Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa merupakan salah satu muatan lokal yang wajib diajarkan di wilayah Propinsi Jawa Tengah mulai dari jenjang Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah Pertama SMP, maupun Sekolah Menengah Atas SMA dan sederajatnya. Pembelajaran Bahasa Jawa pada mulanya hanya diajarkan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar SD dan Sekolah Menengah Pertama SMP, tetapi mengingat pentingnya pembelajaran Bahasa Jawa, dibuatlah Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 895. 5012005 tentang kurikulum bahasa Jawa mulai tahun ajaran 20052006 wajib dilaksanakan oleh semua jenjang sekolah di Propinsi Jawa Tengah, baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Hal ini berarti bahwa sejak tahun 20052006 bahasa Jawa mulai diajarkan di jenjang SMA, SMK, maupun MA. Belajar bahasa Jawa bukan hanya sekedar mendalami materi-materi yang disampaikan dalam pembelajarannya, melainkan lebih ditekankan bagaimana peserta didik dapat menerapkan pembelajaran bahasa Jawa di dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menerapkan tata krama dalam berperilaku dan berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga tidak salah jika pada awalnya pelajaran bahasa Jawa hanya diajarkan pada jenjang SD dan SMP, sekarang sudah diajarkan di jenjang SMA, karena dalam tiga jenjang pendidikan itulah peserta didik dalam tahap mengenal lingkungan luar dan dalam rangka pencarian jati diri. Mereka perlu pendidikan yang lebih, terutama dalam hal penataan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pergaulan dengan lingkungan sekitar agar mereka tidak salah dalam bergaul dan menempatkan diri. Pelajaran bahasa Jawa merupakan suatu pembelajaran tentang bahasa. Dalam pembelajaran bahasa diajarkan cara berbahasa yang baik agar dapat berkomunikasi dengan orang lain secara tepat guna. Tentunya dalam pembelajaran tersebut terdapat kaidah-kaidah pembelajaran yang harus diajarkan tidak sekedar dapat berkomunikasi dan dipahami oleh orang lain. Pembelajaran bahasa mencakup empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak listening skills, keterampilan berbicara speaking skills, keterampilan membaca reading skills, dan keterampilan menulis writing skills. Keterampilan berbahasa yang sangat sulit dilakukan oleh peserta didik yaitu keterampilan berbicara. Pembelajaran berbicara harus secara tepat dilakukan pada setiap bahasa. Apalagi dalam pembelajaran bahasa Jawa, karena dalam pembelajaran bahasa Jawa bukan hanya penguasaan materi dan kemampuan siswa dalam berbicara menggunakan bahasa Jawa. Tetapi, dalam pembelajaran berbicara bahasa Jawa juga diterapkan unggah-ungguh basa yang mengatur setiap pembicaranya agar dapat berbicara dengan lawan bicaranya dengan baik dan tentunya menghormati lawan bicaranya. Kesopansantunan dalam berbicara dapat dilihat ketika seseorang berbicara. Selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, seseorang juga harus memperhatikan siapa orang yang diajak berbicara. Tata cara kita dalam berbicara dengan orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang dituakan tentunya berbeda jika kita berbicara denga anak kecil, orang yang lebih muda, atau orang yang dimudakan. Itulah yang dinamakan unggah-ungguh basa. Dalam unggah-ungguh basa terdapat ragam bahasa Jawa. Ragam bahasa Jawa itu meliputi ragam bahasa Jawa krama dan ragam bahasa Jawa ngoko. Kedua ragam bahasa Jawa itulah yang merupakan komponen bahasa dalam aspek berbicara dalam bahasa Jawa. Kedua ragam bahasa Jawa itu merupakan komponen yang sangat penting untuk menerapkan tata krama dalam berbicara. Dalam kenyataannya, berbicara bahasa Jawa ragam krama lebih sulit dibandingkan dengan berbicara bahasa Jawa ragam ngoko. Hal tersebut dikarenakan anak sudah terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari yaitu bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan untuk ragam krama tidak semua anak terbiasa menggunakan. Keadaan seperti itulah yang mengakibatkan tidak semua anak dapat menguasai bahasa Jawa ragam krama dengan baik. Pembelajaran bahasa Jawa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Kemampuan yang dimaksud adalah siswa dapat menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh basa baik secara lisan maupun secara tertulis tanpa membedakan keduanya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan guru bahasa Jawa SMP Negeri 2 Kalimanah pada tanggal 17 Juli 2010, siswa SMP yang terletak di Jalan Mayor Jenderal Sungkono Purbalingga ini mempunyai kemampuan yang berada di bawah KKM Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditentukan sebesar 65 dalam hal berbicara menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Nilai rata-rata siswa hanya mencapai 61,07. Kurang maksimalnya kemampuan para siswa dalam berbicara ragam krama merupakan dampak dari kebiasaan di keluarga yang tidak menanamkan pentingnya tata krama dalam berbicara. Pembiasaan berkomunikasi antara orang tua dan anak lebih sering menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko daripada ragam krama. Sebagai akibatnya keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama terhadap orang yang harus dihormati tidak dapat dilakukan. Keadaan seperti itu terjadi pada siswa kelas IXG SMP Negeri 2 Kalimanah Kabupaten Purbalingga, walaupun pada pembelajaran di sekolah tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua siswa mengalami kasus seperti itu. Ada sebagian siswa yang masih dapat menerapkan ragam krama dalam unggah-ungguh basa. Mereka dapat menggunakan bahasa Jawa ragam krama dengan baik jika lawan bicara mereka adalah guru, kakak kelas, dan bahkan teman sebaya yang mereka anggap usianya di atas mereka. Siswa-siswa yang berperilaku demikian sebagian besar berasal dari keluarga yang berpendidikan. Padahal hampir seluruh siswa SMP Negeri 2 Kalimanah berasal dari keluarga yang orangtuanya bermatapencaharian sebagai buruh, sehingga tidak ditanamkan cara berbicara bahasa Jawa yang baik terutama dalam menerapkan unggah-ungguh. Kurangnya pembiasaan berbicara ragam krama di rumah, menjadikan rendahnya keterampilan berbicara dalam melafalkan, kelancaran, dan pemahaman bahasa Jawa ragam krama. Sungguh hal tersebut menjadi momok dalam pembelajaran bahasa Jawa. Kasus semacam itu dapat dijadikan sebagai koreksi bahwa pembelajaran bahasa Jawa bukan hanya berlangsung di sekolah, melainkan juga di lingkungan keluarga sebagai bentuk pembelajaran perilaku. Sebenarnya faktor utama seseorang dapat berbicara menggunakan bahasa Jawa ragam krama yang baik dan benar sesuai unggah-ungguh berasal dari lingkungan keluarga. SMP Negeri 2 Kalimanah merupakan salah satu sekolah yang siswa-siswanya sangat rendah dalam pembelajaran berbicara pada pelajaran bahasa Jawa. Pembelajaran berbicara aspek berbicara dalam pembelajaran bahasa Jawa mempunyai beberapa Kompetensi Dasar KD. Diantara banyaknya KD dalam berbicara yang diajarkan dalam pelajaran bahasa Jawa, KD berdialog merupakan KD yang jarang diajarkan oleh guru SMP Negeri 2 kalimanah. Berdialog dianggap sebagai suatu kompetensi dasar yang sulit dan terlalu membuang waktu karena memang dalam berdialog membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Guru lebih banyak mengajarkan menulis, membaca, dan mendengarkan daripada berbicara. Apalagi jika siswa dituntut untuk berbicara ragam krama sesuai unggah-unguh basa. Mereka merasa kesulitan sehingga mengakibatkan standar kompetensi yang ditargetkan oleh guru yaitu dengan Kriteria Ketuntasan Minimal KKM sebesar 65 tidak dapat tercapai. Perlu usaha perbaikan berkali-kali untuk dapat mencapai kompetensi yang ditargetkan. Dalam keterampilan berbicara tidak dibutuhkan teori yang banyak, melainkan yang dibutuhkan adalah praktik dan banyak latihan. Tarigan 1997:1 mengemukakan bahwa keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh dengan jalan praktik dan banyak latihan. Dengan praktik dan banyak latihan siswa yang pada awalnya tidak bisa berbicara ragam krama dikarenakan mereka tidak percaya diri kemudian timbul rasa malu dan takut salah untuk berbicara di depan kelas, tetapi setelah sering maju di depan kelas untuk berbicara lama-kelamaan mereka semakin percaya diri dan dapat menggunakan bahasa Jawa ragam krama dengan baik dan benar. Pembelajaran berbicara merupakan pembelajaran bahasa yang lebih banyak mengutamakan praktik daripada teori. Membimbing siswa untuk praktik berbicara, apalagi berbicara di depan teman-temannya merupakan hal yang sulit. Begitu pula dalam pembelajaran berdialog, walaupun siswa dibentuk untuk bekerja secara berkelompok, siswa masih merasa kesulitan untuk berdialog. Selain karena penguasaan bahasa Jawa ragam krama mereka masih rendah juga dikarenakan kurang digunakannnya media oleh guru. Guru lebih sering menerapkan metode konvensional tanpa menggunakan media. Guru hanya menyuruh siswa untuk memperagakan dialog yang ada di buku teks ataupun Lembar Kerja Siswa LKS tanpa menyuruh siswa untuk mengembangkan keterampilan berdialog sesuai kreativitas masing-masing. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan siswa ketika disuruh untuk mandiri dalam berdialog dengan tema yang baru dan tidak ada di buku teks, siswa merasa kesulitan untuk membuat dialog apalagi dalam mempratikkannya. Peran media dalam pembelajaran berdialog sangatlah besar. Media sebagai sarana dalam pembelajaran berbicara dapat digunakan untuk mempermudah guru dalam menyampaikan materi pembelajaran berbicara ragam krama terutama dalam berdialog sesuai unggah-ungguh basa dan sebagai daya tarik siswa agar tidak merasa jenuh, malas, dan menegangkan dalam pembelajaran berbicara. Diharapkan dengan digunakannya media dalam sarana pembelajaran berbicara ragam krama dalam berdialog sesuai unggah-ungguh basa siswa akan lebih termotivasi dan semangat dibandingkan dengan cara mengajar guru yang tidak menggunakan media dalam pembelajaran. Media yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama dalam berdialog sesuai unggah-ungguh basa yaitu media kartu karakter. Kartu karakter merupakan sebuah media berbentuk kartu. Kartu tersebut terbagi atas empat kartu yaitu, kartu tokoh, kartu watak, kartu tema, dan kartu latar. Dinamakan kartu karakter karena kartu tersebut dapat membentuk karakter seorang tokoh dimanapun ia berada dan apapun pembicaraannya. Walaupun tema dan latar tidak masuk dalam pengertian karakter tetapi dengan adanya latar dan tema, karakter seseorang akan lebih muncul dan terlihat jelas. Kartu tokoh kartu paraga merupakan kartu yang berisi berbagai macam tokoh dengan variasi jenis kelamin, jabatan, kedudukan, dan usia. Kartu watak kartu sipat berisi berbagai macam watak atau sifat manusia, misalnya sopan, pemarah, ramah, dan lain sebagianya. Kartu tema berisi ide pokok atau permasalahan yang harus dijadikan bahan pembicaraan dalam berdialog, sedangkan kartu latar kartu panggonan merupakan kartu yang berisi tempat dimana dialog itu harus berlangsung. Pada masing-masing kartu sudah tertera karakter yang harus dimainkan. Kartu karakter terbuat dari kertas ivory 230 gram dengan pengolahan desain grafis, supaya dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama dan terlihat menarik. Dalam praktiknya untuk siklus I dan siklus II kartu karakter yang digunakan dibuat berbeda. Melalui media kartu karakter, siswa dapat bekerja secara berkelompok dan berdiskusi untuk membuat dialog yang akan mereka peragakan di depan kelas. Mereka tidak asal dalam berdialog tetapi dalam membuat dialog harus berpedoman pada kartu karakter masing-masing anggota kelompok. Alur dialog harus didasarkan pada karakter masing-masing sesuai kartu karakter. Kelebihan dari media kartu karakter ini adalah mempermudah dan melatih siswa untuk dapat berdialog secara tepat dan terarah sesuai dengan karakter yang mereka dapatkan. Mereka tidak melakukannya secara konvensional. Dalam cara konvensional, siswa berkelompok lalu disuruh untuk membuat dialog dengan karakter yang sifatnya satu untuk semua. Semua kelompok mendapat bahan yang sama dari guru. Biasanya bahan tersebut diperoleh guru dari buku teks ataupun Lembar Kerja Siswa LKS. Pembelajaran yang seperti itu tidak dapat melatih siswa untuk mengembangkan kreativitasnya dalam berdialog. Kebanyakan siswa dalam berdialog pastinya mereka akan memperagakan dialog antarteman sebaya, kecil kemungkinan siswa menyertakan orangtua, orang yang dianggap tua, dan lain sebagainya. Tetapi dengan media kartu karakter inilah siswa dituntut untuk berdialog sesuai dengan karakter yang mereka dapatkan dan memperagakannya secara kelompok dengan karakter yang bervariasi mulai dari variasi jabatan, status, usia, dan jenis kelamin, sehingga siswa akan lebih terampil dalam menggunakan unggah-ungguh basa, terutama dalam menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Atas dasar pemikiran itulah, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa ragam krama dalam berdialog sesuai unggah-ungguh basa dengan media kartu karakter pada siswa kelas IXG SMP Negeri 2 Kalimanah Kabupaten Purbalingga.

1.2 Identifikasi Masalah