BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Born In The Wrong Body” merupakan suatu tema yang diangkat menjadi suatu tajuk permasalahan yang dibahas dalam acara talk show yang dipandu oleh
Oprah Winfrey pada tanggal 28 September 2007. Dalam acara tersebut hadir 3 orang narasumber yang termasuk dalam kelompok orang-orang jenis ketiga, yaitu
orang-orang yang jenis kelaminnya tidak teridentifikasi sebagai wanita maupun pria, yang selanjutnya akan disebut sebagai transeksual dalam tulisan ini.
Diantaranya adalah Angelika, seorang gadis berusia 21 tahun yang telah menjalani kehidupan 15 tahun pertamanya sebagai anak lelaki. Ia mulai
merasakan konflik mengenai identitasnya saat ia masih berusia 3 tahun. Saat anak lelaki lain seusianya mulai tertarik dengan kegiatan olahraga, ia lebih memilih
untuk bermain dengan boneka barbie. Saat ia memasuki masa remaja, ia mulai mengetahui mengenai homoseksual dan ia secara tidak sengaja mengira ia
merupakan salah satu dari mereka. Hal yang sama juga dirasakan oleh gadis kecil yang berasal dari California
bernama Julia. Sejak kecil ia lebih suka bermain mobil-mobilan dan memakai pakaian anak lelaki. Semakin ia bertambah dewasa, ia menyadari ada sesuatu hal
yang salah dari dalam dirinya. Selama 14 tahun, ia menjalani kehidupan menjadi seorang anak perempuan hingga suatu waktu ia mengetahui apa arti dari
Universitas Sumatera Utara
transgender dan ia kemudian memulai perjalanan untuk mengganti identitas melalui beberapa perubahan fisik menjadi Jake.
Baik Angelika maupun Jake mengakui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidaklah mudah. Keduanya sering kali mengalami beragam peristiwa yang
tidak menyenangkan, mulai dari penolakan yang ditunjukkan oleh keluarga, dijauhi oleh teman-teman di sekolah, hingga usaha percobaan bunuh diri pun
pernah mereka berdua lakukan. Seorang narasumber lain yang hadir dalam acara talk show itu adalah
seorang Dokter Spesialis Kandungan bernama Dr. Marci Bowers. Lima belas tahun yang lalu, ia bernama Mark Bowers, seorang dokter yang sukses, suami,
dan ayah dari 3 orang anak. Ia mengakui bahwa berdasarkan pengalaman pribadinya untuk bertransisi dari seorang lelaki menjadi perempuan merupakan
suatu permasalahan yang begitu sulit. Ia sebenarnya mulai merasakan keanehan saat ia berusia 4 tahun, namun ia lebih memilih untuk menarik diri dan
“bersembunyi” dari kenyataan. Ia sengaja memilih jurusan ahli kandungan dan ginekologi, sehingga ia bisa menjadi salah satu bagian dari kehidupan para wanita.
Ia menjalani 40 tahun kehidupannya untuk berusaha denial dari apa yang sebenarnya ia rasakan hingga sampai pada suatu waktu ia tidak sanggup untuk
menahannya kembali. Awalnya ia merasa jika ia dapat hidup seperti lelaki lainnya dengan menikah dan membesarkan anak-anak, maka ia merasa hal itu akan cukup
untuk membuatnya bahagia. Namun ternyata hal itu membuatnya merasa seolah- olah membohongi dirinya sendiri, ia merasa tertekan akan hal itu sampai akhirnya
ia mulai membicarakan permasalahan itu kepada istrinya. Pada awalnya, istrinya
Universitas Sumatera Utara
menyatakan penolakan atas permintaan suaminya yang meminta izin untuk berganti kelamin, tapi setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya ia
menyetujui keinginan suaminya tersebut. Saat ini, setelah 11 tahun menjalani kehidupan menjadi seorang wanita, pernikahan Dr. Bowers dan istrinya masih
berjalan dengan baik dalam acara televisi The Oprah Winfrey Show, diakses secara online.
Fenomena orang-orang transeksual ini merupakan suatu permasalahan
nyata yang tidak dapat ditolak keberadaannya di masyarakat. Merupakan suatu hal yang sangat disayangkan bahwa belum banyak masyarakat yang memaknai seluk-
beluk kehidupan kaum transeksual yang sesungguhnya. Nadia, 2005. Di Indonesia sendiri, penelitian yang menyinggung mengenai orang-orang
transeksual masih minim, sehingga peneliti menemui kesulitan untuk menemukan pandangan budaya timur yang terkait dengan fenomena transeksual itu sendiri.
Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali data dengan mewawancarai beberapa orang untuk meminta pendapat mereka mengenai kaum transeksual di mata
mereka. Adapun kutipan wawancaranya sebagai berikut: “mereka adalah orang-orang yang melanggar kodrat yang telah diberikan
oleh Allah. Yang mereka kejar hanya kehidupan duniawai saja. Tapi kadang saya juga merasa kasihan sih sama mereka” – S, 41 tahun, Ibu
Rumah Tangga. “Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya
berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikis, bukan pula dari penampilan dan sebagainya. Ganti kelamin
diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Hukum bagi transeksual adalah haram.” – A, 39 tahun, Ustadz.
“menurut saya, transeksual merupakan orang yang cenderung tidak mensyukuri nikmat Tuhan, tapi dalam menyikapi mereka, kita sebagai
manusia yang hidup bermasyarakat tidak perlu menjauhinya, karena
Universitas Sumatera Utara
dalam beberapa point mereka jauh lebih baik daripada para pelaku kriminalitas.” – E, 21 tahun, Mahasiswa.
Berdasarkan beberapa kutipan wawancara diatas, ketiga responden secara umum menyatakan sikap yang cenderung negatif dikaitkan dengan nilai agama
dan norma ketimuran. Hal ini semakin mempersulit kehidupan kaum transeksual untuk menjalani kehidupan mereka. Menurut Nadia 2005, negara relatif
meletakkan posisi kaum transeksual secara paralel bersama individu yang memiliki penyakit sosial, seperti pelacuran dan kejahatan. Mereka diposisikan
sebagai kelompok marjinal yang tidak memiliki atau menghambat pembangunan. Untuk melihat budaya timur lainnya yang terkait dengan kehidupan
transeksual, dalam budaya Malaysia, terdapat satu istilah yang disebut dengan mak nyah, yaitu orang-orang yang terlahir sebagai pria, namun merasa dirinya
adalah seorang wanita. Kehidupan mereka biasanya sangat dipengaruhi oleh budaya dan norma agama. Meskipun banyak dari mereka menyatakan bahwa
mereka akan senang atau bahagia jika mereka menjalani operasi pergantian kelamin, namun mereka enggan untuk melakukannya. Mereka percaya jika
mereka melakukannya, tak seorang pun akan melaksanakan upacara pemakaman bagi mereka ketika mereka mati, karena mereka tidak dianggap sebagai
perempuan dan mereka juga tidak diterima sebagai laki-laki. Beberapa bahkan percaya bahwa jiwa mereka akan mengapung tanpa tujuan ketika mereka mati.
Terlebih lagi perilaku cross-dressing di Malaysia dianggap sebagai perilaku yang tidak senonoh dan akan dikenakan sanksi tertentu, mulai dari membayar sejumlah
denda, hukuman kurungan imprisonment, atau keduanya Teh, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Hal seperti itu terjadi dikarenakan kebanyakan dari masyarakat hanya melihat dari kulit luar semata, dan ketidaktahuan mereka atas fenomena tersebut
bukannya membuat mereka mencoba belajar tentang apa, bagaimana, mengapa dan siapa melainkan justru melakukan penghukuman dan penghakiman yang
sering kali menjurus pada tindakan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan Nadia, 2005.
Orang-orang jenis ketiga dalam konteks psikologis termasuk dalam transeksualisme, yakni seseorang yang sejak lahir memiliki jenis kelamin yang
jelas dan sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenisnya Koeswinarno, 2004.
Transeksual ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu male-to-female transsexual laki-laki yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang
perempuan dan female-to-male transsexual perempuan yang meyakini bahwa dirinya sesungguhnya adalah seorang laki-laki. Fokus dalam penelitian kali ini
adalah male-to-female transsexual. Transeksual menurut Carroll 2005 merupakan individu dengan gangguan
identitas gender yang umumnya dimulai sejak kecil dimana ia merasa dan meyakini bahwa dirinya adalah jenis kelamin yang berkebalikan dengan
keadaannya yang sebenarnya. Perasaan ini terus berlanjut hingga masa dewasa. Hal ini dapat dilihat dari penyataan Angelika berikut :
“Ada suatu waktu saat aku masih kecil dan aku melihat diriku dicermin, aku hanya bisa berharap seandainya aku seorang perempuan, aku tidak
mengerti mengapa wujudku lelaki tapi pikiranku mengatakan aku adalah perempuan. Aku merasa sangat bingung.”
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kutipan pernyataan diatas, Angelika mengalami kebingungan mengenai identitas dirinya sejak ia masih kecil dan ia mulai mempertanyakan
siapakah dirinya yang sebenarnya. Menurut Diamond 1997, banyak transeksual yang mulai menerima diri mereka adalah saat ia mampu memasuki periode
dimana mereka memiliki informasi yang cukup mengenai diri mereka sendiri, sehingga mereka meyakini hal tersebut dapat memberikan solusi yang tepat atas
ketidaknyamanan gender gender discomfort yang mereka rasakan. Dalam periode ini, mereka terlibat dalam berbagai macam cara dan teknik untuk menguji
kebenaran dan melihat apakah mereka dapat menerima sepenuhnya identitas mereka dalam Devor, 2004.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ellen. D. Riggle dan rekan- rekannya pada tahun 2010 yang melibatkan 61 partisipan transgender dan
transeksual menemukan bahwa sekitar 72 mengatakan merasakan perasaan yang amat sangat positif saat menampilkan identitas baru yang mereka miliki, dan 25
melaporkan mereka merasakan agak positif, 3 sisanya mengatakan tidak begitu positif dan tidak ada satupun partisipan yang menyatakan tidak merasakan
perasaan positif sama sekali. Ditambahkan lagi oleh Ellen D. Riggle dan rekan- rekannya bahwa menampilkan identitas baru bagi mereka memberikan
kesempatan untuk dapat menunjukkan kejujuran honesty, kebenaran truth, dan kesatuan dalam diri unity within yourself.
Honesty dijelaskan oleh Seligman dan Peterson 2004 tidak hanya sebatas mengatakan sesuatu dengan jujur, namun mereka mengartikannya dalam cakupan
yang lebih luas lagi. Hal ini merujuk kepada kebenaran yang juga berusaha
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab atas apa yang ia rasakan dan apa yang ia kerjakan. Hal itu juga mengacu kepada presentasi asli dari diri seseorang kepada orang lain sering
diistilahkan dengan authenticity sincerity, dan bagaimana perasaan internal bahwa diri adalah mahluk yang koheren secara moral disebut dengan istilah
integrity unity. Kejujuran itu sendiri pada dasarnya memiliki banyak dampak yang baik,
mulai dari peningkatan perasaan positif karena tidak terbebani dengan kebohongan, dapat lebih terbuka dalam menjalin suatu relasi, dapat menampilkan
dirinya secara apa adanya, dan hal baik lainnya Vaughan, 2007. Namun pada sisi yang lain kejujuran itu sendiri belum tentu memberikan efek yang baik, pada
kaum transeksual misalnya, pada saat mereka berusaha menampilkan jati dirinya yang seutuhnya ke hadapan masyarakat, belum tentu masyarakat itu bisa dengan
mudahnya menerima keberadaan mereka. Dalam DSM- IV-TR dikatakan bahwa
salah satu diagnosa penegak kriteria Gender Identity Disorder adalah menyebabkan distress dan penurunan dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Angelika lainnya : “Sekolah merupakan tempat yang paling menyengsarakan bagiku, aku
dipandang begitu berbeda hanya karena aku lebih feminim dibandingkan anak lelaki lainnya. Aku mengalami ‘panic attack’ dan hal itu membuatku
malas untuk bersekolah. Dalam setahun, aku mungkin memiliki sekitar 40 hingga 50 absen”.
Berdasarkan sebuah penelitian oleh Bryan Rodriguez Alegre pada tahun 2006 yang meneliti mengenai kaum transeksual di Filipina, ia menemukan bahwa
para partisipan menunjukkan mereka sangat menghargai nilai hidup dan kebahagiannya, keluarga mereka, teman-teman dan bagaimana mereka
Universitas Sumatera Utara
berhubungan. Sangat penting bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan. Mereka menginginkan untuk dapat diterima secara terbuka dan tanpa syarat. Dan
mereka juga menginginkan agar masyarakat mau melihat dirinya sebagai wanita secara seutuhnya dan tidak memperlakukan mereka secara berbeda hanya karena
identitas baru yang mereka miliki. Menjadi transeksual adalah suatu proses antara ia dengan ruang sosial di
mana dirinya hidup dan dibesarkan. Proses ini dilalui dengan berbagai tekanan- tekanan sosial untuk kemudian direspon, sehingga pada akhirnya akan
membentuk satu makna kehidupan. Pada kenyataannya, masyarakat tidak mudah menerima keberadaan mereka dan membentuk suatu hubungan sosial dengan
orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok transeksual. Kebanyakan dari masyarakat menganggap bahwa kelompok tersebut merupakan suatu
ketidaklaziman. Padahal tentunya mereka juga butuh untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara sosial. Koeswinarno, 2004.
Melihat keadaan masyarakat yang seperti itu, pasti tidaklah mudah bagi seorang transeksual untuk membuka diri terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Kebanyakan dari masyarakat masih menganggap kelompok transeksual merupakan kelompok dari kelas rendah. Kecilnya penerimaan yang diberikan
masyarakat cenderung memberikan perilaku diskriminatif di dunia kerja, sehingga para transeksual tidak dapat bekerja secara leluasa dalam sektor yang formal,
sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan kehidupannya pada sektor yang tidak formal seperti dunia hiburan dan salon Koeswinarno, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Atmojo dalam Damariyanti, 2007, kehadiran mereka di keliling kita masih belum sepenuhnya diterima. Tak jarang mereka diperlakukan bagaikan
manusia ajaib yang pantas untuk ditertawakan, dihina, dipandang secara sinis dan beragam bentuk penolakan lainnya, bahkan ada sebagian orang yang menganggap
mereka adalah “pendosa” yang patut disingkirkan. Selanjutnya bentuk penolakan yang muncul adalah sikap antipati masyarakat. Maka dampaknya adalah
mempersempit ruang gerak pergaulan mereka sehari-hari bahkan pada hal-hal yang serius.
Minimnya jumlah komunitas transeksual yang bebas bersuara untuk mempresentasikan kepentingan-kepentingan kaumnya, mempersulit akses para
transeksual untuk mendapatkan dukungan sosial, dan kalaupun ada, masyarakat tentu akan mengucilkan keberadaan mereka, padahal tujuan dibentuknya
komunitas tersebut adalah untuk mengangkat derajat transeksual dan menghilangkan pandangan masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang buruk
Damariyanti, 2007. Mengingat beragam tekanan yang datang mulai dari dalam diri individu
transeksual itu sendiri hingga ke orang-orang sekelilingnya pasti akan sulit bagi mereka untuk dapat menerima keadaan mereka secara seutuhnya. Penerimaan diri
self-acceptance sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya, agar dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini merujuk
kepada sejauh mana seorang individu memiliki pandangan positif mengenai siapa dirinya yang sebenar-benarnya Germer, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jersild dalam Hurlock, 1974 seseorang yang mampu menerima dirinya memiliki penilaian realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan
yang ia miliki, dimana hal tersebut dikombinasikan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri tanpa memikirkan pendapat orang lain. Mereka akan mengakui
kelebihan yang mereka miliki sebagaimana mereka mengakui kelemahan mereka namun tanpa menyalahkan dirinya sendiri. Hal ini juga merupakan tanda bahwa
adanya proses yang terjadi dalam diri individu yang mengantarkan dirinya kepada suatu pengetahuan dan pemahaman akan dirinya sendiri sehingga ia mampu
menerima dirinya secara utuh dan bahagia. Penerimaan diri tidak dapat muncul dengan sendirinya, melainkan harus
dikembangkan oleh individu. Menurut Germer 2009, dalam proses perkembangannya, penerimaan diri terjadi dalam beberapa tahap, antara lain :
dimulai dari tahap penghindaran aversion, kemudian tahap keingintahuan curiousity, masuk ke tahap toleransi tolerance, selanjutnya tahap membiarkan
begitu saja allowing, dan berakhir saat individu mampu mencapai masa dimana ia dapat bersahabat dengan situasi yang dihadapinya, yang disebut dengan tahapan
persahabatan friendship. Ditambahkan lagi oleh Hurlock 1974 bahwa cara bagaimana seseorang
akan menerima maupun menolak dirinya dipengaruhi oleh lingkungan. Hal itu akan terbentuk jika didukung oleh kondisi-kondisi berikut : pemahaman diri yang
baik, adanya harapan yang realtistis, tidak adanya hambatan lingkungan, sikap sosial yang menyenangkan, tidak adanya stress emosional, jumlah keberhasilan
yang diraihnya, mampu mengidentifikasikan dirinya dengan well-adjusted people,
Universitas Sumatera Utara
perspektif diri yang baik, pola asuh masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Hurlock menegaskan kembali bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki
self-acceptance yang konsisten, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan sikap orang-orang disekelilingnya.
Kemampuan untuk dapat menerima keadaan diri yang seutuhnya perlu dikembangkan oleh kaum transeksual, karena pada dasarnya transeksualisme itu
saja sudah merupakan salah satu jenis gangguan psikologis. Terlebih lagi saat ia tidak dapat menerima dirinya, dikhawatirkan hal tersebut akan merujuk kepada
gangguan psikologis lain yang akan semakin menghambat jalan kehidupannya. Peneliti menyadari bahwa untuk mengukur proses bagaimana seorang transeksual
mampu menghadapi beragam respon-respon yang bermunculan dari lingkungannya dan melakukan proses penerimaan diri menjadi suatu hal yang
jauh lebih kompleks dibandingkan hanya meminta individu itu untuk sekedar memberikan penilaian tentang bagaimana perasaan yang mereka rasakan tentang
proses peralihan yang mereka alami tersebut. Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan diatas membuat peneliti
ingin mengetahui lebih lanjut mengenai transeksual dalam melakukan self- acceptance atau penerimaan diri atas identitas baru yang dimilikinya tersebut.
Dengan kondisi realita masyarakat yang seperti memandang keberadaan mereka dengan sebelah mata, tentu akan mempersulit seorang transeksual untuk dapat
mengaktualisasikan dirinya kepada masyarakat. Bagi seorang transgender saja, pasti akan merasakan kesulitan untuk dapat diterima di masyarakat, apalagi
kemudian mereka memutuskan untuk berganti kelamin, karena hal itu
Universitas Sumatera Utara
memerlukan pertimbangan dan pemikiran berulang-ulang untuk melakukan operasi pergantian kelamin, sebagaimana yang dikatakan oleh Jake, berikut :
“Saat kecil aku mengira aku adalah seorang Lesbian, hingga suatu waktu aku bertemu dengan seorang teman yang persis seperti diriku sehingga
aku mulai menyadari bahwa aku adalah lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang pacar, namun
menjadi seorang suami, ayah, dan ‘role model’ yang baik untuk kehidupan seseorang. Saat aku memasuki usia 13 aku sudah menyatakan keinginanku
untuk menjadi seorang pria seutuhnya kepada orangtuaku dan saat aku berumur 15, aku memulai transisi fisik untuk menjadi seorang Jake, yang
diawali dengan mengkonsumsi hormon. Sebelumnya aku selalu mengikat erat payudaraku agar tidak terlihat berbentuk, hingga akhirnya pada
usiaku yang ke-16, aku menjalani operasi pengangkatan payudara.”
Selain itu peneliti juga begitu tertarik untuk meneliti mengenai transeksual karena kasus ini sendiri masih jarang sekali terjadi. Tentulah tidak mudah bagi
individu yang tadinya adalah seorang pria untuk dapat menerima diri mereka dalam suatu kondisi dimana ia harus menjalani satu fase kehidupan baru menjadi
seorang wanita dengan sepenuhnya. Penelitian ini menjadi begitu penting mengingat masih minim sekali orang
yang mau menyinggung soal dunia transeksual dan juga banyak orang yang tidak mengerti dan cenderung menghindari kaum yang tergolong transgender maupun
transeksual.
B. Perumusan Masalah