POLIGAMI MENURUT FIQH POLIGAMI
Sedangkan fiqh adalah ilmu mengenai hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
16
Melihat dari pengertian itu maka jelas sekali bahwa fiqh adalah formula yang dipahami dari syariah. Oleh karenanya syariah takkan bisa dijalani tanpa menggunakan
fiqh. Beberapa perbedaan fiqh dan syariah yang signifikan diantaranya: Pertama,
syariah adalah wahyu diturunkan oleh Allah SWT maka kebenarannya mutlak. Sedangkan fiqh adalah produk manusia ahli fiqh melalui penalaran dan kebenarannya
relatif. Kedua, syariah bersifat unity satu, sedangkan fiqh bersifat diversity beragam. Ketiga, syariah bersifat stabil sedangkan fiqh bersifat berubah seiring perubahan waktu
dan tempat. Seperti yang laksanakan oleh imam syafi’I salah seorang tokoh fiqh yang memiliki qaul kodim pendapat yang lalu ketika di Bagdad dan Qaul jadid pendapat
yang baru ketika di Mesir. Keempat, syari’ah bersifat idealistis sedangkan fiqih bersifat
realistis.
17
Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami ta’addud al-zawjat. Hingga abad ke–18 M ke-13 H tidak ada pro
kontra mengenai bolehnya poligami, karena semua ulama sepakat bahwa poligami itu mubah boleh. Hal ini karena kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i
pasti.
18
16
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas Berbahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 1 April 2009, http: id.wikipedia.orgwikipoligami
17
ibid
18
Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360
Berkata faris abu Lu`ah “Masalah menikah dengan lebih dari satu istri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap syar’un tsabit dan
sunnahjalan yang diikuti sunnah muttaba’ah. Tidak ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka pun tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun
mereka berbeda pendapat dalam kebanyakan bab dan masalah figh. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut pasti bersumber dari Rasulullah dan qath’i dalalah
pasti pengertiannya dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…”
19
Para Imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat
disimpulkan dalam kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217, yang membahas tentang pembagian
nafkah dan bermalam kepada para istri mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima.
20
Dari keterangan di atas penulis menyimpukan dengan berpegang kepada pendapat para imam, bahwa poligami itu mubah artinya hukum poligami bagi manusia
bersifat kondisional, di mana dengan melihat keadaan orang yang akan melakukan perbuatan tersebut.
19
Ibid,. hal
20
Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Juz IV hal. 206- 217 : Beirut: Darul Fikr, 1996