Rekonstruksi hukum poligami dalam persfektif emansispasi wanita

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)

Disusun Oleh:

Muhamad Tanhulu

105044101416

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa agama Islam sebagai penerang jalan hidup manusia.

Skripsi yang berjudul “ Rekontruksi Hukum Poligami Dalam Perspektif Emansifasi Wanita” adalah sebagai tugas akhir perkuliahan yang sengaja di ajukan guna memenuhi salah satu persyaratan utuk mendapatkan gelar Sarjana Sya`riah (S.Sy), pada Fakultas Sya`riah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

Dengan segala upaya , penulis memaparkan masalah ini sehingga mengungkap tabir yang terkandung didalamnya, penulis sendiri mengakui masih banyaknya kekurangan yang terdapat dalam Skripsi ini Kritik dan syaran bagi penulis nantikan.

Penilis sendiri mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H. M. A. M.M., Dekan Fakultas Sya`riah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Drs. Basiq Djalil. S. H. M. H., Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Sya`riah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag. M.A., Sekretaris Program Studi Peradilan Agama


(4)

   

4. Bapak Drs. Odjo Kusnara N. M. Ag., dan Dr. Mamat Salamat Burhanuddin. M.Ag., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabarannya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat waktunya.

5. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Sya`riah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta. Khususnya Prof. Hasaiddin AF. M. A. dan Drs. Sirril Wafa. M. A. selaku dosen penguji pada skripsi ini.

6. Ayahanda (Alm) Djyadi H Muhammad dan Ibunda Muhinah Satimah tercinta yang telah mendidik kami dari lahir sampai sekarang dan senantisa memberikan dukungan dan motivasi baik moril maupun materil sehingga terselasainya skripsi ini.

7. Rekan-rekan Mahasiswa-mahasiwi Peradilan Agama Fakultas Sya`riah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta angkatan 2005 yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik kalian semua mendapatkan balasan pahala yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya semoga skripsi ini dapat memenuhi harapan dalam membantu memajukan ilmu pendidikan. Juga harapan penulis tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Amieeen…………

Jakarta, 26 jumadil Akhir 1431 H 9 Juni 2010

penulis

iv 


(5)

KATA PENGHANTAR………iii

DAFTAR ISI………..v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Pembatasan Masalah ……….6

C. Rumusan Masalah……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..7

D. Metode Penelitian………..8

E. Study Riview………10

F. Sistematika Penulisan………11

BAB II POLIGAMI A. Sejarah Singkat Poligami……….13

B. Pengertian Poligami………..16

C. Landasan Hukum Poligami ………..17

D. Hukum Poligami Menurut Hukum Fiqh ………..18

E. Hukum Poligami Menurut Hukum Positif………....21

F. Syarat melakukan Poligami………...23

G. Prosedur Melakukan Poligami……….24


(6)

   

BAB III TINJAUAN TENTANG EMANSIPASI WANITA

A. Pengertian Emansipasi Wanita………..29 B. Emansipasi dalam Pandangan Islam……….32 C. Propoganda Emansipasi Wanita Terhadap Poligami………...35 D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis….37

BAB IV ANALISIS HUKUM POLIGAMI

A. Kelemahan Poligami………..43 B. Kritik Pemahaman Feminisme Tentang Poligami………..46 C. Relevansi Ayat Poligami antara Hukum Islam, Hukum Positif dan HAM..51 D. Pemahaman Konteks Terhadap Ayat Poligami………57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….63 B. Saran-saran……….65

DAFTRA PUSTAKA

 

vi 


(7)

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR………iii

DAFTAR ISI………..v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Pembatasan Masalah ……….6

C. Rumusan Masalah……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..7

D. Metode Penelitian………..8

E. Study Riview………10

F. Sistematika Penulisan………11

BAB II POLIGAMI A. Sejarah Singkat Poligami……….13

B. Pengertian Poligami………..16

C. Landasan Hukum Poligami ………..17

D. Hukum Poligami Menurut Hukum Fiqh ………..18

E. Hukum Poligami Menurut Hukum Positif………....21

F. Syarat melakukan Poligami………...23

G. Prosedur Melakukan Poligami……….24

H. Hikmah poligami………..27


(9)

B. Emansipasi dalam Pandangan Islam……….32 C. Propoganda Emansipasi Wanita Terhadap Poligami………...35 D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis….37

BAB IV ANALISIS HUKUM POLIGAMI

A. Kelemahan Poligami………..43 B. Kritik Pemahaman Feminisme Tentang Poligami………..46 C. Relevansi Ayat Poligami antara Hukum Islam, Hukum Positif dan HAM..51 D. Pemahaman Konteks Terhadap Ayat Poligami………57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….63 B. Saran-saran……….65

DAFTRA PUSTAKA


(10)

   

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya seorang Muslim itu menikah dengan satu isteri yang menjadi penentram dan penghibur hatinya, pendidik dalam rumahtangganya dan tempat untuk menumpahkan isi hatinya. Dengan demikian terciptalah suasana tenang, mawaddah dan rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami isteri menurut pandangan Al Qur'an.1 Oleh karena itu di dunia ini Allah menciptakan segala sesuatunya dengan berpasang-pasangan, hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur'an surat Adz-Dzariyat ayat 49 :

)

ﺬﻟا

ت

ﺎﻳرا

٤٩

(

"Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah". (Adz-Dzariyat ayat 49)

      

1


(11)

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan inilah Allah menciptakan manusia berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya2, sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nisa' ayat 1.

⌧ ☯ ⌧ )  ءﺎﺴﻨﻟا : ١ (

”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu''. ( An-Nisa' Ayat 1) Dari ayat ini jelas bahwa Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui pintu perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan yang disebut Hukum Perkawinan Dalam Islam.3 Dewasa ini sering terdengar akan banyaknya permasalahan poligami yang terjadi di sekitar kita, adalah kasus Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym yang begitu menghebohkan tepatnya di tahun 2006, ketika beliau memutuskan untuk beristri lebih dari satu atau poligami. Dari sinilah pro kontra wancana sekitar poligami semakin jelas mencuat kepermukaan. Sebenarnya terdapat keunikan dalam

      

2

Abidin, Slamet, dan Aminuddin H,, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), cet. Ke-1, jilid 1 dan 2.

3

Abdurrahman Ghazali , fiqh Munakahat, (Jakarta:Kencana, 2006), cet.ke2.


(12)

 

poligami yang diajarkan Islam, di mana dalam poligami dibatasi hanya sampai empat orang istri saja. Hal ini tidak lain memiliki manfaat bagi wanita, sebagai ganti dalam perceraian. Karna perbuatan yang halal, akan tetapi di benci Allah adalah perceraian.

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Akan tetapi seorang suami yang ingin beristri lebih dari satu diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yeng bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberika izin. Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam pasal 57 pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).4 Pengadilan Agama dapat memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu apabila:5

1. Istri tidak dapat manjalankan kewajibannya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang, baik poligami maupun monogami hendaknya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

masing-      

4

Abdurrahman, H., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:CV.Akademika Presindo, 1995), cet.ke-2.

5

Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia.

   


(13)

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.6

Di zaman yang modern ini, di mana semua orang memiliki kedudukan yang sama, zamannya emansipasi wanita atas dasar mencari ridho Allah. Emansipasi dalam kehidupan manusia menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang wajar dan harus terjadi, agar berkembangnya budaya dan pola kehidupan manusia di alam semesta ini, karena manusia diciptakn oleh Allah SWT, dipermukaan bumi ini mempunyai hak dan kemerdekaan yang sama. Hal telah tercantum dalm surat An-Nahl :977

☺ ☯

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(An-Nahl:97) Ditambah lagi mengingat kedudukan wanita, peran dan fungsinya dalam kehidupan keluarga maupun bangsa amat penting, sebab dari merekalah anak-anak tumbuh dan tergantung. Kepada merekalah baik dan buruk karakter anak-anak, oleh karena itu, tidak

      

6

UU RI No. 1 Tahun 1974, (Bandung: Citra Umbara, 2007).

7


(14)

 

berlebihan seorang ahli hikmah menggambarkan kaum wanita sebagai tiang atau soko guru suatu bangsa dalam sebuah ungkapan :

"Wanita adalah Tiang bangsa, jika mereka baik maka baiklah bangsa itu dan jika mereka buruk (rusak moralnya) maka buruklah bangsa itu".

Ungkapan tersebut sangat besar maknanya, kita bisa melihat bangsa mana yang buruk perannya dipermukaan bumi ini, pastinya tidak terlepas dari perilaku buruk kaum wanitanya di dalam bangsa tersebut. 8Dalam kehidupan manusia, banyak kita temui wanita-wanita karier yang berprestasi lengah terhadap urusan keluarganya,

Dalam penerapan emansipasi pada dewasa ini, dapat terlihat dua segi :

Pertama : Segi positif yaitu dalam penerapannya mempunyai sasaran yang tepat dan terarah sesuai dengan peraturan agama dan moral yang berlaku.

Kedua : Segi negatif yaitu kesalahan penerapan dalam praktek atau pola kehidupan yang tidak sesuai dengan akal sehat yang tentunya tidak dibenarkan oleh agama.

Karena pengertian emansipasi itu bervariasi, masing-masing kelompok wanita atau individu mereka punya pandangan dari sudut kepentingan yang berbeda-beda. Sebenarnya, emansipasi itu tidak sekedar persamaan hak atau kewajiban dengan kaum pria dalam arti kata yang sempit, akan tetapi harus diimbangi dengan berpegang teguh pada konsep

      

8

Gadis Arivia. Lingkungan yang Berhubungah dengan Perempuan, (Jurnal Perempuan Edisi 21, 2002.)

   


(15)

beragama, agar dapat menjadi pegangan dalam menjalan apa yang disebut dengan emansipasi wanita, sehinga tidak menimbulkan emansifasi yang kebablasan. Oleh karena itu, ketika permasalahan poligami meledak kepermukaan, muncullah pro dan kontra tentang poligami, ketika kaum feminis yang secara tegas menolak dan meminta pembatalan terhadap aturan hukum yang telah tercantum dalam UU Perkawinan yang dalamnya mengatur poligami.

Maka menelusuri konsep poligami dari persepektif perubahan zaman menjadi penting, mengingat sebagian kalangan ada yang menganggap praktek poligami mendapat legitimasi budaya dan agama. Pertanyaanya adalah, apakah benar Islam melegitimasi praktek poligami yang dinilai hanya menguntungkan kaum lelaki dan melanggar konsep keadilan bagi wanita. Ataukah tradisi poligami yang telah membudaya Dalam Perspektif-tengah masyarakat itu tidak sesuai dengan konsep agama Islam.

Jadi, walaupun banyak perbedaan pendapat mengenai masalah tersebut, namun poligami merupakan bagian masalah ajaran agama. Berdasarkan hal ini maka penulis merasa tertarik untuk megangkat skripsi ini dengan judul "Rekonstruksi Hukum Poligami Dalam Perspektif Emansipasi Wanita.”

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan juga mengingat bahwa begitu luas pembahasan mengenai perkawinan, maka pada bahasan skripsi ini akan dibatasi


(16)

 

hanya mengenai permasalahannya keberadan hukum poligami yang terkait dengan judul "Rekontruksi Hukum Poligami Dalam Perspektif Emansipasi Wanita" dengan dasar-dasarnya sebagaimana yang telah terjadi di masa kini di mana hukum poligami harusnya disesuaikan dengan keadaan zaman, dan tidak bertahan pada satu pendapat yang mengatakan poligami itu sunnah.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini, dalam bentuk pertanyaan sebagai beriktut :

1. Bagaimana perspektif hukum Fiqh dan hukum Positf di Indonesia terhadap Poligami ?

2. Bagaimanakah Pemahaman kontektual terhadap ayat poligami?

3. Bagaimanakah menyelaraskan hukum poligami antara hukum Fiqh, Positif dan HAM terhadap dunia modern?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Fiqh dan Hukum Positif terhadap poligami.

   


(17)

b. Agar masyarakat lebih mengetahui lebih mendalam terhadap konteks ayat poligami, ditengah zaman modernisasi.

c. Agar tidak terjadi tumpang tindih antar hukum yang satu dengan yang lainnya, sehingga membingungkan masyarakat terhadap ketetapan suatu hukum.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai hukum yang telah diturunkan Allah berlaku sepanjang zaman, hukum itu bersifat kekal dan abadi. Karena bersal dari Dzat Yang Maha Tinggi.

b. Penulisan ini berguna untuk memperluas cakrawala pemikiran Fiqh tenteng hokum poligami bagi laki-laki dan perumpuan dengan harapan dapat berguna dan bermanfaat kepada penulis sendiri, masyarakat pada umumnya.

E. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian mutlak diperlukan agar penelitian yang dilakukan dapat tersusun dengan terperinci dan sistimatis, sehingga mudah dipahami.

Metode berfungsi sebagai cara untuk mengerjakan sesuatu guna mendapatkan hasil yang memuaskan, di samping itu metode merupakan cara bertindak supaya penelitian itu terarah dan menghasilkan hasil yang maksimal.


(18)

 

1. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini digunakan jenis penelitian literer, yaitu mengunakan data berupa buku dan karya tulis lainnya yang berhubungan dengan karya tulis ini. 2. Sifat Penelitian

Penyusunan skripsi ini bersifat deskriptik analitik, yakni penggabungan antara deskipsi masalah dan sekaligus analisinya dilakukan secara bersama-sama.

3. Pengumpulan Data

a. Data yang digunakan adalah jenis data kualitatif, karena yang menjadi objek penelitian merupakan konsep-konsep dalam pemikiran seseorang atau banyak orang.

b. Dalam menyusun skripsi ini, penulis melakukan sepenuhnya study kepustakaan atau library research, yaitu penulisan yang bersandar pada data-data pustaka. Data yang penulis pakai terbagi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penulisan ini adalah kitab fiqh yang berhubungan dengan poligami. Sedangkan data sekunder, yaitu buku-buku yang terkait dengan poligami dan pembahasan yang terkait dengan pembahasan itu.

4. Analisis Data

Adapun analisis data yang digunakan adalah metode deskriptik analitis, yaitu mendeskripsikan data-data yang ada (primer/sekunder), kemudian menganalisanya

   


(19)

secara proposianal sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan masalah pokok.9

F. Study Riview

Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis mengenai permasalahn poligami yang dijadikan acuan awal dan bahan perbandingan oleh penulis, yaitu diantaranya: Gugat Cerai Istri Akibat suami Poligami. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi 2009.

Judul karya tulis diatas akan sangat berbeda dengan skripsi yang hendak penulis bahas walaupun secara garis besar memiliki kesamaan pada pemaparan konsep poligami yang menjadi komparasi bagi landasan teori karya tulis ini. Adapun perbadaan penulis terdapat pada latar belakang pembahasan, motivasi, alasan, serta legalitasnya terutama mengenai objek penelitian yaitu pendapat kaum feminis terhadap poligami.

Dari perbedaan tersebut, penulis merasa yakin bahwa skripsi yang hendak penulis paparkan tidaklah saling tumpang tindih dengan karya tulis lainnya. Namun daripada itu titik persamaan yang penulis dapatkan dari karya tulis lainnya merupakan sebagai data sekunder yang akan mendukung konsep pemikiran dari permasalahan yang hendak ditulis.

      

9

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum,2007), cet.I,h.28-29


(20)

11 

 

G. Sistematika Penulisan

Agar mendapatkan gambaran dalam penelitian ini, maka perlu kiranya disusun sistimatika penulisan sebagai berikut:

BAB I, mengenai pembukaan yang terdiri dari latar belakang Masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, study review, dan sistimatika penulisan.

BAB II, akan di bahas gambaran secara umum tantang sejarah singkat poligami, pengertian poligami, landasan hukum poligami, hukum melakukan poligami menurut hukum fiqh, hukum melakukan poligami menurut hukum positif, syarat dan prosesidur melakukan poligami, hikmah poligami.

BAB III, akan menjelaskan tentang pengertian emansifasi wanita, praktek poligami dalam pandangan Islam, propaganda emansifasi wanita terhadap poligami, dan ketentuan poligami dalam hukum positif yang digugat kaum feminis.

BAB IV, mengenai kelemahan poligami, kritik pemahaman feminisme tentang poligami relevansi ayat poligami antara hukum Islam, positif dan HAM, pemahaman konteks terhadap ayat poligami.

   


(21)

BAB V, mengenai penutup terdiri dari kesimpulan dan uraian yang telah dikemukakan dan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada serta saran-saran yang dapat disumbangkan sebagai rekomendasi untuk kajian lebih lanjut diakhiri dengan daftar pustaka


(22)

BAB II

POLIGAMI

A. Sejarah Singkat Poligami

Praktek poligami sebenarnya sudah sangat luas dipraktekan oleh kebanyakan bangsa sebelum kedatangan agama Islam, Diantara bangsa-bangsa yang menjalankan Poligami adalah bangsa Ibrahi, Arab Jahiliyah, dan Cisilia. Dari bangsa-bangsa inilah yang kemudian sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara Rusia, Lithunia, Polandia, Cekoslavia, dan Yugoslavia, Sebagian dari orang-orang Jerman dan Saxon melahirkan penduduk yang menghuni Negara-negara Jerman, Swiss, Belgia, Denmark, Swedia, Norwagia, dan Inggris.

Maka tidak benar jika agama Islamlah yang mula-mula membawa sistem Poligami. Sebenarnya sampai saat ini, sistem Poligami ini tetap tersebar di beberapa bangsa yang tidak memeluk agama Islam, seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Jadi tidak benar jika poligami hanya ada dalam peradaban umat Islam.1

Dalam agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu pun ayat dalan kitab Injil yang secara tegas melarang Poligami. Berbeda dengan orang-orang Kristen di Eropa mereka hanya menjalankan Monogami yang tidak lain karena kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang-orang Yunani dan Romawi yang pada saat itu sudah melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama       

1

Sayyiq Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 2. Penterjemah Nor Hasanuddin, dkk (Jakarta Pena Aksara 2007), hal. 8-9.


(23)

Kristen mereka tetap berpegang pada kebiasaan agama nenek moyang mereka yang telah melarang Poligami pada waktu sebelumnya. Dengan demikian peraturan tentang monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Di mana Gereja hanya meneruskan larangan akan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan larangan melakukan poligami. 2

Kalau kita mengkaji sejarah maka akan terbuka bahwa masalah poligami itu sudah sejak lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu merupakan warisan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa Martin Luther, seorang penganjur besar Protestan, tidak nampak adanya larangan poligami. Tujuan tersebut dapat dijawab dengan beberapa bukti sejarah, bahwa poligami sudah berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut: Westernak berkata: "Poligami dengan sepengetahuan Dewan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17 M". Pada tahun 1650 M Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan surat edaran tentang diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang istri. Surat edaran itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus. Agama Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas. Kenyataannya Nabi Yakub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak istri, serta Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang istri yaitu Hajar dan Sarah.3

Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama masehi. Poligami yang       

2

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh Poligami dan Perselingkuhan( Jakarta:Pustaka Al- Kausar, 2007) hal.56.

3


(24)

15 

 

mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa istrinya. Ahli pikir Inggris Harbert Sebenser dalam bukunya "Ilmu menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wanita diperjualbelikan atau digadaikan bahkan dipinjamkan”. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.4

Dengan ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum Islam datang. Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu, maka Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, membenahi dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita.5

Dengan demikian terlihat bahwa praktik poligami di masa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlah hanya dibatasi empat. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil.

       4

Ibid hal. 57 5

Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Jakarta: Mizan, 2004.

   


(25)

B. Pengertian Poligami

Poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan dari dua kata yakni, poli atau polus yang artinya banyak, dan gamein atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan.6 Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Poligami diartikan sebagai suatu sistem perkawinan dengan beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.7 Dalam bahasa arab disebut "Ta'addud Zaujat" adalah jika seorang laki-laki menikah lebih dari seorang istri pada waktu yang sama meskipun istrinya didaerah yang berbeda.8 Jadi Poligami dapat diartikan beristri banyak. Sedangkan secara terminology, Poligami adalah suatu keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu. Atau seorang lelaki beristri lebih dari seorang tetapi dibatasi paling banyak empat orang.9 Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.10

Sedangkan menurut Huzaimah Tahido Yanggo, poligami ialah mengawini

beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.11

       6

Badriyah Fayumi, dkk, Isu-Isu Gender dalam Islam.(Jakarta: PSW UIN Syahid Jakarta, 2002) cet, 1.

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka), Cet I, 1988, hlm. 693

8

Ahmad walson Al-Munwir, Kamus Bahasa Indonesia-Arab(Surabaya: Pustaka Progesif), edisi ke-2.

9

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia,1999) cet. Ke-1 jilid 1dan2.

10

Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan,(Jakarta , Pustaka Antara, 1975), hlm. 25. 11


(26)

17 

 

Dalam Antropologi sosial, Poligami merupakan suatu praktek pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin yang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada satu saat ).12

Jadi secara umum terdapat tiga bentuk dalam poligami, yaitu Poligini (di mana seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), Poliandri (di mana seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan penikahan kelompok atau group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami ini ditemukan dalam sejarah, namun poligami merupakan bentuk yang paling banyak terjadi di masyarakat. Dan pada umumnya kata poligamilah yang sering terdengar dari pada poligini untuk menyebutkan seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang.13

C. LANDASAN HUKUM POLIGAMI

Dalam Al-Qur`an terdapat ayat yang menyuruh tentang melakukan poligami dalam hal ini terdapat dalam surat:

1. An-Nisa ayat 3

       12

Ibid,. 25 13

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi bebas Berbahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 01 April 2009 http://id.wikipedia.org/wiki/poligami

   


(27)

Artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita(lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (Q.S. An- Nisa Ayat 3)

Sedangkan dari beberapa kitab yaitu.

1. Berkata Imam Muhammad Amin Asy Shintiqi, berkata “ termasuk petunjuk Al-Qur`an yang lurus adalah dibolehkan menikah sampai dengan empat istri, dan jika takut tidak dapat berbuat adil mereka wajib menikah dengan seorang istri. 14

2. Syaih Abdurahman al-Jaziry, Al fiqh `ala Al-Madhahib Al-Arba’a. Para Imam yang empat sepakat hukum Poligami adalah Mubah.15

D. POLIGAMI MENURUT FIQH

Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, yang dapat diterjemahkan sebagai al Fiqh al Islamy atau al Syariah al Islamy. Namun menurut Abdul Wahab Khallaf antara syariah dan fiqih ada pengertian dan karakter yang berbeda. Syari’ah adalah titah (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh dan berakal sehat), baik berupa tuntutan (wajib dan haram), pilihan (sunnah, makruh dan mubah), atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang).       

14

Imam Muhammad amin Asy Shintiqi, Tafsir adhwa`ul bayan. juz 3. Hal 377. 15

Abdurrahman al-jaziry. Al - Fiqh Ala Al- Mazdhabib Al-arbaah juz 4:Bairut: Dar Al-Fiqr, 1996. Hal. 206-207.


(28)

19 

 

Sedangkan fiqh adalah ilmu mengenai hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis (amaliah) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.16

Melihat dari pengertian itu maka jelas sekali bahwa fiqh adalah formula yang dipahami dari syariah. Oleh karenanya syariah takkan bisa dijalani tanpa menggunakan fiqh. Beberapa perbedaan fiqh dan syariah yang signifikan diantaranya: Pertama, syariah adalah wahyu diturunkan oleh Allah SWT maka kebenarannya mutlak. Sedangkan fiqh adalah produk manusia (ahli fiqh) melalui penalaran dan kebenarannya relatif. Kedua, syariah bersifat unity (satu), sedangkan fiqh bersifat diversity (beragam). Ketiga, syariah bersifat stabil sedangkan fiqh bersifat berubah seiring perubahan waktu dan tempat. Seperti yang laksanakan oleh imam syafi’I (salah seorang tokoh fiqh) yang memiliki qaul kodim (pendapat yang lalu ketika di Bagdad) dan Qaul jadid (pendapat yang baru ketika di Mesir). Keempat, syari’ah bersifat idealistis sedangkan fiqih bersifat realistis.17

Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, karena semua ulama sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Hal ini karena kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti).18

       16

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi Bebas Berbahasa Indonesia, Diakses pada tanggal 1 April 2009, http: //id.wikipedia.org/wiki/poligami

17 ibid 18

Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360

   


(29)

Berkata faris abu Lu`ah “Masalah menikah dengan lebih dari satu istri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Tidak ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka pun tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat dalam kebanyakan bab dan masalah figh. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…”19

Para Imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat disimpulkan dalam kitab al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry Juz IV hal. 206-217, yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).20

Dari keterangan di atas penulis menyimpukan dengan berpegang kepada pendapat para imam, bahwa poligami itu mubah artinya hukum poligami bagi manusia bersifat kondisional, di mana dengan melihat keadaan orang yang akan melakukan perbuatan tersebut.

       19

Ibid,. hal 20

Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Juz IV hal. 206-217 : Beirut: Darul Fikr, 1996)


(30)

21 

 

E. Poligami Menurut Hukum Positif

Pengajuan perizinan poligami mayoritas didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Jo. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57, terutama point pertama yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Untuk pelaksanaan poligami ini harus dipenuhi persyaratan-persyaratan yang ketat bagi seorang suami yang akan melakukannya. Persyaratan tersebut selanjutnya dalam peraturan/perundang-undangan diformulasikan dalam syarat-syarat alternatif dan kumulatif. Syarat alternatif adalah persyaratan berupa alasan-alasan yang diajukan suami yang akan melakukan poligami. Sementara syarat kumulatif adalah persyaratan yang berisi kelayakan dan kesanggupan suami yang hendak beristri lebih dari satu. Ketentuan persyaratan tersebut tercantum dalam Undang Undang Perkawinan No.1/1974 Pasal 4 dan Pasal 5, selanjutnya pengaturan secara teknis dalam PP No 9/1975 Pasal 40 - 42, dan PP No. 10/1983 yang diubah dengan PP No. 45/1990 Pasal 10.

Pengadilan Agama baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

   


(31)

Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :

1. Adanya persetujuan dari istri

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya

3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya. Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim.21

Jadi, Undang-undang membolehkan prektek poligami dengan proses yang ketat adalah dalam rangka proses kehati-hatian dalam pemberian izin poligami untuk menghindari ketidakadilan bagi istri-istri dan anak-anak di kemudian hari, serta pengawasan terhadap pelaku poligami untuk meminimalisir penyimpangan-penyimpangan.

       21

H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003


(32)

23 

 

F. Syarat Poligami

Adapun syarat yang diletakkan oleh Islam untuk bolehnya berpoligami adalah kepercayaan seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil di antara para istrinya, dalam masalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah. Maka barang siapa yang tidak yakin terhadap dirinya atau kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil, maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari satu, dan kebolehan berpoligami itu pun dengan syarat-syarat yang ketat22.

Pada idealnya, pernikahan hanyalah satu kali dalam seumur hidup. Tetapi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 3 ayat 2 dijelaskan bahwa “Perkawinan memberikan izin untuk beristri lebih dua orang atau melakukan poligami apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan. Indonesia merupakan sebagian negara yang mengizinkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Jo. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57, Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk menikah lagi dengan syarat: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pada Pasal 5 UU Perkawinan mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi para suami yang akan beristri lebih dari seorang, yaitu: Pertama, ada persetujuan dari istri atau istri-istrinya. Kedua, adanya kepastian suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan       

22

Chuzaemah T Yanggo, Problamatika Hukum Islam Kontemporer. Logos. Cet. 1.

   


(33)

anak mereka. Ketiga, adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Pengadilan Agama merupakan lembaga yang berkompeten memberikan izin poligami.23

Pengajuan perizinan poligami mayoritas didasarkan pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Jo. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57, terutama point pertama yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Ketentuan pada poin ini termasuk multitafsir, karena menurut UU perkawinan kewajiban istri lebih difokuskan pada urusan domestik. Apabila diperhatikan dari alasan-alasan tersebut diatas, adalah mangacu kepada tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia atau rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam rumusan kompilasi, yakni sakinah, mawaddah dan rahmah, Jika ketiga hal tersebut menimpa satu keluarga atau pasangan suami istri, sudah barang tentu kehampaan dan kekosongan dari manisnya kehidupan dari rumah tangga menerpanya.24

G. PROSEDUR MELAKUKAN POLIGAMI

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islam nya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut:25

       23

H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003.

24 Ibid,. 25

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademika Presindo.1999), cet, ke-2.


(34)

25 

 

Pasal 56

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izinnya yang di maksud pada ayat 1, dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri yang kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57

1. Pengadian agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b) Istri mendapat cact badan yang tidak dapat disembuhkan. c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

1. Selain syarat utama yag tersebut pada pasal55 ayat 2, maka untuk memperoleh izin dari pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 55 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

   


(35)

a) Adanya persutujuan istri.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, persetujuan istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, akan tetapi sekalipun adanya persetujuan secara tertulis, persetujuan ini di pertegas dengan persetujuan lisan istri di depan Pengadilan Agama.

3. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan lagi bagi seoarng suami apabila istri atau istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya dua (2) tahun atau karena sebab yang lain yang perlu mendapat penilaian hukum.

Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memriksa atau mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan agama dan tehadap penetapan ini istri dan suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi “Pegawai pencatat nikah dilarang untuk


(36)

27 

 

melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, sebelum adanya izin dari pengadilan seperti yang terdapat dalam pasal 43”.26

Prosedur yang dituangkan dalam UU Negara, dimaksudkan agar tidak terjadinya pelemahan terhadap hak-hak wanita juga menghindari praktek-praktek poligami liar yang menindas kaum wanita.

H. HIKMAH POLIGAMI

Kebolehan poligami sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur`an memiliki hikmah yang dalam diantara hikmah yang terkandung didalamnya, yaitu:

A. Islam menganjurkan agar memperkuat serta memperbanyak keturunan dan generasi. Poligami merupakan salah satu sarana untuk mencapai hal tersebut.

B. Secara alamiyah wanita memiliki halangan biologis seperti haid dan nifas, dan terkadang menderita berbagai penyakit tertentu, sedangkan sang suami dalam kondisi yang prima, sementara berzina diharamkan dalam Islam. Jika dia dilarang menikah lagi dan juga dilarang berzina serta nikah mut'ah maka dia menghadapi kesulitan besar. Sehingga Allah subhanahu wata’ala membolehkan seseorang untuk berpoligami karena di dalamnya terdapat manfaat untuk menghilangkan kerusakan dan kehancuran.

C. Terkadang kaum wanita tidak lagi memiliki gairah dan keinginan untuk berhubungan suami istri karena kondisi biologis. Maka seorang suami menikah       

26

H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka Pelajar, 2003

   


(37)

dengan wanita lain lebih baik daripada menceraikan istrinya. Demikian pula terkadang seorang istri ada yang mandul, sedang untuk menceraikan tidak mungkin, sehingga terjadi problem rumah tangga. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpoligami.

D. Terkadang ada seorang wanita yang berusia agak lanjut (dan belum menikah), atau mengalami cacat dan kekurangan dari segi fisik, sehingga dia sangat memungkinkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang telah memiliki istri.

E. Jumlah kaum wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, bahkan mungkin berlipat ganda. Maka kaum laki-laki jelas menghadapi kerusakan dan bahaya yang besar. Membatasi hanya menikah dengan satu wanita saja jelas menjadikan jumlah wanita tak bersuami akan membengkak. Padahal tidak menikahnya para wanita akan menimbulkan problem yang sangat besar, seperti terlantarnya kaum wanita, kemiskinan, serta kesempitan jiwa dan beban psikologii.

Dari Hikmah ini semoga dapat menghindari kaum lelaki dari kerusakan, dan bagi kaum wanita dari tindakan yang menjatuhkan harga dirinya serta dan meninggikan martabat kaum wanita yang selama ini dianggap dilecehkan dari tindakan kaum lelaki yang melakukan poligami.


(38)

BAB III

EMANSIPASI WANITA

A. Pengertian Emansipasi Wanita

Istilah “feminis” pertama kali digunakan dalam litelatur Barat muncul pada tahun 1880, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan laki-laki. Istilah ini masih diperdebatkan, namun secara umum biasa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan jender, subordinasi, dan penindasan terhadap perempuan.1 Penggambaran ini pertama kali secara sistematis ditulis oleh Mary Wollstoneccraff (1759-1799) ”perempuan menengah ini menjadi burung dalam sangkar” yang harus mengorbankan kebebasan, kesehatan, dan kemandirian mereka sekaligus harus bangga dan mendorong kemajuan yang diperoleh suami-suami mereka. Di mana mereka secara tidak sadar, mereka terlatih untuk memuji suami dan anak-anak mereka dan lama-kelamaan kehilangan kepercayaan diri serta rasa hormat diri.2

Sedangkan latar belakang munculnya emansipasi wanita di Indonesia bermula, dari seorang tokoh perempuan Indonesia yakni R.A Kartini. Beliau terkenal dengan bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Begitu yang dikabarkan buku-buku, media masa atau catatan-catatan yang lain. Kartini yang menginginkan adanya hak yang sama       

1

Bryson, Valerie, Feminis Political Theory, MacMillan, 1992, hal. 1. 2

Wollstonecraft, Mary, dikutip dari The Radical Future of Liberal Feminism, Boston, Universitty Prees, 1986, hal. 96-99.


(39)

dalam pendidikan antara wanita dengan pria. Di dalamnya, beliau menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada Nn. Zeehandelaar (6 November 1889).3 Dalam suratnya, Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yang tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tidak dikenal, dan harus bersedia di madu. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa, dunianya hanya sebatas tembok rumah. Ini merupakan sekelumit cerita tentang latar belakang munculnya emansipasi wanita di negeri ini.

Emansipasi adalah kata-kata yang paling akrab di telinga kita jika yang dibicarakan adalah hal ihwal tentang wanita. Istilah sangat popular pada era globalisasi saat ini, terutama setelah munculnya gerakan Women’s Liberation atau gerakan Feminisme, suatu gelombang protes kaum wanita yang menuntut emansipasi wanita.

Emansipasi berasal dari bahasa latin “emancipation” yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dulu, membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya. Adapun makna emansipasi wanita adalah perjuangan sejak abad ke-14 M dalam rangka memperoleh persamaan hak dan kebebasan seperti hak kaum laki-laki.4 Jadi para penyeru emansipasi wanita menginginkan agar para wanita disejajarkan dengan kaum pria disegala

       3

Ibid, hal 96-99 4


(40)

31 

 

bidang kehidupan, baik dalam pendidikan, pekerjaan, perekonomian maupun dalam pemerintahan

Pengertian dari kata ‘emansipasi’ yang paling populer adalah suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Khusus berkenaan dengan negara-negara Islam ini, kaum feminisme menganggap bahwa Islam dan negara-negara tersebut telah membelenggu hak-hak kaum wanitanya.5

Emansipasi adalah lepas dari ikatan dan tekanan, yang artinya bebas memilih dan menentukan jalan hidupnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), emansipasi berartipersamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti persamaan hak kaum wanita dan pria.6

Dalam Islam sendiri gerakan emansipasi wanita telah berlangsung sejak empat belas abad yang lalu, namun tidak disadari oleh sejumlah kalangan yang sampai saat ini tetap berkoar-koar menuntut emansipasi wanita. Apakah mereka lupa bahwa sebelum Islam datang wanita tidak memiliki hak sama sekali di hadapan lelaki. Kapasitas mereka hanyalah sebagai barang dagangan yang bisa dipindahkan dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Kelahiran mereka tak ubahnya seperti penyakit kusta yang menyerang tubuh bagi keluarga

       5

Ibid,. 6

Departeman pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta;Balai Pustaka, 1994), cet ke-3.edisi ke-2.


(41)

mereka. Kelahiran anak wanita adalah suatu bencana dan aib yang sangat besar pada saat itu.

Dalam hal ini, dalam Al-Qur’an secara gamblang menjelaskan: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (An-Nahl: 58-59). Demikianlah Islam telah memperjuangkan hak-hak wanita dan menjadikan emansipasi wanita menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan beragama. Oleh karena itu emansipasi dalam Islam adalah hal yang wajar guna membangun pola kehidupan yang lebih baik.

B. Emansifasi Dalam Pandangan Islam

Emansipasi dalam kehidupan manusia menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang wajar dan harus terjadi, agar berkembangnya budaya dan pola kehidupan manusia di alam semesta ini, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT, dipermukaan bumi ini mempunyai hak dan kemerdekaan yang sama. emansipasi wanita sebenarnya telah termaktub dalam Al-Qur’an semenjak 1.400 tahun, Islamlah yag terlebih dahulu


(42)

33 

 

mengangkat derajat wanita dari masa pencampakan wanita di era Jahiliyah ke masa kemulian wanita.

Dalam tafsir Ibnu Katsir yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ada seorang wanita bertanya:” mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para lelaki semantara wanita tidak”. Maka turunlah salah satu ayat yang artinya: “ sesungguhya laki-laki dan perempuan yang muslimah, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam kataatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihar kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Dari ayat ini kita dapat melihat betapa Islam tidak membedakan antara lelaki dan wanita. 7

Islam mempunyai falsafah khusus mengenai hubungan hak antar lelaki dan wanita, karena keduanya mempunyai kedudukan yang sama. Namun pengertian sama dan setara dalam Islam berbeda dengan apa yang di tuntut wanita-wanita barat, di mana mereka menginginkan persamaan dan keidentikan antara pria dan wanita dalan segala hal. Titik tolak yang digunakan mereka dalam masalah-masalah ini ialah hak-hak mereka harus sama, identik, sebanding.

       7


(43)

Di dalam Islam wanita juga mempunyai hak dan kesempatan berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukan sebagi wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan, dan perbudakan.8

Sayyid Quttub berkata:” Islam memberikan kebebasan penuh kepada individu dalam batas-batas yang tidak membahayakan dan tidak menghalangi kelompok. Islam juga memberikan hak-hak kepada kelompok-kelompok, dan pada saat yang sama membebaninya dengan tanggung jawab sebagai timbal balik hak itu. Oleh karena itu, hidup dapat terus berlangsung lurus ke depan bahkan mencapai tujuan tertinggi yang sama-sama dilakukan individu dan kelompok”9. Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya untuk menjelaskan esensi agama kepada masyarakat dan memperkenalkan suatu perubahan dalam pemahaman mereka mengenai peran agama dalam masyarakat. Sehingga emansipasi sebagaimana yang telah diletakan Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an. Qurais Shihab menjelaskan emansipasi dalam ajaran Islam pada hakekatnya memberikan perhatian yang besar serta kedudukan terhormat pada wanita.10 Bagi Islam sendiri wanita yang baik yaitu wanita yang menjalankan kehidupannya seoptimal mengkin berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Di mana mampu menjalankan fungsi, hak, dan kewajibannya, baik sebagai hamba ,       

8

Lily Zakiyah Munir., Memposisikan Kodrat dan Perubahan dalam Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1999

9

Sayyid Qutub, Al-Adallah Al-Ijma ‘iyyah fiil Islam, kairo: Dar Ihya Al-arabiyyah,1954, cet, ke4, hal. 73.

10


(44)

35 

 

sebagai seorang istri, sebagai ibu, sedangkan dari segi penciptaanya, Al-Qur’an menerangkan bahwa wanita dan pria adalah sama-sama ciptaan Allah dan berada dalam derajat yang sama, tidak ada isyarat bahwa pria lebih tinggi derajatnya dari wanita.

Jadi, bagaimanpun Islam memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada wanita, namun Islam memberikan batasan, dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagi wanita secara alamiyah

C. Propoganda Emansifasi Terhadap Poligami

Sejak awal tahun 1950-an Soekarno telah masuk dalam fase baru perkembangan pemikiran politiknya, yaitu menguatkan konsep-konsep Marxisme di dalam dirinya . baginya, perjuangan perempuan yang lebih penting adalah penghancuran Kapitalisme. Hal inilah yang ia tekankan kepada kaum perempuandengan menegaskan bahwa” kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak cukup. 11Oleh karena itu dalam sebuah bukunya Fatmawati menulis:

“Setelah bayiku berumur dua hari, waktu aku sedang berbaring, pagi-pagi benar datanglah Bung Karno. Bung karno duduk didepanku dan kemudian berkata ”Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini.’’Aku dengarkan saja apa yang Bung Karno utarakan tadi dengan seksama dan tenang. “ Boleh saja,” kataku menjawab, tetapi Fatminta di kembalikan kepada orangtuanya. Aku tidak mau di madu dan anti

       11


(45)

poligami,” “Tetapi aku cinta padamu dan cinta pada Hartini ,”demikian Bung Karno, “Oo, tak bisa begitu!” kataku.12

Perkawinan Sukarno dengan Hartini pada tahuan 1954 merupakan tamparan yang sangat keras bagi kelompok perempuan. Hubungan sukarno dengan gerakan perempuan menjadi tegang. Popularitas Sukarno jatuh dengan ide-ide perempuan di dalam bukunya “Sarinah” dipertanyakan, ketegangan pun terjadi di antara kelompok perempuan. Nani Suwondo dari Perwari yang mendukung Fatmawati untuk meninggalkan istana menyesalkan tindakan Gerwani yang tidak memprotes perkawinan Soekarno dengan Hartini. Gerwani dituduh lebih berat membela politik dan bukan kepentingan kaum perempuan dan bukan kepentingan kaum perempuan. 13Akibat dari kejadian ini amatlah jelas, di mana mulai munculnya golongan wanita yang mencoba memperjuangkan hak-hak perempuan agar kaum perempuan dapat di lihat setara dengan jenis manusia lainnya, atau sekarang lebih dikenal dengan emansifasi.

Bersamaan dengan mengalir derasnya arus gerakan emansipasi wanita atau feminisme yang kemudian menciptakan suasana yang lebih tepat disebut dengan euforia gender, praktik poligami digugat lebih keras lagi. Para feminis memprotes praktik poligami karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan gender yang mereka perjuangkan selama ini, karena mempunyai sisi-sisi yang membuka peluang besar untuk menempatkan perempuan pada posisi suboordinat.

       12

Soekarno dan Gerakan Perempuan, Dialog dengan Sejarah, kompas, Jakarta, 2001. 13


(46)

37 

 

Ringkasnya, propaganda terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tetapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M.14 Dalam sebuah kitab disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang sering dikecam oleh kaum misionaris. Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah menjadi sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis,15 Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami harus dilarang sama sekali.16

Jadi, ketika poligami yang terjadi di masyarakat mengandung banyak permasalahan menyebabkan problem sosial yang terjadi di masyarakat disebabkan kesalahan penerapan dalam praktek atau pola kehidupan, sehingga apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh ajararan poligami yang diusung oleh agama menjadi tidak tepat dan tidak terarah.

D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis

Kritik kaum feminis terhadap hukum di Indonesia baru saja dimulai. Para feminis telah lama menyuarakan soal diskriminasi terhadap perempuan diberbagai bidang termasuk hukum. Kini, studi feminisme yang terbaru adalah bukan saja berhenti pada penyuaran yang diskriminatif, akan tetapi, mempermasalahkan subjek hukum itu sendiri yang selalu dianggap netral. Sikap netralis inilah yang kini mennjadi problem bagi para feminis yang       

14

Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami. Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984. h.53.

15

W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London : 1926), hal. 98. 16

Noel J. Coulson, “Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam, lihat dalam Ahmad Ibrahim dkk ,


(47)

bergeliat dibidang hukum dan feminis. Dengan menilai, bahwa hukum tidak mau melihat subyek hukum sebagai yang bertubuh atau berjender, disinilah mereka menilai sebagai persoalannya. Apakah konsep the person in law? Di balik hukum yang memproklamirkan diri sebagai sebyek yang netral, tetap tidak dapat dipungkiri pengalaman hukum sejak awal adalah pengalaman pria. Diluar pengalaman pria tidak ada konsep the person in law, maka konsekuensinya hukum tidak pernah memuat pengalaman wanita.17

Sebagai tindak lanjut ‘perlawanan’ terhadap praktek poligami, Jaringan Kerja Prolegnas Perempuan sudah menyusun revisi UU Perkawinan. Ada hal- hal yang menjadi prioritas perubahan UU Perkawinan. yaitu harus ada penyelarasan antara Pasal 4, Pasal 3 dan Pasal 1 UU Perkawinan.

Selanjutnya masalah usia kawin juga menjadi agenda revisi. Anak perempuan boleh menikah pada umur 16 tahun,yang merupakan pernikahan di bawah umur. Karena dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) disebutkan usia anak dibawah 18 tahun.

Di tambah lagi permasalahan tanggung jawab anak di luar nikah. Di mana pertanggungjawaban terhadap anak luar nikah tidak bisa dibebankan kepada ibunya saja, bapak biologis juga harus bertanggungjawab. Sebab yang di maksud orang tua dalam UU Perlindungan Anak adalah ayah dan ibu kandung.

       17


(48)

39 

 

Dan yang terakhir adalah kebijakan soal nafkah. Terkait dengan pembakuan peran gender, di mana perempuan disuboordinasikan perannya sebagai makhluk domestik, karena peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak bisa dibakukan, jadi terkait dengan kemampuan, komitmen, dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak bisa ditentukan sendiri oleh pihak laki-laki. Faktanya, banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tapi tidak diakui oleh negara.18

Salah satu kemardekaan dalam perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia adalah terbelenggunya perempuan dalam kerangka kerja budaya Indonesia yang masih tradisional di mana bias jender di dalam masyarakat ini di terima secara luas. Undang-undang perkawianan yang menekan kewajiban suami istri terdapat dalam KUH PERDATA dan UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan:19

Pasal 105, paragraf 1: setiap suami adalah kepala keluarga dalam penyatuan suami istri. Pasal 106, paragraf 1: setiap istri harus patuh kepada suami.

Pasal 106, paragraf 2: sudah merupakan keharusan bagi istri untuk hidup dengan suami. Pasal 124, paragraf 1: suami mempunyai kekuasan untuk bertindak atas aset-aset perkawinan dan kepemilikan, termasuk seluruh kepemilikan pribadi istri dan yang dimiliki saat menikah.

       18

Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami, Artikel diakses tgl. 12/25/2009http// Hukunonline. Com

19


(49)

Pasal 124, paragraf 2: suami mempunyai hak untuk menjual, mengganti kepemilikan, serta mengganti tanggung jawab sset-aset kepemilikan tanpa keterlibatan istri.

Pasal 124, paragraf 3: tidak diizinkan untuk tidak menggerakan atau menggerakan kepemilikan dalam perkawinan kecuali dalam keadaan untuk memberikan posisi atau status kepada anaak-anak mereka.

Pasal 124, paragraf 4: tidak diperbolehkan untuk menggerakan barang apapun walaupun sudah ada kesepakatan bahwa istri masih akan menikmati kkeuntungan dari kepemilikan. Pasal 140, paragraf 3: walaupun ada penyatuan, di dalam persetujuan perkawinan dapat di definisikan kredit tidak bergerak yang di terima milik perempuan, dan yang ada pada saat perkawinan , tanpa ada persetujuan dari pihak istri, tiidak dapat digerakkan atau dialihkan.

Dalam UU tahuan 1974, aturan berdasarkan diskriminasi jender terlihat seperti: Pasal 31 paragraf 3 : laki-laki adalah kepala rumah tangga dan perempuam sebagai ibu rumah tangga.

Pasal 34 paragraf 1 dan 2: laki-laki mempunyai kewajiban untuk menyedikan keperluan rumah tangga, karena ia menyanggupi, dan perempuan mempunyai kewajiban mengatur rumah tangga sebaik mungkin.

Dari sinilah beberapa produk hukum yang dianggap, mengekang kebebasan perempuan. Jelas pengaturan UU semacam ini sangat merugikan perempuan walaupun di


(50)

41 

 

beberapa pasal bahasa yang dipakai secara tidak langsung menunjukan subordinansi terhadap perempuan. Hal ini terjadi bukan secara sengaja, karena adaya korelasi hubungan yang kuat bagaimana hukum yang diatur merupakan hasil refleksi masyarakat tersebut. Dalam hal ini kita mengutip Catherin Mackinon, seorang ahli hukum dari Amerika dan feminis yang memergoki bahwa hukum sebenarnya melihat dan memperlakukan perempuan sabagaimana kaum pria memandang dan memperlakukan perempuan.20

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa kewajiban seorang suami adalah menyedikan/mencukupi segala kebutuhan rumah tangga sedangkan kewajiban seorang istri adalah mengatur rumah tangga. Pernyataan semacam ini dalam sebuah UU mempunyai implikasi yang besar bagi seorang istri.21 Artinya, ia akan mendapat kelumpuhan di depan hukum. Kelumpuhan yang jelas-jelas dialami adalah identitas legal dalam penguturan properti, dan karena diandaikan laki-laki wajib menyedikan keseluruhan kebutuhan rumah tangga maka perempuan tidak perlu ikut campur dalam dunia publik atau melakukan kontrak-kontra yang berhubungan dengan dunia publik. Dengan demikian, bila terjadi persoalan yang tidak menguntungan bagi sebuah rumah tangga sebut saja terjadi hutang-piutang yang besar, maka, perempuan yang tidak tahu sama sekali mengenai aktivitas suami di dunia publik dan kemudian ikut menanggung beban tersebut.

       20

M. Margaret Conway,dll., women and Public policy in revolution in Progress, CQ Press, Wasington Dc,1999, hal. 130.

21


(51)

Sebaliknya, tidak berlaku bila sang istri hamil dan membutuhkan biaya persalinan, tidak ada ketentuan bahwa sang suami dapat dituntut pertanggungjawabannya.kasus ini semakin lemah bila tidak ada ikatan perkawinan. Artinya, seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan harus menaggung sendiri segala biaya yang dikeluarkan, tidak ada penuntutan terhadap laki-laki.

Jadi, dapat kita simpulkan pergerakan perempuan adalah hasil fakta yang tidak dapat diingkari sehingga tidak dapat dikekang sekalipun oleh hukum. Di mana dari fakta-fakta yang ada terlihat secara jelas merugikan bahkan membahayakan kehidupan seorang perempuan. Di mana secara keseluruhan interpretasi kaum feminis terhadap UU, merefleksikan sebuah masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua setelah kaum lelaki.


(52)

BAB IV

ANALISIS HUKUM POLIGAMI

A. KELEMAHAN POLIGAMI

Siapa bilang poligami itu tanpa kelemahan dan masalah, serta poligami itu akan selalu benar. Maka benar dalam sebuah buku yang berjudul “ Poligami Berkah atau Musibah, terdapat tulisan, setiap perbuatan yang berasal dari manusia biasa akan bercampur dengan banyak kelemahan, kecuali para Nabi.1 Oleh karena itu, poligami yang dilakukan manusia, secara pasti di sana akan terdapat nilai negative dalam praktek yang dilakukan oleh laki-laki sehingga menyebabkan adanya kelemahan dalam poligami. Dan itu pantas kalau ada kelompok yang menentang praktek poligami.

Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja dalam implementasinya sangat lemah. Inilah masalahnya. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami poligami. Kebanyakan suami poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan mereka melakukannya tanpa izin isteri sehingga

      

1

Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, Jakarta: senayan Publising, 2007, cet, ke 1, hal. 95


(53)

poligaminya dilakukan secara siri (sembunyi), tanpa pencatatan resmi. Kebanyakan suami berpoligami bukan karena isterinya tidak punya anak, atau sakit atau tidak melakukan kewajiban, melainkan semata karena tidak mampu mengekang keinginan syahwatnya. Lagi-lagi soal biologis, Karena itu, manejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat.

Mengapa semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan dan kepentingan perempuan. Bagaimana jika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya. Bagaimana jika suami cacat atau ditimpa penyakit. Bagaimana jika suami mandul. Apakah Pengadilan Agama juga akan memberi izin kepada istri menikah lagi. Ketentuan tentang poligami dalam UUP jelas menunjukkan posisi inferior dan subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Dan ini sungguh bertentangan dengan esensi Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan. 2

Berbicara tentang poligami, maka yang sering kali muncul dalam pembahasan dan pengkajiannya adalah dari aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung hukum boleh tidaknya poligami dilakukan. Namun jarang sekali dibahas dari aspek yang lainnya misalnya sosiologi, psikologi, atau ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga.

      

2


(54)

45 

 

Salah satu kelemahan dari yang ditimbulkan oleh poligami adalah adanya pertengkaran dan cekcok antara anak-anak yang mengakibatkan keluarga berantakan. Terkadang muncul permasalahan antara dua orang istri. Inilah Kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali di mana walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan sikap suatu tindakan. Akan tetapi permasalahannya juga sering timbul dan tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.

Harus pula diketahui bahwa poligami dalam Islam bukan menghidupsuburkan tirani dan dominasi kaum laki-laki dan perbudakan atas perempuan, tetapi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami oleh keluarga. Jadi, poligami dalam Islam dilakukan bukan hanya untuk kepentingan dan kebaikan suami saja, tetapi juga untuk istri dan seluruh keluarga. Poligami bukanlah penghancur perkawinan, tetapi merupakan sumber perlindungan bagi monogami. Karena dengan diperbolehkannya poligami, maka berbagai bentuk penyelewengan laki-laki dengan urusan cinta terselubung yang akan mengancam perkawinan dapat diatasi.


(55)

Kesimpulannya. Bagaimanapun juga poligami yang ada di masyarakat, walaupun banyak sisi negatifmya, maka poligami tidak dapat di larang begitu saja. Namun pemberian izin untuk poligami harus benar-benar diperhatikan, pemberian izin yang dikeluarkan harus memenuhi syarat seseorang untuk melangsungkan poligami. Hukum tetap harus ditegakan dengan memperhatikan azas keadilan, jangan sampai keputusan yang diambil akan menyengsarakan pihak-pihak yang terkait dengan keputusan poligami tersebut.

B. Kritik Pemahaman Feminisme Tentang Poligami

Perkembangan pemikiran keIslaman sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia di mana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula.


(56)

47 

 

Namun dewasa ini, muncul kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikir-pemikir hukum Islam, kesulitan itu pun menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan Ilmu-Ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidakcukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim khususnya pada permasalahan poligami. Yang banyak menimbulkan polemik di kalangan masyarakat kita. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya merekontruksi hukum poligami, guna menjawab kritik-kritik yang diajukan kaum feminis tentang poligami.

Ketika berbicara tentang upaya melakukan studi rekonstruksi terhadap suatu konsep, tentu yang paling pertama diketahui adalah pengertian rekonstruksi itu sendiri. Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction (Inggris) berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.

Dalam sebuah acara Diskusi di Hotel Indonesia yang di muat dalam The Jakarta Post pada tanggal 28 Maret 2008, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menyatakan “ penghalalan homoseksual dan pengharaman poligami dalam rangka mencari solusi atas perbuatan poligami yang menindas hak-hak kaum wanita”3

      

3


(57)

Terkait dengan pemikiran Ibu Musdah Mulia, saya penulis sendiri memiliki pemikiran yang berbeda. Di mana dengan berpegang pada ayat Al-Qur`an An-Nissa ayat 4:

“Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” (QS An-Nisaa’ [4]: 3)

Kebolehan berpoligami pada ayat diatas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana pemikiran dari beberapa kelompok. Sebab sebagaimana sudah dipahami dalam ilmu ushul fiqh, yang menjadi pegangan patokan ( al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa`), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fiqh menyebutkan :


(58)

49 

 

“Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya.”4

Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri,”Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!” (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,”Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,”Pilihlah dari mereka empat orang.” (HR Abu Dawud).5

Dari sinilah penulis akan mencoba merekontruksi pemikiran Musdah Mulia yang mengatakan “poligami haram selingkuh halal” dan terhadap buku beliau “Islam menggugat poligami” Hukum asal poligami adalah mubah dan ini yang termuat dalam nyaris semua kitab fiqh. Kalau kita merujuk kedalam kitab tafsir munir, adapun lapaz اﻮﺤﻜﺛ ﺎﻓ diartikan lil ibahah yaitu kebolehan untuk melakukan poligami. Sedangkan kalau dalam Ushul Fiqh,

      

4

Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995, Juz II hal. 123.

5


(59)

Tegasnya kalau poligami haram, sedangkan selingkuh halal, maka akan ada suatu pergeseran hukum positif. Karena hukum positif kita melarang perbutan perselingkuhan. Dan dapat dikenakan sebagai perbutan yang melanggar hukum.

Jadi penulis menyimpulkan, poligami baru dikatakan haram ketika ada sebab yang menyertainya yaitu penderitaan atau kerugian yang dialami oleh pelakunya sehingga menolak pendapat Ibu Musdah Mulia yang menyatakan poligami haram secara mutlak. Namun, jika tidak ada sebab, maka ia kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Rasulullah SAW bersabda;

al-halalu ma ahallallahu fi kitabihi, wa al-haramu ma harramallahu fi kitabihi wa maa sakata ‘anhu fa huwa min maa ‘afa ‘anhu”

”Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan didalamnya. Dan apa-apa yang didiamkan

oleh-      

6

Rahmat syafe’i. Ilmu ushul Fiqh, Bandung: CV: Pustaka Setia, cet, ke-1

7


(60)

51 

 

Nya maka itu dimaafkan” Dari hadis ini lahirlah dalil ushuliyah yang menyatakan bahwa”hukum asal sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil syar’i yang mengharamkannya”.

al-ashlu fi al-asy-yai al-ibahah illa ma harramahu asy-syari’ah”

Jadi, Rekonstruksi hukum memang diperlukan sepanjang syarat-syarat untuk hal itu terpenuhi. Sebagai lahan ijtihad ia masih terbuka dan perlu dikaji ulang selama syarat-syarat untuk berijtihad dapat dipenuhi, sebagaimana dipahami dari ungkapan „

al-ijtihadu maftuhun wa lam tazal, wa asy-syuruthu mathlubun wa lam tazal”

Hal ini berlaku pula pada poligami jika kita hendak mengkaji ulang hukumnya. Ia haram karena akibat yang mengiringinya, jika sebab itu tidak ada seharusnya ia dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu mubah yang merupakan tahapan terendah dalam perintah agama (amar), bukan mengharamkannya atau menghilangkannya dari struktur hukum fiqh.

C. Relevansi Ayat Poligami antara Hukum Islam, Hukum Positif dan HAM

Keabadian hukum poligami sebagaimana yang telah tercantum dalam Al-Qur’an, di mana hukum Islam atau syaria’ah itu abadi, tetapi penafsiran manusia terhadap hukum Islam melalui instrumen fiqh selalu bersifat fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan dan


(61)

persoalan modern. Oleh karena itu, reinterpretasi adalah hal yang mungkin dengan menjaganya agar tetap dalam lingkungan tujuan syari’ah sehingga perbuatan manusia yang berlebihan dapat dicegah dan elemen-elemen hukum barat dapat diminimalisir. 8

Apalagi ketika muncul sebuah buku” Islam Menggugat Poligami” buah tangan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, di mana salah satu isinya:9

“Kesimpulannya, aspek negatif poligami lebih besar daripada aspek positifnya. Dalam istilah agama, lebih banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya dan sesuai dengan kaidah fiqhiyah segala sesuatu yang lebih banyak mudharatnya harus dihilangkan. Mengingat dampak buruk poligami dalam kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Karena itu, perlu diusulkan pelarangan poligami secara mutlak sebab dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.”

Dari tulisan beliau terlihat secara jalas ketidakpuasan dengan sistem poligami yang sekarang sebagaimana yang telah diatur UU. Di mana beliau menganggap adanya bebarapa pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Jadi guna mengimplentesikan relevansi ayat poligami antara hukum Islam, hukum positif, dan hak azazi manusia. Yaitu penulis mencoba mengikuti metode apa yang telah tercantum dalam hukum Islam atau syari’ah, karena keidealan hukum Islam maka tidak bertentangan dengan konsep HAM yang

      

8

Ibid., hlm. 67-68

9


(62)

53 

 

menyatakan poligami menindas hak-hak kaum wanita, sebab hukum Islam ini mengajarkan persamaan antar sesama manusia, dan tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Karena Islam memberikan kebebasan penuh kapada individu dalam batas yang tidak membahayakan dirinya. Islam juga memberikankan hak-hak kepada kelompok, dan pada saat yang sama membebaninya dengan tanggung jawab sebagai timbal balik atas hak itu. Oleh karena itu, hidup akan terus berjalan lurus ke depan.10Seandainya poligami diharamkan dan selingkuh dihalalkan, maka secara langsung penulis mengatakan bertentangan dengan hukum positif yang ada di Indonesia, sebab bengsa Indonesia yang sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila pertama dengan jelas mengatakan ‘’Ketuhanan Yang Maha Esa” yang diimplementasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang percaya terhadap ajaran yang datang dari sisi ketuhanan. Oleh karenanya setiap perbuatan hukum yang ada harus berlandaskan Pancasila, terutama sila pertama. Sehingga bertentangan pula dengan prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Sedangkan menurut Ichtianto Hukum Islam(syari’ah) sebagai tatanan hukum yang dipegangi/ditaati oleh mayorits penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan nasional dan merupakan dalam pembinaan dan pengembangannya.11 Adapun Konsep poligami dalam ajaran Islam memiliki tujuan mulia, berbeda dengan praktek poligami yang terdapat dalam lingkugan masyarakat etnis dan agama non-Islam.

      

10

Ibid ,. Hlm. 73

11


(63)

Ragam perkawinan ini menurut ajaran Islam bertujuan antara lain, untuk menghindari prakek perkawinan yang mengarah pada dehumanisasi perempuan. Tujuan ini diwujudkan dengan melindungi hak-hak perempuan sebagai manusia (terutama kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan) dalam poligami. Upaya perlindungan terhadap perempuan dalam perkawinan poligami, dilakukan dengan menegakkan keadilan yang merupakan essensi ajaran Islam dan sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut. Selain itu relasi antara laki-laki dan perempuan dilaksanakan dalam pola kesetaraan jender (gender equality). Maka tidak ada petentangan antara hukum poligami yang notabane bersumber dari Al-Qur’an dengan Hukum Positif ataupun HAM yang berdasarkan prinsip keadilan bagi semua manusia dihadapan hukum.

Sekilas kalau kita bandingkan dengan hukum Islam, maka kita dapatkan tujuan bahwa hukum Islam lebih tinggi dan bersifat abadi, yang dapat diartikan tidak terbatas kepada suatu hal yang bersifat sementara, kerena faktor individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya selalu diperhatikan dan rangkaian satu sama lainnya. Dan dengan hukum Islam dimaksudkan agar kebaikan dapat terwujud. Sama dengan tujuan yang dicapai Hukum Positif dan HAM.12

Dalam konteks nasional, persoalan eksistensi hukum Islam menjadi niscaya untuk dibicarakan karena dua hal. Pertama, dari sisi kuantitatif, umat Islam merupakan mayoritas

      

12


(64)

55 

 

dalam komposisi penduduk Indonesia, sehingga terlalu riskan kalau kepentingannya tidak diakomodir alias diabaikan. Meminjam konsepsi Durkhiem, bahwa agama mempunyai peranan dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan. Namun ia juga bisa menjadi kekuatan yang menceraiberaikan ketika ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat.13 Dengan kata lain, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum nasional seyogyanya dianut oleh mayoritas masyarakat. Syarat demikian selain penting, secara politis sebagai faktor perekat, juga secara sosiologis agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law).

Kedua, ini alasan yang bersifat umum, dalam tradisi Islam, hukum merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat pemeluknya. Maka sangat wajar apabila ada penulis Barat yang berani mengatakan: “…it would not be exaggeration to characterize Islamic culture as a legal culture.”14 Dalam pandangan yang tidak jauh berbeda, Clifford Gert melihat bahwa suatu norma hukum tidak bisa lepas dari konteks fakta dan pengetahuanan masyarakat setempat (local knowledge).15 Dalam konteks

      

13

Akh Minhaji. Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial). Yogyakarta: UIN-SUKA, 2004.

14

Akh. Minhaji. “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam Amin Rais, dkk.,

Muhammadiyah & Reformasi. Yogyakarta: Aditya Media, 2000.

15

Akh. Minhaji. Supremasi Hukum dalamMasyarakat Madani: Perspektif Sejarah Hukum Islam,” dalam Unisia, No.41/XXII/IV/2000.


(65)

Indonesia, pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah di mana Hukum Islam telah sejak lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Muslim.16

Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM. Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu. Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari ini, saya akan mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam.17

Dari uraian diatas maka, dapat ditarik kesimpulan. Pada hakikatnya apapun hukum yang dipakai dalam melihat persoalan poligami, apakah hukum Islam, Hukum Nasional, maupun HAM, pastinya bermuara pada rasa keadilan. Tiap hukum terdapat persamaan dan perbedaan, persamaannya yaitu sama-sama menjadi pedoman bagi kita untuk bertindak. Adapun kalau terdapat perbedaan, maka menjadi tugas kita bersama untuk menutupi

      

16

Amir Mu’allim & Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999. 17

Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Penerbit Republika, 2004


(66)

57 

 

perbedaaan itu, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di kemudian hari. Dan kita tidak dapat pungkiri bahwa hukum akan selalu berubah dan mengikuti perkembangan zaman.

D. Pemahaman Kontekstual Terhadap Ayat Poligami

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam menyikapi isu poligami ini tentu saja menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh, Perkembangan pemikiran ini menunjukkan bahwa mereka (baik yang pro maupun yang kontra/anti poligami) tengah menghadapi dan sekaligus bergumul dengan perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak di era sekarang ini. Salah satu hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat al-Qur`an surah An-Nisa ayat 2, 3, dan 129, serta sejumlah hadis Nabi Muhammad saw yang terkait. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi sejumlah tafsir atau interpretasi. Ibnu Arabi mungkin merupakan tokoh yang paling berani ketika mengatakan: fa mâ fi al-kaun kalâm lâ yuta awwal (tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir). Karena itu, teks-teks keagamaan tersebut memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama.18

Perbedaan dalam memahami dan cara pandang yang dipergunakan oleh mufasir terhadap teks juga terjadi karena adanya perbedaan ruang dan waktu dalam menafsirkan.

       18


(1)

66   


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:akademika Presindo.1999), cet, ke-2

Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami, Artikel diakses tgl.

12/25/2009http// Hukunonline. Com. Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Al Banten, Imam Nawawi i, Qotrul ghoish, Syrah masail Abi Lai's.

Al-Jaziry, Syaikh Abdurrhaman, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah karya Juz IV :Beirut : Darul Fikr, 1996)

Ariij, Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami),Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006.

Arivia, Gadis,.Filsafat Berspektif Feminist, YPJ, Jakarta, 2003

Buku Fakta Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2000.

Cash, W. Wilson, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London :1926).

Conway, M. Margaret,dll., women and Public policy in revolution in Progress, CQ Press, Wasington Dc,1999.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiiqh, Yogyakarta:Dana Bhakti Waqaf, 1995, jilid, 2.

Departeman Agama RI, Ilmu Figh, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1984/1985, cet.ke-2, jilid II,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka), Cet I.

Djatnika, H. Rachmat. Sosialisasi Hukum Islam Di Indonesia, dalam Abdurrahman Wahid, et. al, kontroversi pemikiran Di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990.


(3)

Fayumi, Badriyah, dkk, Isu-Isu Gender dalam Islam.(Jakarta: PSW UIN Syahid Jakarta, 2002)cet, 1.

Femenisme Global, Harian Kompas, 20 Desember 2003.

Ghazali, Abdurrahman , fiqh Munakahat, Jakarta:Kencana, 2006, cet.ke2.

Ghazalba, Sidi, Menghadapi Soal-soal Perkawinan,Jakarta, Pustaka Antara, 1975, Ichtianto, H, Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia, Ind Hill Co, Jakarta, 1990 Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan( Jakarta:Pustaka

Al- Kausar, 2007).

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Ketentuan poligammi dalam hukum yang di gugat. Artikel diakses tgl. 12/25/2009http//

Hukunonline. Com

Khallaf, Abdul Wahab, fiqh al-islamy, darul qalam, jakarta. (tth)

Makalah Hak Asas dalam Islam disusun oleh Achmad Wartin Hadiwinata

Minhaji, Akh. Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial). Yogyakarta: UIN-SUKA, 2004.

Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Ja’fariy, Hanafiy, Malikiy, Syafi’iy,(Jakarta:Lentera, 2001) edisi lengkap

Mulia, Siti Musdah, Dialog lesehan Ramadhan The Jakarta post tgl.28/03/08

Mulia, Siti Musdah, Pandangan Islam tenang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender. 1999.


(4)

Pandangan Islam Tentang Poligami. Artikel di akses. Tgl 12/11/2009Http// hidayatullah. Com.

Poligami dalam pandangan islam. Artikel diakses tgl11/23/2009/http//balipos..co.id. UU RI No. 1 Tahun 1974, Bandung: Citra Umbara, 2007.

Rais, Isnawati, Menafsir Ayat poligami, Majalah Tablig, edisi desember 2004.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Al- Sunnah, Beirut:Dar Al-Fiqr, 1983,cet ke-4, jilid 2.

Slamet, Abidin, dan Aminuddin H,, Fiqh Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, cet. Ke1, jilid 1 dan 2.

Syafe’I, Rahmat. Ilmu ushul Fiqh, Bandung: CV: Pustaka Setia, cet, ke-1

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum,2007).

Umar, Nasaruddin, Argumentasi Kesetaraan Gender, Jakarta.:Paramadina, 2001.

Walson, Ahmad Al-Munawir, kamus bahasa Indonesia-Arab, surabaya:pustaka Progesif), edisi ke-2.(tth)

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi bebas Berbahsa Indonesia, Diakses pada tanggal 01 April 2009 http://id.wikipedia.org/wiki/poligami.

Wollstonecraft, Mary, dikutip dari The Radical Futureof liberal Feminism, Boston, Universitty Prees.(ttd)


(5)

(6)