Analisis Kelayakan Usaha Rice Processing Complex

Sebagian besar petani di Kabupaten Rokan Hilir melaksanakan penanaman padi setahun sekali, kecuali untuk Kecamatan Rimba Melintang. Di daerah ini pelaksanaan penanaman padi dua kali satu tahun, tetapi hanya 2.756 ha saja. Hal ini bisa terjadi karena Kabupaten Rokan Hilir sebagian besar lahannya merupakan lahan gambut. Jika dilihat dari luas panennya pada Tabel 19, dapat dilihat tiga besar wilayah yang memiliki luas panen terbesar, yaitu Kecamatan Kubu dengan luas panen 9.056 ha 26 persen, Kecamatan Bangko dengan luasan sebesar 11.212 ha 32 persen dan Kecamatan Rimba Melintang seluas 8.900 ha 26 persen. Dari jumlah produksi dan luas wilayah panen, ternyata Kecamatan Bangko merupakan kecamatan dengan jumlah produksi dan luas wilayah panen terluas. Tabel 19. Jumlah Luas Panen Padi Sawah per Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2005 Ha No Kecamatan Padi Sawah Persentase 1 T. Putih 2 Pujud 3 Tp. Tj. Melawan 473 1 4 Rantau Kopar 5 Bagan Sinembah 6 Simpang Kanan 114 7 Kubu 9.056 26 8 Ps. Limau Kapas 1.543 4 9 Bangko 11.212 32 10 Senaboi 2.032 6 11 Batu Hampar 12 Rimba Melintang 8.900 26 13 Bangko Pusako 1.217 4 Rohil 34.547 100 Riau 114.028 30 Sumber: Kabupaten Rokan Hilir dalam Angka Tahun 2006

5.2. Analisis Kelayakan Usaha Rice Processing Complex

Jumlah mesin RPC di Kabupaten Rokan Hilir ada tiga buah, yaitu milik Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang berada di Kecamatan Kubu, milik Bulog yang berada di Kecamatan Rimba Melintang dan milik Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang merupakan hibah dari Pemerintah Provinsi Riau berada di Kecamatan Bangko. Jika dihubungkan dengan luas lahan dan jumlah produksi dari tiga kecamatan dengan nilai produksi dan luas lahan terbesar, ternyata letak RPC sebenarnya sudah optimal, yaitu di wilayah yang merupakan produsen beras di Kabupaten Rokan Hilir. Berdasarkan hasil lapangan dan wawancara, ternyata yang masih dioperasikan hanya mesin RPC milik Bulog, oleh karena itu analisis usahanya akan dilihat dari bagian ini. Mesin RPC lainnya adalah milik Pemerintah Rokan Hilir dan Pemerintah Provinsi Riau yang dihibahkan kepada Pemkab Rokan Hilir belum dioperasionalkan. Kapasitas dari ketiganya sama, yaitu 3 ton gabah kering panen per jam, selain itu ketiganya pun relatif baru, yaitu mulai dipasang sekitar tahun 2005. Mesin RPC milik Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang berada di Kecamatan Kubu, hingga saat ini belum berjalan dikarenakan adanya masalah pengelolaan. Mesin tersebut pernah diuji coba, hasilnya relatif baik. Pada awalnya mesin tersebut dikelola oleh BUMD milik Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, kemudian diserahkan ke KUD di Kecamatan Kubu. Sekarang mesin tersebut tidak dapat beroperasional, karena selain masalah pengelolaan, juga masalah pendanaan, karena KUD yang mendapatkan hak pengelolaan tidak memiliki dana untuk membeli beras, sehingga akhirnya mesin tersebut tidak digunakan lagi, karena tidak ada kegiatan akibat tiadanya dana untuk pembelian beras. Hal ini pernah dibicarakan dengan pihak pemerintah, tetapi belum ada kelanjutannya. Mesin berikutnya adalah milik Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang merupakan hibah dari Pemerintah Provinsi Riau. Pada mulanya, keberadaan mesin RPC ini ditujukan untuk membantu petani dan daerah dalam meningkatkan mutu hasil pertanian. Saat itu, pada tahun 2005 Pemerintah Provinsi menghibahkan dua buah mesin RPC untuk Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Inderagiri Hilir. Kedua kabupaten tersebut ditunjuk karena merupakan daerah penghasil beras di Provinsi Riau. Dana proyek RPC di Inderagiri Hilir dan Rokan Hilir ini berasal dari APBD Riau sebesar Rp12,6 miliar. Untuk RPC di Inderagiri Hilir senilai Rp7,6 miliar, sisanya untuk Rokan Hilir, yaitu sebesar 5 miliar. Sedangkan pemerintah kabupaten setempat hanya mempersiapkan lahannya. Mesin hasil hibah dari Pemerintah Provinsi Riau ini akhirnya tidak berjalan juga seperti mesin yang diusahakan oleh Pemerintah Kabupeten Rokan Hilir. Permasalahannya hampir sama, yaitu dalam pengelolaan. Pihak Provinsi Riau merasa telah memberikan mesin tersebut, sehingga setelah pemberian mesin, training operator dan pembangunan infrastruktur, dilepaskanlah kepada pihak Kabupaten Rokan Hilir. Di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir ternyata belum dapat mengoperasionalkan karena belum merasa mesin itu milik pemkab, sehingga ada salah pengertian diantara keduanya dan terbengkalailah mesin tersebut. Mesin yang terakhir adalah mesin milik Bulog, bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, yaitu Bulog menyediakan mesin dan pembangunan kantorgudang dengan nilai total adalah Rp 2,8 miliar. Pihak Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir pada kerjasama ini mempersiapkan lahannya. Mesin RPC milik Bulog pun ternyata cukup banyak kendalanya, antara lain SDM dan dana yang terbatas. Staf operasional Bulog pegawai Bulog untuk operasional mesin RPC milik Bulog ini hanya satu orang yang bertugas yang merangkapteknis untuk membeli gabah, menjual beras dan operasional mesin RPC. Pegawai Bulog tersebut diberi dana Rp 200 juta untuk anggaran tahun 2007, ternyata dengan hanya satu orang dan dana yang terbatas pegawai tersebut tidak berhasil dalam mengelola mesin RPC-nya, karena kesulitan dalam menampung gabah hasil panen serta dalam pemasarannya. Dalam menampung mengalami kesulitan karena keterbatasan dana untuk membeli . Sementara itu dalam pemasarannya terjadi persaingan dengan tengkulak dari Sumatera Utara, karena para tengkulak berani membeli gabah dan menjualnya dengan pembayaran tempo. Sedangkan untuk Bulog harus cash, sehingga menyulitkan pegawai tersebut untuk bersaing dengan para tengkulak. Padahal dengan adanya RPC ini yang merupakan satu-satunya RPC yang masih jalan di Kabupaten Rokan Hilir, dapat menstabilkan harga GKG di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu penjualan paling rendah adalah Rp 1800kg dan tertinggi mencapai Rp 2200kg. Sebelumnya harga tidak stabil, bervariasi antara Rp 900kg hingga Rp 1800kg. Sementara itu untuk biaya operasional RPC selama 9 jam yang merupakan satu periode dalam menjalankan mesin secara optimal untuk 8 ton adalah seperti yang digambarkan pada Tabel 20. Pada Tabel 20 dapat dilihat dengan harga GKP Rp 2.000kg yang dibeli dari masyarakat, dari biaya yang dikeluarkan, pembelian GKP ini mencapai 91 persen dari total pengeluaran. Sedangkan variabel yang lainnya adalah untuk minya sebesar 5 persen dan lainnya masing-masing satu persen untuk tenaga kerja dan karung. Artinya dalam produksi beras ini padat modal, karena nilai tenaga kerjanya relatif rendah. Jika dilihat dari keuntungan bersihnya, Bulog hanya mendapatkan Rp 435.000 dari harga beras Rp 5.000kg, dengan total penerimaan dari beras sebesar Rp 16.960.000,00 dengan persentase sebesar 94 persen. Hasil lainnya adalah menir dan dedak senilai Rp 995.000. Artinya jika yang dilihat hanya beras saja, maka usaha ini mendapatkan keuntungan, merugi. Tabel 20. Analisis Pendapatan Usaha RPC per 9 Jam No Uraian Jumlah Unit Harga Rp Jumlah Rp Persentase Pengeluaran 1 Pembelian GKP 8000 2.000 16.000.000 91 2 Minyak 210 4.500 945.000 5 3 Solar Diesel 75 4.500 337500 2 4 Tenaga Kerja 2 50.000 100.000 1 5 Karung 110 1.250 137.500 1 Total Pengeluaran 17.520.000 Penerimaan 1 Beras 3392 5.000 16.960.000 94 2 Menir 200 1.600 320.000 2 3 Dedak 900 750 675.000 4 Total Penerimaan 17.955.000 Keuntungan Bersih 435.000 Nilai BC 0.025 Nilai RC 1.025 Nilai RC tanpa dedak dan menir 0.968 Keterangan: Dari 8000 kg beras menjadi 6400 kg GKG, kemudian menjadi 3392 kg beras Berdasarkan Tabel 20, nilai BC perbandingan antara keuntungan dan biaya adalah 0,025 artinya usaha ini mendapatkan keuntungan sebesar 2,5 persen dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan nilai RC perbandingan antara penerimaan dan biaya adalah 1, 025, tetapi jika tidak mengikutsertakan dedak dan menir nilai RC-nya adalah 0,968. Artinya usaha ini tidak menguntungkan karena tidak balik modal, penerimaannya kurang dari biayanya. Hasil analisis usaha tersebut dapat dilihat bahwa usaha RPC kurang efisien jika dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasaran. Selain itu, jika dilihat di lapangan ternyata penjualan berasnya tidak mudah karena adanya persaingan dengan tengkulak dari Asahan Provinsi Sumatera Utara. Para tengkulak berani menjual dengan harga yang tidak begitu jauh berbeda dengan yang dijual oleh Bulog, tetapi memiliki kelebihan dapat dihutangkan. Jika hasil Bulog dihutangkan maka akan mengalami kesulitan dalam perputaran dananya. Oleh karena itu jika ingin melihat kelayakan investasinya, sepertinya jauh dari target pengembalian investasi, karena program ini lebih ditekankan pada program peningkatan pendapatan masyarakat.

5.3. Analisis AWOT