Propoganda Emansifasi Terhadap Poligami

poligami,” “Tetapi aku cinta padamu dan cinta pada Hartini ,”demikian Bung Karno, “Oo, tak bisa begitu” kataku. 12 Perkawinan Sukarno dengan Hartini pada tahuan 1954 merupakan tamparan yang sangat keras bagi kelompok perempuan. Hubungan sukarno dengan gerakan perempuan menjadi tegang. Popularitas Sukarno jatuh dengan ide-ide perempuan di dalam bukunya “Sarinah” dipertanyakan, ketegangan pun terjadi di antara kelompok perempuan. Nani Suwondo dari Perwari yang mendukung Fatmawati untuk meninggalkan istana menyesalkan tindakan Gerwani yang tidak memprotes perkawinan Soekarno dengan Hartini. Gerwani dituduh lebih berat membela politik dan bukan kepentingan kaum perempuan dan bukan kepentingan kaum perempuan. 13 Akibat dari kejadian ini amatlah jelas, di mana mulai munculnya golongan wanita yang mencoba memperjuangkan hak-hak perempuan agar kaum perempuan dapat di lihat setara dengan jenis manusia lainnya, atau sekarang lebih dikenal dengan emansifasi. Bersamaan dengan mengalir derasnya arus gerakan emansipasi wanita atau feminisme yang kemudian menciptakan suasana yang lebih tepat disebut dengan euforia gender, praktik poligami digugat lebih keras lagi. Para feminis memprotes praktik poligami karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender yang mereka perjuangkan selama ini, karena mempunyai sisi-sisi yang membuka peluang besar untuk menempatkan perempuan pada posisi suboordinat. 12 Soekarno dan Gerakan Perempuan, Dialog dengan Sejarah, kompas, Jakarta, 2001. 13 Ibid,. Ringkasnya, propaganda terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tetapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M. 14 Dalam sebuah kitab disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang sering dikecam oleh kaum misionaris. Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah menjadi sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis, 15 Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami harus dilarang sama sekali. 16 Jadi, ketika poligami yang terjadi di masyarakat mengandung banyak permasalahan menyebabkan problem sosial yang terjadi di masyarakat disebabkan kesalahan penerapan dalam praktek atau pola kehidupan, sehingga apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh ajararan poligami yang diusung oleh agama menjadi tidak tepat dan tidak terarah.

D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis

Kritik kaum feminis terhadap hukum di Indonesia baru saja dimulai. Para feminis telah lama menyuarakan soal diskriminasi terhadap perempuan diberbagai bidang termasuk hukum. Kini, studi feminisme yang terbaru adalah bukan saja berhenti pada penyuaran yang diskriminatif, akan tetapi, mempermasalahkan subjek hukum itu sendiri yang selalu dianggap netral. Sikap netralis inilah yang kini mennjadi problem bagi para feminis yang 14 Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami. Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984. h.53. 15 W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution London : 1926, hal. 98. 16 Noel J. Coulson, “Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam, lihat dalam Ahmad Ibrahim dkk , Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1990, hal.170. bergeliat dibidang hukum dan feminis. Dengan menilai, bahwa hukum tidak mau melihat subyek hukum sebagai yang bertubuh atau berjender, disinilah mereka menilai sebagai persoalannya. Apakah konsep the person in law? Di balik hukum yang memproklamirkan diri sebagai sebyek yang netral, tetap tidak dapat dipungkiri pengalaman hukum sejak awal adalah pengalaman pria. Diluar pengalaman pria tidak ada konsep the person in law, maka konsekuensinya hukum tidak pernah memuat pengalaman wanita. 17 Sebagai tindak lanjut ‘perlawanan’ terhadap praktek poligami, Jaringan Kerja Prolegnas Perempuan sudah menyusun revisi UU Perkawinan. Ada hal- hal yang menjadi prioritas perubahan UU Perkawinan. yaitu harus ada penyelarasan antara Pasal 4, Pasal 3 dan Pasal 1 UU Perkawinan. Selanjutnya masalah usia kawin juga menjadi agenda revisi. Anak perempuan boleh menikah pada umur 16 tahun,yang merupakan pernikahan di bawah umur. Karena dalam UU Perlindungan Anak UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan usia anak dibawah 18 tahun. Di tambah lagi permasalahan tanggung jawab anak di luar nikah. Di mana pertanggungjawaban terhadap anak luar nikah tidak bisa dibebankan kepada ibunya saja, bapak biologis juga harus bertanggungjawab. Sebab yang di maksud orang tua dalam UU Perlindungan Anak adalah ayah dan ibu kandung. 17 Ngaire Naffine danRosemary j. owens, sexing the subjek law.the law book Co.Ltd., Sydney,1997.