Female Genital Mutilation di Sierra Leone: Fenomena Global yang Berseks

5.1.2 Female Genital Mutilation di Sierra Leone: Fenomena Global yang Berseks

dan Bergender FGM adalah sebuah fenomena global yang lintas budaya, lintas zaman lintas agama, lintas batas wilayah, dan lintas negara, dengan suatu kesatuan mitos yang sama yaitu untuk membatasi perempuan sebagai seks kedua setelah laki-laki. Ketika feminis radikal telah mengungkap akar dari opresi atas nama FGM, maka seks sebagai akar opresi yang menimbulkan FGM hanyalah sebuah masalah yang dianggap tabu oleh budaya, moral, agama sehingga menyebabkan kemunculannya dari segi politis sebagai fenomena yang hanya berhak ditempatkan di ruang domestik, tidak pada masalah-masalah yang dianggap terpenting dalam sistem masyarakat modern seperti halnya masalah pertahanan keamanan, perang nuklir, pemilihan dan Bergender FGM adalah sebuah fenomena global yang lintas budaya, lintas zaman lintas agama, lintas batas wilayah, dan lintas negara, dengan suatu kesatuan mitos yang sama yaitu untuk membatasi perempuan sebagai seks kedua setelah laki-laki. Ketika feminis radikal telah mengungkap akar dari opresi atas nama FGM, maka seks sebagai akar opresi yang menimbulkan FGM hanyalah sebuah masalah yang dianggap tabu oleh budaya, moral, agama sehingga menyebabkan kemunculannya dari segi politis sebagai fenomena yang hanya berhak ditempatkan di ruang domestik, tidak pada masalah-masalah yang dianggap terpenting dalam sistem masyarakat modern seperti halnya masalah pertahanan keamanan, perang nuklir, pemilihan

111 Dalam kajian hubungan internasional mainstream masalah high politics ini menempati posisi utama dibanding masalah-masalah low politics seperti halnya

kebudayaan dan hak asasi manusia. Masalah hak asasi manusia yang mencakup kepentingan seluruh manusia dengan segala jenis kelamin saja masih dianggap sesuatu hal yang kelas kedua setelah isu-isu high politics sebagai isu kelas utama. Apalagi hak asasi perempuan sebagai kelas kedua pula dari hak asasi manusia, setelah kenyataan bahwa perempuan hanya sebagai the other setelah laki-laki sebagai core utama

Pada dasarnya baik itu high politics maupun low politics, dalam sistem masyarakat modern hal itu tidak disadari sebagai yang bergender. Sehingga pada akhirnya feminisme muncul dengan membuat nyata keberadaan gender yang selama ini invisible dalam sistem masyarakat modern, sistem internasional yang terdiri dari masalah negara, organisasi internasional, perang, perdamaian, kemanusiaan, semua itu bergender pada kenyataannya. Gender yang dimunculkan itu mengungkap bahwa sebagian besar adalah maskulin sebagai penguasa segala sistem. Bahkan ketika sebuah fenomena yang sangat erat kaitannya dengan femininitas yaitu genital

110 Realisme membedakan high politics dan low politics dimana high politics berupa pertahanan, militer,isu strategi, dan keselamatan negara, sedangkan low politics adalah isu ekonomi, sosial, dimana

juga bergatung pada high politics. Perbedaan ini terdapat dalam buku Viotti, P.R. & Kauppi, M.V. 1987 International Relations Theory. Realism, Pluralism, Globalism N.Y.: Macmillan & London: Collier Macmillan

111 Paul Viotti and Mark Kaupi mengidentifikasi tiga pendekatan mainstream dalam studi hubungan internasional yaitu: realisme, pluralisme, dan globalisme. Dalam Christine Silvester, Feminist Theory

and International Realtions in a Postmodern Era. Cambridge University Press, 1994, Hal. 1 and International Realtions in a Postmodern Era. Cambridge University Press, 1994, Hal. 1

5.1.2.1 Genital is Personal is Political

Genital adalah persoalan yang jarang begitu terbuka dibicarakan karena ia dianggap sangat personal. Begitu sangat personalnya sehingga terkadang membuat orang sangat jijik untuk menyebutnya. Genital perempuan itu vagina. Karena ia dianggap tabu bahkan menjijikkan, maka peneliti sangat sering menggunakan kata vagina, hanya karena semua perempuan itu punya vagina, dan akan selalu bersentuhan dengan vagina, akan selalu dibawa kemanapun, selalu bersama dengan vagina dan seharusnya perempuan itu tahu segala sesuatu tentang vaginanya dan bagaimana vagina bisa menjadi akar opresi perempuan termasuk juga dalam kasus FGM di Sierra Leone dan di berbagai wilayah belahan dunia lainnya.

Vagina dalam sistem masyarakat patriarki akan ditempatkan dalam ruang privat, sebagai sesuatu yang sifatnya rahasia dan tersembunyi. Patriarki memang senang untuk selalu membedakan dan mendikotomikan wilayah-wilayah kehidupan manusia dengan tempat paling rendah untuk perempuan. Hal ini tentu saja akan sangat tidak disetujui oleh kaum feminis. Klaim bahwa personal is political adalah faktanya. Vagina memang sebuah ruang paling privat dalam kehidupan perempuan, begitu juga mungkin penis pada laki-laki. Namun, ketika ruang privat yang telah Vagina dalam sistem masyarakat patriarki akan ditempatkan dalam ruang privat, sebagai sesuatu yang sifatnya rahasia dan tersembunyi. Patriarki memang senang untuk selalu membedakan dan mendikotomikan wilayah-wilayah kehidupan manusia dengan tempat paling rendah untuk perempuan. Hal ini tentu saja akan sangat tidak disetujui oleh kaum feminis. Klaim bahwa personal is political adalah faktanya. Vagina memang sebuah ruang paling privat dalam kehidupan perempuan, begitu juga mungkin penis pada laki-laki. Namun, ketika ruang privat yang telah

Vagina adalah seks perempuan. Kate Millet dalam Sexual Politic 112 , menyatakan bahwa seks itu politik. Mengacu pada kasus FGM di Sierra Leone, sangat nyata sekali praktik FGM ini dijadikan sebagai sebuah alat politik bagi aktor- aktor politik disana. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Integrated Regional Information Networks (IRIN) bahwa FGM di Sierra Leone ini dijadikan sebagai alat kampanye politik oleh istri presiden Ahmad Tejan Kabbah (presiden terpilih Sierra Leone sebelum Hanah Koroma 2007), dimana ia mensponsori sebanyak 1.500 praktik FGM dengan tujuan untuk memenangkan suara kaum perempuan yang telah disponsori ini untuk memilih Kabbah sebagai presiden mereka 113 . Ini membuktikan juga bahwa political is personal, dimana ketika kekuasaan telah diperoleh maka jangankan untuk menghilangkan praktik FGM sebagai kejahatan paling sadis terhadap tubuh perempuan serta penindasan atas hak-hak asasinya akan terus berlangsung, karena secara tidak langsung pemimpin negara Sierra Leone sendiri telah mengajarkan FGM sebagai sebuah hal yang biasa, sebuah pembodohan rakyat dengan mengabaikan bahwa itu adalah pelanggaran hak asasi perempuan yang telah diklaim oleh beberapa organisasi internasional seperti PBB, WHO, UNICEF dan

112 Rosemarie Putnam Tong.. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung : Jalasutra, 2004, Hal. 73

113 Berdasarkan laporan IRIN dalam http://www.irinnews.org/pdf/in-depth/FGM-IRIN-In- Depth.pdf , diakses 20 Januari 2008

CEDAW untuk diharuskan penghentian praktiknya demi keutuhan manusia sebagai makhluk yang memiliki hak asasi. Hak untuk hidup, hak terhadap tubuhnya, hak dalam memperoleh kesehatan reproduksi dan seksual. Sehingga masalah FGM ini adalah perhatian seluruh pihak, baik individu, domestik maupun international.

5.1.2.2 Genital is Personal is International Praktik FGM ini tidak hanya terjadi di Sierra Leone, meskipun ia adalah salah

satu yang paling terparah tingkat pelaksanaannya yaitu mencapai 90% perempuan yang ada disana. FGM sebagai fenomena pelanggaran HAP telah menyebar sangat luas mencakup luas dari benua Australia hingga Amerika Selatan. Hal ini megapa feminis mengklaim bahwa personal is international, di mulai dari masalah genital dan masalah genital ini nyaris sama terjadi di berbagai negara yaitu dalam bentuk FGM.

Kesamaan fenomena juga berarti kesamaan pelanggaran hak asasi perempuan. Meskipun perempuan di berbagai wilayah berbeda secara pengalaman terhadap praktik FGM, tetapi mereka memiliki kesamaan perasaan, perasaan tersiksa dan sakit akibat praktik FGM karena mereka sama-sama memiliki vagina dan mereka seolah- olah tidak punya hak untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Kehilangan hak atas kontrol tubuh perempuan diklaim oleh feminis sebagai kejahatan terhadap hak asasi perempuan. Tidak hanya feminis tetapi juga lembaga-lembaga internasional seperti WHO, PBB, UNICEF, CEDAW, dan beberapa LSM lainnya yang aware terhadap Kesamaan fenomena juga berarti kesamaan pelanggaran hak asasi perempuan. Meskipun perempuan di berbagai wilayah berbeda secara pengalaman terhadap praktik FGM, tetapi mereka memiliki kesamaan perasaan, perasaan tersiksa dan sakit akibat praktik FGM karena mereka sama-sama memiliki vagina dan mereka seolah- olah tidak punya hak untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Kehilangan hak atas kontrol tubuh perempuan diklaim oleh feminis sebagai kejahatan terhadap hak asasi perempuan. Tidak hanya feminis tetapi juga lembaga-lembaga internasional seperti WHO, PBB, UNICEF, CEDAW, dan beberapa LSM lainnya yang aware terhadap

1. Pasal 2f Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakasanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha: Membuat peraturan- peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek diskriminatif terhadap perempuan.

2. Pasal 5 a Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan, dan segala praktek lainnya berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan.

Sierra Leone memang sudah meratifikasi CEDAW ini pada tahun 1988, namun menurut data terakhir yang peneliti dapatkan dari NAYD Sierra Leone 114 , sampai saat

ini belum terdapat satu pun peraturan pelarangan terhadap praktik FGM ini.

114 Lihat lampiran

Jangankan untuk dibuat pelarangannya, Menteri Kesejahteraan Sosial,Gender, dan Perlindungan Anak Sierra Leone, Shirley Yeama Gbujama ketika diinterview oleh Michael J. Carter tentang pendapatnya mengenai FGM yang merupakan kebudayaan Bondo menyatakan: 115 “It was not so much a question of Bondo culture as it was in the defense of privacy. That kind of thing was not something we were blabbing about”. Hal ini membuktikan bahwa FGM di Sierra Leone ini masih dianggap sebuah

masalah yang sangat personal sehingga tidak layak untuk dibicarakan. Terlihat sekali bagaimana mitos berperan sangat dalam mengakar di kehidupan masyarakat Sierra Leone sehingga ketika sebuah fenomena FGM sudah menjadi masalah internasional, masyarakat dan pemerintahan Sierra Leone masih menganggap FGM ini sebagai sebuah aib untuk dibicarakan. Parahnya lagi mitos ini seakan-akan dilegitimasi secara sah oleh negara sebagai salah satu implementasi kekuasaannya dan hal itu merupakan sebuah hal yang sangat salah, buruk, dan kejam untuk sebuah perjuangan hak asasi perempuan terutama hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya.