BAB III TINJAUAN TENTANG PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN
DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Dasar Hukum Keiikutsertakan Pihak Intervensi Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara
Kita ketahui bahwa dewasa ini kaidah-kaidah hukum acara perdata masih terdapat berserakan, sebagian termuat dalam Het herziene Indonesisch
Reglement HIR yang hanya khusus berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan Rechreglement Buitengewesten RGB berlaku untuk kepulauan-
kepulauan yang lainnya di Indonesia. Selain itu Burgelijk Wetboek Voor Indonesia BW memuat pula peraturan hukum acara perdata, kaidah-kaidah
mana khusus berlaku untuk golongan penduduk tertentu yang baginya berlaku hukum perdata barat.
Di samping itu, hukum acara perdata terdapat pula dalam UU No. 14 Tahun 1970, Undang-Undang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung UU No. 13 Tahun 1965 dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya PP No. 9 Tahun 1975.
Selain itu, untuk beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan RGB, apabila benar-benar dirasakan perlu dan berguna bagi praktek pengadilan,
dapat dipakai peraturan-peraturan yang terdapat dalam RV Reglement Opde Burgelijk Rechtvordering, perjanjian Vrijwaring, intervensi Tussenkomst
Universitas Sumatera Utara
dan peminjaman kembali Request Civiel. Dalam hukum acara perdata perihal pengikut sertaan pihak ketiga, dalam
proses tidak ada diatur secara tegas oleh HIR. Namun dalam prakteknya sering terdapat pihak ketiga dalam suatu perkara tertentu yang ditangani oleh Majelis
Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengikutsertaan pihak ketiga tersebut dalam proses suatu perkara dalam
hokum acara perdata dimungkinkan berdasarkan ketentuan pasal 393 ayat 2 HIR yang berbunyi :
13
Karena pasal 393 ayat 2 HIR memperkenankan untuk dalam hal-hal yang dirasakan sangat perlu apabila dibutuhkan oleh praktek pengadilan
mengadakan penyimpangan dari HIR dengan mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam peraturan lain.
Akan tetapi Gubernur Jendral tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang mengadili perkara perdata, setelah berbicara dengan Mahkamah
Tinggi di Indonesia, akan menetapkan lagi peraturan lain, Yang lebih sesuai dengan peraturan tuntutan hukum
perdata dihadapan pengadilan Eropah, untuk pengadilan negeri di
Jakarta, Semarang dan Surabaya, jika nyata benar bahwa menurut pengalaman, perlu sekali diadakan
peraturan sedemikian dan jika untuk pengadilan negeri yang lain-lain, Jika terdapat jiiga
keperluan yang demikian itu.
13
Ibid, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
Prof. R. Subekti, SH yang mensitr pendapat Prof. Mr. Dr. R. Soepomo mengemukakan bahwa pasal 393 ayat 2 HIR ini, kini ditafsirkan bahwa Hakim
Pengadilan Negeri apabila menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan dalam praktek, dapat mengambil alih bentuk-bentuk yang tidak terdapat dan tidak
diatur dalam HIR, misalnya Vrijwaring, tuseenkomst, voeging dan sebagainya dari Rv, dengan berpedoman kepada Rv, tapi disesuaikan dengan kebutuhan
praktek.
14
Lain halnya di Pengadilan Tata Usaha Negara, mengenai pengikutsertaan pihak ketiga ke dalam proses pemeriksaan suatu sengketa TUN secara tegas telah diatur
dalam ketentuan UU No. 5 tahun 1986, yaitu pasal 83 yang berbunyi sebagai berikut : Dengan demikian dasar hukum pengikutsertaan pihak Intervensi atau pihak
ketiga dalam proses suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri adalah ketentuan pasal 393 ayat 2 HIR junto ketentuan pasal 70 sd 76 Rv serta pasal 134 dan 135 Rv.
Sebelum hakim Pengadilan Negeri memperkenankan ketiga untuk ikut berproses, terlebih dahulu harus didengar semua pihak tentang maksud tersebut,
kemudian Hakim bare mempertimbangkan kepentingan masing-masing, sebelum menolak atau mengabulkan keikutsertaan pihak ketiga tersebut dalam proses suatu
perkara yang berjalan. Untuk hal ini harus dimuat dalam berita acara pemeriksaan perkara tersebut mengenai putusan Bela yang memuat pertimbangan tentang ditolak
atau dikabulkannya pihak ketiga dimaksud memasuki proses suatuperkara yang sedang berjalan tersebut.
14
R. Subekti, Op.Cit, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengaiukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat
masuk dalain sengketa TUN, dan bertindak sebagai :
a. Pihak yang membela haknya, atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita
acara sidang. 3. Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Dengan demikian nyatalah bahwa dasar hokum dimasukkannya pihak Intervensi dalam suatu sengketa TUN yang sedang diproses menurut Hukum
Acara Peradilan TUN adalah ketentuan pasal 83 UU No. 5 tahun 1986. Memang nampaknya ketentuan pasal 83 UU Ho.5 tahun 1986 tersebut
kontradiksi atau antagonis dengan ketentuan pasal 1 butir 6 UU No.5 tahun 1986, yang berbunyi : Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata
Hal ini tampak bertentangan apabila posisi pihak ketiga yang berkepentingan
Universitas Sumatera Utara
itu ditentukan sebagai Tergugat Intervensi, sedangkan jika pihak ketiga itu dimasukkan sebagai Penggugat Intervensi boleh dikatakan tidak ada masalah
karena tidak bersifat antagonis. Mengenai dikabulkan dan ditetapkannya pihak ketiga selaku Tergugat
Intervensi dalam suatu sengketa TUN yang sedang berproses tersebut telah menimbulkan pendapat yang pro-kontra dikalangan para praktisi dan para pakar
hukum. Indroharto, SH adalah salah seorang yang menganut aliran yang kontra.
Beliau menentang pihak ketiga dimasukkan sebagai tergugat intervensi, dengan argumentasi pada pokoknya sebagai berikut :
15
Sebagai akibatnya adalah seorang yang sependapat dengan keputusan TUN Tidak dapat dipungkiri jalan berpikir pembuat UU dalam masalah menentukan
kedudukan prosesual pihak ketiga yang masuk dalam proses yang sedang berjalan itu adalah menyontoh kepada apa yang dapat terjadi dalam proses
sengketa perdata. Namun ada masalah penting yang dilupakan oleh pembuat UU, yaitu bahwa orang atau Badan Hukum Perdata itu tidak mungkin berkedudukan
sebagai tergugat dalam sengketa TUN. Hal ini akibat dari ketentuan yang tidak dapat dirubah, bahwa Badan atau Pejabat TUN itu tidak dapat berkedudukan
sebagai Penggugat. Mereka selalu hanya dapat berkedudukan sebagai tergugat. Karenanya dalam proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin ada gugatan
rekonpensi ataupun yang disebut tergugat intervensi.
15
Indroharto, Buku II, Op.Cit, hal. 98-99
Universitas Sumatera Utara
yang disengketakan oleh seorang atau Badan Hukum Perdata juga tidak dapat berkedudukan sebagai tergugat intervensi, walaupun ia sangat berkepentingan
karena hak atau kepentingannya juga mungkin akan tersangkut
akibatnya oleh putusan pengadilan dalam proses yang bersangkutan. Jadi singkatnya seorang atau Badan Hukum
Perdata itu tidak mungkin menuntut sesuatu yang dapat dituangkan dalam diktum putusan akhir pengadilan dalam
sengketa itu. Sebab tuntutan semacam itu akan lama artinya dengan memungkinkan terjadinya tuntutan rekonpensi pada
proses Peradilan TUN yang tidak dimungkinkan. Yang mungkin ia lakukan adalah hanya memperkokoh dalil-dalil tergugat dengan
berkedudukan sebagai seorang saksi yang akan menambah memperkuat pembuktian maupun dalil-dalil tergugat dan
memohon agar gugatan penggugat ditolak. Jika ditelaah dan disimak argumentasi
Indroharto, SH tersebut di atas secara singkat dan ringkas dapatlah disimpulkan
bahwa Indroharto, SH tidak sependapat dan tidak menyetujui dicantumkannya ketentuan pasal 83 tersebut
di dalam UU No.5 tahun 1986, bahkan beliau mengemukakan bahwa pembuat UU keliru mencantumkan ketentuan pasal 83
itu, karena pihak ketiga bukanlah Badan atau Pejabat
Universitas Sumatera Utara
TUN melainkan orang atau badan hukum perdata maka ia dapat bergabung sebagai intervenient dengan tergugat.
Dalam hal kepentingannya itu bermaksud agar gugatan penggugat ditolak, maka yang dapat ia lakukan hanyalah
bertindak sebagai saksi yang akan memperkuat dalil- dalil tergugat sekaligus dimaksudkan memperkuat
kedudukanya dan maksudnya agar gugatan penggugat ditolak.
Martiman Prodjohamidjojo, SH juga sependapat dengan Indroharto, SH dimana beliau mengutip pendapat Sjachran Basah, SH yang mengemukakan :
Masuknya pihak ketiga dalam proses baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim ditarik masuk dalam proses, ditempatkan pada pihak penggugat,
dan tidak diberikan kepada tergugat.
16
Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH dan Dr. Andi Hamzah, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 83 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 tersebut adalah bersifat
Dalam hal ini. posisi pihak ketiga itu ditarik sebagai penggugat intervensi dan bukan selaku tergugat intervensi.
Sedangkan yang pro setuju dengan ketentuan pasal 83 UU No. 5 tahun 1966 yang menyatakan posisi pihak ketiga dapat saja ditempatkan sebagai
tergugat intervensi atau penggugat intervensi adalah : Prof Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH,.Muchsan, SH Serta Rozali Abdullah, SH.
16
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hal. 73
Universitas Sumatera Utara
khan acara Peradilan TUN karena pihak lain dapat masuk ke dalam sengketa selama pemeriksaan berlangsung baik sebagai pihak yang membela haknya
maupun menjadi peserta atas prakarsa sendiri atau prakarsa Hakim.
17
Banyaknya pihak ketiga itu dimasukkan dalam sengketa TUN selaku tergugat intervensi pada Pengadilan TUN Medan menunjukkan dan
membuktikan bahwa dalam prakteknya posisi pihak ketiga sebagi tergugat intervensi telah diterima. Hal ini sesuai dengan Juklak
Mahkamah Agung tanggal 24 Maret 1992 No. 052Td.TUNIII1992 perihal Juklak
yang dirumuskan dalam Pelatihan Peningkatan Ketrampilan Hakim Peradilan TUN III tahun 1991 dalam butir I.2 dikatakan
bahwa masuknya pihak lain pihak ketiga diluar perkara ke Kemudian Rozali Abdullah, SH mengemukakan argumentasinya bahwa
masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa,TUN yang sedang berjalan, dapat bergabung dengan tergugat, sebagai tergugat II intervensi. Sifat
khusus dari intervensi ini adalah karena ikut sertanya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berjalan tersebut, adalah atas perintah hakim, guna
mempermudah penyelesian sengketa yang bersangkutan. Dalam prakteknya di PTUN Medan sesuai dengan hasil riset dan observasi
penulis ternyata diantara sekian banyak sengketa TUN yang didalamnya ditarik pihak ketiga sebagai salah satu pihak, kebanyakan pihak ketiga dimaksud
ditentukan sebagai tergugat intervensi dari pada penggugat intervensi.
17
Baharuddin Lopa dan Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 76
Universitas Sumatera Utara
dalam proses adalah sebagai tergugat intervensi sesuai dengan pasal 83 UU No. 5 tahun 1986. Mengenai pendapat ini akan
diserahkan pada yurisprudensi, dengan catatan kasus yang telah diajukan menunggu putusan yurisprudensi.
Penulis lebih cenderung pada aliran yang pro dan tidak sependapat dengan aliran kontra Indroharto, SH dengan alasan sebagai berikut :
Bahwa apabila pihak ketiga itu hanya diperkenainkan sebagai penggugat intervensi dan tidak diperbolehkan sebagai tergugat intervensi melainkan sebagai saksi
saja, maka dikhawatirkan kepentingan saksi tersebut tidak sepenuhnya dipertimbangkan atau pihak tergugat tidak menunjukkan bukti yang memperkuat
posisi hukum pihak ketiga yang ditarik sebagai saksi tersebut. Setelah putusan akhir ternyata tergugat dikalahkan, kemungkinan sekali tergugat tidak
merigainkan banding, maka disini tampak pihak ketiga yang ditarik sebagai saksi itu secara nyata dirugikan karena beliau tidak dapat lagi mengajukan
permohonan banding, kasasi atau peninjauan kembali ataupun mengajukan Verzet Perlawanan. Sementara apabila pihak ketiga tersebut berposisi selaku
penggugat intervensi tidak mungkin karena kepentingan sudah jelas berbeda dengan kepentingan penggugat atau penggugat intervensi sudah nyata
merupakan lawan dari pada tergugat padahal keputusan TUN yang diterbitkan oleh tergugat adalah atas nama pihak ketiga.
Dengan argumentasi diatas dan didukung dengan penerapan dalam praktek di pengadilan TUN serta Putusan
Mahkamah Agung yang telah inkracht atas sengketa yang
Universitas Sumatera Utara
di dalamnya terdapat pihak tergugat III intervensi, maka lebih tepat kiranya pihak ketiga yang tersangkut
kepentingannya dalam suatu sengketa yang sedang diperiksa PTUN itu dimasukkan sebagai tergugat II
intervensi ataupun sebagai penggugat II intervensi. Hal ini sebaiknya didasarkan pada kecenderungan kepentingan
pihak ketiga yang bersangkutan apakah lebih paralel dengan kepentingan penggugat ataukah tergugat. Di sini
diharapkan kearifan hakim untuk menilai dan mempertimbangkannya secara adil dan objektif. Jadi dengan masuknya pihak
ketiga dala suatu sengketa yang sedang diproses dan berposisi sebagai penggugat, intervensi atau tergugat intervensi, maka ia lebih beruntung dari pada
posisinya sebagai saksi, karena ia dapat mempertahankan hak-haknya maupun kepentingannya hingga diperoleh suatu putusan yang inkracht.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa dari paparan di atas jelaslah mengenai permasalahan pertama yang dirumuskan dalam Bab
Pendahuluan sub bab Permasalahan telah terjawab. Namun demikian perlu dikonfirmasikan sekali lagi bahwa ternyata pihak ketiga diperkenankan untuk
memasuki suatu perkarasengketa TUN yang sedang berjalan untuk berperan menjadi pihak yang turut berperkara yaitu sebagai penggugat II intervensi atau
tergugat II intervensi, guna untuk membela dan mempertahankan hak-hak dan kepentingannya, sehingga Hakim di dalam memberikan penilaian dan
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan hukumnya tidah keliru dalam mengambil putusan atas pokok sengketa yang diadilinya. Diperbolehkannya pihak ketiga itu memasuki suatu
proses sengketa TUN telah diatur di dalam pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986. Selanjutnya yang perlu ditanyakan adalah tentang dalam tahap manakah
pihak ketiga itu dapat dikabulkan sebagai pihak intervensi? Pasal 83 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 menentukan “
selama pemeriksaan berlangsung. Menurut hemat penulis, ketentuan
selama pemeriksaan berlangsung itu rasanya tidak tepat, untuk itu perlu disempurnakan. Sebab tidak mungkin intervensi pihak
ketiga itu dapat diajukan atau dikabulkan atau diperintahkan hakim pada saat pemeriksaan perkara itu jika sudah mendekati
akhir atau sewaktu acara akan penyerahan konklusi. Mengenai persoalan ini, Indrohorto, SH berpendapat :
18
Bayangkan betapa sulitnya pihak ketiga yang berkepentingan itu diperbolehkan melakukan intervensi pada saat pemeriksaan tahap persidangan
dimulai atau sudah pada taraf pembuktian dilakukan. Sebab kalau ada pihak “Lebih tepat kalau demi tertibnya beracara ditentukan selama pemeriksaan
persiapan berlangsung, sehingga pada akhir tingkat pemeriksaan persiapan oleh Majelis Hakim sudah diketahui semua aspek yang berkaitan dengan objek
sengketanya, fakta-faktanya maupun problema hukumnya yang menyangkut pihak ketiga atau lebih pihak yang bersengketa.
18
Indroharto, Buku II, Op.Ci, hal. 95-96.
Universitas Sumatera Utara
Baru yang menjadi pihak dalam sengketa, tentunya harus juga dilakukan pemeriksaan persiapan lagi seperti yang ditentukan oleh pasal 63. Padahal
pemeriksaan persiapan dalam sengketa antara penggugat dengan tergugat semua sudah selesai dilaksanakan.
Sedangkan menurut Surat Mahkamah Agung RI tanggal 24 Maret. 1992 No. 052Td.TUNIII1992 perihal Juklak yang dirumuskan dalam pelatihan
Peningkatan Ketrampilan Hakim Peradilan TUN ke-III dari tanggal 2 sd 7 Desember 1991 di Jakarta dan kemudian dirumuskan kembali oleh Litbang TUN
Mahkamah Agung RI dalam rapatnya tangal 14 Desember 1991 dan tanggal 18 Januari 1992 dalam point IV.c. dirumuskan bahwa :
Pihak ketiga bisa masuk dalam suatu perkara sesuai dengan pasal. 83 UU No. 5 tahun 1986 dengan ketentuanpembatasan dimana pemeriksaan sampai pada
acara duplik tanpa dilakukan acara pemeriksaan persiapan lagi. Dari Juklak Mahkamah Agung tersebut dapat diketahui bahwa
pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu perkara masih diperkenankan dalam tahap proses persidangan sampai pada acara penyerahan duplik dari pihak
tergugat, artinya setelah acara duplik atau sebelum acara pembuktian, pihak ketiga itu tidak di perhenankan lagi memasuki proses sengketa TUN tersebut. Di
sini ditegaskan pula, dengan masuknya pihak ketiga pada acara duplik
tersebut, maka tahap proses pemeriksaan persiapan tidak lagi perlu dilakukan, akan tetapi proses acara
berikutnya itulah yang dilanjutkan yaitu pihak
Universitas Sumatera Utara
intervensi diberi kesempatan untuk mengajukan dalil- dalilnya untuk kemudian ditanggapi oleh pihak penggugat
atau tergugat. Hal ini tergantung dari posisi pihak ketiga tersebut apakah sebagai penggugat, intervensi
ataukah sebagai tergugat intervensi jika posisi pihak ketiga itu selaku tergugat intervensi, maka kepadanya
diberi kesempat.an mengajukan jawaban atau eksepsi, kemudian pihak penggugat
diberi kesempatan
menanggapinya dalam bentuk replik. Dengan kata lain, proses
jawab menjawab jawab jinawab diperkenankan kepada para pihak yang bersangkutan.
Dalam praktek di PTUN Medan, masuknya pihak ketiga dalam perkarasengketa TUN yang sedang berjalan lebih sering dilakukan dengan
berpedoman kepada Juklak Mahkamah Agung ini dari pada mempedomani pendapat yang diutarakan Indroharto tersebut di atas.
Penulis juga sependapat dengan proses yang dirumuskan dalam Juklak Mahkamah Agung RI tersebut, karena rumusan dimaksud telah berclasarkan
pengalaman dalam praktek, jadi bukan bersifat teoristis, sedangkan pendapat Indroharto, SH belum didasarkan pada observasi yang terjadi dalam praktek.
Sebab adakalanya kepentingan pihak ketiga itu baru terungkap setelah tergugat mengajukan jawabannya atau atas permohonan tergugat pada waktu acara
pengajuan jawabaneksepsi atas gugatan penggugat yang bersangkutan, karena
Universitas Sumatera Utara
pada waktu berlangsungnya tahap pemeriksaan persiapan masalah relevansi kepentingan pihak ketiga atas objek sengketa belum jelas terlihat atau masih
samar-samar, atau sama sekali tidak ditemukan majelis hakim pada seat melakukan pemeriksaan persiapan karena tidak disinggung oleh penggugat.
B. Kreteria Pihak Ketiga Yang berkepentingan