Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4
Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di
6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari
10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP
penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan. Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif
tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI
Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif.
Di tingkat SMASMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. 10 SMASMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5
Kotamadya. Masing-masing
Kotamadya memiliki
2 SMASMK
penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak memiliki SMASMK penyelenggara program
pendidikan inklusif.
2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Provinsi DKI Jakarta
Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat
dikelompokkan menjadi: a. Kesiswaan
Kebijakan yang terkait dengan kesiswan pendidikan
inklusif dilaksanakan dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan
khusus. Dalam implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah
reguler. Proses skrining dan assesment selalu dilakukan sebelum peserta didik berkebutuhan khusus masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida,
M.Pd sendiri menyatakan bahwa: “…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat
tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan
karena faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang lambat belajar juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan
khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anak- anak yang memakai kursi roda juga masih jarang ditemukan yang
masuk ke sekolah-
sekolah inklusif…”
33
Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya menerima semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon
peserta didik. Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo memberikan pemaparan bahwa:
“…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak berkebutuhan khusus. Namun memang kami harus melakukan
identifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan ekstrem tidak serta merta kami terima sebagai siswa di
sini. Kalau anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran, maka mereka kami terima sebagai
siswa, namun jika mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran maka mereka kami arahkan untuk masuk ke SLB dan disitu ada
pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler seperti ini kan semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama, kalaupun anak-
anak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara khusus maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi
mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat tenaga pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus
bagi anak-anak berkebutuhan khusus...
”
34
Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa:
33
Wawancara dengan Septi Novida
34
Wawancara dengan Sukarto
“…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka
yang berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena tidak mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus
dengan kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta merta menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada
saat penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami
untuk kami jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami tangani di sekolah. Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar
anak-anak mereka bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di atas kertas mengenai apa saja yang harus mereka penuhi ketika anak-
anak mereka yang berkebutuhan khusus bersekolah di sini…”
35
Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru PSB, jalur penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler
lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak:
“…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus
dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk
dan persyaratan-
persyaratan lainnya…”
36
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan danatau peserta
didik yang memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki
sekolah. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif
mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan paling sedikit 1 satu peserta didik dalam 1 satu rombongan belajar yang akan
diterima. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta
35
Wawancara dengan Suparno
36
Wawancara dengan Suparno
didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal
37
. Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan
penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2 dua peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam
1 satu rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd:
“…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri
tidak kerepotan
dalam menangani
anak-anak berkebutuhan
khusus…”
38
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dengan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif telah merencanakan program
identifikasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan
melalui proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan
untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui
pengamatan yang sensitif
39
. Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan
subsidi beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat pada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan
program pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi beasiswa sebagai berikut:
37
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5
38
Wawancara dengan Septi Novida
39
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, h. 1
Tabel 3
40
Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa Tahun Anggaran 2010
No Nama Sekolah
Alamat Wilayah
Jumlah Peserta
Didik Beasiswa 1
Tahun
1 SDN Cempaka
Putih Barat 16 PG
Jl. Cempaka Putih Barat XIX
Pusat 30
3.600.000
2 SD Johar Baru
29 PG Jl.
Percetakan Negara II A
Pusat 23
2.760.000
3 SDN Kartini 02
Petang Jl.
Gotong Royong Gg. E
Pusat 12
1.440.000
4 SDN
Bendhil 01 PG
Jl. Danau Toba Pejompongan
Pusat 22
2.640.000
5 SDN
Kelapa Gading
Timur 04 PG
Jl. Komplek PT. HII
Utara 23
2.760.000
6 SDN
Sungai Bambu 02 PG
Jl. Gadang No. 52 Utara 26
3.120.000
7 SDN Marunda
02 PAGI Jl. Marunda Pulo
Rt. 00307
Marunda Utara
71 8.520.000
8 SDN SLIPI 18
PAGI Jl. KS Tubun III
Dalam Barat
57 6.840.000
9 SD
Negeri Meruya Selatan
Jl. Lap.
Jabek Komp. Mega
Barat 66
7.920.000
40
Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 14492010 Tanggal 13 Oktober 2010
06 Pagi 10 SDN Palmerah
24 Pagi Jl. Rawa Belong
II E Rt. 0610 No. 153
Barat 50
6.000.000
11 SDN Lebak
Bulus 03 Jl.
Pertanian III58
Selatan 14
1.680.000
12 SDN Lebak
Bulus 06 Pagi Jl.
Gunung Balong
Lebak Bulus
Selatan 10
1.200.000
13 SDN Cipete
Selatan 08 PT Jl.
Anggur II
Komplek BRI
Cilandak Selatan
18 2.160.000
14 SDN Menteng Atas 04 PG
Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng
Atas Selatan
32 3.840.000
15 SDN Cipete
Selatan 04 Jl.
Anggur II
Komplek BRI
Cilandak Selatan
14 1.680.000
16 SDN Cipete
Utara 12 PG Jl. Kirai Ujung
Selatan 32
3.840.000
17 SDN Lebak
Bulus 02 PAGI Jl. Pertanian Raya
No. 59
Lebak Bulus
Selatan 23
2.760.000
18 SDN Pela
Mampang 01
PAGI Jl. Bangka II Gg
V Rt 1002 Selatan
24 2.880.000
19 SDN Kebon
Pala 03 Jl. Jengki Cip.
Asem Kebon Pala Timur
50 6.000.000
20 TK Negeri
Pembina DKI Jl. Bambu Duri X
Pd. Bambu Timur
10 1.200.000
21 SDN Gedong
04 Pagi Jl. Raya Condet
Gedong Timur
24 2.880.000
22 SDN Gedong
12 Pagi Jl. Raya Condet
Gg. Pembangunan II
Timur 35
4.200.000
23 SDN Cijantung 01 Pagi
Jl. Pertengahan
Rt. 0607
Cijantung Timur
25 3.000.000
24 SDN Gedong
03 Pagi Jl. Raya Condet
Gedong Timur
31 3.720.000
25 SDN Kramat
Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt.
00309 No. 40 Timur
40 4.800.000
26 SDN Kramat
Jati 16 Pagi Jl. Langgar Rt.
00810 Timur
27 3.240.000
27 SDN Cipayung 09 PTG
Jl. SMAN 64 Rt. 00502
Timur 26
3.120.000
b. Kurikulum Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan
inklusif sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif
dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
kurikulum tingkat
satuan pendidikan
yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan
bakat, minat, dan potensinya
41
. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam
41
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik
berkebutuhan khusus
42
. Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi
Novida, M.Pd menyatakan bahwa: “…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum
yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain kebijakan kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang
sudah ada. Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar
Pelangi dimana Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan treatment khusus yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak
sama dengan anak-
anak normal lainnya yang berada di kelas…”
43
Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan:
“…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu
dalam kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan anak-
anak berkebutuhan khusus…”
44
Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa: “…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak
berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi.
Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat
terbantu…”
45
Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang
digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan
42
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
43
Wawancara dengan Septi Novida
44
Wawancara dengan Sukarto
45
Wawancara dengan Suparno
khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus.
Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan
modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di kelas.
c. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta,
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang
benar. Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program
pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller Internasional HKI yang memiliki konsen, salah satunya,
dalam pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, yaitu:
“…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat
memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anak- anak berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang
berusaha agar pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik oleh para pendidik, terutama mereka yang
terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus
dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tugas
guru GPK nantinya adalah membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti pembelajaran
…Kami sendiri menjalin kerjasama dengan Hellen Keller Internasional HKI sejak tahun 2003 dimana
kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru di sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara program
pendidikan inklusif…”
46
46
Wawancara dengan Septi Novida
Pihak Hellen Keller Internasional HKI sendiri menyatakan bahwa: “…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu dalam pendidikan program pendidikan inklusif. Di HKI program ini
masuk ke dalam program Opportunities for Vulnerable Children
OVC… kami juga mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan mengundang guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan
inklusif. Namun pelatihan ini Cuma beberapa kali saja kami adakan. Pelatihan untuk guru lebih banyak kami adakan di sekolah-sekolah
model pendidikan inklusif…”
47
Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
juga menunjuk beberapa guru SLB Sekolah Luar Biasa di lingkungan Dinas untuk menjadi GPK Guru Pembimbing Khusus yang
mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd menyatakan:
“…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai Guru Pembimbing Khusus GPK guna mendampingi anak-anak
berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa
orang guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke
sini jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah guru honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah
dengan status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak berangkat dari hati nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap
bertahan, apalagi kebanyakan dari mereka masih memiliki status sebagai mahasiswa yang sekarang sudah sarjana dan akhirnya
memutuskan untuk bertugas di tempat lain. Berbeda dengan guru-guru yang berstatus PNS yang sampai sekarang masih bertahan sebagai
GPK…”
48
Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa: “…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan
pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan
tenaga pendidikan yang memang secara khusus menangani
47
Wawancara dengan Fitri
48
Wawancara dengan Septi Novida
pelaksanaan pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal pelaksanaan program pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami
pun belajar
bagaimana menangani
pelaksanaan pendidikan
inklusif…”
49
Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan: “…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan
di sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan
pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku manajer program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai
kesempatan mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anak-
anak berkebutuhan khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu melakukan kerj
asama yang sampai saat ini terjalin dengan baik…”
50
Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan
sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat
terpenuhi kebutuhannya di sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan
yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama
dengan LSM Hellen Keller Internasional HKI yang memiliki program Opportunities for Vulnerable Children OCV. Salah satu yang program
OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan
dengan serta merta di SLB. Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah
penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan dan arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam
49
Wawancara dengan Sukarto
50
Wawancara dengan Suparno
pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan GPK. Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak
jelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, sehingga kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah
dalam pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan
yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus
51
. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
disebutkan bahwa pemerintah KabupatenKota wajib menyediakan paling sedikit 1 satu orang guru pembimbing khusus pada satuan
pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk
oleh pemerintah KabupatenKota wajib menyediakan paling sedikit 1 satu orang Guru Pembimbing Khusus.
Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan
program pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing Khusus pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat
menyediakan dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber atau lembaga lain.
d. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana dalam penyelenggaran pendidikan inklusif
menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas
51
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah yang mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi
Novida: “…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan
prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika memang dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolah-
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami
bantu karena mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah membantu pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah mengajukan proposal permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa
saja yang diperlukan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bila memang diperlukan, saya sendiri mengajukan
rekomendasi kepada pemerintah pusat agar sekolah tertentu dibantu oleh pemerintah pusat
…”
52
Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan
prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana penjelasan Sukarto, S.Pd:
“…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan prasarana agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif.
Misalnya alat rekam agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam pelajaran untuk diputar ulan
g di rumah dengan bantuan orang tua…”
53
Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak sekolah sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi, SMA Negeri 66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB
Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparno, S.Pd:
52
Wawancara dengan Septi Novida
53
Wawancara dengan Sukarto
“…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan yang diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus pun ada beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat terpenuhi dengan baik. Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi
peserta didik, kami pun menyediakan laptop khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar tidak ada pembedaan antara anak-anak
reguler dengan anak-
anak berkebutuhan khusus...”
54
Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan
sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari
pemerintah KabupatenKota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana
55
. Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan
Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah terdapat pada sekolahmadrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan
aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik berkebutuhan khusus
56
. e. KeuanganDana
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif
54
Wawancara dengan Suparno
55
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
56
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11
bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti
57
. Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa
Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang
dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP Bantuan
Operasional Pendidikan dan DOP Dana Operasional Pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd:
“…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif kami berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal
permohonan bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP dan DOP. Di samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang
kami Bidang TK, SD, dan PLB untuk diberikan kepada sekolah- sekolah
penyelenggara program
pendidikan inklusif
jika dibutuhkan
…”
58
Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah
diberikan sebanyak 2 dua kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang
menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp. 20.000.000,- Dua puluh juta rupiah untuk masing-masing
sekolah. Alokasi anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah DPA-SKPD Dinas Pendidikan Tahun 2009
59
. Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan
inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 lima sekolah
57
Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16
58
Wawancara dengan Septi Novida
59
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8422009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang
Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009
dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp. 18.000.000,- Delapan belas juta rupiah.
Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun
2010 sebagai berikut: Tabel 4
Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009
No Nama Sekolah Alamat
Kecamatan Wilayah
1 SDN Johar Baru 29
Pagi Jl. Percetakan
Negara II A Johar Baru
Pusat
2 SDN Cempaka Putih
Barat 16 Pagi Jl. Cempaka Putih
Barat XIX Cempaka
Putih Pusat
3 SDN Kramat Jati 24
Pagi Jl. Kerja Bakti Rt.
00309 No. 40 Kramat Jati
Timur
4 SDN Sukabumi Selatan
07 Pagi Jl. Raya Pos
Pengumben Rt. 00208 Sukabumi
Selatan Kebon Jeruk
Barat
5 SDN Slipi 18 Pagi
Jl. KS Tubun III Dalam
Palmerah Barat
6 TK Aisyiyah 31
Jl. Salemba Bluntas I77
Salemba Paseban Senen
Pusat
7 SDN Jatinegara Kaum
14 Pagi Jl. Jatinegara
Kaum 103 Pulo Gadung
Timur
8 SDN Lebak Bulus 06
Pagi Jl. Gunung Balong Cilandak
Selatan
9 SDN Marunda 02 Pagi
Jl. Marunda Pulo Rt. 00307
Cilincing Utara
10 SMP Negeri 118 Jl. Pramukasari I
No. 19 Cempaka
Putih Pusat
11 SDN Tanah Tinggi 01 Pagi
Jl. Tanah Tinggi I Gang 2
Johar Baru Pusat
12 SDN Rawabadak Selatan 07 Pagi
Jl. Mundari Bendungan
Melayu Rawabadak
Koja Utara
13 SDN Pluit 06 Petang Jl. Komp. Nelayan
Muara Angke Rt. 00101
Penjaringan Utara
14 TK Negeri Pembina DKI Jakarta
Jl. Bambu Duri X Pondok Bambu
Duren Sawit Duren Sawit
Timur
15 SDN Kartini 02 Petang Jl. Gotong Royong
Gang E Sawah Besar
Pusat
16 SMP Negeri 191 Jl. Kepa Duri Raya Kebon Jeruk
Barat 17 SMP Negeri 240
Jl. H. Raya No. 16 B
Kebayoran Baru
Selatan
18 SMP Negeri 120 Jl. Kamal Muara
Raya No. 9 Penjaringan
Utara
19 SDN Gedong 12 Pagi Jl. Raya Cindet
Gg. Masjid Pasar Rebo
Timur
20 SMP Negeri 223 Jl. Surilang No. 6
Pasar Rebo Timur
Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010
No Nama Sekolah Alamat
Kecamatan Wilayah
1 SDN Cempaka Putih
Barat 16 Pagi Jl. Cempaka Putih
Barat XIX Cempaka
Putih Pusat
2 SDN Marunda 02 Pagi
Jl. Marunda Pulo Rt. 00307
Cilincing Utara
3 SDN Meruya Selatan
06 Pagi Jl. Lap. Jabek Rt.
002001 Mega Kembangan
Barat
4 SDN Mentas 04
Jl. Dr. Sahardjo No. 121 Menteng
Setiabudi Selatan
5 SDN Kramat Jati 24
Pagi Jl. Kerja Bakti Rt.
00309 No. 40 Kramat Jati
Timur
Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa pendanaan untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain
berasal dari sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan
oleh Sukarto: “…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari
biaya sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat PSLB Pusat…”
60
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan:
“…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI
Jakarta, dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan
pendidikan inklusif…”
61
60
Wawancara dengan Sukarto
61
Wawancara dengan Suparno
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk
menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan dana yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah
ditunjuk tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya
kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana dan proposal tersebut diterima karena telah dipertimbangkan
kelayakannya. Namun demikian, pihak sekolah sendiri pun mengakui bahwa
sekolah sendiri
sudah mengalokasikan
dana untuk
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana yang dibutuhkan sekolah pun ada juga yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan lewat
Direktorat PSLB. f. Model Pendidikan Inklusif
Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik
berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya di kelas reguler. Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta
didik berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan khusus maka peserta didik berkebutuhan khusus dipisahkan untuk diberikan treatment
khusus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd: “…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak
berkebutuhan khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di sekolah inklusif. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat
mengetahui dan memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anak- anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik
maupun emosional. Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak
lainnya. Namun dalam prakteknya, sebagian dari anak-anak berkebutuhan khusus mungkin dapat dipisah ketika memang mereka
tidak dapat disatukan. Ini bagian dari strategi pembelajaran yang dapat dipraktikkan oleh guru
…”
62
Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo yang menyatakan:
“…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini
kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui
kondisi yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak berkebutuhan khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini
diperlukan karena masing-masing siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra
yang bisa saja duduk di belakang atau duduk di depan kelas. Contoh lain misalnya siswa tuna rungu yang harus duduk di depan. Pada awal
proses belajar mengajar, kami menginformasikan kepada wali kelas untuk membuat denah yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak
berkebutuhan khusus…”
63
Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal yang serupa yaitu:
“…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus disamakan dengan anak-
anak reguler lainnya…”
64
Pada prinsipnya, peserta didik berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas
bersama-sama dengan peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam anak-anak berkebutuhan khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan
khusus dari kelas reguler dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana proses pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra.
Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi yang disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas
sendiri tidak memberikan aturan ketat mengenai bagaimana model pendidikan inklusif seharusnya dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang
paling mengetahui kondisi peserta didiknya, sehingga kebutuhan peserta didik harus diidentifikasi sendiri oleh sekolah.
62
Wawancara dengan Septi Novida
63
Wawancara dengan Sukarto
64
Wawancara dengan Suparno
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu
kepada konsep inklusi penuh full inclusion dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan
demikian model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh pemerintah. Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan
pemhaman bahwa proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan
bagian dari strategi yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru yang menangani pendidikan inklusif.
Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana
dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh full inclusion dimana
peserta didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial partial
inclusion dimana peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam
kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus
65
. Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan
pemerintah yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan
pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh di sekolah reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan
Cor J.W.Meijer
66
,
tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah
65
George Morrison, Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, h. 462.
66
Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl eds., Inclusive Education; A Global Agenda, London: Routledge, 1997, h. 12.
pusat lewat Direktorat PSLB, penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di Indonesia tetap mengambil semangat dan
filosofi inklusif. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi
DKI Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd:
“…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk penilaian
atau peninjauan
ulang terhadap
kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun
kami melakukan proses penilaian saat kami melakukan monitoring di sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara
menanyakan langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan program pendidikan inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum
terselenggara
…”
67
Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa:
“…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan
oleh pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…”
68
Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan dukungan atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan:
“…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami
sebagai penyelenggara pendidikan inklusif merasa sangat terbantu dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh Direktorat PSLB Pusat…”
69
Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap
kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi
67
Wawancara dengan Septi Novida
68
Wawancara dengan Sukarto
69
Wawancara dengan Suparno
diperlukan untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan masalah atau tidak
70
. Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI
Jakarta terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti semula, diubah, atau dihilangkan sama sekali
71
. Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan
Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai berikut:
a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu
masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah
Provinsi DKI Jakarta.
b. Formulasi kebijakan,
dikaitkan dengan
formulasi kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan kebijakan dari tingkat pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan
kemampuan sumber daya Provinsi DKI Jakarta
c. Adopsi kebijakan,
dikaitkan dengan
dilegitimasinya kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007
Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
d. Implementasi kebijakan, dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara
program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik
berkebutuhan khusus, dan lain-lain.
70
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo, 2007, h. 34
71
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, Boston: Wadsworth, 2009, h. 55
e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SDTKPLB Dinas
Pendidikan Provinsi DKI Jakarta
105
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati
kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta
merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental, emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa
danatau bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang sama dengan peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena
kebijakan tersebut tidak secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif 2. Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung
untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan penyandang hambatancacat ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan