Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Aspek

- 75 - ritualnya dalam bingkai norma yang diakui kebenaran – nya. Tujuan hidup dan kehidupan -termasuk di dalam – nya tujuan pendidikan- haruslah menanamkan penge – tahuan dan pengalaman yang baik dan fungsional da- lam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan yang lebih baik. Untuk maksud ini seseorang mungkin harus tahu bagaimana mengggunakan pengetahuan untuk kemajuan hidup dan kehidupan baik material maupun spiritualnya. Arti penting tujuan seperti ini dapat dili – hat dari konsep dan praktik pendidikan Islam yang berusaha untuk mencapai dan meningkatkan kesada – ran dan pengalaman keagamaan yang lebih membe – rikan makna terhadap hidup dan kehidupan di dunia maupun di akhirat. Pada tataran operasionalnya dapat ditunjukkan adanya usaha-usaha pengenalan masalah ketuhanan di berbagai tingkat pendidikan walaupun hasilnya kadang-kadang verbalisme. Seluruh pengala – man keagamaan sebenarnya lebih memberikan makna terhadap kehidupan seorang dibandingkan sekedar pengetahuan kognitif sehingga seorang perlu dipro – yeksikan pada tujuan seperti ini. Tujuan yang bersifat material sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. 15 Oleh karena itu tujuan spiritual harus mendapatkan prioritas karena manusia adalah makhluk spiritual. 16 15 Muh}ammad Fadlil al Jamali, Konsep Pendidikan dalam al- Qur an, pentrj. Djudi al Falasani, Solo: Ramadlani, 1993, hlm. 14. 16 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Penterj.: Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 4. - 76 - Proses memperoleh tujuan pendidikan Islam ada – lah pembinaan, perkembangan dan pertumbuhan po – tensi manusia paling dasar agar ia tumbuh dan ber – kembang sesuai tujuan yang dikehendaki. Tujuan pendidikan pada aspek spiritual seharusnya dapat mempertemukan diri pribadi dengan Tuhannya agar tercipta jalinan kuat seseorang dengan penciptanya. Kondisi ini akan melahirkan, mewujudkan dan mema- nifestasikan sifat Tuhan dalam dirinya. Tujuan pendidikan Islam mengharapkan agar yang diperoleh seseorang tidak semata aksidental dan supervisial melainkan juga bersifat substansial dan esensial. Tujuan yang bersifat material diperoleh mela- lui persepsi inderawi dan penalaran نا فسسلا افشراا al- irsya d al- jasma ni dan yangspiritual kedua diperoleh melalui petunjuk spiritual ناففح رلا افشراا al-irsya d al- ru h } a ni. 17 Dengan cara ini seseorang tidak hanya mem- peroleh pengetahuan dan pengalaman formal tetapi juga pengetahuan dan pengalaman yang bersifat badi hi ي د لاterbukti dengan sendirinya sebagai pertolongan dan anugerah Tuhan kepadanya tanpa batasan waktu. Untuk mencapai hal seperti ini maka pendidikan Islam harus mengarahkan pandangannya pada aktivitas spi- 17 John Tultill Walbridge, The Philosophy of Quthb al Din al Sirazi: a Study in Integration of Islamic Philosophy Boston: Harvard University, 1983, hlm. 70; dan Hossein Ziai, Filsafat Iluminasi, Penterj.: Afif Muhammad dan Munir, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1988, hlm. 127. - 77 - ritual yang dapat menghubungkan dirinya dengan alam ketuhanan. Seseorang yang tidak memperhatikan dan mem- pedulikan sama sekali pendidikan spiritualnya –berhu- bungan dengan kehidupan ukhrawi yang lebih panjang dan lebih baik-, berarti ia telah mengesampingkan janji- janji-Nya dalam ayat-ayat suci-Nya 18 dan berarti ia telah menelantarkan sesuatu –pengalaman spiritual- yang mungkin bisa dicapai. Terbengkalainya prestasi spiritual berarti hilangnya kesempatan memperoleh kehidupan yang lebih baik atau setidaknya ia terdo- rong untuk tidak mempercayai berita-berita orang- orang yang pernah mengalaminya راففعلا a rif dan berita yang dibawa oleh nabi-Nya karena tidak mem- bawa bukti secara empirik atau sulit diterima nalar secara sederhana. 19 18 :ف لا ادحا هبر ا عب رشي ا احلاص ا ع ل عيلف هبر ا لوجري اك ن ف 111 Barangsiapa menginginkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia berbuat baik dan tidak menyekutukan Tuhannya dalam penyembahannya. al-Isra 1 : 111 . 19 Nalar atau akal dengan kemampuan terbatas, dan hanya mengetahui hal-hal partikular. Al- Aql Juz i ئزسلا ل علا akal partikular diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan kehidupan material sebagai pengontrol dan untuk menaklukkan nafsu ammarah supaya tidak liar dan dapat terkendali. Walaupun demikian ia tidak dapat digunakan untuk mencapai kebenaran, karena kebenaran selalu berkaitan dengan universalitas, dan hanya diperoleh dengan secara intuitif melalui al- Aql al-Kulli يل لا ل علاakal universal. Dalam keadaan bersih seseorang dapat mempergunakan akal universal atau kesadaran hati heart- conciousness yang secara potensial sudah ada dalam dirinya. H.M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. - 78 - Bila pandangan idealisme dapat disetujui bahwa esensi seseorang adalah aspek spiritualnya; sedang as – pek yang lain adalah manifestasi darinya maka fokus utama setiap pembicaraan tentang manusia tak boleh meninggalkan aspek ini. Wujud jasmaniah dan ruhani- yahnya selalu dalam hubungan interaktif dan aspek spiritual merupakan potensi yang mengatur dan me – ngarahkannya secara keseluruhan ke satu tujuan sehingga aspek yang berbeda –jasmani dan ruha–ni- merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Prestasi-prestasi pengalaman spiritual tidak kalah pentingnya dengan prestasi yang bisa dicapai oleh 27 ; dan Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 125, serta H.M. Amin Syukur dan H.M. Amin Syukur, Masyharudin, Intelektualisame Tasawuf, Semarang: Lembkota, 2002, hlm. 90. Bagi al- Kindi wujud partikularitas dan universalitas terletak pada objeknya, dengan membagi benda pada al-juz iyah يئزسلاpartikular. dan al- kulliyah يل لاuniversal. Kesesuaian akal dengan macam-macam benda itu yang mungkin seseorang mencapai kebenaran. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, ...., 16. Hal tersebut di atas dapat dibandingkan dengan pandangan al-Ghazali yang melihat hati mempunyai dua pintu yang menghadap alam ghaib dengan potensi untuk menerima informasi ghaybiyat; dan menghadap alam syahadah ا شلا ملاعلا alam dunia dengan potensi untuk mendapatkan pengalaman empirik. Atau mempunyai dua penginderaan yang mengarah ke alam bentuk dan mengarah pada dunia materi. Abu H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad Al-Ghazali, Kimiya al-Sa adah, Kairo: Dar al-Fahm, 1964, hlm. 123. Jiwa atau akal memiliki dua bentuk, yaitu bentuk yang berorientasi kepada prinsip-prinsip yang luhur dan. bentuk yang berorientasi pada badan, walaupun sudah barang tentu bentuk ini tidak menerima pengaruh dari badan. Muh} ammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Penterj.: Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 168. - 79 - pengalaman empirik maupun pengetahuan nalar. Jauhnya pemahaman seseorang dari epistemologi pe- ngetahuan spiritual dapat dituduh sebagai faktor kegagalannya untuk menerima pengalaman spiritual sebagai suatu kenyataan yang benar-benar ada. Bila prestasi fisik dan nalar dapat dikembangkan dan ditumbuhkan maka prestasi spiritual dapat dikem – bangkan sebagai ikhtiyar seseorang; dan selebihnya bergantung pada karunia Tuhan. Pandangan terhadap pengalaman spiritual dari seorang arif relatif introvert tertutup dan benar-benar bersifat subjektif. Selama tidak ada pihak yang menaruh perhatian untuk merumuskannya sebagai bagian pendidikan Islam ma- ka pengalaman itu hanya akan dinikmati oleh orang- orang tertentu saja. Dalam praktik kehidupan sehari-hari tidak semua orang dapat menerima pengalaman yang datang dari Tuhan semata itu melalui pendidikan dari luar aksi – dental dan bersifat formal namun demikian pendidi – kan dari luar memegang peranan penting dalam me – nyiapkan dan mengarahkan pada pengalaman itu. Dengan analisis seperti di atas mengindikasikan ada – nya sumbangan pendidikan dari luar terhadap peroleh pengalaman spiritual. Walau demikian harus diakui pula bahwa pada sebagian orang pengalaman itu dite – rimanya tidak melalui pendidikan yang terencana de – ngan baik sebagaimana dipersepsikan selama ini. - 80 - Tujuan utama pendidikan Islam adalah bersifat spiritual, yaitu pengenalan terhadap Tuhan atau de – ngan kata lain bahwa ma rifah. Tujuan ini menempati tempat teratas sebagai upaya perwujudan pengenalan kepada-Nya pada tingkat individual; sedangkan tujuan material tunduk pada tujuan ini. Dengan demikian pendidikan Islam bertujuan utama keruhanian sedang – kan tujuan yang lain besifat sekunder. Bila tujuan spiritual itu diletakkan pada tujuan akhir maka tujuan yang lain bersifat sementara atau perantara untuk memberi akses jalan menuju tujuan akhir. Tujuan ilmu yang emprik maupun yang rasional adalah meng – antarkan untuk mengenal Tuhan atau paling tidak mencari jalan yang bisa menyampaikan kepada-Nya. Dari berbagai macam tujuan itu dapat dibangun satu sinergi yang saling menopang. Pengetahuan dan pe – ngenalan tentang Tuhan sebagai tujuan primer merupakan kewajiban semua orang. Pendidikan tidak harus berhenti pada capaian suatu tujuan melainkan setiap capaian suatu tujuan ends dijadikan sebagai pijakan means untuk mencapai tujuan lebih lanjut. Setiap orang yang diperintah mendekat pada Tuhan dan beribadah secara formal tidak berhenti pada for- malitasnya saja tetapi ada sesuatu yang sangat mendalam dari ibadah itu, yaitu membersihkan jiwa sesuai dengan tuntutan premordialnya. Aspek-aspek keperibadian itu tidak harus dipi- sahkan dalam mencapai tujuan pendidikan karena yang satu mempunyai keterkaitan dan saling ber- - 81 - interaksi dengan yang lain. Dalam hal ini tujuan pendidikan Islam merupakan akumulasi dari pengeta- huan dan pengalaman yang bersifat jasmani dan ruhani. Lebih jauh bahwa pengetahuan dan penga – laman spiritual dapat diimplementasikan dalam dunia fenomenal sehingga terdapat timbal balik yang bersifat sirkuler antara aspek spiritual dan aspek jasmani. Se – mua kehidupan dan perbuatan termasuk yang material akan dipertanggungjawabkan secara spiritual 20 dalam arti mempunyai dampak-dampak terhadap aspek spiritual. Bila demikian pendidikan Islam seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan totalitas sese – orang dalam segala aspeknya. Maka model pendidikan Islam mempunyai tujuannya yang dapat menimbulkan perubahan dinamis tetapi seimbang dalam kepribadian melalui latihan spiritual, nalar, dan fisikal. Tugas-tugas pendidikan seperti itu mengarahkan pada realisasi tujuan keagamaan, seperti pelaksanaan ibadah yang inetnsif, tampilan akhlak yang luhur, penghayatan aqidah yang mendalam sampai mencapai mencapai ma rifah sehingga Tuhan bukan hanya sebagai dzat yang dipangggil dari jauh dalam do a dan ibadah dan 20 Dalam pandangan Ibn Sina, aspek ruhani manusia secara eskatologis akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, sedangkan menurut al-Ghazali perbuatan manusia dipertanggung jawabkan secara jasmani dan ruhani. Abu H}amid Muh}ammad bin Muh}ammad Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dlalal, Birut: Maktabah al- Sa biyah, [tt] , hlm. 51; Tahafut al-Falasifah, Mesir: Dar al- Ma arif, 1966, hlm. 282-306; dan Oliver Leaman, Pengantar Fi lsafat Islam…., hlm. 43. - 82 - seorang pemanggil tidak mengetahui secara langsung respon terhadap panggilannya. Dalam ma rifah Tuhan tidak dikenal dalam nama dan sebutan melainkan ma rifah yang menuntunnya untuk do a, ibadah, dan keimananya. Oleh karena itu, taqarrub رفف تلا pen– dekatan kepada-Nya untuk kemudian menciptakan kondisi bergantung sepenuhnya kepada -Nya agar su- paya mengenal-Nya merupakan hal yang sangat diharapkan terjadi. Sedangkan keinginan dan tujuan yang lain hanya sebagai penunjang terhadap keinginan dan tujuan yang utama itu. Tujuan pendidikan Islam dalam dimensi spiri – tualnya diperoleh melalui kebergantungan pada Tuhan secara total untuk mengenal-Nya. Seorang yang telah mencapai hasil pendidikan seperti itu adalah seorang muwah } h } id دففحو لا monotheis sejati dalam tujuannya. Namun tujuan seperti itu harus diimbangi dengan tu – juan dimensi fisikal dan psikalnya. Dengan tujuan se – macam ini tersirat makna ingin menyelamatkan sese – orang dari cengkeraman kekuatan negatif dan des – truktif yang menimbulkan dehumanisasi dengan me – nuntunnya ke arah pemenuhan diri melalui perkem – bangan kepribadiannya yang terpadu dan seimbang. Secara sederhana rumusan tujuan pendidikan itu adalah beramal untuk akhirat sehingga menemui Tu – hannya dan juga tidak melupakan untuk memenuhi hak-hak-Nya yang diwajibkan dan tidak melupakan dirinya sendirinya dan lingkungan sosial dan material. Tujuan yang pertama untuk kehidupan ukhrawi dan - 83 - yang kedua untuk kehidupan duniawi. Suatu tujuan yang ideal tetapi juga sangat pragmatis. Tujuan seperti itu mengarah pada keseimbangan perkembangan per – sonalitas melalui latihan jasmani dan ruhani sehingga pertumbuhan seseorang meliputi semua aspek kepri – badiannya, seperti: spiritual, nalar, fisik. Proses pendidikan secara esensial adalah menuju pada pencapaian tujuan yang bersifat ruhani sebagai esensi setiap orang supaya ia dapat mengenali dan mengakui posisinya dalam hubungan dengan Tuhan serta membuatnya bertindak sesuai dengan pengenalan dan pengalaman yang didapatkan dari hubungan itu. Tiada satupun di dunia yang dapat menyelamatkan seseorang kecuali di hatinya bersemayam seberkas ca – haya dari Tuhan yang selalu menjaga dan membimbing dirinya. Peningkatan peran spiritual akan dapat me – mecahkan masalah hasil latihan dan pendidikan spiri – tual dapat memberikan arah dan rambu-rambu yang benar terhadap semua kemampuan kepribadian yang dapat dikembangkan. Tujuan pendidikan yang tidak menyentuh aspek ini justeru menjerumuskan seseorang pada kekeringan dan kehampaan batin. Tujuan keduniaan dan keakhiratan dapat dilaksa – nakan secara harmoni apabila sistem latihan, pendidi – kan dan tujuan yang hendak dicapai dapat dilaksa – nakan secara proporsional. Frase-frase bahasa model di atas sebagai ungkapan bahwa pendidikan Islam meng – arah pada peningkatan kualitas fisik psikis tetapi tidak - 84 - melupakan aspek spiritualnya karena sampai saat tidak ada halangan untuk menyelaraskan antara kepentingan tiap aspek kepribadian. Usaha mencapai tujuan skunder yang bersifat fisi – kal tidak harus menyebabkan seseorang kehilangan orientasi spiritualnya; dan tujuan primer dapat menja – dikan tujuan sekunder -yang fisik dan nalar- sebagai tangga menuju tujuan akhir, yaitu mengenalkan sese – orang terhadap penciptanya melalui berbagai macam ibadah, muja hadah دفهاس لاberjuang dengan sungguh- sungguh dan muraqabah ف قار لا merasa dalam peng– awasan Allah. Siapapun yang tidak melengkapi potensi dan ke – kuatan fisik dan nalarnya dengan kemampuan spiritual maka ia tidak akan pernah mencapai pengalaman spi – ritual dan tersinari melalui pancaran cahaya-Nya.

E. Transformasi Pengalaman Spiritual

Wacana yang berhubungan dengan pengalaman spiritual sudah berkembang sejak lama bahkan ada se – belum zaman Islam. Banyak agama mengklaim adanya unsur pengalaman itu dalam praktik asketikya. Klaim- klaim semacam itu menjadi wajar sebagai legitimasi dan pengakuan adanya pendekatan kesadaran lain terhadap realitas yang absolut. Tujuan akhir agama Islam adalah menunjukkan kepada seorang muslim adanya pandangan tentang - 85 - realitas spiritual. Gambaran religius seperti itu menjadi benar karena ternyata memainkan peran yang sig – nifikan dalam kehidupan seseorang serta memberikan pengetahuan dan pengalaman yang meyakinkan. Para pencari pengalaman spiritual tidak melakukan speku – lasi atau berpikir dalam menatap kebenaran hakiki tetapi mencairkan wujud batiniyahnya dengan mem – bersihkan prilakunya dari kotoran dan menyucikan hatinya supaya menjadi substansi yang bersih dan suci dan dapat mendaki ke alam spiritual. 21 Pencarian pengetahuan dan pengalaman yang hakiki tidak semata didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman empirik dan rasional saja tetapi juga melalui pengalaman langsung yang dapat dicapai oleh aspek spiritualnya. Pengetahuan yang dicarinya adalah yang bertumpu pada pengalaman spiritual, yaitu pengalaman yang didapat dan berangkat dari dualisme antara subjek dan objek dan mempraanggapkan bahwa subjek mengenal dirinya sekaligus mengenal yang lain kemudian berlanjut sampai hilangnya masing -masing subjek dan objek itu dalam pikiran dan perasaannya. 22 Diri yang berupa fisik tidak hadir dalam kesadarannya kecuali setelah secara perlahan-lahan diri spiritual kembali ke dalam diri fisik maka ia berada dalam kesa – darannya semula. Pengalaman spiritual bukanlah k – 21 Hosen Nasr, Islamic Studies, Birut: Du Liban, 1967, hlm.20. 22 Mehdi Ha iri Yazdi, Ilmu Hudluri, penterj.: Ahsin Muhammad, Bandung: Mizan, 1994. hlm. 18.