Pokok Permasalahan Tujuan dan Manfaat Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia

10 Ini membuktikan bahwa pernyataan dari Bruno Nettl yang menyebutkan bahwa banyak orang tidak lagi merasa puas menunjukkan keunikan kulturalnya melalui pakaian, struktur masyarakat, kebudayaan material, ataupun lokasi tempat tinggalnya, bahasanya atau agamanya. Sebaliknya orang lebih memilih musik sebagai etnisitasnya Netll, 1985:165 sangat selaras dengan apa yang terjadi pada kebudayaan masyarakat di Kampung Tugu. Pentingnya suatu identitas dalam sebuah kebudayaan mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam, melihat proses apa saja yang terjadi dalam pembentukan identitas itu sendiri. Keroncong Tugu merupakan tradisi musik yang merupakan salah satu contoh kasus, di mana menurut penulis memiliki keunikan dalam menunjukkan identitasnya, yakni dengan musiknya sehingga kebudayan mereka dikenal dan dapat bertahan lebih dari 3,5 abad. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menulis sebuah tulisan ilmiah berupa skripsi yaitu Tradisi Musik Keroncong Tugu Cafrinho, Sebagai Identitas Budaya Masyarakat Kampung Tugu, Tugu Utara Koja, Jakarta Utara.

1.2 Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang penulis angkat dalam penulisan ini adalah: 1. Kenapa masyarakat Kampung Tugu memilih musik keroncong tugu sebagai media untuk menunjukkan identitas budayanya? 2. Upaya apa saja yang dilakukan masyarakat Kampung Tugu terhadap musik keroncong tugu sehingga identitas budayanya dapat bertahan lebih dari 3,5 abad? 11

1.1 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari tulisan ini adalah: 1. Untuk dapat mengetahui hal apa yang membuat tradisi musik Keroncong Tugu dijadikan sebagai identitas bagi kebudayaan masyarakat Kampung Tugu. 2. Untuk dapat mengetahui bagaimana upaya mereka mempertahankan tradisi musik Keroncong Tugu yang dijadikan sebagai identitas mereka. Selanjutnya, manfaat tulisan ini adalah: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah, perkembangan dan keberadaan tradisi musik keroncong Tugu serta mengetahui upaya-upaya dalam pelestarian tradisi musik keroncong Tugu yang dijadikan sebagai identitas budaya masyarakat Kampung Tugu. 2. Sebagai dokumentasi yang bermanfaat sebagai refrensi di masa mendatang. 3. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa studi di jurusan Etnomusikologi. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep-konsep berikut ini perlu dipahami di dalam tulisan ini, antara lain: a tradisi, b budaya, c identitas, d identitas budaya, e musik keroncong Tugu. Tujuan memahami konsep tersebut adalah agar para pembaca mendapatkan kepastian mengenai konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. 12 Tradisi adalah suatu struktur kreativitas yang sudah establish Joiner dalam Coplan 1993:40, yang memberikan gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik. Tradisi, walaupun mempresentasikan kekinian tetapi tidak terpisahkan dengan masa lalu Beisele dalam Coplan 1993:40. Atau sebaliknya, tradisi adalah sesuatu yang menghadirkan masa lalu pada masa kini Coplan 1993:47. Tradisi menurut KBBI adalah 1 adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Budaya menurut Barnouw, 1985 bahwa “budaya adalah sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang di miliki bersama oleh sekelompuk orang, yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain. Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga menunjukkan suatu keunikannya serta membedakannya dengan hal-hal lain. Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas- batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain Liliweri 2003: 72. Musik Keroncong Tugu adalah Musik Tradisi Masyarakat Keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu, yang secara bertahap mengalami perkembangan hingga dikenal luas dengan istilah Musik Keroncong tugu. 13 Keroncong Tugu sendiri pada awalnya adalah sebutan untuk alat musik yang dibuat di Tugu bernama Macina, yang jika dibunyikan menghasilkan suara crong, crong, crong. Pada gilirannya Keroncong Tugu meluas dan memiliki 3 pengertian, yaitu: 1. Alat musik, 2. Genre musik, dan 3. Pakem Lagu. Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa konsep yang dimaksud penulis dalam tulisan ini yaitu, tradisi musik Keroncong Tugu adalah sebuah tradisi yang menggambarkan prinsip hidup dan nilai estetik masyarakat di Kampung Tugu yang diekspresikan lewat musik yaitu musik keroncong tugu yang mana kemudian musik keroncong tugu ini dijadikan sebagai identitas kebudayan mereka karena memiliki tiga unsur penting yang menjadi bagian dari musik itu sendiri yaikni alat musik, genre musik dan pakem lagu yang dijaga dan terus dipertahankan keasliaannya selama 3,5 abad lebih.

1.4.2 Teori

Dalam memahami tulisan ini ada dua aspek yang penting diketahui, yang pertama adalah aspek sosial dan kedua aspek musikal. Aspek yang terkait dengan aspek sosial dalam tulisan adalah identitas budaya. Berbicara tentang kebudayaan sekelompok masyarakat, tentunya banyak hal yang dapat dilihat dan dikaji karena sebuah kebudayaan memiliki kekayaan yang tak ternilai. Kekayaan itu hidup dan menyatu di dalam kebiasaan atau 14 tradisi dalam sekelompok masyarakat tertentu yang terwujud dalam aktivitas serta diatur oleh norma adat. Dari tradisi atau kebiasaan itulah kita dapat mengenali dan membedakan antara sebuah kebudayaan dengan kebudayaan lain. Tradisi adalah suatu struktur kreativitas yang sudah establish Joiner dalam Coplan 1993:40, yang memberikan gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif dan nilai-nilai estetik. Tradisi walaupun mempresentasikan kekinian tetapi tidak terpisahkan dengan masa lalu Beisele dalam Coplan 1993:40. Atau sebaliknya, tradisi adalah sesuatu yang menghadirkan masa lalu pada masa kini Coplan 1993:47. Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas- batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain Liliweri, 2003: 72. Kebudayaan menurut Edward B. Taylor 1871 menggunakan kata kebudayaan untuk menunjukkan “keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya”. Termasuk di sini adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kemampuan serta prilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat Edward B. Taylor di atas jelas kita lihat bahwa seni, yang dalam hal ini adalah musik menjadi salah satu aspek yang menyatu di dalam budaya. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa musik dapat dijadikan 15 sebagai salah satu cara untuk menunjukkan jati diri sebuah kebudayaan atau dengan kata lain dijadikan sebagai identitas sebuah budaya. Dalam teorinya cultural identity theory, Mary Jane Collier, menyatakan bahwa “cultural identities are negotiated, co created, reinforced and challenged through comunication”identitas kebudayaan itu dapat diubah, dibentuk, ataupun ditentang melalui komunikasi. Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa suatu identitas kebudayaan bersifat fleksibel. Mengapa demikian? Karena sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Collier bahwa kebudayaan itu dapat dinegosiasikan. Selain itu identitas kebudayaan itu juga dapat dikreasikan kembali sehingga identitas itu tetap relevan untuk dipertahankan meskipun pada akhirnya menciptakan perubahan terhadap identitas budaya itu sendiri. Akan tetapi, dari hal ini penulis melihat sifat fleksibel tehadap kebudayaan justru memperkaya nilai yang sudah ada di dalam kebudayaan itu sendiri. Sifat-sifat tersebut kemudian mendukung suatu identitas kebudayaan untuk dapat beradaptasi dengan zamannya namun tetap harus bertahan mengahadapi tantangan itu sehingga kebudayaan itu sendiri tidak kehilangan karakteristiknya. Pendapat lain disampaikan oleh Bruno Nettl yang adalah seorang etnomusikolog, yang mana dia menegaskan bahwa bahwa banyak orang tidak lagi merasa puas menunjukkan keunikan kulturalnya melalui pakaian, struktur masyarakat, kebudayaan material, ataupun lokasi tempat tinggalnya, bahasanya atau agamanya. Sebaliknya orang lebih memilih musik sebagai etnisitasnya. Netll 1985:165 16 Kedua teori di atas menjadi landasan bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang bagaimana tradisi musik kerooncong tugu dijadikan masyarakat Kampung Tugu sebagai identitas kebudyaan mereka. Selain itu, kedua teori ini juga bagi membuka wawasan penulis bahwa identitas merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kebudayaan. Dengan adanya identitas, tentu mudah bagi kita dapat mengenali keberagaman budaya yang ada, khususnya di Indonesia. Selain itu pernyataan Bruno Nettl di atas menjadi pondasi bagi penulis untuk semakin terfokus dan yakin bahwa musik merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sebuah alasan bagi suatu kebudayaan untuk dijadikan sebagai identitasnya. Selain itu musik sendiri juga memiliki karakteristik sehingga dapat dibedakan dengan jenis musik-musik yang lainnya. Hal ini tentu memperkuat keberadaan musik untuk dijadikan sebagai identitas bagi suatu kebudayaan. Hal ini disampaikan Bruno Netlle sebagai berikut: ... by style we mean the aggregate of characteristics which a composition has, and which it shares with others in its cultural complex. When speaking of an individual culture or a single, unfield corpus of music, we may have no particular occasion to distinguish between the composition and the style as a whole. Of course, a musical composition cannot exist without having certain characteristics of scalae, melody, rhythm, and form. And this characteristics, again, are only abstraction which must ride, as it were, on the backs of the concrete musical items, of the musical content 1964:100. Dari kutipan di atas berarti bahwa karakteristik atau style gaya dan komposisi dari sebuah musik dapat diketahui dan dapat dibedakan namun tidak ada wadah yang khusus untuk membedakannya secara jelas antara komposisi 17 musiknya dan juga gaya musiknya secara keseluruhan. Tentu saja sebuah komposisi musik tidak akan eksis tanpa adanya tangga nada, melodi, ritem, dan bentuk musiknya. Dan karakteristik ini, sekali lagi hanya sebuah keabstrakan yang harus dimainkan sebagaimana mestinya, menjadi bagian musik yang nyata dari konten musik itu sendiri.

1.5 Metode Penelitian

Pada penelitian guna mengumpulkan data, penulis menggunakan metode penelitian deskritif. Metode deskriftif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki Moh. Nasir 1988. Selain itu penulis juga melakukan observasi lapangan dengan cara hadir dan melihat langsung proses latihan rutin yang mereka lakukan dan juga menyaksikan secara langsung pertunjukan-pertunjukan yang mereka lakukan sehingga penulis dapat melihat lebih dekat bagaimana kegiatan kelompok ini berlangsung sehari-harinya.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung kelengkapan serta keakuratan data yang penulis peroleh, penulis juga mencari buku-buku yang relevan dan dapat mendukung 18 tulisan ini. Hal itu dilakukan penulis dengan pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku atau jurnal yang bisa mendukung tulisan yang penulis buat. Beberapa tulisan ilmiah dan jurnal juga didapat penulis dengan cara mencarinya di internet. Selain itu penulis juga banyak mendengar lagu-lagu dan pertunjukan tentang keroncong di situs Youtube juga membeli cd rekaman Keroncong Tugu Cafrinho untuk menambah sebanyak mungkin refrensi data yang dibutuhkan penulis.

1.5.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan wawancara. Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi yang tidak dapat diamati secara langsung. Menurut Koentjaraningrat ada tiga macam cara wawancara, yaitu: 1 wawancara berfokus focused Interview, 2 wawancara bebas free interview, 3 wawancara sambil lalu casual Interview. Wawancara ini dilakukan penulis minimal sebanyak 4 kali dalam seminggu selama penulis melakukan penelitian lapangan yang berlangsung sekitar 2 bulan. Biasanya sebelum memulai wawancara, penulis mempersipakan garis-garis besar pertanyaan yang mengarah kepada satu pokok permasalahan tertentu yang ingin penulis ketahui. Namun begitupun penulis tetap berusaha mengembangkan pertanyaan kepada hal lain yang masih terkait dengan permasalahan dan jawaban informan guna mengurasi rasa kaku dan kejenuhan informan. Dalam merekam wawancara, penulis menggunakan kamera SLR milik 19 inventaris departemen Etnomusikologi dan menggunakan handphone untuk merekam wawancara yang penulis lakukan.

1.5.3 Penelitian Lapangan

Penulis melakukan penelitian lapangan secara intensif dimulai dari pertengahan bulan Juli sampai awal September tahun 2013 di wilayah utara Jakarta. Selama penulis di lokasi penelitian penulis melakukan wawancara rutin sebanyak empat kali dalam seminggu. Sebagai informan kunci penulis memilih Bapak Guido Quiko yang merupakan generasi ke empat sejak terbentuknya kelompok Keroncong Tugu dan sekaligus juga sebagai pimpinan Kelompok Keroncong Tugu Cafrinho sejak orang tuanya Samuel Quicko meninggal dunia. Selain melakukan wawancara dengan informan kunci, penulis juga melakukan wawancara dengan anggota dari kelompok Keroncong Tugu Cafrinho untuk memperkaya informasi yang penulis butuhkan.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Setelah mengumpulkan data dari lapangan, maka penulis melanjutkan ke tahap pengolahan data di laboratorium. Penulis melakukan proses seleksi data, analisa data, dan mengklasifikasikan data berdasarkan kelompoknya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Untuk data yang bersifat audio rekaman yang bersifat musikal, penulis melakukan transkripsi dan analisa dengan jalan mengubah data audio tadi dalam bentuk tertulis di atas kertas dengan bentuk notasi. Dalam melakukan 20 transkripsi ini penulis berpegangan dengan ketentuan yang ditawarkan oleh Nettl 1964:99 yaitu pendekatan preskriptif pencatatan terhadap hal-hal bagian yang menonjol yang biasa dipahami oleh sesama pemusik saja dan pendekatan deskriptif pencatatan secara lengkap detail-detail yang ada pada lagu. Proses yang penulis lakukan dalam mentranskripsi adalah dengan mendengar potongan-potongan melodi dari lagu yang akan ditranskripsi dan berusaha mengahafal melodi serta pola ritemnya. Penulis menggunakan software Sibelius untuk membantu penulis agar lebih mudah dalam proses pengerjaan trasnkripsi. Potongan-potongan yang penulis hafalkan kemudian penulis pindahkan ke dalam program Sibelius. Satu persatu potongan melodi penulis pindahakan ke dalam program Sibelius, dan setelah selsesai penulis penulis cetak dengan menggunakan mesin printer.

1.5.5 Lokasi Penelitian

Dalam menentukan lokasi penelitian, penulis memilih Keroncong Tugu sebagai objek penelitian. Keroncong Tugu Cafrinho beralamat di Jalan Raya Tugu No 28 RT 003 RW 014 Tuggu Utara Koja, Jakarta Utara.

1.5.6 Tinjauan Pustaka

Pada sebuah penelitian ilmiah, tinjauan pustaka menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan sangat menentukan hasil akhir dari tulisan tersebut. Tinjauan pustaka pada sebuah tulisan ilmiah dapat berfungsi sebagai pengontrol pembahasan yang akan dieksplorasi oleh penulis, sehingga penulis memiliki 21 batasan-batasan sejauh mana dan hal-hal apa saja yang perlu dimuat dan dibahas pada tulisan ilmiah tersebut. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat uraian yang sistematis tentang informasi yang didapat penulis dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang relevan dan berkaitan tentang pembahasan yang ditulis oleh penulis. Manfaat lain dari dimuatnya tinjauan pustaka pada sebuah tulisan ilmiah adalah, di dalam tinjauan pustaka juga akan dimuat tentang kelebihan dan kekurangan yang mungkin ada pada penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa tulisan yang akan ditulis mengenenai penelitian yang akan dilakukan adalah bersifat menyempurnakan atau juga mengembangkan penelitian terdahulu. Selain itu tinjauan pustaka juga akan memuat landasan teori yang berupa rangkuman dari teori-teori yang akan menjadi pedoman dan juga tentunya teori-teori lain yang masih berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis. Adapun selama pengamatan penulis, topik yang membahas tentang tradisi keroncong tugu sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu belum pernah ada. Dengan demikian topik penelitian ini baru pertama kali dilakukan. Meskipun sudah ada beberapa tulisan yang membahas tentang musik keroncong dan keroncong tugu, namun bukan membahas tentang musik keroncong tugu yang dijadikan sebgai identitas budaya bagi masyarakat Kampung Tugu. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa penelitian ini orisinil karena belum pernah dilakukan sebelumnya. 22 Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan topik tersebut di atas. 1. Buku yang berjudul Diseminasi musik Barat di Timur: Studi Historis Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang Lewat Aktivitas Misionaris Pada Abad Ke-16 yang ditulis oleh Triono Bramantyo membahas tentang bagaimana proses penyebaran musik Barat di Indonesia, dan di dalam salah satu bab dalam buku itu dia membahas tentang musik keroncong tugu yang keberadaannya dipengaruhi oleh bangsa Portugis. Buku ini memberikan banyak infromasi kepada penulis tentang sejarah musik keroncong tugu serta perkembangannya, namun dalam buku ini tidak dibahas mengenai musik keroncong tugu yang digunakan sebagai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu. 2. Buku yang berjudul Krontjong Toegoe yang ditulis oleh Victor Ganap. Dalam bukunya ini, Victor Ganap membahas cukup detail tentang musik keroncong tugu, baik secara historisnya, maupun diskusi musiknya yang memberikan wawasan baru bagi penulis khususnya tentang musik keroncong tugu. Akan tetapi dalam buku ini penukis tidak mendapati ada sebuah pembahasan khusus mengenai musik keroncong tugu dijadikan sebgai identitas budaya. 3. Tulisan Philip Yampolsky dalam buku Musik Populer yang membahas tentang perjalanan musik keroncong dan perkembangannya dalam beberapa dekade yang diawali dari zaman kolonial hingga tahun 1950-an. Dalam tulisan ini dia hanya membahas sedikit tentang musik keroncong tugu, yaitu 23 hanya membahas tentang musik keroncong tugu yang merupakan tradisi musikal mardijekrs dan keturunannya yang bermukim di Kampung Tugu. Tentu saja tulisan ini juga sangat bermanfaat bagi penulis sebagai refrensi, namun tulisan ini tidak membahas tradisi itu dijadikan sebgai identitas bagi masyarakat Kampung Tugu. 4. R. Agoes Sri Widjajadi membuat sebuah tulisan yaitu “Menelusuri Sarana Peyebaran Musik Keroncong” yang dimuat dalam jurnal Humaniora: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Fokus pembahasan tulisan ini lebih mengarah kepada sarana yang digunakan dalam penyebaran musik keroncong sehingga musik keroncong tetap eksis khususnya di dunia seni pertunjukan. Meskipun memberikan informasi baru kepada penulis tentang musik keroncong, namun lagi-lagi tulisan ini tidak membahas tentang musik keroncong tugu sebgai identitas budaya masyarakat Kampung Tugu. 5. Abdul Rachman juga membuat sebuah tulisan mengenai musik keroncong yaitu Bentuk dan Analisis Musik Keroncong Tanah Airku Karya Kelly Puspito. Tulisan ini membahas tentang musik keroncong yang dikembangkan dengan harmonisasi atau progesi akord. Hal ini dilakukan karena kurangnya minat generasi muda khususnya para remaja terhadap musik keroncong. Sehingga, dengan dilakukannya inovasi ini diharapkan para remaja tertarik mendengar musik keroncong. Tulisan ini tentu juga meanambah wawasan bagi penulis tentang musik keroncong. 6. Tulisan dari Pinta Resty Ayunda, Susi Gustina, dan Henry Virgan ini mendeskripsikan hasil penelitian dari Gaya Menyanyi pada Musik 24 Keroncong Tugu Analisis Gaya Saartje Margaretha Michiels. Penelitian ini memaparkan gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels, difokuskan kepada pengetahuan musikal Saartje yang mempengaruhi gaya menyanyinya. Objek penelitian ini adalah salah satu dari lagu Keroncong Tugu, yaitu Gatu Du Matu. Hasil penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya menyanyi Saartje dipengaruhi oleh beragam unsur dalam lingkungan sosialnya, seperti keluarga, pertemanan, religi, juga komunitas keroncong, khususnya komunitas Keroncong Tugu. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya. Meski demikian, nyanyian Saartje tetap memperlihatkan keunikan gaya yang berbeda dari penyanyi keroncong lainnya, dan hal tersebut sangat memperlihatkan identitas gaya menyanyi Keroncong Tugu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tentang gaya menyanyi Saartje Margaretha Michiels yang dipengaruhi oleh beragam pengalaman musikal dan non musikal yang konkrit di dalam lingkungan sosialnya. Gaya menyanyi Saartje diaplikasikan dan disesuaikan dengan kondisi atau konteks sosial dan penonton di setiap penampilannya untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap Keroncong Tugu. Tulisan ini sangat bermanfaat bagi penulis karena ini mendukung tulisan yang akan dikaji penulis. Namun apa yang menjadi pokok dari penelitian tulisan ini hanya berfokus kepada teknik vokal dari seorang penyanyi tugu. 25 7. Sebuah tulisan yang ditulis oleh Magdalia Alfian yaitu Keroncong Music Reflects the Identity of Indonesia. Dalam tulisan ini diceritakan bahwa musik keroncong merupakan musik yang sangat populer di tahun 70-an hingga 80-an, dan kepopuleran musik keroncong menjadi identitas yang menggambarkan Indonesia. Namun karena kemajuan teknologi kepopulerannya mulai berkurang sehingga dilakukan berbagai cara agar musik keroncong tetap eksis. Salah satu yang dilakukan generasi muda terhadap pelestarian musik keroncong adalah dengan memasukkan unsur dari genre-genre musik lain. Keberhasilan musik keroncong bertahan hingga sekarang memberikan banyak kontribusi terhadap Indonesia sehingga sangat wajar dianggap sebagai warisan dunia. 8. Sebuah tulisan yang berjudul The Dynamics of Keroncong Music in Indonesia yang ditulis oleh Linda Sunarti dan Wiwin Trinarti. Tulisan ini memaparkan tentang perjalanan musik keroncong di Indonesia dan dari analisis mereka didapatkan hasil bahwa musik keroncong di Indonesia mampu terus bertahan dan dipopulerkan dengan membuat promosi melalui media seperti televisi dan radio sehingga masyarakat menjadi familiar terhadap musik keroncong. Selain itu dalam tulisan ini juga disimpulkan bahwa para seniman keroncong harus melakukan inovasi untuk menarik minat lebih banyak orang. 9. Tulisan lain yang tentang keroncong ditulis oleh Gilang Ryand Prakoso dan Slamet Haryono, yaitu tentang improvisasi permainan cello pada permainan jenis langgam Jawa grup orkes keroncong Harmoni Semarang. Hasil 26 penelitian dari tulisan ini menunjukkan bahwa pola improvisasi permainan instrumen cello keroncong dalam irama jenis langgam Jawa grup Orkes Keroncong Harmoni Semarang memiliki banyak kemiripan dengan pola permainan instrumen kendang pada musik karawitan. 10. Sebuah tulisan terakhir adalah tulisan dari Chysanti Arumsari yaitu Keroncong Tugu: The Beat of Nationalism from Betawi, Jakarta, Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keroncong tugu adalah seni musik Betawi yang harus dikembangkan karena musik keroncong tugu punya karakter tersendiri. Selain itu, meskipun musik keroncong tugu sudah disahkan sebagai kebudayaan betawi namun tidak ada rasa kepemilikan serta masih banyak warga DKI yang tidak mengenal dan tidak perduli terhadap musik keroncong tugu. Dari tulisan-tulisan di atas meskipun sudah banyak yang mengkaji mengenai musik keroncong, keroncong tugu namun belum ada penelitian yang mengkaji mengenai musik keroncong tugu sebagai identitas bagi kelompok masyarakat Kampung Tugu. 27 BAB II DARI PORTUGIS KE NUSANTARA HINGGA MENJADI KERONCONG TUGU Pada Bab II ini akan dikaji keberadaan musik Keroncong Tugu. Kajian ini dilatarbelakangi oleh sejarah lahirnya musik keroncong di Indonesia, yakni ketika Portugis mulai melakukan pelayaran ke wilayah Timur. Musik Keroncong yang dimaksudkan penulis dalam pembahasan ini adalah musik Keroncong Tugu yang juga menjadi awal lahirnya musik keroncong pertama di Indonesia yang masih tetap hidup dan mempertahankan ciri khasnya sehingga musik Keroncong Tugu djadikan sebagai identitas bagi kebudayaan orang-orang keturunan Portugis di Kampung Tugu yang tetap mempertahankan keaslian musiknya serta menjadi kelompok musik keroncong tertua yang tetap eksis dalam kancah musik populer Indonesia hingga sekarang.

2.1 Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia

Lahirnya musik keroncong di tanah air Indonesia sangat berkaitan erat dengan sebuah nilai sejarah yang diawali sejak datangnya bangsa Portugis ke Nusantara, yakni ke bagian Timur wilayah Indonesia. Kedatangan bangsa Portugis diperkirakan kurang lebih sekitar abad ke lima belas yang mana hal itu didasari oleh rasa keingintahuan mereka akan kesuburan tanah Indonesia serta melimpahnya hasil bumi Indonesia khususnya rempah-rempah yang sangat dibutuhkan bangsa Eropa terlebih ketika terjadi musim dingin. Selama musim 28 dingin di Eropa, tidak ada salah satu cara pun yang dapat dijalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup. Kerena itu banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus di awetkan. Untuk itulah diperlukan sekali banyak garam dan rempah-rempah. Cengkeh dari Indonesia Timur adalah yang paling berharga. Indonesia juga menghasilkan lada, buah pala, dan bunga pala. Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah termasuk dalam tanaman rempah-rempah menjadi alasan Portugis ingin menguasai daerah Indonesia sekaligus menguasai pasaran Eropa. Hal serupa juga dikatakan oleh seorang ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam bukunya Indonesia-Portugal: Five Hundred Years Of Historical Relationship Capessa 2002, mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dengan tiga kata bahasa Portugis, yakni Feitoria, Furtaleza, dan Igreja yang arti harafiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer dan penyebaran agama Katolik. Pendeta Francisan bernama John dari Monte Corvino dapat dikatakan sebagai orang pertama yang menginjakkan kakinya di Asia sebelum Marcopolo melakukan perjalanannya. Dia dan juga beberapa orang temannya mamou mencapai daerah Asia melalui laut, dari India dan Teluk Persia dan melewati Asia Tenggara. Sejak saat itu akhirnya beberapa misionasris melakukan perjalanan pulang-pergi melalui jalur laut. Sekitar tahun 1342, pendeta misionaris lain yang bernama John Mariggnolli dari Florencia datang ke Cina dengan menggunakan jalur darat dan kemudian kembalai lagi ke rumahnya pada 29 bulan Desember 1346, melewati Asia Tenggara. Berdasarkan pengalaman perjalanannya melewati Asia Tenggara ia kemudian menggambarkan “Saba” Jawa atau Sumatera adalah sebuah daerah pedalaman yang tidak ada bandingannya serta cerita lain yang dinilai Hall sebagai “kisah fantastik” Hall, ibid, hal.232 Kemudian menyusul pula sebuah keluarga terhormat bernama Nicole de’ Contian yang juga adalah orang Eropa untuk melakukan perjalanan ke Asia Tenggara. Dia adalah seorang yang mencari peluang dagang dan menghabiskan waktu kurang lebih 25 tahun mengembara di daerah Timur, berkunjung ke pulau Sumatera dan Jawa dan kembali pulang pada tahun 1444. Ia melukiskan pulau Sumatera sebagai pulau yang kaya akan merica dan emas. Setelah itu menyusul pula seorang Italia yang bernama Hieronomo de Santo Stefano datang berkunjung juga ke pulau Sumatera pada tahun 1496 dan ia menggambarkan pula bahwa pulau Sumatera adalah sebuah tempat tumbuh suburnya merica, sutera, lada, kapur barus, kayu cendana,dan banyak hasil bumi melimpah lainnya. Tidak lama berselang Santo Stefano diikuti oleh perantau lainnya dari Bologna, Ludovico di Varthema, pada tahun 1502 dan merupakan orang pertama yang mengenalkan Selat Melaka kepada orang Eropa. Dia menggambarkan Melaka adalah sebagai sebuah selat yang bisa dijadikan sebagai jalan perdagangan besar dengan memanfaatkan pelabuhan yang ada, terutama perdagangan rempah-rempah. Singkatnya, pelabuhan yang dibuat oleh Stefano kemudian direbut oleh Alfonso de Albuquerque ketika memimpin pelayaran Portugis pada tahun 1511. 30 Keberhasilan Portugis merebut pelabuhan di Melaka merupakan sebuah kesuksesan yang termahal dari semua usaha yang pernah dilakukan oleh Portugis untuk menguasai Asia dan Afrika Massarella 1990:19. Manuel, yang ketika itu adalah Raja Portugis merasa sangat bangga dengan pencapaian yang dilakukan Alfonso, sehingga dia menceritakan kesuksesaan itu kepada paus Leo X di Roma melalui sebuah surat. Setelah memberikan selamat kepada Raja Manuel, kemudian Paus mengeluarkan ‘Maklumat Pengakuan‘ pada tanggal 3 November 1514. Isi maklumat itu adalah “ia melarang orang Kristen ikut campur atau masuk tanpa izin ke wilayah yang berhasil dikuasi oleh Raja Manuel tersebut. Dengan adanya pengakuan itu, Portugis pun merasa semakin kuat dan yakin untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya di Melaka sehingga Portugis membangun sebuah benteng untuk dapat terus mempertahankan kekuatan dan kekuasaannya dari setiap interupsi atau serangan. Berhasilnya Portugis menguasai Melaka yang kaya dengan rempah- rempah tidaklah membuat Portugis puas dan behenti sampai pada titik itu. Meskipun keberhasilan Portugis menguasai Melaka pada waktu itu merupakan kesuksesan terbesar mereka, namun mereka masih menyadari bahwa Melaka bukanlah penghasil rempah-rempah terbanyak, melainkan ada daerah lain yakni Maluku yang masih memiliki rempah-rempah lebih berlimpah dibandingkan Melaka. Akhirnya, Albuqerqeu mengirimkan pasukannya ke pulau Jawa untuk meminta izin berlayar di laut Jawa sebelum mereka tiba di Maluku yaitu tempat di mana sumber rempah-rempah yang mereka cari. Pada Desember 1511, mereka mendarat di pelabuhan Jawa di Banten yang mayoritas beragama Islam. 31 Karena kondisi kapal mereka yang sudah tua dan tidak layak pakai, akhirnya kepala navigator yakni Fransisco Serrao memerintahkan mereka untuk membakar semua kapal mereka dan kemudian membeli kapal bekas milik nelayan lokal lalu melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju pulau-pulau Banda. Setelah mereka pulang dari Banda, sekitar tahun 1512, kapal mereka yang sudah penuh dengan rempah-rempah yakni cengkeh, pala, dan bunga pala mengalami kecelakaan dan akhirnya karam setelah dihantam hebat oleh badai. Dari semua pasukan yang berangkat, hanya tersisa tujuh orang yang berhasil diselamatkan oleh penduduk setempat. Ketujuh orang ini kemudian dilaporkan kepada Sultan Abu Lais di Ternate. Sultan Abu Lais adalah seorang yang bisa meramalkan sesuatu dan dia percaya dengan ramalannya itu kehadiran ketujuh orang Portugis ini dapat membantunya untuk memperluas kekuasaannya di Maluku, dan oleh karena itu beliau menyambut dengan ramah dan hangat ke tujuh orang Portugis tersebut. Pucuk di cinta ulam pun tiba, itulah yang dapat menggambarkan keberadaan orang Portugis pada waktu itu. Kini mereka ada di tempat yang tepat yakni tempat di mana berlimpahnya rempah-rempah yang mereka cari selama ini. Situasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Portugis. Selain mereka kini ada di tempat yang tepat, mereka juga bersahabat baik dengan Sultan Ternate sehingga muncul ide mereka untuk memonopoli rempah-rempah yang dapat mereka jual dengan harga tinggi di Eropa. Bagi Sultan Ternate sendiri yaitu Abu Lais, kehadiran orang Portuguis juga merupakan sebuah keuntungan yang dapat 32 membantunya untuk memperkokoh kekuasaannya. Oleh karena hal itu dia sangat antusias dan bahkan memohon kepada Serrao sebagai kepala navigator mengirimkan surat kepada Raja Dom Manuel untuk mengirimkan pasukan dari Portugis dan meminta Portugis membangun sebuah pabrik di Ternate dengan imabalan yaitu memberikan izin kepada Portugis untuk membangun sebuah benteng di Ternate dan ia berjanji akan mengirimkan cengkeh ke Portugis. Pada tahun 1513 Melaka mengirimkan ekspedisi cengkeh dalam jumlah yang banyak untuk kedua kalinya, namun pada saat itu lawan dari Sultan Abu Lais yaitu Sultan Mansyur dari Tidore juga mengirimkan hal serupa kepada Portugis dengan tujuan yang sama yakni untuk meminta dukungan militer dari Portugis. Alhasil kedua Sultan yang salilng bermusuhan itu pun sama-sama meminta bantuan militer dari Portugis, dan itu membuat keadaan di seluruh pulau itu semakin rumit. Pada bulan November 1521 kapal ekspedisi milik Spanyol, Victoria akhirnya berlabuh di Tidore. Kehadiran mereka disambut hangat oleh Sultan Mansyur karena hal itu sudah diramalkannya lewat mimpi, bahwa dalam mimpinya dia melihat akan datang kapal-kapal besar dari tempat yang jauh, dan ternyata itu adalah Spanyol. Kehadiran Spanyol ini membuat Portugis sesegera mungkin memperkokoh posisinya dengan memaksa membuat sebuah perjanjian dengan Ternate agar Portugis memonopoli perdagangan cengkeh. Dengan ini akhirnya Portugis benar-benar menguasai daerah itu dan dibangunlah benteng pertama milik Portugis pada tanggal 15 februari 1523 dengan nama Sao Jao Bautista St John the Baptist untuk memperkuat kekuasaan Portugis. 33 Semakin lama situasi pun semakin memburuk, hal itu dikarenakan pertarungan antara Portugis yang beraliansi dengan Ternate yang pada waktu itu dipimpin oleh anak dari Sultan Abu Lais yaitu Sultan Abu Hayat yang pada waktu itu berusia tujuh tahun melawan Spanyol yang beraliansi dengan Tidore. Kepada Tidore Spanyol berjanji menyediakan kapal, pasukan, dan amunisi untuk dapat melawan semua musuhnya, termasuk Portugis. Namun pada kenyataannya usaha perlawanan yang dilakukan oleh Spanyol tidak pernah berhasil, dengan kata lain mereka selalu kalah dengan Portugis dan itu membuat Spanyol mundur meninggalkan Maluku. Di sisi yang lain juga hubungan antara Portugis dengan Ternate semakin memburuk. Hal ini diawali sejak orang-orang ternate menyadari bahwa Portugis berusaha memonopoli rempah-rempah di Ternate dan menjadi lebih buruk lagi sejak Kapten Portugis yang kala itu dipimpin oleh Kapten Portugis Dom Jorge de Menese menyandera Sultan Abu Hayat di benteng milik Portugis hingga dia meninggal dunia yang kemudian digantikan dengan saudaranya Dayali yang juga disandera oleh Portugis di benteng mereka. Peristiwa ini membangkitkan amarah masyarakat Ternate, hingga akhirnya mereka melakukan perlawanan terhadap Portugis. Selain masyarakat Ternate, muncul juga perlawanan dari daerah lain seperti Maluku yang menantang keras usaha monopoli yang dilakukan oleh Portugis. Selain itu kerajaan Islam Demak juga ikut serta melakukan perlawanan terhadap kegiatan misionaris yang dilakukan oleh Portugis. Benteng Portugis yang terletak di Sunda Kelapa sekarang menjadi Jakarta berhasil dikalahkan oleh Sultan 34 Fatahilah bekerjasama dengan kerajaan Sunda-Hindu, Pajajaran pada tahun 1572.

2.2 Kampung Tugu