Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di

Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari 10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan. Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif. Di tingkat SMASMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. 10 SMASMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5 Kotamadya. Masing-masing Kotamadya memiliki 2 SMASMK penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak memiliki SMASMK penyelenggara program pendidikan inklusif.

2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di

Provinsi DKI Jakarta Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat dikelompokkan menjadi: a. Kesiswaan Kebijakan yang terkait dengan kesiswan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah reguler. Proses skrining dan assesment selalu dilakukan sebelum peserta didik berkebutuhan khusus masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa: “…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan karena faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang lambat belajar juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anak- anak yang memakai kursi roda juga masih jarang ditemukan yang masuk ke sekolah- sekolah inklusif…” 33 Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya menerima semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon peserta didik. Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo memberikan pemaparan bahwa: “…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak berkebutuhan khusus. Namun memang kami harus melakukan identifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan ekstrem tidak serta merta kami terima sebagai siswa di sini. Kalau anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran, maka mereka kami terima sebagai siswa, namun jika mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran maka mereka kami arahkan untuk masuk ke SLB dan disitu ada pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler seperti ini kan semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama, kalaupun anak- anak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara khusus maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat tenaga pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus... ” 34 Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa: 33 Wawancara dengan Septi Novida 34 Wawancara dengan Sukarto “…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka yang berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena tidak mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus dengan kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta merta menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada saat penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami untuk kami jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami tangani di sekolah. Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar anak-anak mereka bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di atas kertas mengenai apa saja yang harus mereka penuhi ketika anak- anak mereka yang berkebutuhan khusus bersekolah di sini…” 35 Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru PSB, jalur penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak: “…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk dan persyaratan- persyaratan lainnya…” 36 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan danatau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan paling sedikit 1 satu peserta didik dalam 1 satu rombongan belajar yang akan diterima. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta 35 Wawancara dengan Suparno 36 Wawancara dengan Suparno didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal 37 . Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2 dua peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam 1 satu rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus…” 38 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dengan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif telah merencanakan program identifikasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan melalui proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif 39 . Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan subsidi beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat pada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi beasiswa sebagai berikut: 37 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5 38 Wawancara dengan Septi Novida 39 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, h. 1 Tabel 3 40 Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010 No Nama Sekolah Alamat Wilayah Jumlah Peserta Didik Beasiswa 1 Tahun 1 SDN Cempaka Putih Barat 16 PG Jl. Cempaka Putih Barat XIX Pusat 30 3.600.000 2 SD Johar Baru 29 PG Jl. Percetakan Negara II A Pusat 23 2.760.000 3 SDN Kartini 02 Petang Jl. Gotong Royong Gg. E Pusat 12 1.440.000 4 SDN Bendhil 01 PG Jl. Danau Toba Pejompongan Pusat 22 2.640.000 5 SDN Kelapa Gading Timur 04 PG Jl. Komplek PT. HII Utara 23 2.760.000 6 SDN Sungai Bambu 02 PG Jl. Gadang No. 52 Utara 26 3.120.000 7 SDN Marunda 02 PAGI Jl. Marunda Pulo Rt. 00307 Marunda Utara 71 8.520.000 8 SDN SLIPI 18 PAGI Jl. KS Tubun III Dalam Barat 57 6.840.000 9 SD Negeri Meruya Selatan Jl. Lap. Jabek Komp. Mega Barat 66 7.920.000 40 Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 14492010 Tanggal 13 Oktober 2010 06 Pagi 10 SDN Palmerah 24 Pagi Jl. Rawa Belong II E Rt. 0610 No. 153 Barat 50 6.000.000 11 SDN Lebak Bulus 03 Jl. Pertanian III58 Selatan 14 1.680.000 12 SDN Lebak Bulus 06 Pagi Jl. Gunung Balong Lebak Bulus Selatan 10 1.200.000 13 SDN Cipete Selatan 08 PT Jl. Anggur II Komplek BRI Cilandak Selatan 18 2.160.000 14 SDN Menteng Atas 04 PG Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng Atas Selatan 32 3.840.000 15 SDN Cipete Selatan 04 Jl. Anggur II Komplek BRI Cilandak Selatan 14 1.680.000 16 SDN Cipete Utara 12 PG Jl. Kirai Ujung Selatan 32 3.840.000 17 SDN Lebak Bulus 02 PAGI Jl. Pertanian Raya No. 59 Lebak Bulus Selatan 23 2.760.000 18 SDN Pela Mampang 01 PAGI Jl. Bangka II Gg V Rt 1002 Selatan 24 2.880.000 19 SDN Kebon Pala 03 Jl. Jengki Cip. Asem Kebon Pala Timur 50 6.000.000 20 TK Negeri Pembina DKI Jl. Bambu Duri X Pd. Bambu Timur 10 1.200.000 21 SDN Gedong 04 Pagi Jl. Raya Condet Gedong Timur 24 2.880.000 22 SDN Gedong 12 Pagi Jl. Raya Condet Gg. Pembangunan II Timur 35 4.200.000 23 SDN Cijantung 01 Pagi Jl. Pertengahan Rt. 0607 Cijantung Timur 25 3.000.000 24 SDN Gedong 03 Pagi Jl. Raya Condet Gedong Timur 31 3.720.000 25 SDN Kramat Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt. 00309 No. 40 Timur 40 4.800.000 26 SDN Kramat Jati 16 Pagi Jl. Langgar Rt. 00810 Timur 27 3.240.000 27 SDN Cipayung 09 PTG Jl. SMAN 64 Rt. 00502 Timur 26 3.120.000 b. Kurikulum Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya 41 . Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam 41 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus 42 . Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan bahwa: “…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain kebijakan kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang sudah ada. Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar Pelangi dimana Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan treatment khusus yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak sama dengan anak- anak normal lainnya yang berada di kelas…” 43 Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan: “…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu dalam kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan anak- anak berkebutuhan khusus…” 44 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa: “…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi. Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat terbantu…” 45 Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan 42 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi 43 Wawancara dengan Septi Novida 44 Wawancara dengan Sukarto 45 Wawancara dengan Suparno khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus. Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di kelas. c. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang benar. Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional HKI yang memiliki konsen, salah satunya, dalam pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, yaitu: “…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anak- anak berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang berusaha agar pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik oleh para pendidik, terutama mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tugas guru GPK nantinya adalah membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti pembelajaran …Kami sendiri menjalin kerjasama dengan Hellen Keller Internasional HKI sejak tahun 2003 dimana kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru di sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara program pendidikan inklusif…” 46 46 Wawancara dengan Septi Novida Pihak Hellen Keller Internasional HKI sendiri menyatakan bahwa: “…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu dalam pendidikan program pendidikan inklusif. Di HKI program ini masuk ke dalam program Opportunities for Vulnerable Children OVC… kami juga mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan mengundang guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Namun pelatihan ini Cuma beberapa kali saja kami adakan. Pelatihan untuk guru lebih banyak kami adakan di sekolah-sekolah model pendidikan inklusif…” 47 Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjuk beberapa guru SLB Sekolah Luar Biasa di lingkungan Dinas untuk menjadi GPK Guru Pembimbing Khusus yang mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan: “…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai Guru Pembimbing Khusus GPK guna mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa orang guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke sini jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah guru honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah dengan status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak berangkat dari hati nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap bertahan, apalagi kebanyakan dari mereka masih memiliki status sebagai mahasiswa yang sekarang sudah sarjana dan akhirnya memutuskan untuk bertugas di tempat lain. Berbeda dengan guru-guru yang berstatus PNS yang sampai sekarang masih bertahan sebagai GPK…” 48 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa: “…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan tenaga pendidikan yang memang secara khusus menangani 47 Wawancara dengan Fitri 48 Wawancara dengan Septi Novida pelaksanaan pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal pelaksanaan program pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami pun belajar bagaimana menangani pelaksanaan pendidikan inklusif…” 49 Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan: “…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku manajer program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai kesempatan mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anak- anak berkebutuhan khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu melakukan kerj asama yang sampai saat ini terjalin dengan baik…” 50 Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat terpenuhi kebutuhannya di sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional HKI yang memiliki program Opportunities for Vulnerable Children OCV. Salah satu yang program OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan dengan serta merta di SLB. Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan dan arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam 49 Wawancara dengan Sukarto 50 Wawancara dengan Suparno pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan GPK. Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak jelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, sehingga kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus 51 . Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa pemerintah KabupatenKota wajib menyediakan paling sedikit 1 satu orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah KabupatenKota wajib menyediakan paling sedikit 1 satu orang Guru Pembimbing Khusus. Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing Khusus pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat menyediakan dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber atau lembaga lain. d. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana dalam penyelenggaran pendidikan inklusif menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas 51 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41 Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah yang mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida: “…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika memang dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolah- sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami bantu karena mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membantu pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah mengajukan proposal permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bila memang diperlukan, saya sendiri mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar sekolah tertentu dibantu oleh pemerintah pusat …” 52 Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana penjelasan Sukarto, S.Pd: “…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan prasarana agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif. Misalnya alat rekam agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam pelajaran untuk diputar ulan g di rumah dengan bantuan orang tua…” 53 Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak sekolah sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi, SMA Negeri 66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparno, S.Pd: 52 Wawancara dengan Septi Novida 53 Wawancara dengan Sukarto “…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan yang diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus pun ada beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat terpenuhi dengan baik. Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi peserta didik, kami pun menyediakan laptop khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar tidak ada pembedaan antara anak-anak reguler dengan anak- anak berkebutuhan khusus...” 54 Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah KabupatenKota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana 55 . Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolahmadrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik berkebutuhan khusus 56 . e. KeuanganDana Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif 54 Wawancara dengan Suparno 55 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 56 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11 bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti 57 . Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP Bantuan Operasional Pendidikan dan DOP Dana Operasional Pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif kami berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP dan DOP. Di samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang kami Bidang TK, SD, dan PLB untuk diberikan kepada sekolah- sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif jika dibutuhkan …” 58 Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah diberikan sebanyak 2 dua kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp. 20.000.000,- Dua puluh juta rupiah untuk masing-masing sekolah. Alokasi anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah DPA-SKPD Dinas Pendidikan Tahun 2009 59 . Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 lima sekolah 57 Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16 58 Wawancara dengan Septi Novida 59 Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8422009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp. 18.000.000,- Delapan belas juta rupiah. Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun 2010 sebagai berikut: Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009 No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah 1 SDN Johar Baru 29 Pagi Jl. Percetakan Negara II A Johar Baru Pusat 2 SDN Cempaka Putih Barat 16 Pagi Jl. Cempaka Putih Barat XIX Cempaka Putih Pusat 3 SDN Kramat Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt. 00309 No. 40 Kramat Jati Timur 4 SDN Sukabumi Selatan 07 Pagi Jl. Raya Pos Pengumben Rt. 00208 Sukabumi Selatan Kebon Jeruk Barat 5 SDN Slipi 18 Pagi Jl. KS Tubun III Dalam Palmerah Barat 6 TK Aisyiyah 31 Jl. Salemba Bluntas I77 Salemba Paseban Senen Pusat 7 SDN Jatinegara Kaum 14 Pagi Jl. Jatinegara Kaum 103 Pulo Gadung Timur 8 SDN Lebak Bulus 06 Pagi Jl. Gunung Balong Cilandak Selatan 9 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo Rt. 00307 Cilincing Utara 10 SMP Negeri 118 Jl. Pramukasari I No. 19 Cempaka Putih Pusat 11 SDN Tanah Tinggi 01 Pagi Jl. Tanah Tinggi I Gang 2 Johar Baru Pusat 12 SDN Rawabadak Selatan 07 Pagi Jl. Mundari Bendungan Melayu Rawabadak Koja Utara 13 SDN Pluit 06 Petang Jl. Komp. Nelayan Muara Angke Rt. 00101 Penjaringan Utara 14 TK Negeri Pembina DKI Jakarta Jl. Bambu Duri X Pondok Bambu Duren Sawit Duren Sawit Timur 15 SDN Kartini 02 Petang Jl. Gotong Royong Gang E Sawah Besar Pusat 16 SMP Negeri 191 Jl. Kepa Duri Raya Kebon Jeruk Barat 17 SMP Negeri 240 Jl. H. Raya No. 16 B Kebayoran Baru Selatan 18 SMP Negeri 120 Jl. Kamal Muara Raya No. 9 Penjaringan Utara 19 SDN Gedong 12 Pagi Jl. Raya Cindet Gg. Masjid Pasar Rebo Timur 20 SMP Negeri 223 Jl. Surilang No. 6 Pasar Rebo Timur Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010 No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah 1 SDN Cempaka Putih Barat 16 Pagi Jl. Cempaka Putih Barat XIX Cempaka Putih Pusat 2 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo Rt. 00307 Cilincing Utara 3 SDN Meruya Selatan 06 Pagi Jl. Lap. Jabek Rt. 002001 Mega Kembangan Barat 4 SDN Mentas 04 Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng Setiabudi Selatan 5 SDN Kramat Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt. 00309 No. 40 Kramat Jati Timur Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa pendanaan untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain berasal dari sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sukarto: “…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari biaya sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat PSLB Pusat…” 60 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan: “…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif…” 61 60 Wawancara dengan Sukarto 61 Wawancara dengan Suparno Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan dana yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah ditunjuk tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana dan proposal tersebut diterima karena telah dipertimbangkan kelayakannya. Namun demikian, pihak sekolah sendiri pun mengakui bahwa sekolah sendiri sudah mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana yang dibutuhkan sekolah pun ada juga yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan lewat Direktorat PSLB. f. Model Pendidikan Inklusif Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya di kelas reguler. Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan khusus maka peserta didik berkebutuhan khusus dipisahkan untuk diberikan treatment khusus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di sekolah inklusif. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat mengetahui dan memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anak- anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik maupun emosional. Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak lainnya. Namun dalam prakteknya, sebagian dari anak-anak berkebutuhan khusus mungkin dapat dipisah ketika memang mereka tidak dapat disatukan. Ini bagian dari strategi pembelajaran yang dapat dipraktikkan oleh guru …” 62 Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo yang menyatakan: “…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui kondisi yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini diperlukan karena masing-masing siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra yang bisa saja duduk di belakang atau duduk di depan kelas. Contoh lain misalnya siswa tuna rungu yang harus duduk di depan. Pada awal proses belajar mengajar, kami menginformasikan kepada wali kelas untuk membuat denah yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus…” 63 Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal yang serupa yaitu: “…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus disamakan dengan anak- anak reguler lainnya…” 64 Pada prinsipnya, peserta didik berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas bersama-sama dengan peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam anak-anak berkebutuhan khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan khusus dari kelas reguler dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana proses pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi yang disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas sendiri tidak memberikan aturan ketat mengenai bagaimana model pendidikan inklusif seharusnya dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang paling mengetahui kondisi peserta didiknya, sehingga kebutuhan peserta didik harus diidentifikasi sendiri oleh sekolah. 62 Wawancara dengan Septi Novida 63 Wawancara dengan Sukarto 64 Wawancara dengan Suparno Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu kepada konsep inklusi penuh full inclusion dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh pemerintah. Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan pemhaman bahwa proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru yang menangani pendidikan inklusif. Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh full inclusion dimana peserta didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial partial inclusion dimana peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus 65 . Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan pemerintah yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh di sekolah reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer 66 , tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah 65 George Morrison, Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, h. 462. 66 Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl eds., Inclusive Education; A Global Agenda, London: Routledge, 1997, h. 12. pusat lewat Direktorat PSLB, penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia tetap mengambil semangat dan filosofi inklusif. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk penilaian atau peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun kami melakukan proses penilaian saat kami melakukan monitoring di sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara menanyakan langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan program pendidikan inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum terselenggara …” 67 Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa: “…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan oleh pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…” 68 Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan dukungan atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan: “…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami sebagai penyelenggara pendidikan inklusif merasa sangat terbantu dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh Direktorat PSLB Pusat…” 69 Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi 67 Wawancara dengan Septi Novida 68 Wawancara dengan Sukarto 69 Wawancara dengan Suparno diperlukan untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan masalah atau tidak 70 . Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti semula, diubah, atau dihilangkan sama sekali 71 . Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai berikut: a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. b. Formulasi kebijakan, dikaitkan dengan formulasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan kebijakan dari tingkat pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya Provinsi DKI Jakarta c. Adopsi kebijakan, dikaitkan dengan dilegitimasinya kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi d. Implementasi kebijakan, dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus, dan lain-lain. 70 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2007, h. 34 71 Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, Boston: Wadsworth, 2009, h. 55 e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SDTKPLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 105

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental, emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa danatau bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang sama dengan peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena kebijakan tersebut tidak secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif 2. Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan penyandang hambatancacat ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan