Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN Medan)

(1)

TATA CARA MASUKNYA PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM SUATU SENGKETA TATA USAHA NEGARA (STUDY KASUS

PTUN MEDAN) PROPOSAL

OLEH :

AGRIVA ARISHANDY TARIGAN 070221006

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM ADMINISTRASI NEGAR FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN MEDAN)

Nama : Agriva Arishandy Tarigan

NIM : 070221006

Pmebimbing Penguji

Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS

Suria Ningsih, SH.Mhum Suria Ningsih, SH.Mhum

Prof. Dr. Budiman Ginting,SH.MHum


(3)

ABSTRAK

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.

Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.

Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara untuk mempertahankan hak dan kepentingannya.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dengan judul “Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN Medan)”

Dalam penyusunan Skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS. selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing I pada Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis menyelesaikan Skripsi ini.

5. Bapak. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan Skripsi ini.

6. Ibu Affila, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan Skripsi ini.

7. Ayahanda tercinta Naik Tarigan, atas segala dukungan serta kesabaran yang telah diberikan.


(5)

8. Ibunda tercinta Amisah Br. Karo, SH. atas segala dukungan dan Doa yang senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

9. Istri saya tercinta Dewi Octavia Sinambela Kacaribu, beserta kedua putra-putri saya terkasih Kezia Careen Eunike Tarigan dan Timothy Asky Reagent Tarigan yang senantiasa memberikan semangat dan penyegaran dalam setiap harinya. (perjuangan papi untuk kakak Careen sama ade Totthy ya)

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara atas ilmu dan keterampilan yang diberikan.

11. Seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. 12. Bapak Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan beserta para Staff.

13. Bapak H. Sulthoni, SH., MH. selaku Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Bapak Pastra Joseph Ziraluo, SH., M.Hum. selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Bapak Abdiaman Damanik, SH. Selaku Panitera / Sekretaris Pengadilan Negeri Pematang Siantar, beserta seluruh Staff atas segala bantuan dan dukungan yang tulus kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil Skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap pihak demi hasil yang lebih baik.

Medan, Oktober 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Tinjauan Pustaka ... 4

F. Metode Penelitian ... 8

G. Gambaran Isi ... 8

BAB II PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELSAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ... 11

B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 14 C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara ... 20

D. Tahap Proses Pemeriksaan Suatu Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara... 27


(7)

BAB III TINJAUAN TENTANG PIHAK KETIGA YANG

BERKEPENTINGAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA A. Dasar Hukum Keikutsertaan Pihak Intervensi Dalam Suatu

Sengketa Tata Usaha Negara ... 48 B. Kriteria Pihak Ketiga Yang Berkepentingan... 59 C. Syarat-syarat Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses

Sengketa Tata Usaha Negara ... 65 BAB IV PROSEDUR SERTA AKIBAT HUKUM INTERVENSI DALAM

PERKARA TATA USAHA NEGARA

A. Prosedur Masuknya Pihak Intervenient Dalam Suatu

Sengketa Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung . 70 B. Akibat Hukum Ikutsertanya Pihak Ketiga Dalam Sengketa

Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung ... 79 C. Hambatan-hambatan Dalam Proses Masuknya Pihak Ketiga 80 D. Upaya Hukum Yang Ditempuh Pihak Ketiga Yang Tidak

Diikutsertakan Dalam Proses ... 84 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87 B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA ... 90


(8)

ABSTRAK

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.

Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.

Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara untuk mempertahankan hak dan kepentingannya.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan antara kepentingan perseorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan Tata Usaha Negara yang berbeda yang menjadi sengketa, saluran hukum merupakan salah satu jalan terbaik, sehingga peran Peradilan Tata Usaha Negara sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR-RI No. IV/MPR/1978 jo TAP MPRI-RI No. II/MPR/1983.

Dengan demikian Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa kepentingan hukumnya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap suatu sengketa.

Dari sejumlah sengketa/perkara yang masuk ternyata tidak sedikit yang di dalamnya tersangkut kepentingan pihak/orang lain selain penggugat dan tergugat, yang harus dipertimbangkan oleh hakim untuk memutus persengketaan yang ada. Pihak/orang lain yang mempunyai relevansi terhadap objek sengketa


(10)

yang digugat itu lazim disebut pihak intervenient (pihak ketiga yang berkepentingan).

Untuk mencegah kerugian yang fatal bagi pihak ketiga maka dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dimungkinkan pihak ketiga itu untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan atau setidak-tidaknya keterangan dan penjelasan dari pihak ketiga itu harus dimintakan oleh Hakim sebagai saksi. Dimungkinkan bagi orang atau badan hukum perdata di luar pihak yang sedang bersengketa untuk ikut serta atau diikutsertakan sebagai pihak dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 83 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan masuknya pihak ketiga dalam suaatu sengketa yang diperoleh maka ia dapat mempertahankan hak-haknya sehingga diperoleh suatu putusan yang objektif dan adil, khususnya bagi pihak yang bersengketa tersebut.

Untuk lebih memahami bagaimana tata cara masuknya pihak ketiga intervenient maka haruslah dipahami mengenai hukum acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara.


(11)

B.

Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

- Bagaimana Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara ?

- Bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutsertakan di Peradilan Tata Usaha Negara ?

- Bagaimana prosedur serta akibat hukum masuknya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung ?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara .

2. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara .

3. Untuk mengetahui proses serta akibat hukum masuknya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah :


(12)

1. Secara teoritis agar dapat dipahami bahwa secara yuridis pihak ketiga yang kepentingannya terkait dengan perkara yang sedang berlangsung, secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya, bagaimana prosedur serta akibat hukumnya.

2. Secara praktis untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak yang mempunyai perhatian tentang topik penelitian ini, terutama mahasiswa Fakultas Hukum memperoleh masukan-masukan tentang intervenient dalam proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

E. Tinjauan Pustaka

1. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, bermasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pihak ketiga yang berkepentingan maksudnya pihak lain di luar penggugat

dan tergugat yang mempunyai kepentingan terhadap suatu objek sengketa yang ditetapkan penggugat intervensi atau tergugat intervensi dalam suatu perkara/sengketa Tata Usaha Negara yang sedang ditangani pengadilan Tata Usaha Negara.

Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak ada dirumuskan mengenai pengertian/definisi istilah “intervenient” atau “intervensi” ini. Namun


(13)

demikian, dalam skripsi ini penulis mencoba mengetengahkan mengenai intervensi (intervenient) tersebut.

Sesuai perkembangan arus informasi dan komunikasi, maka penggunaan istilah “intervensi” ini mengalami konotasi meluas sesuai dengan bidang ilmu yang menggunakannya. Namun pada prinsipnya pengertian dasarnya tidaklah dihilangkan/eliminir.

Dalam Hukum Acara Perdata pengertian intervenient ini dijelaskan dengan suatu suatu contoh kasus yaitu :

Dalam jual beli rumah dan tanah, A selaku penggugat dalam pokok perkara menggugat B, oleh karena B telah menjual rumah dan tanah kepadanya, akan tetapi tidak mau menyerahkan bangunan rumah dan tanahnya yang telah ia jual kepadanya. Mendengar tentang adanya gugatan itu, C yang juga merasa telah membeli rumah dan tanah tersebut dari B, datang ke persidangan, lalu dengan lisan atau tertulis mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Ia, pihak ketiga ini disebut pihak intervenient. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. 1

Pengertian Intervenient dalam Hukum Acara Perdata seagaimana dijelaskan dengan contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan pengertian intervenient dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana dijelaskan

1

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1982, hal. 71.


(14)

contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan pengertian intervenient dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu masuknya pihak lain/ketiga dalam suatu perkara antara penggugat dan tergugat. Perbedaannya adalah : dalam Hukum Acara Peradilan TUN pihak ketiga dimaksud adalah hanya orang atau Badan Hukum Perdata saja, sednagkan dalam Hukum Acara Perdata, pihak intervenient itu tidak dibatasi, siapa saja pun boleh sebagai pihak intervensi termasuk abdan hukum publik.

Dalam proses pemriksaan sengketa TUN di Peradilan TUN dimungkinkan adanya pihak ketiga intervenient yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan satu sengketa yang sedang berjalan.

Ny. Retnowulan Sutanto, SH dan Iskandar Oeriokartawinata, SH dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek “mengemukakan bahwa intervensi dalam bahsa Belanda disebut pula “Tussenkomst”.2

Tussenkomst atau intervensi diartikan sebagai pencampuran piihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses, dimana pihak keiga ini

2

Retnowulan Sutanstio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, Hal. 50.


(15)

tidak memihak baik kepada penggugat maupun tergugat, melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.3

1) Atas prakarsa sendiri

Selain tussenkomst atau intervensi, di dalam hukum acara perdata dalam prakteknya dikenal lagi adanya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu , di dalam hukum acara perdata dalam prakteknya dikenal lagi adanya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu Peradilan Umum c.q. Pengadilan Negeri, yaitu dalam :

- Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila di dalam suatu perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan, di luar pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut.

- Voeging, yaitu penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan lalu mengajukan permohonan kepada Majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Dalam Bahasa Belanda hal ini disebut Voeging Van Partijen.

Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, mengenai tussenkomst, voeging dan vrijwaring dalam hukum acara perdata ini, dikenal hanya satu istilah saja yaitu “intervenient atau intervensi”.

3. Pasal 83 mengatur kemungkinan masuknya pihak ketiga dalam proses, motivasi masuknya pihak ketiga dapat dibagi dalam 3 kategori yakni :

3


(16)

Dalam hal pihak ketiga ingin mempertahankan dan membela hak dan kepentingannya agar tidak dirugikan oleh putusan pengadilan yang sedang berjalan, sebagai pihak yang mandiri dan berdiri di tengah-tengah antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Cara masuknya pihak ketiga dalam proses perkaran ini, dalam proses perdata disebut “tusserkomst” (mencampuri).

Karena ikut sertanya dalam proses atas prakarsanya sendiri, maka ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasan serta hal yang dituntut, sesuai dengan ketentuan pasal 56.

2) Atas permintaan salah satu pihak

Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara atas permohonan salah satu pihak, guna memperkuat kedudukan salah satu pihak atau agar pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketa. Cara ini dalam acara perdata disebut ”voeging” (ikutserta).

3) Atas prakarsa hakim yang memeriksa

Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara. Masuknya pihak ketiga dalam proses baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim ditarik masuk dalam proses, ditempatkan pada pihak penggugat, dan tidak diberikan kepada tergugat.


(17)

F.

Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang faktual dan relevan bagi kelengkapan dan kesempurnaan penyusunan skripsi ini digunakan :

1. Library Research (penelitian kepustakaan) yakni dengan melakukan study melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari melalui buku-buku literatur, perundang-undangan, makalah, artikel-artikel yang mempunyai relevansi dengan materi yang terkait dengan topik tulisan ini. 2. Field Research (penelitian lapangan) yakni dengan mengadakan penelitian

langsung ke lapangan yaitu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan di Jalan Listrik No. 10 Medan serta melakukan observasi serta interview dengan Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

G.

Gambaran Isi

Skripsi ini disusun dan dibagi dalam 5 (lima) bab dan tiap bab dibagi lagi menjadi beberapa sub bab. Untuk lebih jelasnya sistematika penyusunan dan pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini digambarkan tentang materi pokok bahasan yang akan diuraikan dengan mengawali uraian latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta tinjauan pusataka, metode penelitian dan gambaran isi.


(18)

Bab II Peranan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang landasan hukum Peradilan Tata Usaha Negara, ciri-ciri dan sifat hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, subjek dan objek sengketa Tata Usaha Negara serta tahap proses pemeriksaaan sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.

Bab III Tinjauan Tentang Pihak Ketiga Yang Berkepentingan di Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang dasar hukum keikutsertaan pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara, kriteria pihak ketiga yang berkepentingan, syarat masuknya pihak ketiga dalam proses sengketa Tata Usaha Negara.

Bab IV Prosedur Serta Akibat Hukum Intervensi Dalam Perkara Tata Usaha Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang prosedur masuknya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, akibat hukum ikutsertanya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, hambatan-hambatan di dalam proses masuknya pihak ketiga serta upaya-upaya hukum yang ditempuh pihak ketiga yang tidak diikutsertakan dalam proses persidangan.


(19)

Bab V Penutup

Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan atas permasalahan dan hasl penelitian yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya serta menguraikan beberapa saran-saran yang diharapkan bermanfaat terkait permasalahan yang dibahas.


(20)

BAB II

PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Indonesia sudah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan Negara Hukum akan tetapi masih dalam anti formal. Agar dapat menjadi Negara Hukum dalam arti material maka haruslah diisi dengan jalan membentuk dan menyempurnakan Badan Peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judikatif).

Pembentukan Badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman telah diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan Konstitusionilnya.

Ketentuan pasal 24 UUD 1945 berbunyi :

1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.

2. Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 25 UUD 1945 berbunyi :

"Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-Undang".


(21)

kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan para Hakim.

Dari ketentuan dalam Undang-Undnag Dasar 1945 ternyata tidak ada disebutkan secara tegas tentang Peradilan Tata Usaha Negera atau Peradilan Administrasi Negara. Meskipun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tersebut tidak menghendaki eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ini. Dengan terdapatnya istilah “Kekuasaan Kehakiman” dalam bunyi Pasal 24 UUD1945 tersebut dapat ditafsirkan luas dan segala macam Hakim dapat masuk di dalamnya termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tentu sekali melakukan berbagai kekuasaan kehakiman tersebut antara lain dengan cara mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan mendirikan Lembaga Pengadilan/Badan Peradilan yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sebagai manifestasi peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 UUD 1945, telah dikeluarkan dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :

a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer


(22)

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut pendapat Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH : bahwa di dalam UU No. 14 tahun 1970, dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksana deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia yang telah dicetuskan PBB.4

Sedangkan Razali Abdullah, SH berpendapat bahwa dari bunyi pasal 24 UUD 1945 dan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama dengan halnya pembentukan ketiga Peradilan lainnya yang sudah lama ada yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.5

“Akhirnya Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan yang disempurnakan kepada DPR RI periode 1982-1987, dengan amanat Presiden Selanjutnya untuk mewujudkan kehendak pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara diamanatkan dan dirumuskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : IV/MPR/1978 tentang GBHN yang memerintahkan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.

Mengenai kronologis pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Martiman Prodjomidjo, SH mengemukakan sebagai berikut :

4

B. Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Pradilan Tata Usaha Negara, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 2

5

Razali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi I, Cetakan 2, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 11.


(23)

RI No. R.04/PU/IV/1986 tanggal 16 April 1986, dan setelah diadakan pembahasan di DPR RI melalui empat tingkat pembicaraan, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR RI mengambil keputusan menyetujui RUU Peraturan untuk disyahkan menjadi undang-undang.

Presiden RI pada tanggal 29 Desember 1986, mengesahkan RUU Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 “Peradilan Tata Usaha Negara” (Lembaran Negara RI No. 77 Tahun 1986 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3344).6

Ciri-ciri sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut hemat Ditentukannya empat macam lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang disebutkan di atas, dapat diartikan bahwa Negara Indonesia yang menganut prinsip Negara Hukum dalam sistem peradilannya menggunakan multi jurisdiction systeem (sistem peradilan ganda), dimana salah satu diantaranya adalah peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986.

Dengan demikian jelaslah bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutar dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh karenaitu, tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak masyarakat.

B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

6

Martiman Prodjohamidjo, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 15


(24)

penulis penting disajikan dalam skripsi ini dengan maksud agar menambah pemahaman kita mengenai proses dan mekanisme yang diatur Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Indroharto, SH7

- Mereka baik yang berkedudukan sebagai suatu instansi resmi maupun secara global mengetengahkan beberapa ciri-ciri/sifat dasar dari Hukum Acara Peradilan TUN, yaitu :

1. Dalam proses TUN itu selalu tersangkut dua kepentingan yaitu kepentingan umum dan individu. Dalam proses peradilan TUN yang selalu menjadi inti permasalahan adalah mengenai syah tidaknya pengunaan wewenang pemerintah oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Hukum TUN publik. Dalam konkretnya yang disengketakan itu selalu berupa salah satu bentuk tindakan Hukum TUN yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berupa suatu Beschiking menurut pengertian Pasal 1 Butir 3 UU No. 5 tahun 1966.

2. Dalam kenyataannya, unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses peradilan TUN itu adalah :

- Para hakim dan staf kepaniteraannya

- Para pencari keadilan yang akan mengajukan gugatan kepentingan TUN (seseorang atau badan hukum perdata)

- Para Badan atau pejabat TUN yang selalu berkedudukan sebagai tergugat.

7

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang PTUN, Buku II Beracara di Pengadilan TUN, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 25-29.


(25)

sebagai warga masyarakat biasa, pada suatu saat mungkin memegang kunci penentu jalannya proses suatu perkara karena kejelasan-kejelasan maupun alat-alat bukti berada di tangannya.

3. Tujuan dari gugatan di Peradilan TUN adalah selalu untuk memperoleh putusan hakim yang menyatakan keputusan TUN digugat itu tidak syah atau batal (Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Dalam proses Hukum Acara Peradilan TUN tidak dikenal gugatan rekonpensi maupun pembarengan beberaa gugatan bersama-sama (samenloop van Vorderingen).

4. Dalam proses peradilan TUN terdapat keseragaman dan kesederhanaan dalam arti hukum acaranya hanya terdiri acara biasa dan acara khusus berupa : penyelesaian perkara dengan acara cepat (pasal 98), penyelesaian perkara dengan acara singkat (pasal 69). Baik yang berbentuk proses dismassal maupun proses perlawanan (Pasal 62 dan 118), acara penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat (Pasal 67) dan acar permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (Pasal 60 UU No. 5/1986).

5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah bersifat contradictoir dengan unsur-unsur yang bersifat ingusitoir. Proses Peradilan Tata Usaha Negara bersifat contradictoir maksudnya bahwa pemeriksaan sengketa sedapat mungkin dilakukan agar para pihak itu sama-sama memperoleh kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan mengadakan reaksi terhadap pendapat lawan apabila dianggap perlu. Sedangkan sifat inguisatoirnya tampak pada kewenangan hakim untuk melakukan pemeriksaan sendiri tentang


(26)

fakta-fakta yang diserahkan kepada pengujian tentang kebenaran pembentukan keputusan administratif yang bersifat konkrit, individual dan final yang disengketakan, dengan demikian Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah dominus litis, ia mengadministrasikan serta mempertimbangkan tentang jalannya proses. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat dikatakan tidak berlaku otonomi pihak yang bersengketa. Hakim Tata Usaha Negara ini tidak bersifat lijdelijk seperti pada hakim perdata. Sekalipun Hakim Tata Usaha Negara pasif dalam arti yang memulai proses adalah selalu penggugat, akan tetapi Hakim Tata Usaha Negaralah yang memimpin dan menentukan arah jalannya proses dan ia pula menentukan segala keputusan yang harus terjadi dalam proses yang bersangkutan.

6. Dalam Hukum Tata Usaha Negara berlaku suatu asas, bahwa selama suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak digugat, maka ia selalu dianggap syah menurut hukum. Keputusan Tata Usaha Negara semacam itu berlaku syah dan memperoleh kekuatan hukum tetap kalau tenggang waktu untuk menggugat telah lewat tanpa adanya suatu gugatan yang diajukan terhadapnya.

7. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas pembuktian bebas yang terbatas, artinya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara telah ditentukan secara limitatif alat-alat bukti (Pasal 100) dan di dalam melakukan penilaian hasil pembuktian Hakim dibatasi kebebasannya dengan ketentuan Pasal 107 yang mengatakan bahwa untuk syahnya pembuktian diperlukan


(27)

sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

Selain ciri-ciri dan sifat dasar yang diutarakan Indroharto, SH tersebut, penulis menambahkan lagi beberapa ciri Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan observasi dan analisis penulis yaitu :

a. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya gugatan rekonpensi dan putusan propisionil.

b. Putusan Peradilan Tata Usah Negara mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun (erga omnes).

c. Hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dibatasi dengan tenggang waktu yang bersifat imperatif (Pasal 55).

d. Gugatan pada prinsipnya berisi tuntutan pokok agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak syah, di samping tuntutan tambahan lainnya (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 97 ayat 9, 10, 11).

e. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal fase proses dismisal dan proses pemeriksaan persiapan (Pasal 62 dan 63).

f. Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara diberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain :

1) Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera pengadilan untuk merumuskan gugatan.


(28)

2) Warga pencari keadilan dari golongan yang tidak mampu diberi kesempatan untuk perkara secara cuma-cuma (Pasal 60)

3) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak atas permohonan penggugat, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara dapat ditangguhkan, dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan secara cepat oleh Hakim tunggal (Pasal 67 dan 98).

4) Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Peradilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang mengadilinya (Pasal 54).

5) Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

6) Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri (Pasal 93).

g. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan telah ditentukan secara limitatif menurut Pasal 53 ayat 2, huruf :

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onrechtmatige, onwetmatige)

2) Penyalah gunaan wewenang untuk tujuan lain (detournement de pouvoir, abus de droit)


(29)

Alasan lainnya yang lazim dipergunakan dalam praktek adalah mengabaikan asas-asas umum pemerintah yang baik, yang berkembang dala praktek penyelenggaraan tugas, fungsi dan urusan pemerintah.

h. Dalam melakukan eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yan telah berkekuatan hukum tetap (inkrecht van gewijsde) tidak terdapat pelaksanaan serta merta (executie bij voorraad) dan tidak dikenal eksekusi secara riel. Yang mengeksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergugat itu sendiri tanpa bantuan juru sita atau alat negara.

Demikianlah beberapa ciri khas Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh ciri tersebut terkandung dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dari ciri-ciri yang dibeberkan di atas, diharapkan dapat memperdalam pemahaman dan pengenalan kita mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang dirasakn masih asing tersebut.

C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi : “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfirmasikan bahwa istilah “sengketa” tersebut mengandung arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara


(30)

yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, maka menurut azas hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

Bertumpu pada rumusan/definisi di atas, Muchsan, SH mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu sengketa Tata Usaha Negara yaitu :

a. Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Neara.

b. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara.

c. Subjek yang bersengketa adalah individu/badan hukum perdata atau sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam mepertahankan hak-haknya.

d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara.8

Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH berpendapat bahwa unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :

1. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukum privat di satu pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.

8


(31)

2. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.9

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha Negara terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka Peradilan Tata Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat dan pihak tergugat.

Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau penggugat berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No. 57/1986 adalah mereka yang kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang atau Badan Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang dapat mengajukan gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat tampil sebagai penggugat adalah hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena langsung oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pjabata Tata Usaha Negara.

Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak dapat tampil sebagai penggugat

2. Terkena langsung oleh akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu keputusan Tata Usaha Negara.

3. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai dengan uang (geld waarde).10

9

B. Lopa dan A. Hamzah, Op.Cit, hal. 47

10


(32)

Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam) melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan, sehingga tidak dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan BW (KUH Perdata) atau peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan Hukum (rechsperson).

Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni :

a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya

b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasama antara anggota dengan tujuan fungsional

c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan

Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan tersebut dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986.

Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirumuskan di dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu :

Tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan


(33)

kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Tergugat itu dapat berbentuk tunggal dan dapat juga berbentuk jamak.

Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara jelas dapat diketahui dari definisi/rumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 5/1986 yang dikutip di atas. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek sengketa TUN dirumuskan peradilan TUN adalah keputusan TUN, sehingga sengketa TUN tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN. Keputuan TUN yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalam pasal 1 butir 3 yang berbunyi : “Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang beerisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang unsur-unsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu :

a. Bentuk penetapan itu harus tertulis

b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku e. Bersifat konkret, individual dan final


(34)

f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.11

Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan yang demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan.

Selain itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa prima timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat digugat) meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas. Keputusan TUN yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari kewenangan lingkungan peradilan TUN.

Adapun keputusan-keputuan TUN yang dikecualikan atua yang dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian beschiking atau yang mempersempit kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke Peradilan TUN, adalah :

1. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun 1986 meliputi :

a. Keputusan Tata Usaha Negar yang merupakan perbuatan perdata

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

11

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 163.


(35)

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABRI

g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

2. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

3. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari sejak tanggal/saat diterimanya atau diumumkannya atau diketahuinya keputusan TUN dimaksud sesuai denan pasal 55 UU No. 5/1986. Dengan kat


(36)

lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka keputusan TUN itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN.

Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang memperluas kompetensi PTUN, yaitau pasal 3 UU No. 5 Tahun 1996 yang menyatakan : 1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedang

hal itu merupakan kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan TUN.

2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud. 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan TUN negatif fiktif.

Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah syah atau tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau rekonpensi tidak dikenal dalam Hukum Acara Peradilan TUN.


(37)

timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN, maka tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang dipersengketakan tidak ada. Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi tidak memenuhi salah satu unsur dari pasal 1 butir 3, atau termasuk yang dikecualikan, maka keputusan TUN yang demikian tidak dapat menjadikan sebagai objek sengketa atau objek gugatan di peradilan TUN.

Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya dipersengketakan dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah pelaksanan dari suatu wewenang pemerintahan menurut hukum publik yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN, dengan kata lain yang disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang mengatakan badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Tahap Proses Pemeriksaan Suatu Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara Setelah surat gugatan terdaftar di Kepaniteraan dan dicatat dalam Buku Induk Register Perkara yang disediakan, maka PTUN akan melakukan proses pemeriksaan terhadap sengketa/gugatan tersebut.

Menurut Hukum Acara Peradilan TUN yang diatur dan ditentukan dalam Bab IV Pasal 53 s/d 132 UU No. 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu perkara/sengketa di PTUN mempunyai sifat khusus karena harus dilakukan


(38)

sesuai dengan tahapan-tahapannya. Sebelum pemeriksaan dilakukan dengan acara biasa, harus terlebih dahulu diawali dengan proses rapat permusyarawatan (proses dismissal) yang dilanjutkan dengan proses pemeriksaan persiapan, baik rapat permusyawaratan oleh Ketua TUN maupun pemeriksaan persiapan oleh Majelis Hakim yang bersangkutan, termasuk bagian dari fungsi peradilan (justiele functie).

Dari ketentuan yang mengatur tentang hukum acara peradilan TUN tersebut, dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu sengketa PTUN ternyata mengenal beberapa tahapan, yaitu :

a. Tahap rapat permusyawaratan (proses dismissal) b. Tahap proses pemeriksaan persiapan

c. Tahap proses persidangan d. Tahap pengucapan keputusan

Tahapan-tahapan proses pemeriksaan sengketa ini perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah dimengerti dan dibandingkan dalam pembicaraan selanjutnya tentang materi pokok skripsi ini, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV berikut :

a. Tahap proses dismissal (pasal 62 UU No. 5/1986)

Setiap gugatan telah masuk di PTUN selalu pada permulaannya akan ditangani/diperiksa dari segi ketatausahaan (administrasi) lebih dahulu oleh staf Kepaniteraan yang lazim disebut dengan istilah penelitian administratif yaitu penelitian pendahuluan yang bersifat formal ketatausahaan peradilan. Setelah itu baru dilakukan proses dismissal oleh Ketua TUN terhadap gugatan


(39)

dimaksud, guna untuk menentukan apakah gugatan yang diajukan itu dapat diterima atau tidak, apakah gugatan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan apakah memang termasuk wewenang TUN yang bersangkutan untuk mengadilinya. Pendeknya apakah gugatan tersebut dinyatakan lolos dismissal atau tidak.

Menyangkut tentang penelitian administratif oleh staf Kepaniteraan ini, SEMA No. 2 tanggal 9 Juli 1991 memberikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut :

1. Setelah surat gugatan tercatat dan terdaftar di kepaniteraan atau telah mempunyai nomor perkara, maka haruslah dilakukan penelitian administratif hendaknya dilakukan dari segi-segi formalnya saja yang mengenai bentuk maupun isi gugatan sesuai dengan maksud pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan jangan sampai menyangkut segi materi gugatan (pokok perkara).

2. Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya kepada pihak penggugat dan dapat meminta kepada pihak penggugat untuk memperbaiki gugatan yang dipandang perlu sebelum gugatan diteruskan kepada Ketua. Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara yang bersangkutan dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.

3. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara pada tahap selanjutnya maka setelah suatu gugatan didaftar dan memperoleh nomor perkara, oleh staf Kepaniteraan Bidang Perkara perlu dibuatkan resume gugatan terlebih


(40)

dahulu sebelum diajukan kepada Ketua TUN dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :

1) Siapa-siapa subjeknya (identitas para pihak) dan apakah penggugat sebagai pihak sendiri ataukah diwakili oleh kuasanya yang sya. Bila diwakili kuasa, apakah surat kuasa khusus sudah terlampir atau belum dalam surat gugatan tersebut

2) Apakah yang menjadi objek gugatan dan menjelaskan jenis perkaranya. Apakah objek gugatan itu sepintas masuk dalam pengertian Keputusan TUN/Penetapan Tertulis (beschiking) menurut pasal 1 butir 3 UU No. 5/86.

3) Ringkasan dari alasan gugatan diteliti apakah posita gugatan memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 2 huruf a, b, c UU No. 5/1986 atau mengemukakan alasan pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik.

4) Apakah yang menjadi tuntutan (petitum) gugatan tersebut hanya berisi tuntutan pokok ataukah disertai dengan tuntutan tambahan berupa pembebanan salah satu kewajiban sebagaimana ditentukan pasal 97 ayat 9, 10, dan 11 UU No. 5 Tahun 1986.

5) Apakah di dalam/beserta surat gugatan terdapat permohonan prodeo (pasal 60), acara cepat (pasal 98), penangguhan/penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang digugat tersebut (pasal 67), sebab apabila terdapat permohonan demikian haruslah sesegera mungkin dilakukan terlebih


(41)

dahulu dipertimbangkan oleh Ketua TUN sebelum ditetapkan penunjukan Majelis Hakimnya yang memeriksa dan memutus pokok sengketanya.

4. Apabila Kepaniteraan di dalam melakukan penelitian administratif dimaksud menemui kekurangan-kekurangan yang sifatnya tidak prinsipil, maka penggugat dapat dianjurkan agar memperbaiki dan menyempurnakan gugatannya atas kekurangan yang diteliti tersebut.

Hasil penelitian administratif tersebut harus dilaporkan kepada Ketua PTUN untuk bahan pertimbangan dalam proses dismissal.

Dismissal process ini merupakan tahap penyaringan atau filter yang dilakukan Ketua PTUN dengan penanganan yang bersifat inguisitoir belaka terhadap gugatan yang diajukan tidak ada proses antara pihak-pihak, tidak ada acara tukar menukar jawaban dan dokumen serta tidak ada pembuktian.

Dalam proses dismissal ini, para pihak yang berperkara belum dihadirkan. Dalam tahap ini ada dua alternatif keputusan yang dapat diambil Ketua PTUN, yaitu : 1. Ketua PTUN menyatakan gugatan dapat diterima, yang berarti dapat dilanjutkan

pemeriksaannya (lolos dismissal) sehingga ditetapkanlah Majelis Hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam hal ini tidak perlu dibuatkan suatu penetapan lolos dismissal yang dibuatkan adalah penetapan penunjukan Majelis Hakimnya.

2. Ketua PTUN dengan sengketa segala pertimbangannya memutuskan dengan suatu penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atau didak


(42)

berdasar. Alternatif ini diambil apabila :

a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang PTUN.

b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi pengguat, sekalipun ia telah diberitahu/diperingatkan

c. Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang tidak layak

d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan TUN yang digugat

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya (prematur) atau telah lewat waktnya (daluarsa)

Meskipun dalam proses dismissal tersebut para pihak berperkara belum hadir, akan tetapi penetapan dismissal tersebut harus diucapkan di hadapan para pihak yang berperkara. Oleh karena itu kedua belah pihak harus dipanggil untuk mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera atas perintah Ketua.

Apabila penggugat keberatan atas penetapan dismissal tersebut maka ia dapat mengajukan verzet (perlawanan) dalam tenggang waktu 14 hari setelah mengucapkan penetapan, apabila hadir atau sejak diterimanya salinan penetapan yang dikirimkan oleh Panitera dengan surat tercatat jika penggugat tidak menghadiri pengucapan penetapan dismissal itu.

Perlawanan tersebut diajukan harus pula memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa menurut pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan perlawanan ini diperiksa dalam acara singkat oleh Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua, dengan


(43)

dibantu oleh seorang Panitera Pengganti yang ditunjuk oleh Panitera.

Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus gugatan perlawanan, terdapat dua kemungkinan mengenai keputusan yang akan diambil, yakni :

1. Membenarkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan

Apabila alternatif ini yang diambil yaitu menyatakan pelawan adalah sebagai pelawan yang benar, maka penetapan dismissal yang dikeluarkan Ketua PTUN tersebut menjadi gugur demi hukum, dan selanjutnya pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.

2. Gugatan perlawanan ditolak, atau pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar.

Terhadap penolakan ini, konsekwensi juridis yang timbul tergantung pada alasan yang digunakan dalam penolakan tersebut. Apabila alasannya gugatan cacat, maka penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut setelah gugatan direvisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut dengan alasan lain, maka gugatan tidak dapat diajukan kembali. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan gugatan tersebut kepada lembaga pengadilan yang lain. Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum apapun, sehingga putusan terhadap penolakan gugatan perlawanan itu diangap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir dan telah berkekuatan hukum tetap.


(44)

Perlu dikonfirmasikan, bahwa apabila Ketua PTUN berhalangan maka kewenangan proses dismissal ini dilakukan oleh Wakil Ketua. Selain itu perlu pula diketahui, adanya tahap proses dismissal ini justru sangat memberi manfaat dan keuntungan bagi penggugat, sebab kalau semua gugatan yang masuk diteruskan ke proses persidangan tanpa melalui dismissal process dikuatirkan akan banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang terbuang percuma untuk pemeriksaan perkara yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang pada akhirnya gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar,

Setelah Ketua melakukan dismissal proses dan gugatan dinyatakan lolos dismisal maka berkas perkara diserahkan kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua PTUN untuk selanjutnya melakukan tahapan pemeriksaan persiapan, persidangan dan pengucapan putusan.

b. Tahap proses pemeriksaan persiapan (pasal 63 UU No. 5/1986)

Sejak masuknya gugatan sampai dimulainya pemeriksaan di muka persidangan, belaku suatu masa waktu (fase) mematangkan perkara yang bersangkutan (fase sud iu dice), yaitu suatu masa periode penelitian dan pemeriksaan dimana suatu gugatan yang masuk dimatangkan lebih dahulu untuk dapat diperiksa atau disidangkan di muda sidang yang terbuka untuk umum. Langkah-langkah yang dilakukan dalam fase sun tudice tersebut antara lain :

- Penelitian yang bersifat administratif oleh Kepaniteraan yang merupakan penelitian pendahuluan, sebelum berkas diserahkan kepada Ketua.


(45)

Ketua berhalangan

- Proses pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim

Setelah penelitian pendahuluan yang berupa penelitian administratif yang dilaksanakan Kepaniteraan Bidang Perkara yang diteruskan denan proses dismissal oleh Ketua telah selesai dilakukan, maka untuuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara maka untuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara biasa atas suatu gugatan dinyatakan telah lolos dissmisal tersebut akan dilangsungkan tahapan pemeriksaan persiapan menurut pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986. Dengan kata lain, selain tahap proses dismissal sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hukum acara Peradilan TUN dikenal tehapan proses pemeriksaan persiapan yaitu suatu tahap pemeriksaan sebelum pokok gugatan dimulai pemeriksaannya guna untuk mematangkan perkara agar laik disidangkan dalam tahap proses persidangan.

Pemeriksaan persidangan diadakan mengingat penggugat di PTUN adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan tergugat sebagai pejabat TUN. Dalam posisi yang lemah tersebut, sulit bagi penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan ini, Hakim diharapkan akan berperan aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan meminta penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti pajabat TUN yang bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh PTUN.


(46)

untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN itu kedudukan/status sosialnya tidak sama.

Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk melengkapi/memperbaiki gugatannya itu harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, terhitng sejak Hakim memberikan nasehat kepada penggugat. Nasehat Hakim tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan yang dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Persiapan sehingga ada pegangan bagi Hakim dan Penggugat. Kesempatan dimaksud sebaiknya diberikan cukup sampai dua kali.

Apabila kesempatan itu disia-siakan yaitu penggugat belum menyempurnakan, melengkapi atau memperbaiki gugatannya, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum artinya tidak ada banding atau kasasi tetapi penggugat masih diperbolehkan untuk mengajukan gugatan baru, sesuai dengan syarat-syarat pasal 56 dan harus membayar uang muka biaya perkara agar diperoleh Nomor Perkaranya yang baru.

Pemeriksaan persiapan itu harus dilakukan tidak di muka sidang yang terbuka untuk umum, melainkan harus tertutup artinya pihak umum tidak diperkenankan menghadiri permeriksaan persiapan tersebut.


(47)

menyatakan gugatan tidak dapat diterima seluruhnya atau sebagian, meskipun perkara itu telah lolos dari dismissal proses. Segala sesuatu yang dilakukan dalam tahap pemeriksaan persiapan diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis.

Untuk lebih jelasnya, penulis mengetengahkan pendapat Bapak Indroharto, SH mengenai tujuan pemeriksaan persiapan yaitu :

“Tujuan diadakanya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat meletakkan sengketanya dalam peta, baik mengenai objeknya serta fakta-faktanya maupun mengenai problema hukumnya yang harus dijawab nanti”.12

Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai dan Majelis sudah mempunyai gambaran sementara mengenai aspek yang berkaitan dengan objek sengketanya, fakta-faktanya merupakan problema-problema hukum yang harus diputuskannya, maka Ketua Majelis menetapkan hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang memerintahkan Panitera Pengganti agar memanggil kedua

Kegunaan adanya proses pemeriksaan persiapan adalah agar pemeriksaan mengenai pokok perkara di muka sidang dalam proses selanjutnya dapat berjalan lancar, sebab pada akhir pemeriksaan persiapan itu tentu Hakim telah memperoleh gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan objek perselisihan, fakta-fakta problema hukum dalam sengketa yang bersangkutan. Sehingga pada saat dimulainya pemeriksaan yang akan dilaskanakan.

12


(48)

belah pihak atau para pihak yang berperkara dengan surat tercatat agar hadir pada hari yang telah ditetapkan di muka persidangan.

c. Tahap proses persidangan

Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai, maka sebelum Majelis menentukan hari dan tempat sidang, Majelis sebaiknya menyusun penilaian sementara mengenai perkara yang akan disidangkan.

Penilaian intern sementara itu berupa :

1) Memilah-milahkan fakta-fakta dengan mengingat problema hukum yang harus dijawab.

2) Penyusunan secara mendetail mengenai problema hukum yang harus dijawab 3) Penyusunan jawaban sementara atas problema hukum tersebut.

4) Penyusunan instruksi-instruksi sementara yang dilaksanakan selama pemeriksaan di muka sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum nanti kepada para pihak, saksi-saksi atau saksi ahli, dan sebagainya.

5) Mungkin juga sudah ada keperluan untuk merencanakan tentang putusan yang akan diucapkan.

Apabila Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan menganggap bahwa gugatan telah sempurna dan sudah laik disidangkan maka Hakim Ketua menentukan hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang. Dalam penentuan hari sidan gini, Hakim harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dari tempat persidangan (pengadilan). Jangka waktu antara panggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut diperiksa dengan acara cepat


(49)

(pasal 64 UU No. 5/86). Panggilan terhadap pihak yang dianggap syah apabila masing-masing telah menerima panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengganti.

Jika pada hari sidang pertama ternyata penggugat atau kuasanya tidak hadir maka dipanggil lagi. Setelah panggilan dilakukan secara patut, ternyata pihak penggugat tetap tidak hadir tiga kali berturut-turut, maka gugatan dinyatakan gugur, maka penggugat harus membayar biaya perkara. Sesudah gugatan dinyatakan gugur, maka penggugat masih dapat memasukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar uang muka biaya perkara asalkan tenggang waktu pengajuan gugatan belum dilewati.

Apabila pada hari sidang pertama tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka akan dipanggil lagi untuk kedua kalinya dengan tembusan panggilan kedua itu dikirimkan kepada atasan tergugat. Apabila tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut atau tergugat/kuasanya tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Hakim Ketua dengan surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat agar hadir dan menanggapi gugatan. Berarti surat panggilan ketiga dikirimkan kepada atasan tergugat yang dilampiri dengan penetapan Hakim Ketua tersebut. Setelah lewat dua bulan ternyata tidak ada berita, baik dari tergugat ataupun dari atasan tergugat, maka Hakim Ketua menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan perkara dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya tergugat (in absentia). Dalam persidangan tanpa hadirnya tergugat ini, putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secra tuntas.


(50)

Setelah sidang dibuka oleh Hakim Keetua sidang, pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan gugatan dan jawaban. Selanjutnya Hakim Ketua sidang memberi kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan masing-masing pihak.

Dalam persidangan sengketa TUN, Hakim harus berperan aktif, guna memperoleh kebenaran materiil. Hal ini terbukti adanya kesewenangan Hakim dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Hakim Ketua sidang berhak di dalam persidangan memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.

2. Dengan izin ketua PTUN, penggugat, tergugat dan penasehat hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersengketa dengan perkara tersebut di Kepaniteraan PTUN, bahkan dapat membuat kutipan apabila hal tersebut dianggap perlu.

3. Para pihak yang berperkara dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri, setelah memperoleh izin dari Ketua PTUN yang bersangkutan.

Hakim Ketua sidang berkewajiban untuk menjaga agar tata tertib persidangan ditaati setiap orang Hakim Ketua berkewajiban untuk memberikan teguran atau peringatan kepada setiap orang yang menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku dan ucapan-ucapan yang merendahkan derajat, wibawa, martabat dan


(51)

kehormatan Pengadilan. Apabila orang tidak mentaati tata tertib persidangan, maka atas perintah Hakim Ketua, ia dikeluarkan dari ruang sidang. Tindakan Hakim Ketua terhadap pelanggaran tata tertib persidangan, tidak menutup kemungkinan dilakukan penuntutan jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.

Persidangan dipimpin dan dibuka oleh Hakim Ketua sidang dan harus dinyatakan terbuka unttuk umum. Pernyataan dibuka untuk umum itu sangat penting, karena jika hal itu tidak dipenuhi, maka persidangan dapat mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan umum atau keselamatan negara, maka persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum (pasal 70 UU No. 5/1986).

Dalam proses persidangan secara berurutan akan dilangsungkan pengajuan jawaban dari tergugat, pengajuan replik oleh penggugat, pengajuan duplik oleh tergugat, pengajuan alat-alat bukti dari penggugat dan tergugat, pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan penggugat dan tergugat dan diakhiri dengan pengajuan konklusi/kesimpulan dari masing-masing pihak.

Jadi suatu proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin dapat diselesaikan dalam satu kali persidangan, sehingga persidangan terpaksa dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya untuk acara yang telah ditentukan. Hari persidangan berikutnya ini diberitahukan kepada kedua belah pihak dan pemberitahuan ini dianggap sama dengan panggilan, karena itu haruslah dicatat dalam berita acara


(52)

persidangan oleh panitera pengganti yang bersangkutan mengenai pengunduran persidangan tersebut.

Kalau sekiranya pada hari persidangan kedua atau salah satu hari persidangan berikutnya ada pihak yang tidak hadir pada hal pada waktu persidangan pertama atau sebelumnya yang bersangkutan hadir, maka Hakim Ketua penyeruh memberitahukan kepada pihak tersebut pada hari dan tanggal persidangan berikutnya. Apabila pada hari sidang yang sudah ditentukan itu, pihak yang bersangkutan tidak hadir tanya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, padahal ia sudah diberitahu secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pihak tergugat berhak mengajukan eksepsi terhadap gugatan yang diajukan penggugat. Eksepsi ini hanya diperkenankan sejauh mengenai kewenangan baik pengadilan kompetensi yang bersipat absolut maupun yang relatif, ataupun kewenangan khusus lainnya. Eksepsi mengenai kemenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berlangsung. Bahkan hakim karena jawabnya, apabila mengetahui yakin bahwa PTUN tidak berwenang mengadili gugatan tersebut. Sedangkan eksepsi tentang kewenangan relatif, diajukan sebelum jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi ini harus diperiksa dan diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa dalam putusan akhir.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya Hakim dalam persidangan di PTUN harus aktif di dalam menemukan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini demi kelancaran pemeriksaan suatu sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang


(53)

memberikan petunjuk kepada pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan. Dengan demikian UU No. 5/1986 mengarah pada ajaran pembuktian bebas. Dalam hal ini para pihak dapat mengajukan alat bukti sebanyak mungkin guna mendukung dalil-dalil yang diajukan dalam acara pembuktian.

Pasal 100 UU No. 5/1986 menentukan bahwa alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan sengketa TUN adalah :

1. Surat atau tulisan : yang terdiri dari 3 jenis, yaitu :

a. Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c. Surat-surat lainnya yang bukan akta

2. Keterangan ahli : adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Keterangan ahli ini dapat diajukan baik atas permintaan para pihak yang berperkara maupun atas prakarsa Hakim karena jabatannya. Yang penting keterangan tersebut dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya/pengalamannya.


(54)

3. Keterangan saksi ; dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Saksi ini dapat diajukan atas permintaan salah satu pihak dalam perkara. Hakim Ketua sidang dapat juga memerintahkan sesorang saksi untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang syah meskipun telah dipanggil dengan patut dan hakim cukup mempunyai alasan untuk menduga bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi secara paksa ke persidangan. Sebelum saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.

4. Pengakuan para pihak ; ini merupakan salah satu alat bukti juga. Pengakuan yang diberikan oleh para pihak yang berperkara tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

5. Pengetahuan Hakim ; adalah hal-hal yang oleh hakim diketahui dan diyakini kebenarannya. Dengan perkataan lain, pengetahuan ini harus diperoleh hakim dalam dan selama persidangan. Untuk menambah pengetahuan Hakim lazimnya dilakukan pemeriksaan setempat/peninjauan lokasi atau sidang lapangan.

Perlu dijelaskan, hal apa yang harus dibuktikan, beban pembukt ian beserta penilaian pembuktian merupakan kewenangan untuk menetapkannya. Untuk syahnya pembuktian sekurang-kurangnya diperlukan dua alat bukti yang diyakini kebenarannya oleh Hakim.


(55)

Setelah semua proses pemeriksaan sengketa selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat-pendapat yang terakhir, berupa konklusi/kesimpulan masing-masing pihak. Sebenarnya pengajuan kesimpulan tersebut tidak diwajibkan. Kesimpulan diajukan bilamana dianggap perlu atau dianggap penting oleh pihak-pihak yang bersengketa. Selanjutnya Hakim Ketua menyatakan sidang ditunda, untuk memberikan kesempatan kepada majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna merumuskan putusan terhadap sengketa tersebut.

d. Tahap Pengucapan Putusan

Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan acara biasa dilakukan oleh suatu Majelis Hakim yang ditunjuk Ketua, yang terdiri dari seorang Hakim Ketua sidang dan dua orang lainnya sebagai Hakim Anggota, dengan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.

Apabila pemeriksaan tahap persidangan telah selesai dilakukan, yaitu kedua belah pihak sudah mengajukan kesimpulannya dan kedua belah pihak menyatakan tidak ada lagi hal-hal yang perlu dikemukakan serta memohon putusan, maka Hakim Ketua sidang akan menunda persidangan guna mengadakan musyawarah. Memang putusan pengadilan dapat dijatuhkan/diucapkan pada hari itu juga (setelah Majelis Hakim bermusyarawah dengan enschor sidang), namun umumnya pengucapkan putusan dimaksud ditunda pada hari lainnya yang harus diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa.


(56)

Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang, salinan putusan atau amar putusan diberitahukan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

Asas musyawarah Hakim itu diperlihatkan dengan susunan Majelis Peraddilan terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang Hakim, yang menunjukkan kolegial, yang asasnya dirumuskan dalam pasal 15 UU No. 14 tahun 1970.

Putusan dalam musyawarah Majelis diusahakan untuk memperoleh hasil permufakatan bulat. Apabila hal itu setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh berikut :

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak

b. Apabila ketentuan (a) tersebut tidak juga dihasilkan putusan, maka musyawarah ditunda sampai musyawarah berikutnya.

c. Apabila dalam musyawarah berikutnya tidak dapat diambil putusan dengan suara terbanyak, maka suara terakhir, diletakkan pada Hakim Ketua Majelis yang menentukkan.

Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan pemberitahuan agar kedua belah pihak hadir untuk mendengarkannya. Sebelum suatu putusan akhir itu diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum, biasanya diperlukan masa-masa waktu tertentu, antara lain :

1. Tenggang waktu yaang diperlukan untuk mengambil putusan akhir setelah sidang terakhir ditutup, artinya masa waktu antara penutupan sidang terakhir dengan saat mulainya rapat permusyawaratan Majelis (Raadkamer Majelis) untuk


(57)

memutuskan putusan akhir dari sengketa yang diperiksa Majelis yang bersangkutan.

2. Masa waktu untuk menyusun konsep putusan, khususnya mengenai pertimbangan Hukumnya. Dalam masa ini diperlukan waktu yang cukup untuk menyiapkan putusan dalam bentuk konsep serta meralat seperlunya.

3. Masa waktu yang diperlukan untuk pengucapan Putusan. Pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dengan cara membacakan putusan yang sudah dikonsep secara tertulis tersebut.

4. Setelah putusan diucapkan, maka masih diperlukan masa waktu untuk menyiapkan Putusan lengkapnya dalam bentuk naskah tertulis (minutasi) dan setelah itu harus ditandatangani. Bagi yang tidak hadir dikirimkan amar putusan yang sudah dibacakan tersebut, agar para pihak yang tidak hadir itu dapat segera mengetahui putusan pokok mengenai sengketanya, terutama pihak yang tidak hadir itu adalah pihak yang dikalahkan pengiriman amar putusan harus segera dilakukan agar dapat mengambil sikap apakah mengajukan banding atau tidak (pasal 122 dan 123 UU No. 5 tahun 1986).

Pasal 97 ayat 7 UU No. 5 tahun 1986 memberikan pedoman tentang kemungkinan amar/diktum putusan, sebagai berikut :

a. Gugatan Penggugat dinyatakan tidak diterima (niet Onvankelijk Verlaard); Diktum ini sebenarnya bersifat deklaratoir yang tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara Penggugat dan hubungan hukum yang ada antara Penggugat dan Tergugat.


(58)

b. Gugatan penggugat dinyatakan ditolak, berarti penggugat tidak berhasil untuk membuktikan kebenaran dalil-dalilnya. Diktum seperti ini sudah mengandung isi yang lebih memberikan kepastian hukumnya.

c. Gugatan Penggugat dikabulkan (seluruhnya atau sebagian); berarti dari pemeriksaan pengadilan, ternyata Penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan apa yang dituntut itu berdasar untuk dikabulkan.

d. Gugatan Penggugat dinyatakan gugur; mungkin karena penggugat telah melanggar hukum acara yaitu tidak hadir tiga kali berturut-turut meskipun dipanggil dengan patut, atau dalam hal penggugat telah meninggal dunia.


(59)

BAB III

TINJAUAN TENTANG PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Dasar Hukum Keiikutsertakan Pihak Intervensi Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara

Kita ketahui bahwa dewasa ini kaidah-kaidah hukum acara perdata masih terdapat berserakan, sebagian termuat dalam Het herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang hanya khusus berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan Rechreglement Buitengewesten (RGB) berlaku untuk kepulauan-kepulauan yang lainnya di Indonesia. Selain itu Burgelijk Wetboek Voor Indonesia (BW) memuat pula peraturan hukum acara perdata, kaidah-kaidah mana khusus berlaku untuk golongan penduduk tertentu yang baginya berlaku hukum perdata barat.

Di samping itu, hukum acara perdata terdapat pula dalam UU No. 14 Tahun 1970, Undang-Undang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (UU No. 13 Tahun 1965) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun 1975).

Selain itu, untuk beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan RGB, apabila benar-benar dirasakan perlu dan berguna bagi praktek pengadilan, dapat dipakai peraturan-peraturan yang terdapat dalam RV (Reglement Opde Burgelijk Rechtvordering), perjanjian (Vrijwaring), intervensi (Tussenkomst)


(60)

dan peminjaman kembali (Request Civiel).

Dalam hukum acara perdata perihal pengikut sertaan pihak ketiga, dalam proses tidak ada diatur secara tegas oleh HIR. Namun dalam prakteknya sering terdapat pihak ketiga dalam suatu perkara tertentu yang ditangani oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Pengikutsertaan pihak ketiga tersebut dalam proses suatu perkara dalam hokum acara perdata dimungkinkan berdasarkan ketentuan pasal 393 ayat 2 HIR yang berbunyi : 13

Karena pasal 393 ayat 2 HIR memperkenankan untuk dalam hal-hal yang dirasakan sangat perlu (apabila dibutuhkan oleh praktek pengadilan) mengadakan penyimpangan dari HIR dengan mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam peraturan lain.

"Akan tetapi Gubernur Jendral tinggal tetap memegang hak, sekedar tentang mengadili perkara perdata, setelah berbicara dengan Mahkamah Tinggi di Indonesia, akan menetapkan lagi peraturan lain, Yang lebih sesuai dengan peraturan tuntutan hukum perdata dihadapan pengadilan Eropah, untuk pengadilan negeri di

Jakarta, Semarang dan Surabaya, jika nyata benar

bahwa menurut pengalaman, perlu sekali diadakan

peraturan sedemikian dan jika untuk pengadilan

negeri yang lain-lain, Jika terdapat jiiga

keperluan yang demikian itu."

13


(61)

Prof. R. Subekti, SH yang mensitr pendapat Prof. Mr. Dr. R. Soepomo mengemukakan bahwa pasal 393 ayat 2 HIR ini, kini ditafsirkan bahwa Hakim Pengadilan Negeri apabila menganggap perlu dan benar-benar dibutuhkan dalam praktek, dapat mengambil alih bentuk-bentuk yang tidak terdapat dan tidak diatur dalam HIR, misalnya "Vrijwaring, tuseenkomst, voeging" dan sebagainya dari Rv, dengan berpedoman kepada Rv, tapi disesuaikan dengan kebutuhan praktek.14

Lain halnya di Pengadilan Tata Usaha Negara, mengenai pengikutsertaan pihak ketiga ke dalam proses pemeriksaan suatu sengketa TUN secara tegas telah diatur dalam ketentuan UU No. 5 tahun 1986, yaitu pasal 83 yang berbunyi sebagai berikut :

Dengan demikian dasar hukum pengikutsertaan pihak Intervensi atau pihak ketiga dalam proses suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri adalah ketentuan pasal 393 ayat 2 HIR junto ketentuan pasal 70 s/d 76 Rv serta pasal 134 dan 135 Rv.

Sebelum hakim Pengadilan Negeri memperkenankan ketiga untuk ikut berproses, terlebih dahulu harus didengar semua pihak tentang maksud tersebut, kemudian Hakim bare mempertimbangkan kepentingan masing-masing, sebelum menolak atau mengabulkan keikutsertaan pihak ketiga tersebut dalam proses suatu perkara yang berjalan. Untuk hal ini harus dimuat dalam berita acara pemeriksaan perkara tersebut mengenai putusan Bela yang memuat pertimbangan tentang ditolak atau dikabulkannya pihak ketiga dimaksud memasuki proses suatu'perkara yang sedang berjalan tersebut.

14


(62)

1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengaiukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalain sengketa TUN, dan bertindak sebagai :

a. Pihak yang membela haknya, atau

b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.

3. Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.

Dengan demikian nyatalah bahwa dasar hokum dimasukkannya pihak Intervensi dalam suatu sengketa TUN yang sedang diproses menurut Hukum Acara Peradilan TUN adalah ketentuan pasal 83 UU No. 5 tahun 1986.

Memang nampaknya ketentuan pasal 83 UU Ho.5 tahun 1986 tersebut kontradiksi atau antagonis dengan ketentuan pasal 1 butir 6 UU No.5 tahun 1986, yang berbunyi : "Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata


(63)

itu ditentukan sebagai "Tergugat Intervensi", sedangkan jika pihak ketiga itu dimasukkan sebagai "Penggugat Intervensi" boleh dikatakan tidak ada masalah karena tidak bersifat antagonis.

Mengenai dikabulkan dan ditetapkannya pihak ketiga selaku "Tergugat Intervensi dalam suatu sengketa TUN yang sedang berproses tersebut telah menimbulkan pendapat yang pro-kontra dikalangan para praktisi dan para pakar hukum.

Indroharto, SH adalah salah seorang yang menganut aliran yang kontra. Beliau menentang pihak ketiga dimasukkan sebagai tergugat intervensi, dengan argumentasi pada pokoknya sebagai berikut :15

Sebagai akibatnya adalah seorang yang sependapat dengan keputusan TUN "Tidak dapat dipungkiri jalan berpikir pembuat UU dalam masalah menentukan kedudukan prosesual pihak ketiga yang masuk dalam proses yang sedang berjalan itu adalah menyontoh kepada apa yang dapat terjadi dalam proses sengketa perdata. Namun ada masalah penting yang dilupakan oleh pembuat UU, yaitu bahwa orang atau Badan Hukum Perdata itu tidak mungkin berkedudukan sebagai tergugat dalam sengketa TUN. Hal ini akibat dari ketentuan yang tidak dapat dirubah, bahwa Badan atau Pejabat TUN itu tidak dapat berkedudukan sebagai Penggugat. Mereka selalu hanya dapat berkedudukan sebagai tergugat. Karenanya dalam proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin ada gugatan rekonpensi ataupun yang disebut tergugat intervensi.

15


(64)

yang disengketakan oleh seorang atau Badan Hukum Perdata juga tidak dapat berkedudukan sebagai tergugat intervensi, walaupun ia sangat berkepentingan karena hak atau kepentingannya juga mungkin akan tersangkut akibatnya oleh putusan pengadilan dalam proses yang bersangkutan. Jadi singkatnya seorang atau Badan Hukum Perdata itu tidak mungkin menuntut sesuatu yang dapat dituangkan dalam diktum putusan akhir pengadilan dalam sengketa itu. Sebab tuntutan semacam itu akan lama artinya dengan memungkinkan terjadinya tuntutan rekonpensi pada proses Peradilan TUN yang tidak dimungkinkan. Yang mungkin ia lakukan adalah hanya memperkokoh dalil-dalil tergugat dengan berkedudukan sebagai seorang saksi yang akan menambah memperkuat pembuktian maupun dalil-dalil tergugat dan memohon agar gugatan penggugat ditolak".

Jika ditelaah dan disimak argumentasi Indroharto, SH tersebut di atas secara singkat dan ringkas dapatlah disimpulkan

bahwa Indroharto, SH tidak sependapat dan tidak

menyetujui dicantumkannya ketentuan pasal 83 tersebut

di dalam UU No.5 tahun 1986, bahkan beliau mengemukakan

bahwa pembuat UU keliru mencantumkan ketentuan pasal 83


(1)

5. Kewajiban tersebut dalam butir 1, 2, 3 dan 4 di atas disertai dengan pemberian rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian (pasal 97 ayat 11)

d. Gugatan perlawanan harus memenuhi syarat ketentuan pasal 56 serta pihak ketiga yang mengajukannya harus mempunyai kepentingan yang dirugikan berdasarkan ketentuan pasal 53 UU No, 5 tahun 1986. kemudian gugatan perlawanan ini akan diproses sesuai dengan ketentuan pasal 62 (Dismissal proses) dan pasal 63 (pemeriksaan persiapan) seperti pemeriksaan gugatan biasa.

Indroharto, SH berpendapat bahwa penyelesaian perkara perlawanan semacam itu akan dilakukan oleh suatu Majelis perlawanan semacam itu akan dilakukan oleh suatu Majelis Perlawanan Eksekusi menurut cara singkat sesuai dengan ketentuan pasal 62 dan 63 yaitu dapat dinyatakan dismissed (tidak lolos

dismissal) begitu saja kalau gugatan perlawanan itu dianggap tidak berdasar oleh

Majelis yang menyidangkan.20

Perlu ditegaskan, bahwa dengan diajukannya gugatan perlawanan itu, tidak Jadi pihak ketiga yang mengajukan gugatan perlawanan ini, sewaktu proses perkara berjalan tidak melakukan intervensi, baik atas prakarsa sensiri atau atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa ataupun atas prakarsa hakim, dan tidak berposisi sebagai saksi di persidangan serta tidak pernah menolak pemanggilan atau pemberitahuan yang mengikutsertakannya sebagai intervenient selama berlangsungnya proses pemeriksaan atas sengketa yang akan dilawannya tersebut.

20


(2)

berarti bahwa pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum itu sendirinya tertunda, akan tetapi pelaksanaan putusan tetap dapat dilakukan, sebab pada prinsipnya gugatan tidak menunda atau menghalangi pelaksanaan putusan, kecuali ada penetapan penundaan/penangguhan menurut pasal 67 ayat 2, 3, 4 huruf a UU No. 5 tahun 1986. Selanjutnya cara mengajukan gugatan perlawanan tersebut hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu dieksekusi, sebab apabila sudah sempat dieksekusi maka sudah tidak mungkin lagi bagi pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan dimaksud.


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha negara yang timbul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku meliputi 4 (empat) tahap yaitu : tahap proses dismissal (rapat permusyarawatan) oleh ketua peradilan Tata Usaha negara, tahap proses pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh majeliss hakim dalam sidang tertutup guna mematangkan perkara, tahap proses persidangan yang harus dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk jawaban oleh tergugat, replik oleh penggugat, duplik oleh tergugat, pengajuan alat-alat bukti, pemeriksaan saksi kesimpulan oleh amsing-masing pihak, serta tahap pengucapan putusan di depan sidang yang terbuka untuk umum untuk diperolehnya kepastian hukum.

2. Pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutkan di peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan pasal 83 UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, dalam proses pemeriksaan suatu sengketa TUN, dibenarkan/ dimungkinkan pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan, guna membela atau mempertahankan hak dan


(4)

kepentingannya sendiri agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan, sehingga hakim di dalam pertimbangannya tidak keliru mengadili sengketa yang bersangkutan. Pihak ketiga yang berkepentingan itu dapat diterima dan ditarik sebagai pihak intervenient (penggugat intervensi atau tergugat intervensi) selama berlangsungnya proses pemeriksaan sengketa dimaksud dengan pembatasan tidak diperbolehkan setelah tergugat mengajukan dupliknya, sesuai dengan Juklak Mahkamah Agung tanggal 24 Maret 1992.

B.

Saran-saran

1. Diharapkan hakim di dalam menilai dan mempertimbangkan permohonan intervensi dari pihak ketiga haruslah benar-benar cermat dan teliti memperhatikan unsur kepentingan pihak ketiga terhadap objek sengketa dan akibat hukumnya, sebelum menolak permohonan dimaksud dan sedapat mungkin diusahakan meminta penjelasan dan keterangannya agar dapat diketahui seberapa besar bobot kepentingannya, sehingga pada akhirnya dapat dihindari munculnya gugatan perlawanan setelah adanya utusan yang berkekuatan hukum tetap.

2. Seyogianyalah pihak ketiga yang telah ditarik dan diperintahkan Majelis untuk diikutsertakan sebagai tergugat intervensi dalam suatu sengketa TUN yang sedang di proses, tidak menolaknya agar dikemudian hari kepentingan


(5)

pihak ketiga itu tidak terabaikan. Seandainya pihak ketiga itu tidak bersedia memasuki proses sengketa, maka sebaiknyalah ia dipanggil sebagai saksi, agar diperoleh penjelasan atas fakta-fakta tertentu yang dianggap urgen sekali dalam memberikan kebenaran materiil atas suatu pokok sengketa. 3. Sebelum pihak ketiga itu dikabulkan untuk ikut serta atau diikutsertakan

dalam proses sengketa TUN yang berjalan, sebaiknyalah terlebih dahulu dipanggil untuk mengetahui tempat tinggalnya dan pendiriannya, sehingga tidak perlu lagi dilakukan pemanggilan dan pemberitahuan melalui mass media.

4. Pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses hendaknya dilakukan paling lambat pada proses persidangan dalam acara penyerahan duplik tergugat dan tidak perlu lagi dilakukan tahap pemeriksaan persiapannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Abduh Muhammad, SH, Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI), Penerbit Yani Corporation, Medan, 1986.

2. Abdul Rozali, SH, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Rajawali Pers, Jakarta, Cet. 2, 1992.

3. Indroharto, SH, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

4. , Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1994.

5. Lopa Baharuddin, Prof. Dr. SH, dan Hamzah, A., Dr. SH, Mengenal Peradilan

Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

6. Mucshan, SH, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan

Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta,

1992.

7. Poerwadarminta, W.J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PH Balai Pustaka, Jakarta, 1984.

8. Prodjohamidojo Martiman, SH, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996.

9. Soemitro, H, Rochamt, Prof. Dr.SH, Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit PT. Erasco, Bandung, 1987

10. Subekti, R. Prof, SH, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1982.

11. Sutantio, Ny. Retnowulan, SH dan Oeripkartawinata, Iskandar, SH, Hukum Acara