Kebijakan Umum .1 Pola Adaptasi

78

BAB IV UPAYA DALAM MEMPERTAHANKAN TRADISI MUSIK

KERONCONG TUGU Pada Bab IV ini penulis akan memaparkan upaya apa saja yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Tugu dalam mempertahankan keutuhan dan karakteristik musik keroncong tugu berdasarkan analisis penulis dari data- data yang penulis dapatkan baik lewat wawancara langsung, buku-buku refrensi, jurnal, dan media online. Agar tulisan ini mudah dipahami, penulis membaginya ke dalam dua bagian, yang dibagi lagi dalam beberapa pembahasan yang lebih sempit, dengan pemaparan yang lebih mendalam yaitu. 1 Kebijakan Umum a Pola adaptasi 2 Kebijakan Khusus a Latihan Rutin b Pementasan pada acara pemerintahan dan komersil c Rekaman d Perekrutan Anggota 4.1 Kebijakan Umum 4.1.1 Pola Adaptasi Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan 79 lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi Gerungan,1991:55. Menurut Suparlan Suparlan,1993:20 adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut: 1. Syarat dasar alamiah-biologi manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya. 2. Syarat dasar kejiwaan manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah. 3. Syarat dasar sosial manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Hasil dari proses adaptasi itu sendiri tentu saja tidak diperoleh secara instan, namun butuh waktu yang tidak dapat dibatasi cepat atau lambatnya, akan tetapi tergantung dari anggota kelompok masyarakat itu sendiri. Proses adaptasi menuntut sebuah perubahan dan perubahan itu bisa terjadi kepada lingkungan atau kepada kelompok masyarakat atau bahkan juga kedua-duanya, yang artinya lingkungan dan kelompok masyarakat tersebut sama-sama memiliki kemungkinan mengalami suatu perubahan. 80 Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus membahas tentang adaptasi sosial yang mengarah kepada pembahasan tentang kebudayaan musikal masyarakat Kampung Tugu. Adaptasi sosial itu sendiri merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan sosial. Penyesuaian ini dapat diartikan dengan mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan soasial pada suatu wilayah, atau mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan kelompok itu sendiri. Sejak Gubernur Jenderal Jan Pieter Soen Coen memberlakukan pembersihan etnis oleh militer Belanda di Pulau Banda selama tahun 1620, para pelaut Portugis Goa melarikan diri, namun dalam perjalanan, kapal yang mereka tumpangi karam hingga akhirnya mereka membuat pelabuhan darurat di teluk Batavia. Di bawah intervensi Batavia Portugis Church Portugeesche Binnenkerk, pada tahun 1661 oleh Belanda mereka ini dibebaskan dan dikirim para pelaut ini ke desa Tugu bersama dengan keluarga mereka asal Bandaneira yang berjumlah sekitar 23 kepala keluarga. Sejak mereka diasingkan ke Kampung Tugu, sebuah kehidupan baru pun dimulai. Sebuah kehidupan baru yang mengharuskan mereka untuk beradaptasi dengan wilayah itu. Beradaptasi dengan lingkungan yang kondisi alamnya kurang baik, dikarenakan wilayah itu masih berupa hutan belantara dan merupakan kawasan berawa. Ini memaksa mereka untuk meninggalkan semua kebiasaan dan cara-cara hidup mereka yang lama dan mulai membiasakan diri untuk hal-hal yang baru demi terus berlangsungnya kehidupan. Jika kelompok masyarakat Tugu tidak mampu beradaptasi dengan wilayah Tugu pada waktu 81 itu, mungkin saat ini tidak dijumpai kelompok masyakat Tugu yang merupakan keturunan Portugis. Cara mereka beradaptasi dimulai dengan memanfaatkan alam yang berupa hutan belantara yang mereka jadikan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka memanfaatkan hutan dengan cara berburu hewan yang ada di dalam hutan itu sebagai sumber makanan mereka. Selain itu mereka juga membuka lahan yang baru untuk mereka pakai bercocok tanam. Sebagian dari mereka juga memilih untuk menjadi nelayan dengan memanfaatkan sungai yang ada di dekat kawasan itu. Di sinilah terlihat awal proses adaptasi dari kelompok masyarakat Kampung Tugu itu berlangsung, yaitu ketika mereka mengubah diri pribadi mereka sesuai dengan keadaan lingkungan pada waktu itu. Menjadi seorang petani, nelayan, atau juga berburu hewan di hutan tentunya bukanlah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh seorang pelaut. Sebagai seorang pelaut seharusnya aktivitas kehidupan mereka berada di laut, melintasi dan mengarungi samudera dengan kapal. Akan tetapi kondisi dan situasi yang mereka hadapi sejak mereka diasingakan jauh berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya mereka lakukan. Apabila mereka mempertahankan jati diri mereka sebagai seorang pelaut, dan tidak mau beradaptasi dengan cara memulai sebuah kebiasaan baru yaitu bertani dan berburu bisa dipastikan kehidupan mereka tidak akan berlangsung lama. Inilah yang menjadi inti dari adaptasi, yaitu untuk menjaga keberlangsungan hidup. Namun, untuk dapat bertahan hidup tidak hanya berbicara tentang apa yang harus dimakan dan bagaimana cara mendapatkan 82 makanan. Sebagai makhluk sosial, tentunya bersosialisasi dengan makhluk sosial lain sudah menjadi kebutuhan mendasar di dalam diri setiap orang yang hidup. Kebutuhan bersosialisasi ini melekat erat dalam diri setiap orang dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini dikarenakan sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Hal ini disampaikan oleh Koentjaraningrat 2002:146 yang mana dia berpendapat bahwa masyarakat adalah semua kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Pendapat lain yang disampaikan oleh Sofia Rangkuti Hasibuan, 2002:152-153 bahwa masyarakat dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang anggotanya satu sama lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal- balik. Dalam interaksi tersebut tedapat nilai-nilai sosial tertentu, yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku bagi anggota masyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa kebersamaan manusia di dalam sebuah kelompok akan menciptakan sebuah nilai yang dijadikan sebagai standar hidup berkelompok atau bermasyarakat. Tentu saja nilai itu tidak dapat tercipta dalam waktu yang singkat akan tetapi apabila telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka dapat mengorganisasikan diri dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu. Kebiasaan yang sudah mulai dilakukan oleh kelompok masyarakat di Kampung Tugu kemudian berubah menjadi kebudayaan yang hidup yang digunakann untuk mengatur kehidupan berkelompok dan menjadi sebuah acuan atau standar yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi sebagai sebuah kekayaan 83 budaya yang bernilai tinggi dan menjadi sebuah ciri khas dari kelompok masyakat Kampung Tugu. Salah satu kebudayaan yang fenomenal dan menjadikannya sebagai ciri khas dari Kampung Tugu adalah kebudayaan bermusik yang sudah diwariskan turun-temurun oleh bangsa Portugis yakni warisan musik Moresco. Seperti yang sudah saya ceritakan di paragraf sebelumnya bahwa sejak mereka diasingkan ke Kampung Tugu, mereka harus memulai sebuah kehidupan baru dan memulai kembali kehidupan mereka dari awal. Bermusik merupakan salah satu kebutuhan penting dalam kehidupan para mestizo. Hal itu dikarenakan musik memiliki peranan penting dalam perjalanan mereka selama melakukan pelayaran sebagai media untuk melepaskan penat dan kerinduan mereka kepada keluarga yang mereka tinggalkan selama mereka berlayar. Akan tetapi sejak mereka berada di pengasingan, tentu saja mereka tidak mendapatkan musik yang selama ini mereka mainkan,ditambah lagi mereka terasing dari kehidupan kota. Karena musik hal yang penting bagi para mestizo ini, akhirnya, mereka memanfaatkan kayu yang ada di hutan lalu mereka membuat alat musik berbentuk gitar kecil seperti yang pernah mereka mainkan sebelumnya yang mereka sebut cavaquinho. Inilah kebudayan musik yang mereka ciptakan dalam kehidupan berkelompok di Kampung Tugu. Setiap kali mereka selesai mengerjakan aktivitas mereka, biasanya mereka, khususnya para pemuda berkumpul bersama di halaman rumah seorang warga hanya untuk bermain alat musik keroncong sambil bernyanyi bersama-sama untuk menghilangkan letih setelah seharian beraktivitas. 84 Hal ini tidak hanya berlangsung sementara. Komitmen kelompok masyarakat Kampung Tugu untuk tetap menjaga, memelihara dan memainkan warisan musik moresco terus berlangsung dan berkembang sehingga dalam 2 buah acara tahnunan yang setiap tahunnya mereka lakukan sebagai acara yang wajib, mereka tidak pernah luput untuk memainkan musik yang kemudian mereka sebut dengan “musica de tugu”. Kedua acara itu adalah acara tradisi Rabo-Rabo dan Mandi-mandi, yakni acara tradisi tahunan untuk mengakhiri minggu tahun baru dan acara ini masih tetap belangsung hingga sekarang ini. Keberhasilan masyarakat Kampung Tugu dalam mempertahankan kebudayaan mereka dengan cara beradaptasi terbukti dengan melihat sampai hari ini kelompok masyarakat Kampung Tugu yang merupakan keturunan Portugis masih tetap hidup dan terjaga meskipun sudah berusia tiga setengah abad. Tiga setengah abad tentunya bukanlah waktu yang sebentar dan bukan hal yang mudah juga memelihara kehidupan dan kebudayaan musiknya agar tetap dapat berlangsung hingga sekarang ini. Perjalanan waktu dari tahun ke tahun tentunya mengakibatkan banyak perubahan terjadi di Kampung Tugu ini. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan dan meningkatnya jumlah penduduk juga menjadi salah satu faktor yang membuat banyak perubahan terjadi. Hal ini menuntut masyarakat di Kampung Tugu ini terus bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi supaya mereka bisa tetap melangsungkan kehidupan. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di Indonesia menjadi salah satu faktor yang banyak mempengaruhi beberapa perubahan terjadi di Kampung Tugu. Selain itu minat penduduk yang tinggal di daerah untuk mangadu nasib di 85 ibu kota negara, yaitu di Jakarta juga sangat tinggi yang mengakibatkan padatnya kota Jakarta sehingga memenuhi hampir seluruh wilayah kota Jakarta, dan salah satunya adalah wilayah Kampung Tugu. Kampung Tugu yang awalnya hanya didiami oleh 23 kepala keluarga keturunan Portugis, yang berbudaya Portugis, dan berbahasa Portugis Cristao lisan, kemudian melebur secara bertahap yang menyebabkan sosialisasi bahasa mereka pada tahun 1815. Tentu saja peleburan ini terjadi karena masuknya kelompok masyarakat dari daerah lain dan memadati Kampung Tugu dengan membawa kebudayaan mereka masing-masing. Hingga akhirnya Kampung Tugu tidak hanya dihuni oleh para mestizo, akan tetapi dari berbagai suku yang datang dari daerah lain dan sekitaran Jakarta dengan membawa kebudayaannya masing- masing. Cepatnya laju pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan tingginya minat masyarakat di daerah untuk mencari peruntungan di kota Jakarta juga berakibat kepada percepatan perubahan kebudayaan yang sudah terbentuk sebelumnya di Kampung Tugu. Seperti yang disampaikan oleh Suparlan Suparlan,1993:20 yang sudah saya tuliskan pada paragraf sebelumnya bahwa ada syarat-syarat dasar yang harus dilakukan untuk tetap melangsungkan kehidupan. Salah satu dari tiga buah syarat yang disebutkannya adalah syarat dasar sosial manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. 86 Jumlah kelompok mestizo di wilayah Kampung Tugu yang hanya sebanyak 23 kepala keluarga merupakan jumlah yang sedikit apabila dibandingkan dengan banyaknya orang yang datang dan kemudian tinggal di wilayah Kampung Tugu. Para mestizo ini yang awalnya adalah kelompok masyarakat pertama dan satu-satunya yang mendiami wilayah Kampung Tugu pada akhirnya justru menjadi kelompok minoritas di wilayah Kampung Tugu. Keberadaan para mestizo yang berubah menjadi menjadi kelompok minoritas, tentunya juga berpengaruh kepada kebudayaan musiknya yang mereka sudah bangun selama mereka hidup di Kampung Tugu. Kita tentunya sudah memahami bahwa memang tidak ada kebudayaan yang tidak mengalami evolusi atau suatu perubahan. Hal ini dipengaruhi banyak hal, diantaranya adalah meningkatnya pendidikan, perkembangan teknologi dan perubahan suatu lingkungan. Hal ini jugalah yang harus dihadapi oleh para mestizo yang tinggal di wilayah Kampung Tugu. Masuknya kelompok pendatang ke wilayah Kampung Tugu tentunya membawa banyak perubahan khususnya untuk kebudayaan musiknya. Jika para mestizo initidak mampu beradaptasi, kebudayaan musik moresco Portugis yang mereka miliki akan hilang tenggelam di dalam banyaknya kebudayaan baru yang datang ke wilayah itu. Selama masih ada kehidupan, proses adaptasi juga masih akan terus berlangsung. Hal ini berarti kelompok mestizo juga harus terus melakukan proses adaptasi sehingga sekalipun mereka sebagai kelompok minoritas mereka tetap bisa berbaur dengan masyarakat yang bukan berasal dari keturunan 87 Portugis dan tetap bisa menjunjung tinggi kebudayaan yang mereka sudah bangun selama mereka mendiami Kampung Tugu. Cara para mestizo ini dalam melakukan adaptasi diantaranya mulai berabur dengan menggunakan bahasa selain dari bahasa Portugis Cristao Lisan , yaitu bahasa melayu dan Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan lagu-lagu yang hingga kini masih dinyanyikan oleh Keroncong Tugu Cafrinho yang mana lagu-lagu itu masih menggunakan bahasa Portugis Cristao Lisan, bahasa Melayu, dan juga bahasa Belanda. Cara lain yang mereka lakukan untuk beradaptasi adalah dengan menikahi orang yang berlatar belakang bukan dari keturunan Portugis melainkan dari suku luar. Seiring berjalannya waktu, musik yang kebanggaan milik keturunan Portugis ini pun semakin populer, bahkan kepopulerannya membuat musik ini tidak hanya dikenal di wilayah Kampung Tugu, namun orang-orang di luar wilayah Tugu juga sangat menikmati musik yang mereak sebut dengan musica de tugu ini. Iramanya yang bersemangat dengan menggunakan gitar kecil yang sederhana sebagai iringannya membuat siapa saja yang mendengar musik ini ikut terbawa ke dalam semangatnya permainan musik yang dimainkan. Karena banyaknya penikmat musik ini, akhirnya masyarakat sekitar menyebut musik yang dimainkan para mestizo ini dengan sebutan musik keroncong, yang diambil dari suara khas yang dihasilkan oleh istrumen gitar kecil yang apabila dimainkan menghasilkan suara berupa “crong-crong”. Kampung Tugu yang masih tergabung dalam wilayah kota Jakarta yang dikenal dengan kebudayaan Betawinya juga ikut serta memberikan kontribusi 88 terhadap musik keroncong Tugu Cafrinho. Hingga akhirnya Musik Keroncong Tugu Cafrinho menjadi bagian yang tergolong ke dalam kebudayaan Betawi. Akulturasi budaya Betawi dengan Keroncong Tugu Cafrinho sebagai budaya warisan Portugis diwujudkan dengan lagu-lagu ciptaan Keroncong Tugu Cafrinho yang liriknya menggunakan diaelek Betawi dan menceritakan tentang budaya Betawi. Lagu-lagu Keroncong Tugu Cafrinho yang menggunakan dialek Betawi antara lain Keroncong Tugu, Kampung Tugu, Sirih Kuning, Jali-jali, Sepasang Mata Bola, Betawi tempat ku dilahirkan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1992 ada juga lagu yang lain, antara lain Oud Batavia, Kampung Serani, Bunga Teratai dan Surilang. Akulturasi budaya yang terjadi pada musik Keroncong Tugu menjadi sebuah bukti bahwa kelompok masyarakat Kampung Tugu yang dikenal sebagai keturunan Portugis dan mewarisi budaya musik Portugis mampu beradaptasi dengan segala bentuk perubahan yang datang. Keberhasilan mereka dalam beradaptasi ternyata tidak membuat warisan budaya musik Moresco yang mereka miliki menjadi hilang, justru sebaliknya adaptasi itu membuat kebudayaan musik Moresco itu tetap hidup hingga saat ini dan menjadi sangat populer sehingga hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa dan Jakarta khususnya mengenal musik ini dengan sebutan musik Keroncong Tugu, karena musik ini lahir dan berkembang di Kampung Tugu. Meskipun tidak dapat dipungkiri ada beberapa hal yang berubah, tetapi itu tidak membuat ciri khas dari kebudayaan musik Keroncnong Tugu menjadi hilang. 89 Perubahan dari hasil adaptasi itu tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan dan keaslian musik Keroncong Tugu. Perubahaan hanya lebih banyak terjadi pada aspek sosialnya, dan bukan kepada bentuk Musik Keroncong Tugu. Perubahan-perubahan yang terjadi dari hasil adaptasi itu antara lain adalah bahasa yang digunakan awalnya hanyalah bahasa Portugis Cristao Lisan, namun kemudian mulai berbaur dengan bahasa lokal setempat, yakni bahasa melayu, Belanda, dan diaelek Betawi. Perubahan lain yang terjadi adalah perkawinan campur yang dilakukan oleh para mestizo dengan cara menikah dengan suku lain yang bukan merupakan keturunan Portugis, sehingga membuat terjadinya akulturasi budaya yang dalam hal ini dapat dilihat dari budaya musik warisan moresco yang lebih dikenal dengan Keroncong Tugu. Hingga masa sekarang ini pun Keroncong Tugu Cafrinho masih tetap harus berjuang dengan cara harus senantiasa beradaptasi mengahadapi perubahan dan perkembangan zaman yang terus bergerak maju di semua bidang, dan tak luput juga dalam bidang kesenian, yang termasuk di dalamnya seni musik. Munculnya beragam genre musik baru di masa kini menjadi tantangan tersendiri bagi Keroncong Tugu. Selain itu teknologi yang canggih yang muncul lewat instrumen alat musik menawarkan pesona yang tentunya menarik perhatian para penikmat seni musik. Salah satu cara yang dilakukan Keroncong Tugu agar musik yang mereka mainkan tetap dicintai dan diminati oleh para penikmat seni musik adalah dengan memainkan lagu-lagu di luar dari lagu yang diciptakan Keroncong Tugu. Lagu-lagu itu bisa berupa lagu pop yang sedang populer, lagu 90 dari daerah lain seperti Batak Toba, atau lagu apa saja yang dimintakan penonton untuk mereka mainkan. Lagu-lagu permintaan ini mereka mainkan dengan formasi bermusik mereka sendiri. Akan tetapi, terkadang tidak semua lagu permintaan itu bisa dipenuhi, namun hanya lagu-lagu yang tidak terlalu banyak penggunaan akordnya dan lagu itu menggunakan akord mayor dan minor yang biasa. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka tidak mampu memainkannya, tetapi karena mereka ingin tetap mempertahankan identitas musiknya, yaitu musik Keroncong Tugu. Dengan cara ini, Keroncong Tugu Cafrinho menjadikan musik yang mereka punya menjadi sesuatu yang sangat bernilai dan sangat mahal harganya karena apa yang mereka punya ini tentu tidak dimilki oleh genre-genre musik yang lain. Sebagai akhir dari pembahasan ini penulis hanya ingin menegaskan bahwa tidak ada satu kebudayaan pun yang tidak mengalami perubahan. Keroncong Tugu yang adalah sebuah kebudayaan musik warisan Portugis dapat dikatakan berhasil beradaptasi terhadap semua tantangan yang mereka hadapi dalam proses adaptasi tersebut. Sekalipun ada beberapa hal yang berubah, namun inti dari kebudayaan musik moresco warisan Portugis yang kini dikenal dengan Keroncong Tugu tetap bisa bertahan bahkan semakin kaya tanpa ada nilai yang berubah meski kini musik itu sudah berusia 3,5 abad. Nilai dari musik itu sendiri adalah sebagai berikut: 1. Nilai sejarahnya yang menyatakan Keroncong Tugu Cafrinho berasal dari Portugis yang terbukti dengan lagu yang mereka mainkan menggunakan bahasa Portugis dalam beberapa lagunya, dan salah 91 satu lagunya yaitu lagu moresco yang juga populer di Portugis, yang masuk ke wilayah Timur dibawa oleh para pelaut Portugis yang diwariskan kepada para mestizo yang diasingkan Belanda ke Kampung Tugu. 2. Alat musik yang mereka ciptakan sendiri yaitu macina, sebuah alat musik berupa gitar kecil yang apabila dimainkan berbunyi ”crong- crong”. 3. Pakem lagu, yakni lagu moresco yang dijadikan sebagai dasar lagu- lagu keroncong lain yang diciptakan banyak orang. 4.2 Kebijakan Khusus 4.2.1 Latihan Rutin