Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap upaya pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling mendasar yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia. Komitmen ini kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan: 1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang 1 Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa 2 . Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik, karena merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki keragaman baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki peserta didik ini mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan kemampuan peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga pendidik. Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah. Kesulitan terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau kecerdasan dan bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat perhatian dari tenaga pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah Pendidikan Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah 3 . Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di atas. Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, danatau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa 4 . Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang dimaksud dalam pasal di atas. Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang secara khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk pendidikan bagi peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa 5 . Peraturan pemerintah ini hanya mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Dalam peraturan ini tidak disebutkan adanya aturan yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa atau istimewa. Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini didesain secara khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta 3 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 5 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa. didik yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak memiliki kelainan fisik dan mental normal. Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa SLB, Sekolah Dasar Luar Biasa SDLB, dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, danatau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan. Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah KecamatanDesa, tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak- anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum SD tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar biasa 6 . Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak berkekhususan sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu tidak lain adalah peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu berkekhususan. Indonesia juga mengalami perkembangan yang hampir sama. Sampai saat ini terdapat banyak sekolah yang mulai membuka program pendidikan inklusif 7 . Yang melandasi pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara umum adalah semangat egalitarianisme yang berarti terdapat kesempatan yang sama bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan. Masing-masing anak harus mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda ini tidak meniscayakan adanya pendidikan yang dipisahkan, namun berangkat dari perbedaan yang terdapat dalam individu anak 8 . Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Dirjen Mandikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang 6 Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, Cet. Ke-8, h. 4-6. 7 Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, Jakarta: Prenada, 2007, h. 8-9. 8 Louis A. Fliegler, “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961, h. 372-373. menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.181 9 . Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380C.C6MN2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif 10 . Aturan terbaru yang mengatur pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri Permen Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan danatau Bakat Istimewa. Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah MBS. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur Pergub Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMASMK. Secara terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMASMK sebanyak 10 11 . Jumlah ini bukanlah jumlah ideal sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang- kurangnya memiliki 3 tiga TKRA, SDMI dan 1 satu SMPMTs yang 9 Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 5. 10 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 13. 11 Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 11902010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMASMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010. menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 tiga SMASMK atau MAMAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusi 12 . Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44 kecamatan 13 . Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu, seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TKRA dan SDMI adalah sebanyak 132 sekolah. Jumlah SMPMTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMASMK dan MAMAK sebanyak 15 Sekolah. Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya, penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi ABK mengikuti semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan khusus 14 . Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang 12 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007. 13 Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http:www.depdagri.go.idmediafilemanager201001291111__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011 14 Penelitian ini dilakukan dalam skala nasional dengan mengambil sampel di beberapa provinsi penyelenggara pendidikan inklusi. Lihat Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dari http:puslitjaknov.orgdatafile2008makalah_undanganDYAH20S_Pengkajian20Pendidikan 20Inklusif.pdf, 14 Januari 2010. pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah- sekolah di kota besar 15 . Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Pemerintah menyatakan ketidakmungkinan membangun SLB di tiap KecamatanDesa karena akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah. Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah