Identifikasi Bahan Pewarna Sintetis Dalam Minuman Ringan Secara Kromatografi Kertas

(1)

IDENTIFIKASI BAHAN PEWARNA SINTETIS DALAM MINUMAN RINGAN SECARA KROMATOGRAFI KERTAS

TUGAS AKHIR OLEH:

DWINANDA PRATIWI NIM 082410059

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah “Identifikasi Bahan Pewarna Sintetis dalam Minuman Ringan secara Kromatografi Kertas” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun spiritual dari berbagai pihak, dengan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan tugas akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt.,selaku Koordinator Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.


(3)

4. Ayahanda Arifin effendi, Ibunda Suparmi dan Kakanda Aditya Nugraha tercinta yang telah memberikan semangat dan motivasi hingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Ibu Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt., selaku dosen Pembimbing Akademik. 6. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm., Apt., selaku Koordinator Pembimbing PKL

di Balai Besar POM di Medan.

7. Bapak dan Ibu beserta staf di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan Praktek Kerja Lapangan.

8. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

9. Drs. H. Syarifuddin, M.Si., Sanusi SE., MAP., dan Djarum Sunesti selaku paman dan bibi penulis yang juga banyak memberikan dukungan.

10. Keluarga besar penulis yang berada di Medan yang selalu mendukung penulis.

11. Sahabat penulis Niky, Dina, Maya, July, Praji, Andini dan Dalilah yang memberikan semangat agar cepat menyelesaikan tugas akhir ini.

12. Teman satu kelompok PKL penulis Arman dan Ajeng dan seluruh teman-teman Mahasiswa Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

13. Senior dan junior penulis yang selalu memberikan semangat dan motivasi khususnya senior Yopi Agusanda.


(4)

Penulis berharap tugas akhir ini berharap bagi semua pihak, penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan tugas akhir ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun karena kesempurnaan yang sesungguhnya hanya milik Allah SWT. Akhir kata semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, April 2011 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL……….i

LEMBAR PENGESAHAN………...ii

KATA PENGANTAR………...iii

DAFTAR ISI……….…...vi

DAFTAR TABEL………..……...viii

DAFTAR LAMPIRAN………..…………...xi

BAB I PENDAHULUAN………...………...1

1.1. Latar Belakang………...1

1.2. Tujuan………...2

1.3. Manfaat………..…...2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...3

2.1. Minuman Ringan……….………...3

2.1.1. Definisi………..………..3

2.2. Bahan Tambahan Pangan………...3

2.2.1. Definisi………...3

2.2.2. Golongan Bahan Tambahan Pangan (BTP……….4

2.3. Pewarna Bahan Pangan………...5

2.3.1. Golongan Zat Pewarna Makanan………...7

2.3.1.1. Pewarna Alami………7

2.3.1.2. Pewarna Sintetis………...7


(6)

2.5. Analisis Bahan Pewarna Sintetis secara Kromatografi Kertas...14

BAB III METODOLOGI……….18

3.1. Tempat Pengujian………... ……18

3.2. Alat………..………...18

3.3. Bahan……..………18

3.4. Sampel………18

3.5. Prosedur………...19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………..20

4.1. Hasil………20

4.2. Pembahasan………...20

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...22

5.1. Kesimpulan………..22

5.2. Saran………22

DAFTAR PUSTAKA………...23


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia…………...9 Tabel 2. Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang Di Indonesia…………...10


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Kromatogram………...25 Lampiran II. Perhitungan………...26 Lampiran III. Gambar………..27


(9)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami atau sintetis yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi. Minuman ringan terdiri dari dua jenis, yaitu minuman ringan dengan karbonasi dan minuman ringan tanpa karbonasi (non-karbonasi). Minuman ringan dengan karbonasi adalah minuman yang dibuat dengan menambahkan CO2 dalam air minum, sedangkan minuman ringan tanpa karbonasi adalah minuman selain minuman ringan dengan karbonasi (Cahyadi, 2009).

Bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan.

Terdapat kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan makanan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat


(10)

mengenai zat pewarna untuk makanan dan minuman, atau disebabkan karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan.

Menyadari hal itu, bahwa terdapatnya bahan pewarna yang tidak diizinkan baik dalam makanan maupun minuman dapat membahayakan kesehatan konsumen. Maka penulis ingin sekali mengambil judul tugas akhir “Identifikasi Bahan Pewarna Sintetis dalam Minuman Ringan secara Kromatografi Kertas”. Adapun pengujian dilakukan selama penulis melakukan praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Medan.

Analisis bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan dilakukan dengan metode Kromatografi Kertas. Keunggulan cara ini praktis untuk mengidentifikasi zat warna apa yang terdapat dalam minuman ringan.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan adalah untuk mengidentifikasi bahan pewarna sintetis apa saja yang terkandung dalam minuman Kuades Rasa Anggur.

1.3. Manfaat

Adapun maanfaat yang diperoleh dari identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan adalah agar mengetahui berapa banyak bahan pewarna sintetis yang terdapat dalam minuman Kuades Rasa Anggur.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minuman Ringan

2.1.1. Definisi

Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami atau sintetis yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi. Minuman ringan terdiri dari dua jenis, yaitu minuman ringan dengan karbonasi dan minuman ringan tanpa karbonasi (non-karbonasi). Minuman ringan dengan karbonasi adalah minuman yang dibuat dengan menambahkan CO2 dalam air minum, sedangkan minuman ringan tanpa karbonasi adalah minuman selain minuman ringan dengan karbonasi (Cahyadi, 2009).

2.2. Bahan Tambahan Pangan 2.2.1. Definisi

Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Budiyanto, 2002)


(12)

Tujuan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya Bahan Tambahan Pangan (BTP) dapat dibagi menjadi dua golongan besar sebagai berikut.

1. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. 2. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu

bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang dikonsumsi (Cahyadi, 2009).

2.2.2. Golongan Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Di Indonesia telah disusun peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan ditambahkan dan dilarang (disebut Bahan Tambahan Kimia) oleh Departemen Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88, terdiri dari golongan BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut.


(13)

1. Antioksidan (antioxidant) 2. Antikempal (anticacking agent) 3. Pengatur keasaman (acidity regulator) 4. Pemanis buatan (artificial sweetener)

5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) 7. Pengawet (preservative)

8. Pengeras (firming agent) 9. Pewarna (colour)

10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavor, flavor enhancer) 11. Sekuestran (sequestrant)

2.3. Pewarna Bahan Pangan

Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor seperti cita rasa, tekstur, nilai gizinya juga sifat mikrobiologisnya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan,secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu bahan pangan berwarna antara lain dengan penambahan zat pewarna. Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang temasuk dalam golongan Bahan Tambahan Pangan (BTP), yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis (Cahyadi, 2009).

Penambahan bahan pewarna pada makanan bertujuan untuk membuat makanan lebih menarik. Kemajuan teknologi pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintetis. Dalam jumlah yang sedikit, suatu zat kimia bisa memberi


(14)

warna yang stabil pada produk pangan. Dengan demikian, produsen bisa menggunakan banyak pilihan warna untuk menarik minat konsumen (Syah dkk, 2005).

Pewarna makanan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan dan minuman, terutama berbagai produk jajanan pasar serta berbagai makanan dan minuman olahan yang dibuat oleh industi kecil ataupun industri rumah tangga meskipun pewarna buatan juga ditemukan pada berbagai jenis makanan yang dibuat oleh industri besar. Yang terakhir ini biasanya sengaja dilakukan oleh pabrik untuk membuat makanan atau minuman berkalori rendah yang ditujukan untuk penderita diabetes mellitus. Hampir setiap makanan dan minuman olahan telah dicampur dengan pewarna sintetis. Penggunaannya secara terus menerus (berlebihan) dapat membahayakan kesehatan. Penggunaan pewarna sebenarnya boleh saja selama dalam jumlah terbatas. Namun demikian, apabila pewarna yang digunakan adalah pewarna nonmakanan, misalnya pewarna tekstil atau kertas ataupun pewarna makanan, tetapi dalam jumlah yang berlebihan, tentulah akan membahayakan kesehatan masyarakat (Yuliarti, 2007).


(15)

2.3.1. Golongan Zat Pewarna Makanan 2.3.1.1.Pewarna Alami

Zat pewarna yang termasuk dalam uncertified color ini adalah zat pewarna alami (ekstrak pigmen dari tumbuh-tumbuhan) dan zat pewarna mineral,

walaupun ada juga beberapa zat pewarna seperti β-karoten dan kantaxantin yang telah dapat dibuat secara sintetik. Untuk penggunaannya, zat pewarna ini bebas dari prosedur sertifikasi dan termasuk daftar yang telah tetap (Winarno, 1992).

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, antosianin, flavonoid, tannin, quinon dan xanton, serta karotenoid (Cahyadi, 2009).

2.3.1.2.Pewarna Sintetis

Pewarna sintetis harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai zat pewarna makanan. Zat pewarna yang diizinkan disebut sebagai permitted color atau certified color. Untuk penggunaannya zat warna tersebut harus menjalani tes dan prosedur penggunaan yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Winarno, 1992).

Proses pembuatan zat pewarna sintetik biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui senyawa antara dahulu yang


(16)

kadang-kadang berbahaya dan seringkali tertinggal dalam hasil akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,00014% dan timbal tidak boleh lebih dari 0,001%, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Winarno, 1992).

Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai Bahan Tambahan Pangan (BTP). Akan tetapi, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut (Yuliarti, 2007)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722, terdapat beberapa jenis bahan pewarna sintetis yang diizinkan dan yang dilarang di Indonesia. Jenis bahan pewarna sintetis yang diizinkan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan bahan pewarna sintetis yang dilarang di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.


(17)

Tabel 1. Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia Perwarna Nomor Indeks Warna (C.I.No) Batas Maksimum Penggunaan Amaran

Amaranth: CI Food Red 9

16185 Secukupnya

Biru Berlian Brilliant Blue FCF: CI 42090 Secukupnya

Eritrosin

Food red 2 Eritrosin: CI

45430 Secukupnya

Hijau FCF

Food red 14 Fast green FCF: CI

42053 Secukupnya

Hijau S

Food green 3 Green S: CI Food

44090 Secukupnya

Indigotin

Green 4 Indigotin: CI Food

73015 Secukupnya

Ponceau 4R

Blue I

Ponceau 4R: CI

16255 Secukupnya

Kuning Food red 7 74005 Secukupnya

Karmoisin Carmoisine; CI Food Red 3;

14720 Secukupnya


(18)

Tabel 2. Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia

Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I.No.)

Citrus Red No.2 12156

Ponceau 3R (Red G) 16155

Ponceau SX (Food Red No. 1) 14700

Rhodamine B (Food Red No. 5) 45170

Guinea Green B (Acid Green No.3) 42085

Magenta (Basic Violet No. 14) 42510

Chrysoidine (Basic Orange No. 2) 11270

Butter Yellow (Solvent Yellow No.2) 11020

Sudan I (Food Yellow No.2) 12055

Methanil Yellow (Food Yellow No. 14) 13065

Auramine (Ext. D & C Yellow No. 1) 41000

Oil Oranges SS (Basic Yellow No. 2) 12100

Oil Oranges XO (Solvent Oranges No.7) 12140

Oil Yellow AB (Solvent Oranges No. 5) 11380

Oil Yellow OB (Solvent Oranges No. 6) 11390


(19)

Menurut Winarno (1992), ada dua macam yang tergolong certified color yaitu dye dan lake. Keduanya adalah zat pewarna buatan. Zat warna yang termasuk golongan dye telah melalui prosedur sertifikasi dan spesifikasi yang ditetapkan oleh FDA (Food and Drug Administration). Sedangkan zat pewarna lake yang hanya terdiri dari satu warna dasar, tidak merupakan warna campuran, juga harus mendapat sertifikat. Dalam certified color terdapat spesifikasi yang mencantumkan keterangan yang penting mengenai zat pewarna tertentu, misalnya bentuk garam, kelarutan dan residu yang terdapat didalamnya.

1. Dye

Dye adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air, sehingga larutannya menjadi berwarna dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah propilen glikol, gliserin atau alkohol, sedangkan dalam semua jenis pelarut organik, dye tidak dapat larut. Dye terdapat dalam bentuk bubuk, butiran, pasta maupun cairan. Penggunaannya tergantung dari kondisi bahan, kondisi proses dan zat pewarnaannya sendiri. Zat pewarna dye terbagi menjadi empat kelompok, yaitu azo dye, tryphenylmethane dye, fluorescein dan sulfonated indigo (Winarno, 1992).

Pada umumnya penggunaan dye dilakukan untuk mewarnai roti dan kue, produk-produk susu, minuman ringan, minuman berkarbonat dan lain-lain. Konsentrasi pemakaian tidak dibatasi secara khusus, tetapi di Amerika Serikat disarankan agar digunakan dengan memperhatikan Good Manufacturing Practices (GMP), yang pada prinsipnya dapat digunakan dalam jumlah yang tidak melebihi keperluan untuk memperoleh efek yang diinginkan, jadi rata-rata kurang dari 300


(20)

ppm. Tetapi dalam praktiknya ternyata digunakan konsentrasi 5-600 ppm. Umumnya dalam industri pengolahan pangan menimbulkan warna yang tidak wajar pada produk (Cahyadi, 2009).

2. Lake

Zat pewarna ini merupakan gabungan dari zat warna dye dengan radikal basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat (alumina). Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lake ini tidak larut pada hampir semua pelarut. Lake stabil pada pH 3,5-9,5 dan diluar selang tersebut lapisan alumina pecah dan dye yang dikandungnya terlepas (Winarno, 1992).

Kandungan dye dalam lake disebut pure dyes contents (pdc). Lakes umumnya mengandung 10-40% dye murni. Sesuai dengan sifatnya yang tidak larut dalam air, maka zat pewarna ini digunakan untuk produk-produk yang tidak boleh kena air. Dibandingkan dengan dye, maka lake pada umumnya bersifat lebih stabil terhadap cahaya, kimia dan panas sehingga harga lake umumnya lebih mahal daripada harga dye (Cahyadi, 2007).

2.4. Efek Bahan Pewarna Terhadap Kesehatan

Sejumlah makanan yang kita konsumsi tidak mengandung zat berbahaya menurut daftar zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88). Namun demikian, penggunaan pewarna tersebut hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman, penggunaannya dalam jumlah yang besar tetap dapat membahayakan kesehatan masyarakat.


(21)

Menurut Cahyadi (2009), zat warna diabsorbsi dari dalam saluran pencernaan makanan dan sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikroorganisme dalam usus. Dari saluran pencernaan dibawa langsung ke hati, melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena superior. Zat warna yang dimetabolisme dan dikonjugasi di hati, selanjutnya ada juga yang ke empedu memasuki jalur sirkulasi enterohepatik. Zat warna azo yang larut dalam air diekskresi secara kuantitatif melalui empedu, sedangkan yang larut dalam lemak diabsorpsi sempurna tanpa metabolisme dalam usus, melainkan dimetabolisme dalam hati oleh azo-reduktase membentuk amin primer yang sesuai, atau dapat juga dihidrolisis, atau diikat oleh protein-protein hati. Senyawa yang merupakan metabolit polar cepat dieliminasi lewat urine. Beberapa senyawa azo, terurai pada ikatan azo-nya membentuk aminonaftol.

Efek kronis yang disebabkan oleh zat warna azo yang dimakan dalam jangka waktu lama menyebabkan kanker hati. Selain senyawa-senyawa azo lain mengakibatkan kanker walaupun efeknya lebih kecil dan waktunya lebih lama. Para ilmuwan pada umumnya mempergunakan zat warna azo dalam penelitiannya, karena hampir 90% dari bahan pewarna pangan terdiri dari zat warna azo (Cahyadi, 2009).

Zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan disebut zat beracun. Banyak zat-zat kimia yang beracun pada dosis besar dan tidak beracun pada dosis yang kecil. Kecenderungan zat-zat berbahaya yang menyebabkan kanker pada manusia menjadi perhatian publik pada saat ini (Hughes, 1987).


(22)

2.5. Analisis Bahan Pewarna Sintetis secara Kromatografi Kertas

Menurut Sudarmadji dkk (1991), pemisahan yang terjadi dalam kromatografi dilaksanakan dengan memanipulasi sedemikian rupa sifat-sifat fisik umum dari suatu senyawa atau molekul, yaitu:

a. Kecenderungan suatu molekul untuk larut dalam cairan (kelarutan)

b. Kecenderungan suatu molekul untuk bertaut dengan suatu serbuk bahan padat (absorbsi)

c. Kecenderungan suatu molekul untuk menguap (volatilitas)

Pada kromatografi kertas sebagai penyerap digunakan sehelai kertas dengan susunan serabut dan tebal yang sesuai. Pemisahan kromatografi dapat berlangsung menggunakan fase cair tunggal dengan proses yang sama dengan kromatografi adsorbsi dalam kolom. Oleh karena kandungan air pada kertas dari komponen hidrofilik fase cair oleh serat kertasnya, dapat dianggap sebagai fase diam, maka mekanisme partisi berperan penting dalam pemisahan (Ditjen POM, 1995).

Kertas dalam pemisahan terutama mempunyai pengaruh pada kecepatan aliran pelarut. Sedangkan fungsi dari kertas itu sendiri sangat kompleks. Efek-efek serapan disebabkan oleh sifat polar dari gugus-gugus hidroksil di mana ini kemungkinan sangat penting dan sejumlah kecil dari gugus karboksil dalam selulosa dapat menaikkan terhadap efek-efek pertukaran ion (Hardjono, 1985).

Bila akan melakukan pemisahan dengan kromatografi kertas maka hal-hal seperti berikut harus mendapatkan perhatian:


(23)

1. Metode (penaikan, penurunan atau mendatar) 2. Macam dari kertas

3. Pemilihan dan pembuatan pelarut (fase bergerak) 4. Kesetimbangan dalam bejana yang dipilih

5. Pembuatan cuplikan 6. Waktu pengembangan

7. Metoda deteksi dan identifikasi

Di samping sifat-sifat dari kertas dan pelarut, ada faktor-faktor utama yang mempengaruhi pemisahan yaitu suhu, besarnya bejana, waktu pengembangan dan arah dari aliran pelarut (Hardjono, 1985).

Pekerjaan mula-mula dalam kromatografi kertas dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatmann No. 1. Meskipun demikian jenis kertas Whatmann dengan berbagai nomor banyak juga digunakan di mana semuanya dibuat dengan kemurnian yang tinggi dan yang tebal merata. Kertas dalam pemisahan terutama mempunyai pengaruh pada kecepatan aliran pelarut. Sedangkan fungsi dari kertas itu sendiri sangat konpleks. Efek-efek serapan disebabkan oleh sifat polar dari gugus-gugus hidroksil dimana ini kemungkinan sangat penting dan sejumlah kecil dari gugus karboksil dalam selulosa dapat menaikkan terhadap efek-efek pertukaran ion. Kertas disediakan dalam bermacam-macam standar lembaran, bulatan, dan gulungan dan dalam bentuk tertentu. Ia harus disimpan ditempat jauh dari setiap sumber dari uap-uap dan jangan ditempatkan pada tempat-tempat yang mempunyai perubahan kelembapan yang tinggi (Hardjono, 1985).


(24)

Fase gerak biasanya merupakan campuran yang terdiri atas satu komponen organik yang utama, air dan berbagai tambahan seperti asam-asam, basa atau pereaksi-pereaksi kompleks, untuk memperbesar kelarutan dari beberapa senyawa atau untuk mengurangi yang lainnya. Pelarut harus sangat mudah menguap, karena terlampau cepat mengadakan kesetimbangan, pada keadaan lain volatilitas yang tinggi mengakibatkan lebih cepat hilang meninggalkan lembaran kertas setelah bergerak. Kecepatan bergeraknya harus tidak cepat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan suhu (Hardjono, 1985).

Menurut Hardjono (1985), dalam mengidentifikasi noda-noda dalam kertas sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation factor) yang didefinisikan sebagai:

Rf =

Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai perbandingan distribusi dan faktor retensi sama dengan 0 yang berarti senyawa bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf adalah 0 dan ini teramati jika senyawa tertahan pada posisi titik awal dipermukaan fase diam (Rohman, 2007).

Menurut Hardjono (1985), ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf, yaitu:

1. Pelarut. Disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka

perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-perubahan harga Rf.


(25)

2. Suhu. Perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran.

3. Ukuran dari bejana. Volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari

atmosfer jadi memengaruhi kecepatan penguapan dari koponen-komponen pelarut dari kertas.

4. Kertas. Pengaruh utama kertas pada harga-harga Rf timbul dari perubahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam-macam kertas.

5. Sifat dari campuran. Berbagai senyawa mengalami partisi diantara

volume-volume yang sama dari fase tetap dan bergerak. Mereka hampir selalu mempengaruhi karakterisrik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga-harga Rf mereka.


(26)

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat Pengujian

Identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan non-karbonasi secara Kromatografi Kertas dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat No. 2 Medan.

3.2. Alat

Alat yang digunakan ialah gelas piala 10 ml, 100 ml, dan 250 ml, pengaduk kaca, gelas ukur, pipet tetes, pipet penotol, kertas saring, bejana kromatografi, penangas air, benang wol bebas lemak, kertas saring biasa, kertas Whatmann No. 1.

3.3. Bahan

Bahan yang digunakan adalah asam asetat glasial p.a., larutan asam asetat, amonia NH4OH, larutan baku zat warna makanan, larutan elusi (campuran Isobutanol-Etanol-Air (3:2:2)).

3.4. Sampel

Nama contoh : Kuades Rasa Anggur Pemerian :

- Bentuk : cairan - Rasa : asam-manis - Bau : harum - Warna : ungu No. Reg : P-IRT 213127503736


(27)

Komposisi : Air, gula pasir, Vitamin C, Cyclamate, Na. Benzoat, Malic Acid, pewarna makanan, perisa buah anggur.

3.5. Prosedur

Minuman ringan sebanyak 30-50 ml diasamkan sedikit dengan asam asetat. Masukkan benang wol ke dalam contoh yang telah dipersiapkan tadi. Dipanaskan diatas penangas air diatas api sambil diaduk selama 10 menit. Ambil benang wol, cuci berulang-ulang dengan air hingga bersih. Masukkan benang wol ke dalam gelas piala 100 ml, tambahkan larutan amonia encer, panaskan diatas penangas air hingga zat warna pada benang wol luntur. Ambil benang wolnya, saring larutan berwarna tersebut dan pekatkan diatas penangas air. Hasil pekatan ditotolkan di atas kertas Whatmann No. 1, juga ditotolkan zat pembanding yang cocok. Masukkan kertas Whatmann No. 1 tersebut ke dalam bejana kromatografi yang terlebih dahulu dijenuhkan dengan uap elusi, dielusi sampai batas pengembang. Bandingkan Rf bercak dengan Rf bercak standar.


(28)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

Pada pengujian identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan secara kromatografi kertas, diketahui bahwa minuman ringan yang diuji mengandung bahan pewarna Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue.

Perhitungan dan kromatogram hasil pengujian dari kromatografi kertas dapat dilihat pada lampiran I dan II.

4.2. Pembahasan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan secara kromatografi kertas, diketahui bahwa minuman ringan yang diuji mengandung bahan pewarna sintetis Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue. Bahan pewarna sintetis tersebut masih memenuhi persyaratan. Karena, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 bahan pewarna sintetis tersebut merupakan bahan pewarna yang diizinkan untuk digunakan dalam makanan atau minuman.

Bahan pewara sintetis dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode kromatografi kertas, karena cara ini praktis untuk mengidentifikasi bahan pewarna dalam makanan dan minuman secara spesifik.

Dalam analisa ini digunakan fase gerak Isobutanol-Etanol-Air dengan perbandingan 3:2:2. Digunakannya fase gerak ini karena fase diam yang berupa serat selulosa bersifat polar, maka digunakan fase gerak juga yang bersifat polar.


(29)

Untuk mengetahui bahan pewarna sintetis apa saja yang terdapat dalam minuman ringan, maka diperlukan beberapa larutan baku zat warna makanan.

Setelah dielusi dengan fase gerak, maka terjadilah pemisahan zat warna dari sampel sehingga diperoleh tiga zat dengan warna yang berbeda pada kromatogramnya. Untuk memastikan apakah bahan pewarna sintetis yang terdapat dalam minuman ringan sama dengan larutan baku zat warna, maka digunakan perhitungan harga Rf. Setelah menghitung harga Rf dari masing-masing baku, ternyata hanya tiga zat pewarna baku yang harga Rf-nya sama dengan tiga zat pewarna dari sampel, yaitu Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue. Sehigga dapat disimpulkan bahwa di dalam minuman ringan yang diidentifikasi terdapat bahan pewarna sintetis Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan secara kromatografi kertas, diketahui bahwa dalam minuman tersebut terdapat bahan pewarna sintetis Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue yang merupakan bahan pewarna makanan dan minuman yang masih diizinkan di Indonesia menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88.

5.2. Saran

Sebaiknya pengujian tidak hanya dilakukan untuk mengidentifkasi bahan pewarna sintetis apa saja yang terdapat dalam minuman ringan, melainkan kadarya juga. Karena apabila kadar bahan pewarna sintetis dalam suatu minuman berlebihan, maka dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, seperti kanker hati pada masyarakat yang mengkonsumsinya.

Pemerintah sebaiknya juga harus terus melakukan upaya pemeriksaan minuman atau jajanan yang beredar dipasaran. Sehingga makanan atau minuman yang mengandung bahan pewarna sintetis yang tidak diizikan beredar di Indonesia dapat segera ditarik dari pasaran.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM Press. Hal. 149.

Cahyadi, Wisnu, (2009), Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 63-73.

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, (1995), Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1003-1004.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, A.E., (1991), Pengantar Kromatografi, Bandung: ITB Press. Hal. 157.

Hughes, Christopher C., (1987), The Additives Guide, Great-Britain: Photographics. Hal. 14-15.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per.IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Rohman, Abdul, (2007), Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 328.

Sastrohamidjojo, Hardjono, (1985), Kromatografi, Yogyakarta: Liberty. Hal. 12-24.

Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi (1989), Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Yogyakarta: Liberty. Hal. 43.

Syah, Dahlur, dkk, (2005), Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan, Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Hal. 32.


(32)

Winarno, F.G., (1992), Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 183-187.

Yuliarti, Nurheti, (2007), Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 79-96.


(33)

LAMPIRAN 1. Lampiran I


(34)

2. Lampiran II Perhitungan Harga Rf =

• Harga RfRhodamin B :

• Harga Rf Eritrosin :

• Harga Rf Sunset Yellow:

• Harga Rf Merah Alura :

• Harga Rf Carmoisin :

• Harga Rf Ponceau 4R :

• Harga Rf Tartrazine :

• Harga Rf Brilliant Blue :

• Harga Rf1 858 :

• Harga Rf2 858 :


(35)

3. Lampiran III Gambar

a. Gambar chamber yang berisi fase gerak

b. Gambar sampel yang telah dipekatkan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan pewarna sintetis dalam minuman ringan secara kromatografi kertas, diketahui bahwa dalam minuman tersebut terdapat bahan pewarna sintetis Ponceau 4R, Carmoisin dan Brilliant Blue yang merupakan bahan pewarna makanan dan minuman yang masih diizinkan di Indonesia menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88.

5.2. Saran

Sebaiknya pengujian tidak hanya dilakukan untuk mengidentifkasi bahan pewarna sintetis apa saja yang terdapat dalam minuman ringan, melainkan kadarya juga. Karena apabila kadar bahan pewarna sintetis dalam suatu minuman berlebihan, maka dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, seperti kanker hati pada masyarakat yang mengkonsumsinya.

Pemerintah sebaiknya juga harus terus melakukan upaya pemeriksaan minuman atau jajanan yang beredar dipasaran. Sehingga makanan atau minuman yang mengandung bahan pewarna sintetis yang tidak diizikan beredar di Indonesia dapat segera ditarik dari pasaran.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM Press. Hal. 149.

Cahyadi, Wisnu, (2009), Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan, Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 63-73.

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, (1995), Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1003-1004.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., Schwarting, A.E., (1991), Pengantar Kromatografi, Bandung: ITB Press. Hal. 157.

Hughes, Christopher C., (1987), The Additives Guide, Great-Britain: Photographics. Hal. 14-15.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per.IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Rohman, Abdul, (2007), Kimia Farmasi Analisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 328.

Sastrohamidjojo, Hardjono, (1985), Kromatografi, Yogyakarta: Liberty. Hal. 12-24.

Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi (1989), Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, Yogyakarta: Liberty. Hal. 43.

Syah, Dahlur, dkk, (2005), Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan, Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Hal. 32.


(3)

Winarno, F.G., (1992), Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 183-187.

Yuliarti, Nurheti, (2007), Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 79-96.


(4)

LAMPIRAN 1. Lampiran I


(5)

2. Lampiran II Perhitungan Harga Rf =

• Harga RfRhodamin B : • Harga Rf Eritrosin :

• Harga Rf Sunset Yellow: • Harga Rf Merah Alura :

• Harga Rf Carmoisin : • Harga Rf Ponceau 4R : • Harga Rf Tartrazine : • Harga Rf Brilliant Blue : • Harga Rf1 858 : • Harga Rf2 858 : • Harga Rf3 858 :


(6)

3. Lampiran III Gambar

a. Gambar chamber yang berisi fase gerak

b. Gambar sampel yang telah dipekatkan