Relevansi Ayat Poligami antara Hukum Islam, Hukum Positif dan HAM

persoalan modern. Oleh karena itu, reinterpretasi adalah hal yang mungkin dengan menjaganya agar tetap dalam lingkungan tujuan syari’ah sehingga perbuatan manusia yang berlebihan dapat dicegah dan elemen-elemen hukum barat dapat diminimalisir. 8 Apalagi ketika muncul sebuah buku” Islam Menggugat Poligami” buah tangan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, di mana salah satu isinya: 9 “Kesimpulannya, aspek negatif poligami lebih besar daripada aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya dan sesuai dengan kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan. Mengingat dampak buruk poligami dalam kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih haram karena eksesnya. Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan crime against humanity dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.” Dari tulisan beliau terlihat secara jalas ketidakpuasan dengan sistem poligami yang sekarang sebagaimana yang telah diatur UU. Di mana beliau menganggap adanya bebarapa pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Jadi guna mengimplentesikan relevansi ayat poligami antara hukum Islam, hukum positif, dan hak azazi manusia. Yaitu penulis mencoba mengikuti metode apa yang telah tercantum dalam hukum Islam atau syari’ah, karena keidealan hukum Islam maka tidak bertentangan dengan konsep HAM yang 8 Ibid., hlm. 67-68 9 Siti Musdah Mulia, Islam menggugat Poligami, cv: Gramedia, 2007, hal. 193-194. menyatakan poligami menindas hak-hak kaum wanita, sebab hukum Islam ini mengajarkan persamaan antar sesama manusia, dan tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Karena Islam memberikan kebebasan penuh kapada individu dalam batas yang tidak membahayakan dirinya. Islam juga memberikankan hak-hak kepada kelompok, dan pada saat yang sama membebaninya dengan tanggung jawab sebagai timbal balik atas hak itu. Oleh karena itu, hidup akan terus berjalan lurus ke depan. 10 Seandainya poligami diharamkan dan selingkuh dihalalkan, maka secara langsung penulis mengatakan bertentangan dengan hukum positif yang ada di Indonesia, sebab bengsa Indonesia yang sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila pertama dengan jelas mengatakan ‘’Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diimplementasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang percaya terhadap ajaran yang datang dari sisi ketuhanan. Oleh karenanya setiap perbuatan hukum yang ada harus berlandaskan Pancasila, terutama sila pertama. Sehingga bertentangan pula dengan prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan menurut Ichtianto Hukum Islamsyari’ah sebagai tatanan hukum yang dipegangiditaati oleh mayorits penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan nasional dan merupakan dalam pembinaan dan pengembangannya. 11 Adapun Konsep poligami dalam ajaran Islam memiliki tujuan mulia, berbeda dengan praktek poligami yang terdapat dalam lingkugan masyarakat etnis dan agama non-Islam. 10 Ibid ,. Hlm. 73 11 Ichtianto, H, Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1990. Ragam perkawinan ini menurut ajaran Islam bertujuan antara lain, untuk menghindari prakek perkawinan yang mengarah pada dehumanisasi perempuan. Tujuan ini diwujudkan dengan melindungi hak-hak perempuan sebagai manusia terutama kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan dalam poligami. Upaya perlindungan terhadap perempuan dalam perkawinan poligami, dilakukan dengan menegakkan keadilan yang merupakan essensi ajaran Islam dan sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Selain itu relasi antara laki- laki dan perempuan dilaksanakan dalam pola kesetaraan jender gender equality. Maka tidak ada petentangan antara hukum poligami yang notabane bersumber dari Al-Qur’an dengan Hukum Positif ataupun HAM yang berdasarkan prinsip keadilan bagi semua manusia dihadapan hukum. Sekilas kalau kita bandingkan dengan hukum Islam, maka kita dapatkan tujuan bahwa hukum Islam lebih tinggi dan bersifat abadi, yang dapat diartikan tidak terbatas kepada suatu hal yang bersifat sementara, kerena faktor individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan rangkaian satu sama lainnya. Dan dengan hukum Islam dimaksudkan agar kebaikan dapat terwujud. Sama dengan tujuan yang dicapai Hukum Positif dan HAM. 12 Dalam konteks nasional, persoalan eksistensi hukum Islam menjadi niscaya untuk dibicarakan karena dua hal. Pertama, dari sisi kuantitatif, umat Islam merupakan mayoritas 12 Makalah Hak Asasi dalam Islam disusun oleh Achmad Wartin Hadiwinata dalam komposisi penduduk Indonesia, sehingga terlalu riskan kalau kepentingannya tidak diakomodir alias diabaikan. Meminjam konsepsi Durkhiem, bahwa agama mempunyai peranan dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan. Namun ia juga bisa menjadi kekuatan yang menceraiberaikan ketika ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat. 13 Dengan kata lain, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum nasional seyogyanya dianut oleh mayoritas masyarakat. Syarat demikian selain penting, secara politis sebagai faktor perekat, juga secara sosiologis agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup living law. Kedua , ini alasan yang bersifat umum, dalam tradisi Islam, hukum merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat pemeluknya. Maka sangat wajar apabila ada penulis Barat yang berani mengatakan: “…it would not be exaggeration to characterize Islamic culture as a legal culture .” 14 Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda, Clifford Gert melihat bahwa suatu norma hukum tidak bisa lepas dari konteks fakta dan pengetahuanan masyarakat setempat local knowledge. 15 Dalam konteks 13 Akh Minhaji. Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas Perspektif Sejarah Sosial. Yogyakarta: UIN-SUKA, 2004. 14 Akh. Minhaji. “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam Amin Rais, dkk., Muhammadiyah Reformasi. Yogyakarta: Aditya Media, 2000. 15 Akh. Minhaji. Supremasi Hukum dalamMasyarakat Madani: Perspektif Sejarah Hukum Islam,” dalam Unisia, No.41XXIIIV2000. Indonesia, pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah di mana Hukum Islam telah sejak lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Muslim. 16 Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu. Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari ini, saya akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam. 17 Dari uraian diatas maka, dapat ditarik kesimpulan. Pada hakikatnya apapun hukum yang dipakai dalam melihat persoalan poligami, apakah hukum Islam, Hukum Nasional, maupun HAM, pastinya bermuara pada rasa keadilan. Tiap hukum terdapat persamaan dan perbedaan, persamaannya yaitu sama-sama menjadi pedoman bagi kita untuk bertindak. Adapun kalau terdapat perbedaan, maka menjadi tugas kita bersama untuk menutupi 16 Amir Mu’allim Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999. 17 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2004 perbedaaan itu, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di kemudian hari. Dan kita tidak dapat pungkiri bahwa hukum akan selalu berubah dan mengikuti perkembangan zaman.

D. Pemahaman Kontekstual Terhadap Ayat Poligami

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam menyikapi isu poligami ini tentu saja menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh, Perkembangan pemikiran ini menunjukkan bahwa mereka baik yang pro maupun yang kontraanti poligami tengah menghadapi dan sekaligus bergumul dengan perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak di era sekarang ini. Salah satu hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat al-Qur`an surah An- Nisa ayat 2, 3, dan 129, serta sejumlah hadis Nabi Muhammad saw yang terkait. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi sejumlah tafsir atau interpretasi. Ibnu Arabi mungkin merupakan tokoh yang paling berani ketika mengatakan: fa mâ fi al-kaun kalâm lâ yuta awwal tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir. Karena itu, teks-teks keagamaan tersebut memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama. 18 Perbedaan dalam memahami dan cara pandang yang dipergunakan oleh mufasir terhadap teks juga terjadi karena adanya perbedaan ruang dan waktu dalam menafsirkan. 18 Al-Thabari, Jami al-Bayan, I, hlm. 337. Setiap pandangan dan pikiran manusia selalu merupakan refleksi ruang dan waktu sejarah sosial di mana dan kapan mereka hidup. Bahkan perbedaan penafsiran juga bisa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan ideologi di antara para mufasir Al-Qur`an, misalnya dalam kasus poligami di mana Ibu Siti Musdah Mulia menyatakan pendapatnya, “Musdah telah menafsirkan nash-nash yang berbicara tentang poligami dengan pendekatan-pendekatan yang dianggap representatif, yaitu metode tafsir tematik dan holistik, pendekatan berperspektif gender, hak asasi manusia, dan kontekstualisasi. Menggunakan metodologi dan pendekatan tersebut dan juga menelaah penelitian lapangan akan dampak poligami, Musdah berkesimpulan bahwa aspek negatif poligami itu lebih banyak dari pada aspek positifnya. Praktek poligami itu juga akan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik, ataupun non-fisik. Dan poligami juga melanggar HAM, Karena itu, dapat dinyatakan haram ligairih atau haram karena eksesnya. 19 Dalam konteks Indonesia, wacana dan doktrin-doktrin keagamaan selama ini telah memainkan peranan cukup signifikan dalam pembentukan tata nilai kehidupan individual dan sosial dalam perspektif masyarakat. Tak terkecuali kaitannya dengan fenomena perkawinan poligami. 20 Umar bin al-Khattab mengungkapkan kenyataan sosial ini dengan mengatakan. ”Dalam dunia kelam jahiliyah, kami tidak menganggap perempuan sebagai 19 Salah satu persoalan Fiqh Munakaht. Artikel diakses pada WWW. Hidayatullah. Com 02052010. 20 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Cet. II Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 237-238.