Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan
2.2 Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan
Melalui kedua kacamata feminisme radikal dan feminisme hubungan internasional gelombang pertama terdapat hubungan antara akar dari opresi terhadap perempuan yang dimunculkan oleh kedua feminisme ini. Sistem seks yang dimunculkan oleh feminisme radikal dan sistem negara yang dimunculkan oleh feminisme hubungan internasional gelombang pertama. Kedua sistem ini dilingkari oleh sistem gender yang didominasi oleh gender maskulin sebagai representasi dari masyarakat patriarki.
Feminis radikal melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan berlangsung akibat sistem gender yang merugikan perempuan. Sistem gender tersebut dikenal dengan patriarki yang tidak hanya telah mengakibatkan perempuan menjadi objek yang pasif, inferior dan dirugikan, namun juga menjadikan perempuan sendiri belajar untuk menjadi lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan perempuan tersebut baik yang dipelajari secara sadar ataupun tidak, secara sukarela ataupun tidak, telah membuat perempuan menjadi korban kekerasan. Diakui atau tidak mayoritas negara- negara di dunia masih menjalankan politik patriarki. Politik patriarki tersebut
69 Ibid, hal. 197 69 Ibid, hal. 197
Kontribusi patriarki ini digunakan oleh negara dan dieksploitasi oleh negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam hal ini kekuasaan negara meliputi segenap aspek kehidupan perempuan dari hal-hal yang personal meliputi konsep seksualitas sebagai bagian paling privat dari diri perempuan yang menjadi bagian dari kekuasaan negara.
Seksualitas, sebagaimana istilah gender pada dasarnya dimaksudkan untuk menekankan sebuah ide yang berurusan dengan fenomena budaya, bukan dengan hal-
hal yang sifatnya alamiah. 71 Oleh karena itu wacana seksualitas selalu terkungkung dalam wacana kekuasaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Foucault, bahwa relasi
antara kuasa dan seksualitas selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu: 72
1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian, penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk kenikmatan seksual.
2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal-haram, dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini secara yuridis menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.
70 Luh Ayu Saraswati A, Kekerasan Negara, Perempuan, dan Refleksi Negara Patriarki, dalam Jurnal Perempuan. Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.40
71 Nur Iman Subono, Kekuasaan Negara, Seksualitas dan Perubahan Kebijakan di Amerika Latin, dalam Jurnal Perempuan edisi. 41, 2005, hal. 92
72 Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007 Hal. 52
3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata “jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh membicarakannya.
4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks. Menolak keberadaannya dengan tidak mendekatinya, membicarakannya, serta mewacanakannya.
5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah hukum, penyensoran, dan peradilan.
Foucault melihat bahwa kelima hal ini dalam melihat seksual secara paradoks, menindas dan tidak inovatif. Sebaliknya kuasa berada pada titik yang menang, secara hirarkis selalu di atas karena dialah yang berhak mengatur, membolehkan serta melarang.
Kekuasaan negara atas seksualitas diawali oleh kekuasaan negara atas tubuh. Secara biologis tubuh perempuan berbeda dengan tubuh laki-laki sehingga melalui tubuhnya secara umum perempuan dapat dibedakan dengan laki-laki. Perempuan memiliki wajah yang lebih halus, dada berpayudara, pinggul yang menonjol,serta memiliki vagina dan rahim sehingga organ-organ reproduksinya juga berbeda dengan laki-laki.
Kaum feminis mengklaim bahwa setiap perempuan berhak atas tubuhnya. Negara sebagai sebuah sistem membatasi segala detail tubuh perempuan ini dari ujung rambut sampai dengan mata kaki atas nama moralitas. Secara definitif moralitas merupakan seperangkat nilai, peraturan dan tindakan yang diajukan Kaum feminis mengklaim bahwa setiap perempuan berhak atas tubuhnya. Negara sebagai sebuah sistem membatasi segala detail tubuh perempuan ini dari ujung rambut sampai dengan mata kaki atas nama moralitas. Secara definitif moralitas merupakan seperangkat nilai, peraturan dan tindakan yang diajukan
menjadi sebuah pengontrol dalam masyarakat. 73 Tubuh perempuan sebagai salah satu elemen yang mengandung unsur hak
asasi dalam pengontrolannya tidak mendapatkan tempat dalam moralitas maupun negara. Moralitas dengan sub-tubuh agama dan budaya telah mengungkung tubuh perempuan ke dalam penjara-penjara nista dengan iming-iming surga atau negara, baik atau buruk, mahal atau murahan, dan berbagai pendikotomian lainnya. Hal ini mungkin tidaklah menjadi suatu masalah ketika keadilan gender benar-benar terwujud. Ketika tubuh perempuan dibatasi, ditutup-tutupi, dimarginalisasi oleh balutan moralitas, sebaliknya tubuh laki-laki mengalami kebebasan untuk dipertontonkan dalam rangka perwujudan maskulinitas yang superior.
Tubuh perempuan dalam budaya patriarki yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia cenderung mengalami ketertindasan. Ketika agama mengharuskannya ditutupi dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki kecuali mata dan telapak tangan di wilayah dengan iklim tropis sampai dengan iklim sepanas padang pasir, begitu pula dengan bagian-bagian tubuh perempuan lainnya dipandang oleh moralitas sebagai sesuatu yang tersubordinat.
Dalam hal ini negara cenderung mengamini moralitas tersebut. Dimana negara tidak memiliki aturan dan seperangkat hukum yang mengatur mengenai hak tentang tubuh perempuan. Negara bahkan membuat aturan yang cenderung
73 Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007, Hal. 36 73 Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin. Yogyakarta: INSISTPress., 2007, Hal. 36
Keluarga berencana dan aborsi adalah bentuk dari penjara kekuasaan negara tersebut. Ayu Utami 74 mengatakan bahwa kebanyakan perempuan menerima bahwa
ia harus meminum pil, menanamkan spiral di badannya untuk mengontrol tubuhnya hanya karena laki-laki yang tidak mau memakai kondom, padahal sejauh digunakan dengan benar kondom adalah penjegah kehamilan yang aman untuk tubuh
perempuan. 75 Dalam hal ini pemerintah sebagai badan pengontrol jumlah penduduk lebih memilih mempromosikan keluarga bencana dengan sistem pengontrolan tubuh perempuan daripada promosi kondom.
Kekuasaan negara ini berujung pada tindakan kekerasan terhadap perempuan. Berikut jenis-jenis kekerasan politik yang dilakukan negara terhadap perempuan: 76
1. Sterilisasi (pemandulan) paksa
2. Kehamilan paksa
3. Aborsi
74 Ayu Utami adalah seorang penulis Indonesia sekaligus seorang aktifis feminis 75 Ayu Utami, Seks, Sketsa, dan Cerita. Jakarta, Gagas Media, 2003, hal.51 76 Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara terhadap Perempuan, dalam Jurnal Perempuan. Negara
dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hal.31
4. Kontrasepsi
5. Kekerasan dalam situasi perang
6. Kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan oleh negara Dari segala bentuk kekerasan tersebut diatas, yang paling menderita adalah
tubuh perempuan. Biasanya yang menjadi korban paling menderita adalah tubuh perempuan yang tersembunyi dibalik pakaiannya. 77 Perempuan ditutupi tubuhnya
dengan berbagai versi, namun biasanya yang tertutup dari semua versi tersebutlah yang rentan dan seringkali mengalami tindak kekerasan seperti halnya punggung, payudara, perut, dan vagina sebagai organ paling tertutupi dari kebanyakan organ tubuh perempuan lainnya. Salah satu kekerasan terhadap vagina perempuan ini adalah praktik Female Genital Mutilation sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan oleh negara.