Layanan Purna Jual Dalam Kerangka Hukum Perlindungan Konsumen

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Darus, Mariam. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen.

Jakarta, 1980.

Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control). diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1993

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Limberg, Godwin., Ramses Iwan, Moira Moeliono, Yayan Indriatmo, Agus Mulyana dan Nugroho Adi Utomo. Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, Yogyakarta: Program

Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Tarawang Pers, 2001. ______________________________. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi

dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya: Universitas Airlangga, 1985.

Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Patrick, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994.

.


(2)

Sidabolok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Saefullah, H.E. Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Peerlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000. Susilo, Zumrotin K. Penyambung Lidah Konsumen. Jakarta: Puspa Swara : 1999.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Siahaan,N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta: Panta Rei, 2005.

Artikel:

Manan, Bagir. Perspektif Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, Universitas 11 Maret Surakarta.

Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Standar Nasional Indonesia, PP No.15 Tahun 1991.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tentang Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Elektronika, Kepmen No.608/MPP/Kep/10/1999.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan barang dan atau Jasa yang Beredar di Pasar, Kepmen No. 634/MPP/Kep/9/2002.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi, Permen No. 29/PER/KOMINFO/9/2008.


(3)

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika, Permen No. 19/M-DAG/PER/5/2009.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Standar Nasional Indonesia Nomor 7229: 2007 tentang Ketentuan Umum Pelayanan Purna Jual.

Internet:

Anonim,

Anonim,

Siaran Pers No. 61/PIH/KOMINFO/5/2010,

Siaran Pers No. 141/PIH/KOMINFO/6/2009,

Siaran Pers No. 169/PIH/KOMINFO/8/2009,

Siaran Pers No. 175/PIH/KOMINFO/8/2009,

Siaran Pers No. 181/PIH/KOMINFO/9/2009

Anonim, tanggal 7 Agustus 2010.

Augu sta B. Sirait, diakses pada tanggal 19 Agustus 2010.


(4)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM LAYANAN PURNA JUAL

A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi: 37

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.38

37

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 101.

38


(5)

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault) 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity)

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)

Ad.1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault)

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:

 adanya perbuatan melanggar hukum;

perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.39

 adanya unsur kesalahan;

kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:40

39

Miru dan Yodo, Op.cit., Hal.130. 40

Purwahid Patrick, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan Undang-Undang), (Bandung: Mandar Maju, 1994), Hal.10-11.


(6)

1. perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan; 2. perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:

a. dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya; b. dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya. 3. dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap

 adanya kerugian yang diderita;

pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.41

Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.42

 adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. Ad.2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

41

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1985), Hal. 57.

42


(7)

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik.

Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.43

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara

common sense dapat dibenarkan.

Ad.3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity)

44

Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta pertanggungjawabannya.45 Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi kabin/tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjangbukti

43

Kristiyanti, Op.cit., Hal. 95 44

Shidarta, Op.cit., Hal.62 45


(8)

kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban pembuktian ada padi si penumpang.46

Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata. Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun Ad.4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya harus ada.

Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.

46


(9)

binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik barang atau pemilik/pemakai binatang47

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

.

Ad.5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa laundry

misalnya jika kita barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi yaitu 10 kali dari biaya pencucian.

48

Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah product liability. Kata “tanggung jawab” yang dipergunakan pada pengertian tanggung jawab produk, karena kata “tanggung jawab” tersebut sudah dipakai secara umum oleh masyarakat untuk terjemahan responsibility dan liability dalam bahasa Inggris. Namun demikian banyak

B. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)

47

Sidabalok, Op.cit., Hal. 115-119. 48


(10)

kalangan sarjana hukum yang memisahkan antara kata responsibility dengan liability, yaitu menerjemahkan responsibility dengan tanggung jawab sedangkan liability dengan tanggung gugat. Tanggung gugat mengandung berbagai makna. Seringkali digunakan sinonim dengan bertanggung jawab tetapi lebih menekankan kewajiban untuk menjawab/menjelaskan perbuatan, penegakan aturan, dan atau siap menerima hukuman atas perbuatan yang salah.49

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.

Penulis lebih memilih tetap menggunakan istilah tanggung jawab produk terhadap terjemahan product liability karena istilah tersebut lebih umum dipakai sehingga diharapkan tidak menimbulkan salah pemahaman

50

Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.51

Mengenai ciri-ciri dari product liability dengan mengambil pengalaman dari Masyarakat Eropa da terutama Negeri Balanda, dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:52

49

Godwin Limberg, et.al, Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009), Hal. 9.

50

H.E Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Peerlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), Hal. 46.

51

Agnes M.Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah, Disajikan dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungjawaban Produk dan Kontrak Bangunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus 1988, Hal. 6, dalam: Miru dan Yodo,Op.cit., Hal. 23.

52

Johannes Gunawan, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis XXXIX, Unika Parahyangan Bandung, Januari 1994, dalam Kristiyanti, Op.cit., Hal.102.


(11)

1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:

 pembuat produk jadi (finished product);

 penghasill bahan baku;

 pembuat suku cadang;

 setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;

 importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;

 pemasok (supplier) dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.

2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir (end-consumer atau ultimate (end-consumers);

3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergarak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan;

4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan;

5. Produk dikualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek antara lain:


(12)

 penampilan produk;

 maksud penggunaan produk;

 saat ketika produk ditempatkan di pasaran

Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk53

a. Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau :

b. Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.

Dari perkembangan product liability diberbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan kontruksi hum tort (perbuatan melawa hukum) dengan beberapa modifikasi antara lain:54

1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability sehingga didalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut oleh tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab

untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab ini disebut no fault liability atau strict liability.

3. Karena produsen sudah dianggap bersalah maka konsumen yang menjadikorban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari segi ini, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan

53

AZ. Nasution II, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Hal. 175.

54


(13)

produsen yang relative sangat sukar diatur seperti dianut dalam tort. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan kepada pihak produsen untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Tanggung jawab produk yakni tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya55

Ada beberapa alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam tanggung jawab produk:

.

56

1. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi /mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran.

2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan dan bilamana terbukti tidak demikian maka dia harus bertanggung jawab.

55

Nasution II, Op.cit., Hal. 174. 56


(14)

3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen dan agen kepada produsen. Penerapan prinsip

strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Berkenaan dengan tanggung jawab produk, seorang pelaku usaha harus bertanggung jawab atas kerugian bagi konsumen baik kerugian fisik, kematian atau harta benda karena produk yang cacat. Pengertian produk yang cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.57

Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, dapat dibedakan atas tiga kemungkinan yaitu:58

1. Kesalahan produksi

Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian yaitu pertama adalah kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.

57

Emma Suratman S.H. (Ketua Tim) Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen1990, BPHN Departemen Kehakiman RI, 1991, Hal. 9 dalam Nasution I, Op.cit, Hal.248.

58


(15)

2. Cacat desain

Pada cacat desain ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Ini terdiri atas desain, komposisi atau konstruksi.

3. Informasi yang tidak memadai

Informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya. Hal ini tidak berakhir hanya sampai pada penempatan produk dalam sirkulasi.

Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:59

1. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya kasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

2. ada unsur kelalaian (negligence), misalnya produsen lalai memenuhi standar obat yang baik

3. menerapkan tanggung jawab mutlak

Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam tanggung jawab produk ini berlaku prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat.

59


(16)

Pelaku usaha dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul kerugian pada konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan oleh karena itu pelaku usaha harus mengganti kerugian itu. Dan sebaliknya, pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah melakukan produksi dengan benar, melakukan langkah-langkah pengamanan yang wajib ia ambil.

Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, akan tetapi pihak pelaku usaha masih dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggungjawab produsen tersebut adalah:60

a. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; b. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau

diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;

c. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;

d. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;

e. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut; f. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan

terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);

60


(17)

g. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

C. Penerapan Tanggung Jawab Produk (Product Liability) dalam Layanan Purna Jual

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.61

a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi

Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam suatu perjanjian antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti kerugian di sini tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian.

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan

61


(18)

perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang merasa dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sebelumnya.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terkait dengan tanggung jawab produk, secara umum tanggung jawab produk adalah tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain) yang sifat tanggung jawabnya adalah mutlak (strict-liability), semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Tanggung jawab ini dapat berupa pemberian ganti rugi, Suatu produk dikatakan cacat jika terdapat kesalahan produksi, cacat desain atau informasi yang tidak memadai. Berdasarkan hal tersebut diatas penerapan tanggung jawab produk dengan sifat pertanggungjawaban mutlak hanya jika terdapat suatu produk yang cacat dan syarat adanya produk yang cacat merupakan hal yang mutlak.

Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah. Sebab dalam sistem pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung jawab produk didasarkan adanya wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault). Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365, konsumen yang menderita kerugian akibat produk barang/jasa yang cacat bisa menuntut pelaku usaha secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan melawan hukum, atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.


(19)

Langkah pembuktian semacam itu sulit dilakukan karena konsumen berada pada kondisi yang sangat lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Disamping sulitnya pembuktian, konsumen nantinya juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi (kompensasi) atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.

Oleh karena itu, diperlukan adanya penerapan konsep strict liability (tanggung jawab mutlak), yaitu bahwa produsen seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen.62

Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan Dengan konsep strict liability ini, setiap konsumen yang merasa dirugikan haknya bisa menuntut ganti rugi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan yang dilakukan pelaku usaha.

Dalam layanan purna jual yang kita ketahui lingkupnya adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional, tanggung jawab produk dapat kita terapkan. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Salah satu bentuk layanan purna jual yang diberikan oleh pelaku usaha adalah pemberian garansi yang disertakan dalam setiap pembelian produk oleh konsumen. Pemberian garansi merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen atas terjadinya kerusakan prematur suatu produk atau ketidakmampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang diharapkan.

62

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Panta Rei, 2005), Hal. 15.


(20)

dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

Oleh karena tanggung jawab produk merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan konstruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum) maka ganti ruginya adalah ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yaitu suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan dan undang-undang membatasi penggantian hanya berupa kerugian tidak termasuk biaya dan bunga.


(21)

BAB IV

HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN DALAM LAYANAN PURNA JUAL

A. Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya: milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.63

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

Dari sini dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.

Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UUPK, yakni:

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.64

63

Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta:PT. Pradnya paramita,1991), Hal. 154. dalam Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, (Yogyakarta:Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009), Hal. 128.

64


(22)

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari luar. Berdasarkan hak memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.65

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.66

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Hak ini untuk menghindari konsumen memdapatkan kerugian lebih lanjut. Ini antara lain disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memberikan kejelasan atau ada pengaduan terhadap kerugian yang diderita, oleh karenanya konsumen berhak menggunakan hak ini dan disampaikan baik

65

Ibid., Hal. 42. 66


(23)

secara perseorangan maupun kolektif, disampaikan secara langsung atau diwakili oleh suatu lembaga tertentu seperti LSM

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan, hak ini sebenarnya juga meliputi hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk. Pendidikan disini tidak harus diartikan sebagai suatu proses formal yang dilembagakan, bentuk informasi yang komprehensif sudah merupakan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Untuk menghindari dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi didalam hubungan hukum pelaku usaha dengan konsumen. Klausul seperti ini merupakanhal yang


(24)

lazim ditemukan namun pencantumannya yang secara sepihak tidak menghilangkan hak konsumen mendapatkan ganti rugi.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:67

a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih;

c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:68

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu69

67

Miru dan Yodo, Op.cit, Hal. 38-39

68

Ibid, Hal. 39. 69

Ibid, Hal. 47.


(25)

a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.

Oleh karena ketiga hak tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK maka hal tersebut sangat penting bagi konsumen sehingga dapat dijadikan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen. Seperti yang dikemukan oleh Zoemrotin K. Susila bahwa “dengan kepastian hukum yang jelas dantegas, pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa sehingga secara langsung memberikan perlindungan preventif terhadap konsumen”.70

Tersedianya fasilitas layanan purna jual dengan batas waktu sekurang-kurangnya setahun didalam UUPK (Pasal 25 ayat 1) sudah merupakan kewajiban pelaku usaha jika memproduksi barang yang manfaatnya berkelanjutan. Oleh karena ini merupakan kewajiban pelaku usaha maka merupakan hak konsumenlah untuk mendapatkan

B. Hak-hak Konsumen yang Terabaikan dalam Layanan Purna Jual

Dalam layanan purna jual hak konsumen secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu pertama, hak konsumen yang berkaitan dengan keberadaan fasilitas layanan purna jual dan kedua, hak konsumen dalam layanan purna jual.

Ad. 1. Hak konsumen terkait keberadaan fasilitas layanan purna jual

70


(26)

fasilitas layanan purna jual ini. Jika pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya dalam menyediakan fasilitas layanan purna jual baik karena sengaja atau kelalaian, yang berarti mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan fasilitas tersebut maka konsumen dapat melakukan tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dan pelaku usaha harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen itu. Dalam hal ini BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua ratus juta rupiah sebagaimana dinyatakan Pasal 60 UUPK.

Ad. 2. Hak konsumen dalam layanan purna jual

Jika konsumen telah memperoleh haknya yaitu mendapatkan layanan purna jual atas barang yang dibelinya itu maka yang sering menjadi permasalahan/sengketa adalah adanya pengabaian hak-hak konsumen.

Sebagaimana kita ketahui lingkup layanan purna jual adalah terkait dengan jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk:

 pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi

 penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,

leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti

 Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center)


(27)

Dalam lingkup layanan purna jual inilah hak-hak konsumen sering terabaikan dan hak-hak itu antara lain:

 Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

 Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan Konsumen secara patut;

 Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

C. Penyelasaian Sengketa dalam Layanan Purna Jual

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sengketa atau konflik seringkali terjadi dalam suatu hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya, baik konsumen yang merasa dirugikan ataupun sebaliknya namun biasanya konsumenlah yang selalu dirugikan.

Hal ini juga yang yang sering terjadi pada kegiatan pelayanan purna jual suatu barang. Keadaan ini dalam banyak kasus disebabkan oleh karena tidak terpenuhinya hak-hak konsumen, terabaikannya hak-hak-hak-hak konsumen, konsumen tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Konsumen merasa tidak puas atas layanan yang telah


(28)

diberikan oleh pelaku usaha, terabaikannya hak untuk didengar keluhannya, pelayanan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat menjadi sengketa dalam layanan purna jual. Selain itu sengketa juga bisa terjadi jika dalam memproduksi barang pelaku usaha tidak menyediakan fasilitas layanan purna jual yang baru diketahui konsumen setelah membeli produknya.

Sengketa-sengketa yang terjadi membutuhkan upaya penyelesaian yang dapat memberikan solusi atau keuntungan di kedua belah pihak. Upaya penyelesaian sengketa adalah upaya atau cara mengajukan tuntutan hak secara individu atau kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen.71

1. pengadilan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 UUPK yang menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat 2 menyatakan penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan pasal tersebut diatas penyelesaian sengketa layanan purna jual dapat diselesaikan melalui dua cara yaitu melalui:

2. di luar pengadilan

Ad. 1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK, yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu

71

Bagir Manan, Perspektif Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, Universitas 11 Maret Surakarta.


(29)

pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.

Merujuk pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui pengadilan ada 3 macam, yaitu:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam gugatan, yaitu: 72

a. Small Claim, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa small claim diijinkan dalam menyelesaikan sengketa konsumen yaitu:

 kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang kerugiannya;

 keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja;

72


(30)

 untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.

b. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatan kelompok ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal dengan “gugatan perwakilan kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b). Pertanyaan muncul apakah LSM dapat menjadi wakil dari para konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class Action wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of Civil Procedure:

 Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak.

 Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang diwakili dan pihak yang mewakili.

 Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.

 Adequacy o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam mewakili pihak yang diwakili.

c. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM. LSM tersebut haruslah berbadan hukum atau yayasan. Hal ini diatur dalam pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.


(31)

Ad. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui “lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha”.73

Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Lembaga ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen di luar jalur pengadilan.

Dalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan /atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

74

Ketentuan pasal 47 ini tidak jelas, apabila penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan, maka logika hukum akan menunjuk bentuk penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsultasi oleh BPSK dan bukan secara arbitrase oleh karena hasil akhir penyelesaian melalui arbitrase adalah putusan.75

73

Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Pasal 45 ayat 1.

74

Ibid., Penjelasan Pasal 47. 75


(32)

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya memperkenalkan tiga macam yaitu arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas BPSK.

Penyelesaian ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh pihak yang bersengketa. Pada umumnya dalam setiap proses penyelesaian sengketa selalu diupayakan untuk diselesaikan secara damai. Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

Hal ini juga berlaku dalam sengketa pada layanan purna jual, biasanya pelaku usaha jika konsumen merasa pelayanan yang diberikan tidak sesuai jaminan, akan lebih dulu menawarkan solusi dengan mengadakan negosiasi dengan konsumen bahkan kadang lebih dahulu memberikan kompensasi kepada konsumen. Ini dilakukan karena terkait dengan reputasi produk yang dimiliki pelaku usaha dan pada akhirnya akan berpengaruh pada penjualan. Pelayanan purna jual saat ini merupakan hal yang penting dan diperhitungkan pada saat konsumen membeli suatu produk sehingga sekarang pelaku usaha tidak segan-segan mengucurkan dana untuk investasi pada layanan purna jual seperti yang dilakukan PT Ford Motor Indonesia (FMI) mengucurkan dana senilai Rp 35 milyar untuk memperkuat layanan purna jual (after sales service).76

76

Augusta B. Sirait

Oleh karena itulah dalam prakteknya pelaku usaha selalu lebih mengedepankan penyelesaian sengketa yang ada secara damai.


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Lingkup layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi; penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,

leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti; ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center); ketersediaan suku cadang. Dilihat dari payung hukumnya, layanan purna jual ini sudah diatur oleh beberapa peraturan yang cukup komprehensif dan berhubungan secara harmonis dari mulai peraturan perundang-undangan sampai dengan peraturan menteri bahkan sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai layanan purna jual ini yaitu SNI No. 7229:2007.

2. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai


(34)

produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.

3. Hak konsumen yang terabaikan dalam pelayanan purna jual adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan Konsumen secara patut; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

B. Saran

1. Penegakkan hukum terhadap peraturan-peraturan tentang layanan purna jual hendaknya lebih ditingkatkan dengan lebih mengedepankan koordinasi mengingat banyaknya instansi yang terkait dalam hal ini.

2. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh instansi terkait dalam layanan purna jual ini mengenai hak-hak konsumen dan tanggung jawab produk bagi pelaku pelaku sehingga diharapkan pengetahuan konsumen lebih bertambah dan perlindungan konsumen dapat terwujud dengan baik.


(35)

BAB II

PENGATURAN LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA

A. Pengertian dan Cakupan Layanan Purna Jual

Seorang konsumen didalam melakukan transaksi jual beli melalui beberapa tahap yaitu tahap pra transaksi, tahap transaksi konsumen, tahap purna transaksi.25 Dalam tahap pra transaksi, konsumen harus mendapatkan informasi atas barang dan/atau jasa yang akan dibelinya secara benar, jelas dan jujur melalui brosur, label, iklan ataupun bentuk informasi lain yang diberikan pelaku usaha. Setelah benar-benar yakin akan barang dan/atau jasa tersebut terjadilah tahap transaksi. Pada tahap ini para pihak sudah mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Masalah yang banyak terjadi dalam tahap ini adalah jika terdapatnya perjanjian baku yang lebih banyak menguntungkan pelaku usaha karena perjanjian itu dibuat secara sepihak, posisi konsumen disini adalah lemah. Kemudian setelah terjadinya transaksi, seorang konsumen akan melewati tahap selanjutnya yaitu tahap purna transaksi

Layanan purna jual ini sering disamakan dengan istilah garansi. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Garansi ini merupakan kesepakatan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen dalam penjualan suatu produk. Salah satu pengertian dari garansi . Pada tahap purna transaksi ini berhubungan dengan tingkat kepuasan konsumen, apakah barang dan/atau jasa yang dibelinya sesuai dengan apa yang diiklankan, sesuai dengan jaminan atau layanan purna jualnya sudah memadai atau belum. Layanan purna jual ini berada pada tahap ketiga dalam tahapan transaksi konsumen.

25


(36)

adalah suatu kesepakatan dua pihak yang berupa tanggungan atau jaminan dari seorang penjual bahwa barang yang ia jual tersebut bebas dari kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya oleh penjual dan lazimnya garansi atau jaminan ini punya jangka waktu tertentu (lazimnya 1 tahun, 2 tahun atau 3 tahun).26 Garansi atau lazim pula disebut

warranty adalah surat keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu.27

Sedangkan mengenai layanan purna jual sendiri Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak memberikan pengertian ataupun batasan tentang layanan purna jual ini. Masalah layanan purna jual ini hanya dinyatakan dalam Pasal 25 ayat 1 UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual

26

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), Hal.43-44.

dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam Penjelasan Pasal 25 ini dinyatakan cukup jelas, meskipun ternyata tidak cukup jelas karena tidak ada memberikan penjelasan tentang purna jual, jaminan ataupun garansi dan tidak menyebutkan apakah hal ini akan diatur oleh peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 2 dinyatakan apabila pelaku usaha tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan atau tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan maka wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen. Pasal 25 hanya menyebutkan tentang barang, sedangkan terhadap jasa dinyatakan dalam Pasal 26

27


(37)

bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan pelaku usaha

Dapat kita lihat dari uraian di atas bahwa UUPK tidak memberikan pengertian atau batasan terhadap layanan purna jual, dinyatakan pelaku usaha hanya wajib memberikan fasilitas purna jual terhadap barang diproduksinya yang pemanfaatannya sekurang-kurangnya satu tahun; terhadap jasa hanya wajib memberikan jaminan dan atau garansi sesuai dengan kesepakatan; membedakan antara suku cadang, purna jual, jaminan dan garansi; apabila tidak menyediakan fasiltas tersebut pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen.

Pengertian ataupun batasan tentang layanan purna jual ini juga diberikan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau Jasa yang Beredar di Pasar, Pasal 1 angka 12 disebutkan pelayanan purna jual adalah pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang dijual dalam hal jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ini membuat batasan yang lebih konkrit dan luas terhadap layanan purna jual. Ini terlihat dari diberikannya layanan purna jual ini terhadap jasa, disebutkan hal-hal apa saja yang termasuk pelayanan purna jual yaitu jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional, waktu pemberian layanan purna jual ini sekurang-kurangnya setahun.

Kemudian Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 7229:2007 (standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang berlaku secara nasional di


(38)

Indonesia) mengenai ketentuan umum pelayanan purna jual, memberikan batasan terhadap layanan purna jual yaitu pelayanan yang diberikan oleh prinsipal kepada konsumen terhadap barang yang dijual dalam hal daya tahan dan kehandalan operasional.

Dalam batasan yang diberikan SNI ini menggunakan istilah “prinsipal” untuk pelaku usaha. Prinsipal itu sendiri adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang bertanggung jawab dalam pelayanan purna jual atas penjualan barang yang dimiliki/dikuasai dengan atau tanpa menunjuk pihak lain.28

 Layanan purna jual merupakan kewajiban pelaku usaha kepada konsumen.

Kemudian pelayanan purna jual ini hanya ditujukan terhadap barang yang dijual dan dalam hal daya tahan serta kehandalan operasional saja. Pelayanan purna jual ini dapat dilakukan dapat dilakukan oleh pelaku usaha itu sendiri ataupun menunjuk pihak lain untuk melaksanakannya.

Dari beberapa batasan yang diberikan dapat kita lihat bahwa:

 Layanan purna jual diberikan terhadap barang yang pemanfatannya berkelanjutan dan/atau jasa (terhadap jasa diberikan sesuai dengan kesepakatan).

 Layanan purna jual ini dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha atau menunjuk pihak lain yang melakukannya.

 Termasuk layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional.

 Jangka waktu diberikannya minimal satu tahun.

Ada dua jenis layanan purna jual yang diatur dalam SNI No. 7229:2007 yaitu: 1. Pelayanan purna jual selama masa garansi

28


(39)

Jaminan pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi dengan biaya ditanggung oleh principal selama barang digunakan/dioperasikan.

2. Pelayanan purna jual pasca garansi

Jaminan perawatan (service) berkala, perbaikan, penggantian dan ketersediaan komponen dari barang yang bersangkutan, ketersediaan teknologi, tenaga teknis yang kompeten serta bengkel perawatan dan perbaikan yang disediakan dengan biaya yang dibebankan kepada konsumen.

Persyaratan umum layanan purna jual yang ditentukan dalam SNI No 7229:2007 adalah jaminan pelayanan purna jual dilakukan dengan penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk, leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti, meliputi:

 identitas, spesifikasi dan karakteristik barang

 cara penggunaan atau pengoperasian dan perawatan

 pedoman teknik atau pedoman servis

 jaminan pelayanan purna jual

 informasi lainnya

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesai Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Telematika dan


(40)

Elektronika, pemberian pelayanan purna jual selama masa garansi dan pasca garansi berupa:29

 Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center)

 Ketersediaan suku cadang

 Penggantian produk sejenis apabila terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki selama masa garansi yang diperjanjikan dan

 Penggantian suku cadang sesuai jaminan selama masa garansi yang diperjanjikan. Dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 19/M-DAG/PER/5/2009 diatur mengenai persyaratan teknis pusat pelayanan purna jual untuk produk telematika dan elektronika yaitu:

1. Ruang kerja tetap dan/atau bergerak.

2. Tenaga teknik yang kompeten di bidang servis produk telematika dan elektronika dan akses terhadap perkembangan teknologi perbaikan.

3. Memiliki sistem manajemen pusat pelayanan purna jual (service center), meliputi antara lain Standar Operasional Prosedur (SOP) atau pedoman teknik/pedoman servis pemeriksaan, perawatan, perbaikan, dan penggantian.

4. Memiliki peralatan berupa mesin, alat perkakas, atau alat pengetesan/pengujian yang diperlukan untuk perawatan dan perbaikan barang bagian, komponen, dan/atau asesorisnya.

5. Ketersediaan bagian, komponen, dan asesoris yang mempengaruhi fungsi dan kegunaan barang yang diperlukan untuk kegiatan perawatan, perbaikan, dan/atau penggantian.

29

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesai Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Telematika dan Elektronika, Pasal 3 ayat 3.


(41)

6. Ketersediaan pelatihan bagi petugas pemeriksaan, perawatan (service) berkala, perbaikan dan/atau penggantian guna meningkatkan keterampilan dan kompetensi tenaga teknik.

7. Sarana komunikasi yang diperlukan untuk berhubungan dengan pelanggan.

Selanjutnya, layanan purna jual meliputi permasalahan yang luas dan mencakup masalah kepastian atas:30

1. Ganti rugi jika barang dan/jasa tidak sesuai dengan perjanjian semula

2. Barang yang digunakan jika mengalami kerusakan tertentu dapat diperbaiki secara cuma-Cuma selama jangka waktu garansi

3. Suku cadang selalu tersedia dalam jangka waktu yang relatif lama setelah transaksi konsumen dilakukan.

B. Peraturan Layanan Purna Jual

Layanan purna jual ini mempunyai dasar hukum yang cukup kuat yaitu diatur dalam suatu undang-undang. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum bagi layanan purna jual saat ini. Pasal 25 ayat 1 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual

30

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), Hal.127.

dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 2 dinyatakan apabila pelaku usaha tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan atau tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan maka wajib


(42)

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen. Dan jika pelaku usaha melanggar ketentuan Pasal 25 tersebut, menurut Pasal 60 UUPK, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang menjatuhkan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan tata cara penetapan sanksi administratif yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Selain didalam undang-undang, masalah mengenai layanan purna jual ini pun diatur oleh peraturan-peraturan menteri baik yang mengatur secara langsung maupun mengatur tentang hal yang terkait dengan layanan purna jual.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau Jasa yang Beredar di Pasar juga banyak mengatur tentang layanan purna jual. Dalam Keputusan Menteri ini setiap barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan yang berlaku dalam hal standar, pencantuman label, pembuatan/pencantuman klausula baku, pelayanan purna jual, cara menjual atau pengiklanan.31 Pasal 1 angka 12 menyebutkan pelayanan purna jual adalah pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang dijual dalam hal jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun. Pelaksanaan layanan purna jual ini diawasi oleh pemerintah (Menteri dan/atau Menteri Tehnis terkait sesuai bidang tugasnya), masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.32

31

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa yang Beredar di Pasar, Pasal 4 ayat 2

32

Ibid. Pasal 3.

Pengawasan ini dilakukan terhadap barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu


(43)

sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, tidak tersedia suku cadang dan/atau fasilitas purna jual/perbaikan dan tidak ada atau tidak terpenuhinya jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjian.33. Apabila ada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Keputusan ini, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan PerUndang-undang- Perundang-undangan yang berlaku.34

 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 608/MPP/Kep/10/1999 tentang Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Elektronika.

Kemudian ada beberapa peraturan yang mensyaratkan adanya layanan purna jual untuk dapat dipasarkannya suatu barang dan/atau jasa. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:

Menurut Keputusan ini dalam Pasal 2, setiap produk elektronika yang beredar di pasar Indonesia wajib dilengkapi dengan Petunjuk Penggunaan (Manual) dalam bahasa Indonesia.

Adanya jaminan layanan purna merupakan syarat pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7, dapat didaftarkan apabila yang mendaftarkan mempunyai :

a. Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI) bagi produsen dalam negeri, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Angka Pengenal Impor (API) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT) bagi importir.

b. N P W P

33

Ibid., Pasal 8 34


(44)

c. Jaminan Pelayanan Purna Jual

 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 29/PER/KOMINFO/9/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi.

Setiap alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis dan verifikasinya dilaksanakan melaui Sertifikasi kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Menteri ini, demikian dinyatakan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri ini.

Dalam mendapatkan sertifikat, pelaku usaha mengajukan surat permohonan dengan melampirkan berbagai persyaratan yang salah satunya adalah surat pernyataan kesanggupan memberikan garansi serta layanan purna jual diatas materai, kecuali jika alat da perangkat telekomunikasi tidak untuk diperdagangkan (Pasal 8 ayat 2 huruf f).

 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika.

Dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri ini dinyatakan bahwa setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan berbahasa Indonesia.


(45)

Kemudian disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 bahwa kartu jaminan harus memuat informasi sekurang-kurangnya:

a. masa garansi;

b. biaya perbaikan gratis selama masa garansi yang diperjanjikan;

c. pemberian pelayanan purna jual berupa jaminan ketersediaan suku cadang dalam masa garansi dan pasca garansi;

d. nama dan alamat pusat pelayanan purna jual (service centre);

e. nama dan alamat tempat usaha produsen (perusahaan/pabrik) untuk produk dalam negeri dan

f. nama dan alamat tempat usaha importir untuk produk impor

Dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan pemberian pelayanan purna jual selama masa garansi dan pasca garansi berupa ketersediaan pusat pelayanan purna jual, ketersediaaan suku cadang, penggantiaan produk sejenis apabila terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki selama masa garansi yang diperjanjikan dan penggantian suku cadang sesuai jaminan selama masa garansi yang diperjanjikan. Selain itu ada ketentuan dalam Pasal 5, bagi produsen atau importir produk telematika dan elektronika harus memiliki paling sedikit enam pusat pelayanan purna jual yang berada di kota besar dan/atau di perwakilan daerah beredarnya produk telematika dan elektronika, jika produsen dan importir tidak memiliki pelayanan purna jual harus bekerja sama dengan pihak lain yang dibuktikan dengan Surat Perjanjian Kerjasama.

Selanjutnya setiap layanan purna jual harus memenuhi standar yang telah ditentukan yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI), suatu standar yang ditetapkan oleh


(46)

Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang berlaku secara nasional di Indonesia. Standar Nasional Indonesia ini dasar hukum keberadaannya adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia. Untuk standar layanan purna jual diatur dalam SNI No. 7229:2007. Keberhasilan penerapan standar ini memberikan kesempatan yang berarti untuk kelancaran perdagangan, persaingan usaha yang sehat, perlindungan konsumen, peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya serta peningkatan pangsa pasar. Dalam SNI ini ditentukan mengenai batasan pelayanan purna jual; jenis layanan purna jual yaitu pelayanan purna jual selama masa garansi dan pelayanan purna jual pasca garansi; persyaratan pelayanan purna jual baik persyaratan umum maupun persyaratan teknis.

C. Efektifitas Layanan Purna Jual Terhadap Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen bertujuan:35

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

35


(47)

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, kamanan dan keselamatan konsumen.

Perlindungan konsumen dalam UUPK mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Secara garis besar cakupan perlindungan konsumen dalam UUPK adalah:

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Dan persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini


(48)

berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

Pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan kepada pelaku usaha karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya rendah, dan sebagainya.

Kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.

Meskipun perlidungan konsumen bertujuan dan mempunyai cakupan sebagaimana tersebut diatas, namun adanya perlindungna konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Berhubungan dengan efektifitas layanan purna jual dalam perlindungan konsumen, dapat lita lihat dari uraian dibawah ini. Kita ketahui bahwa lingkup layanan purna jual adalah terkait dengan jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi; penyediaan


(49)

dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk, leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti; ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center); ketersediaan suku cadang

Didalam lingkup pelayanan purna jual tersebut terkandung hak-hak konsumen, kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha. Suatu layanan purna jual dikatakan baik jika terdapat hubungan yang harmonis antara ketiganya yaitu terpenuhinya hak-hak konsumen dan terlaksananya kewajiban serta adanya tanggung jawab pelaku usaha. Layanan purna jual yang baik berarti juga telah merupakan suatu upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Layanan purna jual yang baik akan menciptakan kepuasan pelanggan yang tinggi, sehingga dapat menambah loyalitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu, layanan purna jual dapat digunakan sebagai alat promosi yang efektif dan efisien bagi produsen. Dengan demikian, produsen dapat memenangkan persaingan untuk produk yang sejenis dan pada akhirnya akan meningkatnya pasar dari produk pelaku usaha tersebut.

Layanan purna jual yang diberikan oleh setiap pelaku usaha bagi konsumennya adalah suatu strategi untuk merebut pasar. Bidang yang awalnya kurang mendapat perhatian serius ini sekarang bahkan mendapat penekanan khusus bagi para pelaku usaha, menjadi sumber pendapatan sekaligus pendongkrak pangsa pasar. Besarnya perhatian pelaku usaha terhadap layanan purna jual ini dapat dilihat pada kenyataan yang terjadi di lapangan misalnya PT. Honda Prospect Motor (HPM) yang merupakan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) dari mobil Honda telah berinvestasi lebih dari USS 100 juta


(50)

untuk mendirikan pabrik untuk merakit produk-produk mereka, ATPM lain seperti PT. Toyota Astra Motor (TAM) dengan produk Toyota telah berinvestasi lebih dari USS 300, tidak lupa para ATPM juga berinvestasi untuk mendirikan bengkel-bengkel khusus produk mereka karena konsumen dalam membeli produk bernilai mahal tentu tidak ingin kecewa karena kerusakan yang disebabkan saat proses pembuatan (pabrik).36

Oleh karena adanya layanan purna jual yang baik sudah menjadi suatu keharusan dalam dunia usaha untuk meningkatkan penjualannya, mau tidak mau pelaku usaha berusaha memberikan layanan purna jualnya yang terbaik untuk konsumen. Dan karena layanan purna jual yang baik didalamnya terkandung upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum maka layanan purna jual yang baik efektif dalam memberikan perlindungan kepada konsumen.

36

Anonim,


(51)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan purna jual atau yang sehari-hari kita kenal dengan istilah after sales service merupakan salah satu bentuk kewajiban dan tanggung jawab produsen atau pelaku usaha didalam memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dan menjamin kualitas barang yang telah dijualnya. Layanan purna jual merupakan suatu bentuk perlindungan bagi konsumen apabila ternyata performansi produk yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Pelayanan purna jual sendiri adalah pelayanan yang diberikan oleh prinsipal kepada konsumen terhadap barang yang dijual dalam hal daya tahan dan kehandalan operasional.4

Terkait dengan pelayanan purna jual ini, pada bulan Juni 2009 melalui siaran persnya Kementerian Komunikasi dan Informatika memberikan penjelasan bahwa sesuai dengan kewenangannya dalam menangani masalah pemberian atau penolakan pemberian sertifikat perangkat tekomunikasi sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Kominfo No. 29/PER/KOMINFO/9/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi, benar telah menolak sementara permohonan pengajuan sertifikasi yang diajukan oleh RIM (Research In Motions), perusahaan pembuat perangkat telekomunikasi BlackBerry asal Kanada, dan juga bahkan melakukan penolakan sementara terhadap perangkat yang sama namun diajukan oleh beberapa importir

4


(52)

BlackBerry yang tidak langsung terafiliasi dengan RIM, dengan alasan belum adanya bentuk konkrit dari pihak RIM untuk mendirikan service centre di Indonesia.5

Kementerian Komunikasi dan Informatika bersikap tegas dengan menolak sementara pengajuan sertifikasi BlackBerry untuk tipe yang baru ataupun beberapa tipe yang lama namun belum memiliki sertifikat dari Ditjen Postel, semata-mata justru untuk melindungi kepentingan masyarakat juga, karena sejauh ini RIM belum memiliki service centre atau layanan purna jual di Indonesia. RIM ini melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 ayat (2) huruf (f) pada Peraturan Menteri Kominfo No. 29/PER/KOMINFO/9/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi yang menyebutkan, bahwa surat permohonan sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut: (diantaranya) surat pernyataan kesanggupan memberikan garansi serta layanan puma jual di atas materai, kecuali jika alat dan perangkat telekomunikasi tidak untuk diperdagangkan.6 Berdasarkan peraturan menteri tersebut setiap alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan teknis, verifikasinya dilaksanakan melalui sertifikasi.7

5

Siaran Pers No. 141/PIH/KOMINFO/6/2009,

Dan jika ingin mendapatkan sertifikat untuk kesesuaian tipe alat dan perangkat telekomunikasi terhadap persyaratan teknis dan atau standar yang ditetapkan, harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya adalah adanya layanan purna jual.

pada tanggal 7 Agustus 2010. 6

Siaran Pers No. 61/PIH/KOMINFO/5/2010

tanggal 7 Agustus 2010. 7

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 29/PER/M.KOMINFO/09/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomuniikasi, Pasal 2.


(53)

Kementerian Perdagangan pun juga mendesak RIM untuk membangun layanan purna jualnya di Indonesia dan hal ini sesuai dengan Peraturan Mennteri Perdagangan No. 19 Tahun 2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika, namun impor BlackBerry tidak akan dilarang masuk sepanjang mematuhi ketentuan importansi di Indonesia tapi untuk beredar di pasar, BlackBerry harus punya manual berbahasa Indonesia dan punya setidaknya enam service centre sesuai Permendag.8

Adanya penolakan tersebut sempat membuat kepanikan dalam pengguna BlackBerry di Indonesia bahkan pemerintah Kanada pun turun tangan dalam menangani penolakan sementara ini. Namun hal ini ditindak lanjuti dengan positif oleh RIM, sesuai dengan komitmen RIM ( Research In Motions ) dari Kanada yang disampaikan secara tertulis tertanggal 11 Juli 2009 kepada Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar dan juga komitmen tersebut diulanginya kembali pada saat pertemuan antara Dirjen Postel beserta beberapa pejabat terkait dengan pihak Management RIM yang didampingi oleh Kedutaan Kanada di Indonesia pada tanggal 14 Juli 2009, RIM sudah berjanji untuk membuka operasional layanan purna jualnya pada tanggal 21 Agustus 2009.9

Akhirnya setelah melalui inspeksi dan “facts finding” Tim Khusus Departemen Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) terhadap

RIM-Authorised Repar Facility yang terdapat di suatu lokasi di Jakarta, pada rapat pleno BRTI dinyatakan bahwa BRTI secara prinsip dapat menerima kelengkapan, mekanisme dan

8

Anonim,

2010. 9

Siaran Pers No. 169/PIH/KOMINFO/8/2009,


(1)

5. Prof.Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi; 6. Prof. Dr.Sunarmi,Sh.M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi Penulis;

7. Winda,Sh.M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II Departemen Fakultas Hukum Ekonomi yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis;

8. Azwar Mahyuzar, S.H., sebagai Dosen Wali dari Penulis;

9. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik;

10.Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama masa perkuliahan;

11.Teristimewa persembahan kepada kedua orang tuaku : Alm. Drs.H.Rustam Nasution dan Almh. Hj.Rachmawaty Nst, Drs.H.Zulkarnaen Nasution, Hj.Hartati Lubis Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang tak akan mungkin terbalaskan;

12.Kepada kakak ku Dewi Zahraini Nst,SE, Rahmad Paruhum Nst,ST,M.Sc, Anita Kemala Nst,S.Psi, dr.Irina Kemala Nst, Indri Kemala Nst,S.Psi terima kasih atas dukungannya selama ini dan selalu menghibur Penulis, juga kepada Saudara-Saudaraku, yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

13.Kepada nenek dan kakek ku terima kasih atas semua nasehatnya;


(2)

Nurul Khairina, Desi, Layla M, Dewi, Ivan Najjar Alavi yang selanjutnya penulis harapkan persahabatan ini tidak akan berakhir sampai akhir usia kita dan mereka-mereka ini dapat menjadi pembesar-pembesar negeri ini, Amin.

15.Kepada teman-teman seperjuangan, Egi Arjuna Ginting, Tessa Yudistira, Atika Ayu Pulungan, Alwan Husni, Milki Irsyad, M.Hariadi Srg, M.Syahril Ichlas, Arridho Chaidir, Ahmad Syarief, Ilham Dodi Prawira, Alvin Hamzah Nst, Sheila Lydia, Irene Kartika Sari Siregar, Yulia Indriani, M.Ferdian, Ferry M Srg, Alki dan semua teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu- persatu terima kasih atas doa dan dukungan kepada saya;

16.Kepada kakanda-kakanda di Fakultas Hukum, Bang Dhuha, Bang Andrew, Bang Gatot Efdi Syahputra, Bang Agung Yuriandi, Bang Irfan Hariyanto, Bang Pampam Zulfahmi, Kak Syafrina Nst, kak Vina dan semua senioren yang tidak bisa disebutkan satu persatu.;

17.Kepada Teman-teman sepermainan Hambali, Madan, Chandut, Hamfika, Egi Silvana, Endro, Arif Randy, Veri Ozar, Diego, Donna, Rizka, Rizki, Gayatri, Aldi Subhan, Iskandar Mulia, Dili Erfin, Zivo Madresty, M.Erlangga, Hendri Sutendi semoga persahabatan ini terus terjalin;

18.Rekan-rekan juang di Himpunan Masyarakat Islam;

19.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu;


(3)

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu memberikan Rahmat Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, November 2010 Penulis


(4)

ABSTRAKSI

LAYANAN PURNA JUAL DALAM

KERANGKA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Anggi Iskandarsyah Nst1 Prof. Dr. Sunarmi S.H., M.Hum2

Windha S.H., M.Hum3

Layanan purna jual merupakan kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi barang yang manfaatnya berkelanjutan dan diberikan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun. Namun demikian belum sepenuhnya semua produk yang telah dan yang belum diatur mendapatkan layanan purna jual yang memadai, masih ada hak-hak dari konsumen yang belum terpenuhi dan pelaku usaha pun banyak yang kurang bertanggung jawab. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam perlindungan konsumen sehingga perlu diteliti dalam penulisan ini yaitu tentang bagaiman pengaturan layanan purna jual, bagaimana tanggung jawab produk dalam layanan purna jual dan hak-hak konsumen apa yang terabaikan dalam layanan purna jual ini.

Metode penelitian yang di pakai dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penyusunan skripsi ini menggunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dengan teknik penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang semuanya itu dimaksudkan untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.

Lingkup layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan operasional dan sudah diatur oleh beberapa peraturan yang cukup komprehensif dan berhubungan secara harmonis. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Selanjutnya dalam pelayanan purna jual ada beberapa hak konsumen yang terabaikan antara lain hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Kata kunci: Layanan Purna Jual, Tanggung Jawab Produk, Hak Konsumen

1

Mahasiswa Fakultas Hukum USU.

2


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI ………... iv

ABSTRAKSI……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah………. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……… 7

D. Keaslian Penulisan……….. 8

E. Tinjauan Kepustakaan………. 8

F. Metode Penulisan……… 20

G. Sistematika Penulisan……….. 23

BAB II PENGATURAN LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA A. Pengertian dan Cakupan Layanan Purna Jual……… 25

B. Peraturan Layanan Purna Jual……… 32

C. Efektifitas Layanan Purna Jual terhadap Perlindungan Konsumen………... 37

BAB III TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM


(6)

B. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)………. 48 C. Penerapan Tanggung Jawab Produk (Product Liability)

dalam Layanan Purna Jual……… 56

BAB IV HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN DALAM

LAYANAN PURNA JUAL

A. Hak-Hak Konsumen dalam UU No 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen……… 61 B. Hak-Hak Konsumen yang Terabaikan dalam Layanan

Purna Jual……….………….. 66 C. Penyelesaian Sengketa dalam Layanan Purna Jual……… 68

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 74

B. Saran………..……….. 75