Polymerase Chain Reaction PCR

akan mati. Hanya koloni sel pembawa DNA plasmid yang dapat hidup karena pada plasmid mengandung gen tahan terhadap antibiotik. Pada cawan C jumlah koloni relatif sama dengan jumlah koloni pada cawan B tetapi ada dua macam warna koloni, yaitu putih dan biru. Adanya perbedaan warna koloni ini terjadi akibat adanyazat kimia X-Gal dan IPTG yang bereaksi dengan produk gen LacZ pada plasmid. Warana putih pada koloni diakibatkan adanya kerusakan pada gen LacZ yang disisipi oleh gen asing. Dengan kata lain, koloni berwarna putih berarti sel kompeten membawa DNA rekombinan DNA plasmid+gen asing. Adapun koloni berwarna biru berarti sel kompeten yang tumbuh di cawan hanya membawa DNA plasmid saja tidak tersisipi gen asing Muladno, 2002. Menurut Mizawarti 2003, setelah proses transformasi berlangsung di dalam bakteri inang, vektor menggandakan replikasi menghasilkan banyak salinan atau turunan yang identik, baik vektornya maupun gen yang dibawanya.

2.3. Polymerase Chain Reaction PCR

Polymerase Chain Reaction Reaksi Rantai Polimerase, PCR merupakan teknik yang sangat berguna dalam membuat salinan DNA. PCR memungkinkan sejumlah kecil sekuens DNA tertentu disalin jutaan kali untuk diperbanyak sehingga dapat dianalisis, atau dimodifikasi secara tertentu. PCR memanfaatkan enzim DNA polimerase yang secara alami memang berperan dalam perbanyakan DNA pada proses replikasi. Namun demikian, tidak seperti pada organisme hidup, proses PCR hanya dapat menyalin fragmen pendek DNA, biasanya sampai dengan 10 kb kb = kilo base pairs = 1.000 pasang basa. Fragmen tersebut dapat berupa suatu gen tunggal, atau hanya bagian dari suatu gen. 10 Empat komponen utama pada proses PCR adalah 1 DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, 2 oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek 15 – 25 basa nukleotida yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, 3 deoksiribonukleotida trifosfat dNTP, terdiri atas ATP, CTP, GTP, TTP, dan 4 enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer Yuwono, 2006. Menurut Muladno 2002, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan primer, antara lain: a. GC content mendekati 50, minimal 47. b. Tm primer forward dan primer reverse relatif sama 5 °C. c. Basa G dan C letaknya menyebar. d. Menghindari pengulangan GG-CC di depan dan di belakang primer. e. Panjang primer 22-25 basa. Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah denaturasi cetakan DNA DNA template pada temperatur 94-96°C, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45-60°C yang memungkinkan terjadinya penempelan annealing atau hibridisasi antara oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Primer merupakan oligonukelotida utas tunggal yang sekuens-nya dirancang komplementer dengan ujung fragmen DNA yang ingin disalin, primer menentukan awal dan akhir daerah yang hendak disalin. Tahap yang terakhir adalah tahap ekstensi atau 11 elongasi elongation, yaitu pemanjangan primer menjadi suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur pada tahap ini bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan. Pada akhirnya, satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul cetakan DNA atau DNA target, sebab setiap utas baru yang disintesis akan berperan sebagai cetakan pada siklus selanjutnya Muladno, 2002. Sejak tahun 1985, PCR telah banyak digunakan dalam penelitian biologis kedokteran, sosial, dan hukum. PCR digunakan untuk mendeteksi pelaku kejahatan dari sampel DNA air mani, darah atau jaringan tubuh pelaku lainnya, atau PCR ini digunakan untuk mendeteksi patogen yang sulit terdeteksi, seperti DNA virus HIV Ratnasari, 2007.

2.4. Elektroforesis Agarosa