase udem tertinggi sebesar 24,44% pada jam ketiga dan persentase udem terendah dengan persentase 14,04% pada jam keenam. Dari presentase tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan udem optimal yang terjadi pada telapak kaki tikus setiap kelompok perlakuan terjadi pada jam ketiga yang kemudian mengalami penurunan persentase udem pada jam keenam.
Hasil persentase volume udem yang diperoleh tersebut dihitung kembali untuk mendapatkan persen inhibisi udem pada masing-masing tikus dari setiap kelompok perlakuan. Menghitung persentase inhibisi udem bertujuan untuk mengetahui besar persentasi kemampuan ekstrak lumut hati Mastigophora diclados dapat menghambat udem pada telapak kaki tikus. Persentase inhibisi udem telapak kaki tikus dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut:
(48)
Tabel 4.5 Rata-rata persentase inhibisi udem kaki tikus setelah diinduksi karagenan pada masing-masing kelompok perlakuan selama 6 jam.
Gambar 4.3 Grafik hubungan persen rata-rata inhibisi udem terhadap waktu
Hasil garfik diatas menunjukan bahwa inhibisi radang terbesar terjadi pada jam pertama. Pada kelompok kontrol positif menunjukan kemampuan menghambat udem terbesar mencapai 67,35% pada jam pertama dan kemampuan mengambat udem terkecil sebesar 51,81% pada jam keempat. Sedangkan pada
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
jam 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 6
P er se n (% ) in h ib isi Waktu (T)
Rata-rata Persen Inhibisi Udem
kontrol negatif kontrol positif dosis 5 dosis 10 dosis 50
No Perlakuan Rata-rata Persen Inhibisi Udem (ml) ± SD Selama 6 jam Pengamatan
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Kontrol
negatif 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0 0±0
2 Kontrol
positif 0±0
67,35± 6,321 54,44± 15,329 56,14± 10,033 51,81± 7,428 51,94± 9,939 53,2± 6,481
3 Dosis 5
mg/KgBB 0±0
23,7± 8,895 26,71± 10,632 34,2± 5,222 33,17± 8,534 32,89± 10,671 31,72± 13,279
4 Dosis 10
mg/KgBB 0±0
69,76± 6,374 67,69± 4,429 65,17± 6,380 66,05± 10,619 67,59± 7,394 60,07± 14,382
5 Dosis 50
mg/KgBB 0±0
82,04± 6,588 78,04± 5,174 71,19± 3,699 69,02± 7,650 69,9± 12,494 74,24± 7,750
(49)
dosis 10 mg/KgBB memperlihatkan kemampuan ekstrak n-heksan lumut
Mastigophora dicados menghambat udem terbesar terjadi pada jam pertama dengan presentase sebesar 69,76% Dan penurunan kemampuan menghambat udem terjadi pada jam keenam dengan presentase sebesar 60,07%. Pada dosis 50 mg/KgBB kemampuan ekstrak n-heksan lumut hati Mastigophora diclados
mengambat udem sebesar 82,04% pada jam pertama dan mengalami penurunan daya hambat pada jam keempat dengan presentase sebesar 69,02%. Sedangkan terjadi perbedaan pada dosis 5 mg/KgBB yang memiliki kemampuan menghambat udem terendah terjadi pada jam pertama dengan presentase 23,7% dan kemampuan terbesar terjadi pada jam ketiga dengan presentase 34,2%. Dari hasil presentase tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dosis 50 mg/KgBB memiliki kekampuan mengambat udem terbesar jika dibandingkan dengan kontrol positif, yaitu sebesar 82,04% pada jam pertama.
Dari hasil data persen inhibisi ekstrak n-heksan Mastigophora diclados yang diperoleh dalam uji antiinflamasi dianalisa secara analisis statistik dengan uji ANOVA untuk mengetahui adanya perbedaan nyata atau tidaknya pada tiap kelompok perlakuan. Uji statistik pertama dilakukan kolmogorof-smirnov untuk melihat normal atau tidaknya udem pada telapak kaki tikus pada tiap kelompok perlakuan, dari hasil uji diketahui bahwa pada jam ke-2, 3, 4, 5 dan 6 menunjukan semua kelompok terdistribusi normal, kecuali pada jam ke-1 yang tidak tedistribusi normal karena memiliki nilai sigifikansi (p≤0,05). Kemudian dilanjutkan dengan uji homogenitas Leneve untuk melihat data persen inhibisi udem pada telapak kaki tikus homogen atau tidaknya. Hasil uji menunjukan bahwa pada jam ke-1, 2, 4, 5, dan 6 tidak terdistribusi homogen, terkecuali pada jam ke-3 yang terdistribusi homogen, sehingga dapat dilanjutkan dengan uji ANOVA Karena syarat normalitas dan homogenitas sudah terpenuhi. Hasil uji ANOVA menunjukan bahwa pada jam ke-3 memiliki perbedaa secara bermakna. Sedangkan pada jam ke- 1, 2, 4, 5, dan 6 dilanjutkan dengan uji Kruskawallis, hasil uji menunjukan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna. Selanjutnya seluruh kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) dengan metode LSD. Hasil uji LSD menunjukan bahwa pada jam ke-1, kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan seluruh kelomok perlakuan yaitu
(50)
pada kelompok dosis 5 mg/KgBB, dosis 10 mg/KgBB dan dosis 50 mg/KgBB, terkecuali pada kontrol positif yang tidak memiliki perbedaan secara bermakna dengan dosis 10 mg/KgBB. pada jam ke-2 kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis. Pada jam ke-3 kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kontrol positif dan kelompok uji dosis, terkecuali pada dosis 10 mg/KgBB tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan dosis 50 mg/KgBB. Pada jam ke-4 kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan secara bermakna dengan kelompok kontrol postif dan seluruh kelompok uji dosis, terkecuali pada dosis 10 mg/KgBB yang tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan dosis 50 mg/KgBB. Pada jam ke-5 kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan secara bermakna dengan kelompok kontrol postif dan seluruh kelompok uji dosis, terkecuali pada dosis 10 mg/KgBB yang tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan dosis 50 mg/KgBB. Pada jam ke-6 kelompok kontrol negatif memiliki perbedaan secara bermakna dengan kelompok kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis, terkecuali pada kelompok kontrol positif yang tidak memiliki perbedaan secara bermakna dengan kelompok dosis 10 mg/KgBB.
Pada penelitian antiinflamasi ekstrak n-heksan Mastigophora diclados ini waktu terbentuknya udem akibat dari induksi karagenan terdiri dari dua fase. Fase pertama (early phase), yaitu 1-2 jam setelah injeksi karagenan, menyebabkan trauma akibat radang yang ditimbulkan oleh karagenan. Trauma tersebut disebabkan oleh pelepasan serotonin dan histamin ke tempat radang serta terjadi peningkatan sintesis prostaglandin pada jaringan yang rusak. Sedangkan pada fase kedua (late phase), 3 jam setelah diinjeksi karagenan, terjadi pelepasan prostaglandin dan dimediasi oleh bradikinin, leukotrien, sel polimorfonuklear, dan produksi prostaglandin oleh makrofag (Arunachalam, et al, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dimungkinkan kemampuan ekstrak n -heksan Mastigophora diclados dalam menghambat udem terjadi pada fase pertama (early phase), yaitu melalui penghambatan pelepasan mediator kimia serotonin dan histamin ke tempat terjadinya radang pada waktu pengamatan jam ke-1 sampai jam ke-2. Selain itu, juga penghambatan sintesis prostaglandin dengan cara menghambat kerja siklooksigenase (COX) yang berfungsi merubah
(51)
asam arakhidonat menjadi prostaglandin bila terjadi radang (Hasanah dkk, 2011). penghambat antiinflamasi dimungkinkan juga berhubungan dengan kandungan terpenoid yang dapat menghambat beberapa faktor transkripsi yang berperan dalam pengaturan ekspresi gen yang terlibat dalam respon inflamasi (Heras et al, 1999) serta adanya aktivitas sebagai antioksidan yang diketahui juga dari penelitian sebelumnya bahwa lumut hati Mastigophora diclados memiliki aktivitas sebagai antioksidan (komala et al, 2010) yang dapat bekerja menghambat radikal bebas yang diketahui sebagai mediator dari berbagai penyakit antara lain karsinogenesis, jantung koroner, inflamasi, diabetes, dan penuaan (Ali et al, 2011). Dari hasil penelitian tersebut dimungkinkan lumut hati
Mastigophora diclados ekstrak n-heksan memiliki aktivitas antiinflamasi pada dosis 5, 10, dan 50 mg/KgBB. Sedangkan hasil uji analisis statistik menujukan bahwa kelompok dosis 10 mg/KgBB tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif sehingga dapat diasumsikan bahwa dosis 10 mg/KgBB mempunyai efek yang hampir sama dengan kontrol positif atau memberikan efek yang lebih baik.
(1)
dan 6 berbeda secara bermakna, maka dapat dilanjutkan dengan uji
BNT menggunakan metode LSD. Uji BNT merupakan uji lanjutan
yang dilakukkan apabila hasil pengujian menunjukan adanya
perbedaan nilai secara bermakna. Tujuannya adalah untuk
menentukan kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda
secara bermakna dengan kelompok lainnya.
4.
Uji BNT (LSD) persen inhibisi udem telapak kaki tikus pada jam ke 1, 2, 3,
4, 5, dan 6.
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan persen inhibisi udem telapak kaki
tikus yang bermakna.
Multiple Comparisons
LSD
Dependent
Variable (I) kelompok (J) kelompok
Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Jam1 Kontrol negatif
Kontrol positif -67.35000* 3.67975 .000 -74.9286 -59.7714
Dosis 5 mg -23.70333* 3.67975 .000 -31.2819 -16.1247
Dosis 10 mg -69.75500* 3.67975 .000 -77.3336 -62.1764
Dosis 50 mg -82.03667* 3.67975 .000 -89.6153 -74.4581
Kontrol positif
Kontrol negatif 67.35000* 3.67975 .000 59.7714 74.9286
Dosis 5 mg 43.64667* 3.67975 .000 36.0681 51.2253
Dosis 10 mg -2.40500 3.67975 .519 -9.9836 5.1736
Dosis 50 mg -14.68667* 3.67975 .001 -22.2653 -7.1081
Dosis 5 mg
Kontrol negatif 23.70333* 3.67975 .000 16.1247 31.2819
Kontrol positif -43.64667* 3.67975 .000 -51.2253 -36.0681
Dosis 10 mg -46.05167* 3.67975 .000 -53.6303 -38.4731
Dosis 50 mg -58.33333* 3.67975 .000 -65.9119 -50.7547
Dosis 10 mg Kontrol negatif 69.75500* 3.67975 .000 62.1764 77.3336
Kontrol positif 2.40500 3.67975 .519 -5.1736 9.9836
(2)
Dosis 50 mg -12.28167* 3.67975 .003 -19.8603 -4.7031
Dosis 50 mg Kontrol negatif 82.03667* 3.67975 .000 74.4581 89.6153
Kontrol positif 14.68667* 3.67975 .001 7.1081 22.2653
Dosis 5 mg 58.33333* 3.67975 .000 50.7547 65.9119
Dosis 10 mg 12.28167* 3.67975 .003 4.7031 19.8603
Jam2 Kontrol negatif
Kontrol positif -54.44167* 5.12785 .000 -65.0027 -43.8807
Dosis 5 mg -26.71167* 5.12785 .000 -37.2727 -16.1507
Dosis 10 mg -67.68833* 5.12785 .000 -78.2493 -57.1273
Dosis 50 mg -78.03500* 5.12785 .000 -88.5960 -67.4740
Kontrol positif
Kontrol negatif 54.44167* 5.12785 .000 43.8807 65.0027
Dosis 5 mg 27.73000* 5.12785 .000 17.1690 38.2910
Dosis 10 mg -13.24667* 5.12785 .016 -23.8077 -2.6857
Dosis 50 mg -23.59333* 5.12785 .000 -34.1543 -13.0323
Dosis 5 mg Kontrol negatif 26.71167* 5.12785 .000 16.1507 37.2727
Kontrol positif -27.73000* 5.12785 .000 -38.2910 -17.1690
Dosis 10 mg -40.97667* 5.12785 .000 -51.5377 -30.4157
Dosis 50 mg -51.32333* 5.12785 .000 -61.8843 -40.7623
Dosis 10 mg Kontrol negatif 67.68833* 5.12785 .000 57.1273 78.2493
Kontrol positif 13.24667* 5.12785 .016 2.6857 23.8077
Dosis 5 mg 40.97667* 5.12785 .000 30.4157 51.5377
Dosis 50 mg -10.34667 5.12785 .054 -20.9077 .2143
Dosis 50 mg Kontrol negatif 78.03500* 5.12785 .000 67.4740 88.5960
Kontrol positif 23.59333* 5.12785 .000 13.0323 34.1543
Dosis 5 mg 51.32333* 5.12785 .000 40.7623 61.8843
Dosis 10 mg 10.34667 5.12785 .054 -.2143 20.9077
Jam3 Kontrol negatif
Kontrol positif -54.60667* 3.45641 .000 -61.7253 -47.4880
Dosis 5 mg -34.20167* 3.45641 .000 -41.3203 -27.0830
Dosis 10 mg -65.17333* 3.45641 .000 -72.2920 -58.0547
Dosis 50 mg -71.19333* 3.45641 .000 -78.3120 -64.0747
Kontrol positif
Kontrol negatif 54.60667* 3.45641 .000 47.4880 61.7253
Dosis 5 mg 20.40500* 3.45641 .000 13.2864 27.5236
Dosis 10 mg -10.56667* 3.45641 .005 -17.6853 -3.4480
(3)
Dosis 5 mg Kontrol negatif 34.20167* 3.45641 .000 27.0830 41.3203
Kontrol positif -20.40500* 3.45641 .000 -27.5236 -13.2864
Dosis 10 mg -30.97167* 3.45641 .000 -38.0903 -23.8530
Dosis 50 mg -36.99167* 3.45641 .000 -44.1103 -29.8730
Dosis 10 mg Kontrol negatif 65.17333* 3.45641 .000 58.0547 72.2920
Kontrol positif 10.56667* 3.45641 .005 3.4480 17.6853
Dosis 5 mg 30.97167* 3.45641 .000 23.8530 38.0903
Dosis 50 mg -6.02000 3.45641 .094 -13.1386 1.0986
Dosis 50 mg Kontrol negatif 71.19333* 3.45641 .000 64.0747 78.3120
Kontrol positif 16.58667* 3.45641 .000 9.4680 23.7053
Dosis 5 mg 36.99167* 3.45641 .000 29.8730 44.1103
Dosis 10 mg 6.02000 3.45641 .094 -1.0986 13.1386
Jam4 Kontrol negatif
Kontrol positif -51.80500* 4.46687 .000 -61.0047 -42.6053
Dosis 5 mg -33.17000* 4.46687 .000 -42.3697 -23.9703
Dosis 10 mg -66.05167* 4.46687 .000 -75.2514 -56.8520
Dosis 50 mg -69.01500* 4.46687 .000 -78.2147 -59.8153
Kontrol positif
Kontrol negatif 51.80500* 4.46687 .000 42.6053 61.0047
Dosis 5 mg 18.63500* 4.46687 .000 9.4353 27.8347
Dosis 10 mg -14.24667* 4.46687 .004 -23.4464 -5.0470
Dosis 50 mg -17.21000* 4.46687 .001 -26.4097 -8.0103
Dosis 5 mg Kontrol negatif 33.17000* 4.46687 .000 23.9703 42.3697
Kontrol positif -18.63500* 4.46687 .000 -27.8347 -9.4353
Dosis 10 mg -32.88167* 4.46687 .000 -42.0814 -23.6820
Dosis 50 mg -35.84500* 4.46687 .000 -45.0447 -26.6453
Dosis 10 mg Kontrol negatif 66.05167* 4.46687 .000 56.8520 75.2514
Kontrol positif 14.24667* 4.46687 .004 5.0470 23.4464
Dosis 5 mg 32.88167* 4.46687 .000 23.6820 42.0814
Dosis 50 mg -2.96333 4.46687 .513 -12.1630 6.2364
Dosis 50 mg Kontrol negatif 69.01500* 4.46687 .000 59.8153 78.2147
Kontrol positif 17.21000* 4.46687 .001 8.0103 26.4097
Dosis 5 mg 35.84500* 4.46687 .000 26.6453 45.0447
Dosis 10 mg 2.96333 4.46687 .513 -6.2364 12.1630
(4)
negatif Dosis 5 mg -32.89000* 5.31307 .000 -43.8325 -21.9475
Dosis 10 mg -67.58667* 5.31307 .000 -78.5291 -56.6442
Dosis 50 mg -69.89833* 5.31307 .000 -80.8408 -58.9559
Kontrol positif
Kontrol negatif 51.93500* 5.31307 .000 40.9925 62.8775
Dosis 5 mg 19.04500* 5.31307 .001 8.1025 29.9875
Dosis 10 mg -15.65167* 5.31307 .007 -26.5941 -4.7092
Dosis 50 mg -17.96333* 5.31307 .002 -28.9058 -7.0209
Dosis 5 mg Kontrol negatif 32.89000* 5.31307 .000 21.9475 43.8325
Kontrol positif -19.04500* 5.31307 .001 -29.9875 -8.1025
Dosis 10 mg -34.69667* 5.31307 .000 -45.6391 -23.7542
Dosis 50 mg -37.00833* 5.31307 .000 -47.9508 -26.0659
Dosis 10 mg Kontrol negatif 67.58667* 5.31307 .000 56.6442 78.5291
Kontrol positif 15.65167* 5.31307 .007 4.7092 26.5941
Dosis 5 mg 34.69667* 5.31307 .000 23.7542 45.6391
Dosis 50 mg -2.31167 5.31307 .667 -13.2541 8.6308
Dosis 50 mg Kontrol negatif 69.89833* 5.31307 .000 58.9559 80.8408
Kontrol positif 17.96333* 5.31307 .002 7.0209 28.9058
Dosis 5 mg 37.00833* 5.31307 .000 26.0659 47.9508
Dosis 10 mg 2.31167 5.31307 .667 -8.6308 13.2541
Jam6 Kontrol negatif
Kontrol positif -53.19500* 5.68763 .000 -64.9089 -41.4811
Dosis 5 mg -31.71500* 5.68763 .000 -43.4289 -20.0011
Dosis 10 mg -60.06833* 5.68763 .000 -71.7822 -48.3544
Dosis 50 mg -74.24333* 5.68763 .000 -85.9572 -62.5294
Kontrol positif
Kontrol negatif 53.19500* 5.68763 .000 41.4811 64.9089
Dosis 5 mg 21.48000* 5.68763 .001 9.7661 33.1939
Dosis 10 mg -6.87333 5.68763 .238 -18.5872 4.8406
Dosis 50 mg -21.04833* 5.68763 .001 -32.7622 -9.3344
Dosis 5 mg Kontrol negatif 31.71500* 5.68763 .000 20.0011 43.4289
Kontrol positif -21.48000* 5.68763 .001 -33.1939 -9.7661
Dosis 10 mg -28.35333* 5.68763 .000 -40.0672 -16.6394
Dosis 50 mg -42.52833* 5.68763 .000 -54.2422 -30.8144
Dosis 10 mg Kontrol negatif 60.06833* 5.68763 .000 48.3544 71.7822
(5)
Dosis 5 mg 28.35333* 5.68763 .000 16.6394 40.0672
Dosis 10 mg -14.17500* 5.68763 .020 -25.8889 -2.4611
Dosis 50 mg Kontrol negatif 74.24333* 5.68763 .000 62.5294 85.9572
Kontrol positif 21.04833* 5.68763 .001 9.3344 32.7622
Dosis 5 mg 42.52833* 5.68763 .000 30.8144 54.2422
Dosis 10 mg 14.17500* 5.68763 .020 2.4611 25.8889
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Kreterangan : tanda * menunjukan data berbeda secara bermakna
Kesimpulan
:
a.
Jam ke-1
1.
Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kelompok
kontrol positif dan seluruh kelompok uji dosis 5, 10, 50 mg/Kg pada
taraf uji 0,05 (
ρ≤0,05)
.
2.
Kelompok kontrol positif berbeda secara bermakna dengan seluruh
kelompok dosis uji terkecuali dengan kelompok dosis 10 mg/Kgtidak
terdapat perbedaan secara bermakna pada taraf uji 0,05
b.
Jam ke-2
1.
Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kontrol
positif dan seluruh kelompok dosis uji 5, 10, 50 mg/Kg pada taraf uji
(ρ≤0,05)
.
2.
Dosis 10 mg/Kg tidak berbeda bermakna dengan dosis 50 mg/Kg.
c.
Jam ke-3
1.
Kelompok kontrol negatif berbeda secara bermakna dengan kontrol
positif dan seluruh kelompok dosis uji 5, 10, 50 mg/Kg pada taraf uji
0,05
(ρ≤0,05)
.
(6)