Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PENGARUH VOLUME PRODUKSI KEDELAI,

JAGUNG, UBI KAYU DAN UBI JALAR TERHADAP

TINGKAT KONSUMSI BERAS

DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh: BUDI GINTING

110304127 AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PENGARUH VOLUME PRODUKSI KEDELAI,

JAGUNG, UBI KAYU DAN UBI JALAR TERHADAP

TINGKAT KONSUMSI BERAS

DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh: BUDI GINTING

110304127 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memproleh Gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Thomson Sebayang, MT) (Ir. M. Jufri, M.Si)

NIP: 195711151986011001 NIP:196011101988031003

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

BUDI GINTING (110304127), dengan judul skripsi “ANALISIS PENGARUH VOLUME PRODUKSI KEDELAI, JAGUNG, UBI KAYU DAN JALAR TERHADAP TINGKAT KONSUMSI BERAS DI SUMATERA UTARA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir.Thomson Sebayang, MT. Dan Bapak Ir. M. Jufri, M.Si.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara dan menganalisis pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

Daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu Provinsi Sumatera Utara yang mencakup 26 Kabupaten/Kota. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan jenis data kuantitatif bentuk time series tahunan pada kurun waktu 15 tahun (1999-2013). Data bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Ketahanan Pangan Sumatera Utara. Model yang digunakan adalah Trend Linear Analysis dan Regresi Linear Berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan volume produksi kedelai cenderung menurun sedangkan perkembangan volume produksi jagung, ubi kayu dan produksi ubi jalar cenderung meningkat. Tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara cenderung menurun, namun masih lebih tinggi dari rata-rata tingkat konsumsi nasional. Secara simultan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara, namun secara parsial hanya variabel volume produksi jagung yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara. Variabel volume produksi kedelai, ubi kayu dan ubi jalar tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

Disarankan agar kampanye gerakan diversifikasi pangan berbahan baku jagung perlu lebih ditingkatkan lagi.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Budi Ginting, lahir di Medan pada tanggal 11 Mei 1992, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari keluarga Ayahanda Martinus Ginting dan Ibunda Berlian br Tarigan.

Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis:

1. Tahun 1998 masuk Sekolah Dasar di SD Negeri No.097377 Ujung Bawang dan Tamat Tahun 2004.

2. Tahun 2004 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Swasta Maria Goretti Kabanjahe dan Tamat Tahun 2007.

3. Tahun 2007 masuk Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kabanjahe dan Tamat Tahun 2010

4. Tahun 2011 diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Program Studi Agribisnis melalui jalur UMB

5. Tahun 2014 Mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar

Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Ir. Thomson Sebayang, MT, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran dalam menyelesaikan penelitian ini dan kepada Bapak Ir. M. Jufri, MSi., selaku Anggota Komisi pembimbing yang memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak- pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitiaan ini. Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada:

1. Orang tua yang tercinta Bapak Martinus Ginting dan Ibu Berlian br Tarigan yang memberikan dorongan serta doanya.

2. Saudara- saudaraku tersayang (Sadar Ginting,SKM.,M.Kes. dan Septiani br Ginting) yang memberikan dorongan dan dukungan doa selama melakukan penelitian.


(6)

3. Sahabat dan rekan- rekan Anteg-anteg (Ahmad Suheli,SP., Ahmad Muzani,SP., Aimi Zuandri,SP., Fadli,SP., Fitrah,SP., Fadil,SP., Hadi Sinaga,SP., Ismail Sahputra,SP., M. Sahrizal,SP., Saidul Kudri,SP.)

4. Sahabat dan rekan- rekan seperjuangan di Program Study Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 untuk kerjasama, persaingan dan persahabatan yang telah ditunjukkan.

5. Pada semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat dan informasi bagi pihak- pihak yang memerlukan.

Medan, Juli 2015


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tinjauan Pustaka ... 8

2.2. Jenis Makanan Pokok... 10

2.2.1. Beras ... 10

2.2.2. Kedelai ... 11

2.2.3. Jagung ... 12

2.2.4. Singkong atau Ubi Kayu ... 14

2.2.5. Ubi Jalar... 15

2.3. Landasan Teori ... 17

2.4. Penelitian Terdahulu ... 23

2.5. Kerangka Pemikiran ... 24

2.5. Hipotesis Penelitian ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 27

3.2. Metode Pengumpulan Data... 27

3.3. Metode Analisis Data ... 28

3.4. Uji Asumsi Klasik ... 30

3.4.1. Multikolinearitas ... 30

3.4.2. Heteroskedastisitas... 30

3.4.3. Normalitas ... 31

3.5. Definisi dan Batasan Operasional ... 32

3.5.1. Definisi... 32

3.5.2. Batasan Operasional... 32

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN... 33

4.1. Letak dan Keadaan Geografi Sumatera Utara ... 33

4.2. Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara…... 34


(8)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1. Perkembangan Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar ... 37

5.1.1. Kecenderungan volume Produksi Kedelai. ... 37

5.1.2. Kecenderungan volume Produksi Jagung... 39

5.1.3. Kecenderungan volume Produksi Ubi Kayu... 41

5.1.4. Kecenderungan volume Produksi Ubi Jalar... 43

5.2. Perkembangan Jumlah dan Tingkat Konsumsi Beras... 45

5.3. Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu, Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras ... 48

5.3.1. Koefisien Determinasi ... 49

5.3.2. Uji Simultan (Uji F) ... 50

5.3.3. Uji Parsial (Uji t) ... 50

5.4. Uji Asumsi Klasik ... 52

5.4.1. Multikolinearitas ... 52

5.4.2. Heterokedastisitas ... 52

5.4.3. Normalitas ... 54

BAB VI SARAN DAN KESIMPULAN ... 54

6.1. Kesimpulan ... 55

6.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

1. Perkembangan Impor Beras Sumatera Utara (Ton) ... 4

2. Data Produksi dan Konsumsi Beras Tingkat Provinsi di Pulau Sumatera 2011... 27

3. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Sumatera Utara ... 35

4. Volume Produksi Kedelai Sumatera Utara... ... 37

5. Volume Produksi Jagung di Sumatera Utara... 39

6.Volume Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara ... 41

7. Volume Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara ... 43

8. Perkembangan Jumlah dan Tingkat Konsumsi Beras Sumatera Utara 2001-2013 ... 45

9. Persamaan regresi Tingkat Konsumsi Beras ... 48

10. Koefisien determinasi ... 49

11. Uji simultan (uji F) ... 50


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Luas panen, produksi,dan rata- rata produksi kedelai di

Provinsi Sumatera Utara 1999-2013... 60 2. Luas panen, produksi,dan rata- rata produksi jagung di

Provinsi Sumatera Utara 1999- 2013... 61 3. Luas panen, produksi,dan rata- rata produksi ubi kayu di

Provinsi Sumatera Utara 1999- 2013... 62 4. Luas panen, produksi,dan rata- rata produksi ubi jalar di

Provinsi Sumatera Utara 1999- 2013... 63 5. Jumlah penduduk, jumlah konsumsi beras,dan tingkat konsumsi

beras di Provinsi Sumatera Utara 1999- 2013………...…... 64 6. Hasil Regresi pengaruh volume produksi kedelai, jagung,

ubi kayu, dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras

di Sumatera Utara... 65 7. Hasil Regresi pengaruh volume produksi/kapita kedelai, jagung,

ubi kayu, dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras

di Sumatera Utara... 70 8. Jumlah Penduduk Setiap Provinsi di Pulau Sumatera 2010... 74 9. Trend Linear Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar


(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Skema Kerangka Pemikiran ... 26

2. Kecenderungan Volume Produksi Kedelai di Sumatera Utara ... 38

3. Kecenderungan Volume Produksi Jagung di Sumatera Utara ... 40

4. Kecenderungan Volume Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara ... 42

5. Kecenderungan Volume Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara ... 44

6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara ... 46

7. Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Beras Dengan Variabel Faktor Yang Mempengaruhinya... 53


(12)

ABSTRAK

BUDI GINTING (110304127), dengan judul skripsi “ANALISIS PENGARUH VOLUME PRODUKSI KEDELAI, JAGUNG, UBI KAYU DAN JALAR TERHADAP TINGKAT KONSUMSI BERAS DI SUMATERA UTARA”. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Ir.Thomson Sebayang, MT. Dan Bapak Ir. M. Jufri, M.Si.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara dan menganalisis pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

Daerah penelitian ditentukan secara purposive yaitu Provinsi Sumatera Utara yang mencakup 26 Kabupaten/Kota. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan jenis data kuantitatif bentuk time series tahunan pada kurun waktu 15 tahun (1999-2013). Data bersumber dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Ketahanan Pangan Sumatera Utara. Model yang digunakan adalah Trend Linear Analysis dan Regresi Linear Berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan volume produksi kedelai cenderung menurun sedangkan perkembangan volume produksi jagung, ubi kayu dan produksi ubi jalar cenderung meningkat. Tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara cenderung menurun, namun masih lebih tinggi dari rata-rata tingkat konsumsi nasional. Secara simultan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara, namun secara parsial hanya variabel volume produksi jagung yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara. Variabel volume produksi kedelai, ubi kayu dan ubi jalar tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

Disarankan agar kampanye gerakan diversifikasi pangan berbahan baku jagung perlu lebih ditingkatkan lagi.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang vital bagi manusia. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman (BKP- Departemen Pertanian, 2008).

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan pada 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty and extreme hunger yaitu pemberantasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (Alifien, 2011)

FAO (2008) dalam Suryana (2008) menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah wajib menyediakan


(14)

pangan yang layak. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Roma 1996 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia dan Deklarasi Millenium (MDGs) 2000 yang menyepakati penurunan jumlah penduduk lapar hingga setengahnya pada 2015 dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICOSOC) yang diratifikasi dengan UU No. 11 2005 yang berisi tentang: pertama, hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan. Kedua, Setiap orang harus bebas dari kelaparan. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia. Jika terjadi kelangkaan dalam kebutuhan vital ini maka keseimbangan dalam kehidupan manusia juga akan terganggu.

Hingga awal 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia selalu optimis mengenai ketersediaan pangan, bahkan waktu itu FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Prediksi ini didasarkan pada data historis selama dekade 80-an hingga 90-an yang menunjukkan peningkatan produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Memang untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030 laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun tetapi juga masih lebih tinggi daripada pertumbuhan


(15)

penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Juga FAO memprediksi waktu itu bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan, dari 1,84 miliar ton di 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030 (Husodo, 2002).

Image atau citra bahwa pangan hanya disimbolkan dengan beras semata adalah meruapakan inti permasalahannya. Semua orang seperti didorong makan nasi alias beras. Padahal masih banyak sumber pangan lain yang dapat manfaatkan untuk mengganti ataupun melengkapi konsumsi beras ini. Ada singkong, ubi jalar, sagu, jagung, suweg, gembili, kentang, ganyong dan masih banyak bahan alternatif lainnya yang nilai gizinya tidak kalah, bahkan memiliki kelebihan dibandingkan beras. Misal, pada biji jagung yang memiliki kandungan vitamin A paling tinggi diantara biji-bijian lainnya (Agustina F., 2008 ). Juga pada ubi kayu yang kaya akan kalori dan biasa dibuat menjadi berbagai aneka ragam makanan (Utami R., 2006 ) Kondisi ini adalah salah satu penyebab Indonesia mengalami krisis pangan.

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain) agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya, juga mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya. Ketidakcukupan beras di Sumatera Utara selama 4 tahun terahir ini dipenuhi dengan melakukan impor beras dari berbagai negara. Impor beras Sumatera Utara diperlihatkan pada tablel 1 berikut.


(16)

Tabel 1.1. Perkembangan Impor Beras Sumatera Utara (Ton)

Bulan

Tahun

2007 2008 2010 2011

Januari 0 7.162 0 35.448

Februari 0 4.500 0 11.861

Maret 6.627 6.967 0 14.480

April 18.738 0 0 79.782

Mei 29.511 0 0 15.574

Juni 0 0 0 0

Juli 0 0 0 0

Agustus 0 0 0 0

September 13.869 0 0 8.290

Oktober 21.318 0 0 6.048

November 5.866 0 24.020 5.808

Desember 0 0 28.901 11.525

Total 95.929 18.628 52.921 188.817

Sumber : Bulog Sumatera Utara, 2012

Menurut (suryana et al, 1990) jagung adalah salah satu komoditi subtitusi beras yang dapat dijadikan dengan berbagai olahan sehingga dengan meningkatnya produksi jagung dapat mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan juga dapat mengurangi impor beras di Sumatera Utara. Sedangkan menurut Depertemen Kesehatan produksi kedelai setiap tahunnya di Sumatera Utara akan mempengaruhi pola konsumsi pangan di Sumatera Utara karena kedelai adalah salah satu komoditi subtitusi konsumsi beras.

Ketergantungan terhadap beras sebenarnya dapat dikurangi dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pokok selain beras, sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan. Umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat nonberas dan kacang-kacangan yang dikenal sebagai sumber protein nabati, vitamin dan mineral belum optimal pemberdayaannya. Peningkatan kontribusi kacang dan ubi sebagai sumber pangan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan berkualitas dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan .


(17)

Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi (Himagizi, 2009).

Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini berarti menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap (Khomsan, 2004).

Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci keberhasilan kita dalam mempertahankan ketahanan pangan. Mungkin tak perlu langsung berganti secara total dalam pola konsumsi kita. Berikan pemahaman kepada anak cucu kita bahwa Indonesia ini kaya dengan bahan baku pangan. Bila perlu campur 3 bagian beras dengan 1 bagian jagung atau singkong. Rasanya justru jadi luar biasa, eksotis dan nikmat(Himagizi, 2009).

Konsumsi makanan yang beranekaragam, akan menghindari terjadinya kekurangan zat gizi, karena susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis dengan jenis lainnya, sehingga diperoleh masukan zat gizi seimbang (Depkes RI, 2003). Kesadaran pentingnya konsumsi makanan beraneka ragam menyebabkan ketergantungan pada satu jenis makanan (beras) dapat dihindari sehingga mencegah ancaman ketahanan makanan (Khomsan, 2004)


(18)

Beberapa pengertian tentang diversifikasi pangan, diantaranya: (1) Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras. (2) Diversifikasi pangan adalah dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi III 2005). Diversifikasi pangan yang dimaksudkan bukan untuk menggantikan beras sepenuhnya, namun mengubah dan memperbaiki pola konsumsi masyakat supaya lebih beragam jenis pangan dengan mutu gizi yang lebih baik. Pengertian dan pemahaman diversifikasi pangan yang salah jalan tersebut diprediksi karena adanya asumsi bahwa beras merupakan bahan pangan pokok di Indonesia, meski nyatanya penduduk di beberapa daerah di Indonesia mengonsumsi jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar sebagai bahan pa ngan pokok. Oleh karenanya, masalah pangan selalu terpaku pada beras. Program tersebut bertujuan memberikan respon yang lebih baik untuk meningkatkan diversifikasi pangan pokok. Provinsi Sumatera Utara memilki potensi alam yang menjanjikan dengan ketersediaan berbagai jenis pangan lokal seperti ubi jalar, ubi kayu, jagung, pisang, talas, sukun, labu kuning dan kacang-kacangan yang dapat mengantikan (subtitusi) atau sebagai pendamping beras (komplemen). Upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal akan memberi imbas terhadap ketersediaan bahan pangan lokal tersebut.


(19)

1.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara?

2. Apakah ada pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka tujuan daripada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan

ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan instansi terkait khususnya Dinas Ketahanan Pangan Sumatera Utara dalam membuat kebijakan mengantisipasi ketahanan pangan dimasa depan.

2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti-peneliti khususnya yang meneliti mengenai ketahanan pangan.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha. Konsep seperti ini, bila kita perhatikan maka tidaklah terlalu mengherankan karena pengalaman pembangunan ekonomi yang berhasil memang karena melalui proses seperti itu (Soekartawi, 2005)

Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis komoditas lain (Khumaidi, 1997).

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesahatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan (Baliwati,dkk, 2004)

Beras merupakan bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang masih menjadi prioritas utama di berbagai wilayah di Indonesia sehingga beras


(21)

merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai strategis, baik dari segi ekonomi, lingkungan hidup, sosial maupun politik. Komoditas padi telah menjadi perhatian pemerintah agar beras tetap tersedia sepanjang tahun dengan harga yang cukup terjangkau (Dermoredjo, 2008).

Pola pangan pokok menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan. Di daerah dengan pola pangan pokok beras biasanya belum puas atau mengatakan belum makan apabila belum makan nasi, meskipun perut sudah kenyang oleh makanan lain nonberas (Khumaidi, 1994).

Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci keberhasilan dalam mempertahankan ketahanan pangan. Mungkin tak perlu langsung berganti secara total dalam pola konsumsi. Berikan pemahaman kepada anak cucu kita bahwa Indonesia ini kaya dengan bahan baku pangan. Bila perlu campur 3 bagian beras dengan 1 bagian jagung atau singkong. Rasanya justru jadi luar biasa, eksotis dan nikmat

(Himagizi, 2009).

Makanan pokok sumber hidrat arang tidak perlu terpaku hanya pada beras, tetapi dapat diselingi dengan sumber hidrat arang yang lain. Dalam tubuh hidrat arang berguna antara lain untuk mendapatkan energi, sebagai cadangan tenaga dan memberi rasa kenyang. Salah satu keuntungan hidrat arang adalah mempunyai volume yang besar. Hal ini disebabkan oleh serat pada bahan makanan merupakan sumber hidrat arang. Volume yang besar ini dapat memberikan rasa kenyang (Moehji, 1989).


(22)

2.2. Jenis Makanan Pokok 2.2.1 Beras

Menurut warna berasnya, padi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu padi beras putih yang umumnya ditanam dan dimakan oleh kebanyakan orang. Padi beras merah atau brown rice yang saat ini umum dijual di pasaran. Jenis yang ketiga adalah padi beras hitam yang hanya tumbuh dan dibudidayakan di daerah tertentu (Kristamtini,2009).

Beras yang berwarna putih Beras ini mendominasi pasar beras di Indonesia, beras ini juga yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Beras hitam merupakan jenis beras yang cukup langka harga dipasaranpun cukup tinggi untuk beras jenis ini warna hitamnya disebabkan aleuron dan endospermia memproduksi antosianin dengan intensitas tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam. Selain beras biasa yang sering kita konsumsi ada juga jenis Ketan (beras ketan) beras ini biasanya banyak digunakan untuk bahan pembuat kue dan jajanan lainnya. beras ketan berwarna putih tidak transparan dan apabila dimasak teksturnya lebih bening dan lebih kenyal dari beras biasa. (Anonimous, 2011)

Secara lebih detail jenis- jenis beras dan ciri- cirinya dikelompokkan menjadi:

1. Pandan Wangi memiliki Ciri khas yang ada pada beras pandan wangi adalah aromanya yang wangi sekilas aroma yang ditimbulkannya sangat mirip dengan daun pandan.

2. IR 64 / Setra Ramos Beras IR 64 adalah beras yang paling banyak beredar di pasaran, karena harganya yang terjangkau dan relatif cocok dengan selera


(23)

masyarakat perkotaan. Normalnya beras jenis ini pulen jika dimasak menjadi nasi, namun jika telah berumur terlalu lama (lebih dari 3 bulan) maka beras ini menjadi sedikit pera dan mudah basi ketika menjadi nasi.

3. Rojolele memiliki ciri fisik cenderung bulat, memiliki sedikit bagian yang berwarna putih susu dan tidak wangi seperti beras pandan wangi.

4. IR 42 Beras ini jika dimasak nasinya tidak pulen, namun pera sehingga cocok untuk keperluan khusus seperti untuk nasi goreng, nasi uduk, lontong, ketupat dan lain sebagainya. Biasanya harganya relatif lebih mahal daripada IR 64 karena beras ini jarang ditanam oleh petani.

2.2.2 Kedelai

Tanaman kedelai tergolong ke dalam golongan tanaman palawija (tanaman pangan). Membentuk polong pada setiap cabang tanaman. Tanaman berbentuk perdu atau semak (Cahyono, 2007).

Jenis kedelai dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu kedelai kuning, kedelai hitam, kedelai hijau, dan kedelai coklat. Kedelai kuning adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih atau hijau. Kedelai hitam adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna hitam, kedelai ini biasa dibuat kecap. Kedelai hijau adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna hijau. Kedelai coklat adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna coklat (Cahyono, 2007).

Varietas unggul sebagai berikut : varietas Galungan, Wilis, Dempo, Kelinci, Tidar, Rinjani, Lompo-batang, Bromo, Kawi, Burangrang, Tambora dan Raung (Cahyono, 2007). Varitas yang dianjurkan untuk lahan kering adalah varietas berumur genjah (75-80 hari), berbiji sedang dan warna biji kekuningan, seperti Lawu, Dieng, Tengger atau varietas unggul lokal. varietas kedelai berumur


(24)

(85-90 hari) yang di anjurkan antara lain adalah Willis, Kerinci, Pangrango, Tampomas dan Krakatau (Adisarwanto. 2000).

Varietas - varietas unggul kedelai yang berhasil dirakit sejak tahun 1974 ialah Orba, Galunggung, Lokon dan Guntur. Varietas lokal yang ma sih banyak ditanam antara lain Si Nyonya, Presi, Petek, Genjah slawi, Kucir dan Mandakan

(Sumarno, 1989 dalam Oka, 2005).

2.2.3 Jagung

Tanaman jagung cocok ditanam di Indonesia, karena kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Di samping itu tanaman jagung tidak banyak menuntut persyaratan tumbuh serta pemeliharaannya lebih mudah, maka wajar jika banyak petani yang selalu mengusahakan lahannya dengan tanaman jagung (Aak, 1993).

kebanyakan orang Indonesia hanya mengenal 3 jenis Jagung yakni jagung manis, biasa dan putren. Namun bila dikaji lebih dalam, ternyata jagung memiliki beragam jenis, berikut adalah ulasannya :

1. Bijinya berukuran besar yang terbagi dalam beberapa baris dan berwarna kuning, putih atau kadang-kadang berwarna lain dan cocok dibuat menjadi tepung jagung.

2. Jagung Mutiara (Flint Corn) Di Indonesia jagung ini dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi manusia dan juga pakan ternak. Jenis jagung ini memiliki bentuk biji yang agak bulat dan ukurannya lebih kecil dari pada biji jagung gigi kuda.

3. Jagung Manis (Sweet Corn) Jagung manis ini biasanya digunakan sebagai bahan pembuat sirup atau pemanis buatan. Ciri khas jagung manis adalah


(25)

biji-biji yang masih muda dan bercahaya berwarna jernih seperti kaca sedangkan biji yang telah masak dan kering akan menjadi berkerut. Jagung manis biasa diolah sebagai masakan seperti campuran Sayur Asem dan Sayur Bayam, Bakwan Jagung hingga Jagung Bakar.

4. Jagung Berondong (Pop Corn) Jenis jagung ini dibedakan atas dua tipe yaitu rice popcorn yang bijinya pipih, meruncing, serta pear popcorn yang bijinya bulat. Jagung ini cocok dijadikan aneka makanan kecil.

5. Jagung Pod (Pod Corn) Ciri khas jagung ini adalah bijinya diselubungi oleh kelobot sehingga biji Pod corn seolah-olah tidak tampak.

6. Jagung Ketan (Waxy Corn) dapat menggantikan kedudukan tepung tapioka dan bahan pengganti sagu serta cocok untuk bahan pakan ternak.

7. Jagung Tepung (Flour Corn) Ciri khas jagung tepung adalah hampir seluruh bijinya terdiri atas pati yang menyerupai tepung dan lunak, sehingga apabila terkena panas akan mudah pecah. Jenis jagung ini cocok diolah menjadi tepung maizena.

Jenis tanaman jagung yang dapat ditanam di Indonesia, yaitu dent corn

(jagung gigi kuda Zea mays indentata) dan flint corn (jagung mutiara Zea mays

indurata). Jagung mutiara berbentuk bulat dan umumnya berwarna putih. Biji bagian luar keras dan licin karena terdiri dari pati keras. Jagung jenis lokal Indonesia umumnya adalah tipe jagung mutiara. Jenis jagung lain seperti sweet corn (jagung manis Zea mays saccharata) dan pop corn (jagung berondong Zea mays everta) mulai banyak dikenal oleh masyarakat. Di beberapa daerah terdapat jagung ketan waxy corn (Zea mays ceratina) yang memiliki kandungan


(26)

amilopektin lebih besar dalam endospermnya. Kandungan amilopektin yang tinggi menyebabkan rasa pulen pada jagung (Siswadi, 2006).

2.2.4. Singkong atau Ubi Kayu

Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu sumber karbohidrat yang berasal dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India dan Tiongkok. Ubi kayu berkembang di negara – negara yang terkenal dengan wilayah pertaniannya ( Purwono, 2009).

Berdasarkan deskripsi varietas singkong, maka penggolongan jenisnya dapat dibedakan menjadi 2 macam :

1. Jenis ubi kayu manis, yaitu jenis ubi kayu yang dapat dikonsumsi langsung. Contoh varietasnya : gading, adira 1, mangi, betawi, mentega, randu, lanting dan kaliki.

2. Jenis ubi kayu pahit, yaitu jenis ubi kayu untuk diolah atau bila akan dikonsumsi harus melalui proses. Contoh varietasnya : karet, bogor, SPP dan adira 2 (Rukmana, 1997 ). Bila rasa ubi kayu semakin pahit maka kandungan sianidanya tinggi ( Winarno,F. G, 2001 ).

Dari segi ilmu gizi sebenarnya ubi kayu atau umbi-umbian lainnya tidaklah tepat digunakan sebagai pengganti beras, karena selain memberi kandungan protein yang jauh lebihrendah juga kandungan energi kurang. Rendahnya kadarprotein di dalam ubi kayu atau gaplek yang digunakan sebagai


(27)

makanan pokok sering terkena penyakit busung lapar yangdisebabkan kekurangan protein (Moehji, 1989).

Ada jenis-jenis singkong yang mengandung racun asam sianida atau HCN. Jenis singkong ini biasanya digunakan untuk membuat tapioka, karena kadar patinya sangat tinggi. Susunan hidangan yang berdasarkan singkong sebagai bahan makanan pokok memerlukan suplementasi kebutuhan zat-zat gizi yang lebih banyak pada lauk-pauk dan sayuran, serta buah. Bila hal tersebut kurang makan akan terjadi defisiensi. Kadar protein singkong sangat rendah, tidak mengandung vitamin A maupun vitamin C. Kuantitas dan kualitas lauk pauk harus ditingkatkan termasuk sayuran hijau (Sediaoetama, 1999).

2.2.5. Ubi jalar

Ubi jalar sebagai bahan baku pada pembuatan tepung mempunyai keragaman jenis yang cukup banyak terdiri dari jenis-jenis lokal dan beberapa varietas unggul. Jenis-jenis ubi jalar tersebut mempunyai perbedaan yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging umbi, warna kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen (Antarlina, 1998).

Menurut Juanda dan Cahyono (2004), ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut.

1. Ubi jalar putih, yakni jenis ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna putih. 2. Ubi jalar kuning, yakni jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna

kuning, kuning muda atau putih kekuning-kuningan.

3. Ubi jalar orange, yakni jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna orange.


(28)

4. Ubi jalar jingga, yakni jenis ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna jingga jingga muda.

5. Ubi jalar ungu, yakni jenis ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna ungu hingga ungu muda.

Secara fisik kulit ubi jalar lebih tipis dibandingkan kulit ubi kayu dan merupakan umbi dari bagian tanaman. Warna kulit ubi jalar bervariasi dan tidak selalu sama dengan warna umbi. Warna daging umbinya bermacam-macam, dapat berwarna putih, kuning, jingga kemerahan atau keabuan. Demikian pula bentuk umbinya sering kali tidak seragam (Syarief dan Irawati, 1986).

Berdasarkan warna umbinya ubi jalar terdiri dari ubi jalar putih, ubi jalar kuning, ubi jalar orange, ubi jalar jingga dan ubi jalar ungu. Warna daging berhubungan dengan beta karoten yang terkandung didalamnya (Adrianto dan Indarrto, 2004)

Bentuk ubi biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata sampai tidak rata. Kulit ubi berwarna putih, kuning, ungu atau ungu kemerah-merahan, tergantung jenis varietasnya. Daging ubi berwarna putih, kuning atau jingga sedikit ungu. Kulit ubi maupun dagingnya mengandung pigmen karotenoid dan antosianin yang menentukan warnanya. Kombinasi dan intesitas yang berbedabeda dari keduanya menghasilkan warna putih, kuning, oranye, atau ungu pada kulit dan daging ubi (Woolfe, 1992).


(29)

2.3. Landasan Teori

Menurut Pratiwi dalam Sari (2007), pola konsumsi masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kondisi geografi, agama, tingkat sosial ekonomi, pengetahuan akan pangan dan gizi, serta ketersediaan pangan. Menurut Kamus Istilah Ketahanan Pangan, pola konsumsi didefinisikan sebagai susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dimakan/dikonsumsi penduduk dalam waktu tertentu. Secara khusus, pola konsumsi menunjukkkan bagaimana makanan dikonsumsi, termasuk jumlah, jenis, keragaman dan frekuensi konsumsinya.

Pola konsumsi merupakan cara mengkombinasikan elemen konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan (Magrabi et al., 1991). Dalam hal ini konsumsi didefinisikan sebagai penggunaan komoditi-komoditi oleh rumah tangga. Menurut Kyrk (1933) sebagaimana dikutip oleh Magrabi et al. (1991), terdapat 3 (tiga) cara untuk menjelaskan tigkat konsumsi, yaitu : (1) berdasarkan jenis atau macam dan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga, (2) menurut pengelompokan penggunaan komoditi dan (3) menurut nilai (pengeluaran) dari komoditas yang dikonsumsi. Berdasarkan kategori konvensional, barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga dikelompokkan ke dalam konsumsi pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Pola Konsumsi Pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata perorang perhari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.


(30)

Pengaruh barang lain terhadap permintaan suatu barang dapat dibedakan menjadi dua sifat, yaitu memiliki sifat substitusi dan bersifat komplementer. Suatu barang bersifat substitusi apabila memiliki fungsi yang sama dan kandungan yang sama dengan barang lain (Manurung dan Prathama, 2002). Barang substitusi adalah suatu barang langsung dipengaruhi oleh harga barang lain. Apabila suatu barang mengalami permintaan akan turun, maka permintaan akan barang substitusi dari barang tersebut akan meningkat. Sedangkan barang komplementer adalah suatu barang yang permintaannya cateris paribus, dipengaruhi secara terbalik oleh barang lain (Miller dan Minner, 2000).

Menurut (suryana et al,1990) jagung adalah salah satu komoditi subtitusi beras yang dapat dijadikan dengan berbagai olahan sehingga dengan meningkatnya produksi jagung dapat mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan juga dapat mengurangi impor beras di Sumatera Utara, sedangkan menurut Depertemen Kesehatan produksi kedelai setiap tahunnya di Sumatera Utara akan mempengaruhi pola konsumsi pangan di Sumatera Utara karena kedelai adalah salah satu komoditi subtitusi konsumsi beras (Depkes, 1998)

Berbagai olahan jagung yang dapat dikembangkan menjadi berbagai produk olahan adalah kerupuk jagung, emping, cookies, kastengels, bolu kukus jagung, susu jagung dan mie jagung (Saptoningsih, 2011)

Berbagai jenis olahan bahan baku singkong yang telah berkembang antara lain ubi rebus, ubi goreng, keripik, crakers, tape, gethuk (Litbang Deptan, 2011), sementara itu hasil olahan makanan berbahan baku kedelai yakni tempe, oncom, tahu, kecap dan tauco (Anonimous,2009)


(31)

Juanda et al (2000) menyatakan bahwa pengembangan produk ubi jalar segar umumnya merupakan produk olahan rumah tangga, misalnya ubi rebus, ubi goreng, kolak, ubi bakar, getuk dan lain-lain. Pengembangan produk ubi jalar siap santap merupakan produk olahan ubi jalar dalam bentuk makanan. Contoh produk siap santap antara lain timus, nagasari, petolo, kelepon, cenil, kue lumpang, keripik, selai dan asinan.

Menurut Husodo dalam Asis (2007) mengemukakan pada masa ini sedang terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pola konsumsi pangan masyarakat kita. Perubahan-perubahan penting tersebut antara lain:

1. Meningkatnya konsumsi pangan yang berasal dari gandum seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, terutama kelompok berpendapatan tinggi, juga oleh modernisasi dan globalisasi. Konsumsi roti dan mie meningkat tinggi, sementara gandum tidak bisa kita produksi, menyebabkan impor gandum cenderung terus meningkat setiap tahunnya.

2. Menurun secara pesat tingkat konsumsi umbi-umbian (ubi kayu dan ubi rambat) untuk konsumsi manusia langsung. Namun untuk bahan baku industri, permintaan umbi-umbian cenderung meningkat.

3. Konsumsi pangan olahan dan siap konsumsi meningkat dengan cepat dan pangan jenis ini bahan bakunya sebagian berasal dari impor, khususnya untuk masyarakat kota yang berpendapatan tinggi.

4. Meningkatnya konsumsi jagung dan kedelai untuk pakan ternak.

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat dan pola konsumsi beras adalah sebagai berikut:


(32)

1. Tingkat Pendapatan

Pada umumnya jika tingkat pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga (Suhardjo, 2008). Keluarga yang tergolong mampu dalam setiap masyarakat mempunyai persediaan pangan yang mencukupi bahkan berlebih untuk sepanjang tahun, sedangkan pada keluarga kurang mampu pada masa-masa tertentu sering mengalami kurang pangan. Hal ini menyangkut dalam peluang mencari nafkah (Sajogyo dkk, 1994). Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan yang rendah sumber energi utama diperoleh dari padi-padian, umbi-umbian dan sayur (Suhardjo, 2008). Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat konsumsi semakin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi makin besar. Atau mungkin juga pola hidup makan konsumtif, setidak -tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik. Contoh yang amat sederhana adalah jika pendapatan sang ayah masih sangat rendah, biasanya beras yang dipilih untuk konsumsi juga beras kelas rendah/menengah (Khoirina, 2011).

2. Jumlah Anggota Keluarga

Sumber pangan keluarga terutama mereka yang miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup


(33)

untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo, 1996). Besar kecilnya jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya.

3. Tingkat pendidikan

Menurut Djauhari dan Friyanto dalam Cahyaningsih (2008), dalam memilih menu makanan yang mempunyai kandungan energi dan protein yang memadai serta pemilihan komposisi jenis makanan yang tepat, diperlukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi, terutama tingkat pengetahuan kepala keluarga dan istri yang berperan sangat tinggi dalam menentukan keputusan konsumsi rumah tangga.

4.Umur Umur mempunyai pengaruh dalam mengambil suatu keputusan. Dengan meningkatnya usia akan mempengaruhi kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga dapat mengambil keputusan secara rasional.

5. Harga Beras

Menurut Sari (2007), harga beras adalah harga tertinggi setiap kilogram yang dibayar ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga pada pembelian rata-rata dan dinyatakan dalam rupiah.

6. Frekuensi Konsumsi Makanan Pengganti Beras

Banyaknya mengkonsumsi makanan lain selain beras misalnya makanan cepat saji (Fast Food) maupun mie instan. Hal ini mengakibatkan konsumsi beras menjadi turun terutama untuk kawasan/kelas atas dan menengah.


(34)

Menurut Aswar dalam Asis (2007) mengemukakan pola pangan lokal seperti jagung dan ubi kayu telah ditinggalkan masyarakat, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam dan masih didominasi pangan sumber karbohidrat. Ketergantungan akan beras yang masih tinggi di kalangan masyarakat dan meningkatnya tingkat konsumsi mie secara signifikan menjadikan upaya diversifikasi konsumsi pangan belum menunjukkan keberhasilan, bahkan salah arah. Pola pangan masyarakat sebenarnya telah beragam, walaupun tingkatannya masih belum seperti yang diharapkan, terutama dalam standar kualitas dan kuantitasnya. Dengan demikian tingkat keanekaragaman pangan akan berbeda menurut kelompok masyarakat. Pola makan yang beragam diduga lebih disebabkan karena peningkatan pendapatan dan sebagai hasil komunikasi antara produsen (industri) pangan dan konsumen, yang disebabkan tidak ditunjukkan untuk mendorong keanekaragaman pangan masyarakat tetapi untuk mempromosikan produk yang dihasilkan.

Pola konsumsi masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perubahan dari nonberas ke beras (Suryana, 2009), salah satunya ditandai dengan kebutuhan akan beras/tepung yang meningkat setiap tahunnya. Berubahnya pola konsumsi masyarakat dari pangan lokal ke pangan beras dan pangan berbahan dasar terigu disebabkan kurang tersedianya bahan baku berbasis pangan lokal dan harganya di pasaran yang cenderung lebih tinggi dibanding harga beras bila dilihat dari segi kuantitas. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1). Produksi dalam negeri, (2). Impor pangan dan (3). Pengelolaan cadangan makanan.


(35)

2.4.Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu, Marini Lubis (2011) dalam judul Analisis Time Series Konsumsi Beras dan Jagung di Sumatera Utara mengatakan konsumsi beras penduduk Sumatera Utara akan terus meningkat, sedangkan konsumsi jagung penduduk Sumatera Utara akan menurun. Untuk dapat menjaga ketahanan pangan Sumatera Utara, maka alternative kebijakan pangan yang dapat diupayakan yakni Diversifikasi Pangan, khususnya Diversifikasi Konsumsi Pangan. Kebijakan ini dilaksanakan, yakni dengan merubah pola konsumsi bahan pangan khususnya bahan pangan pokok yang semula terkonsentrasi pada beras menjadi nonberas. Salah satunya dengan memanfaatkan jagung yang juga merupakan bahan pangan sumber karbohidrat.

Penelitian Gusti Setiavani dan Nurliana Harahap yang berjudul Analisis Ketersediaan Pangan Lokal Dalam Mendukung Diversifikasi Pangan di provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa produksi jagung, ubi jalar, kacang tanah dan kacang hijau diramal akan mengalami peningkatan sepuluh tahun ke depan, sementara produksi ubi kayu dan kedelai diramal akan menurun sepuluh tahun ke depan. Dengan produksi jagung, ubi jalar, kacang tanah dan kacang hijau yang meningkat dapat menjamin ketersediaan bahan baku bagi agroindustri berbasis komoditi tersebut. Semakin menurunnya produksi ubi kayu dan kedelai di Provinsi Sumatera Utara dapat menganggu perkembangan diversifikasi pangan yang sudah mulai memasyarakat saat ini.

Penelitian Emma Regina Pinem (2008) yang berjudul Analisis Diversifikasi Pangan di Desa Samura Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan


(36)

Pangan di Sumatera Utara menyatakan bahwa kendala-kendala yang dihadapi dalam diversifikasi pangan adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai diversifikasi pangan, apa tujuan dari diversifikasi pangan, masyarakat tidak mengerti pola pangan harapan dan pemenuhan gizi, adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa makanan pokok hanya beras, teknologi yang kurang berkembang, pendidikan yang rendah dan masyarakat tidak tahu bagaimana cara pengolahan bahan pangan nonberas.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara (2008) yang berjudul Pangan SDA 4 menyatakan bahwa trend produksi beras di Provinsi Sumatera Utara dan beberapa kabupaten menunjukkan koefisien positif (meningkat) kecuali Kabupaten Asahan, sementara itu produksi ubi kayu di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan, namun di beberapa kabupaten mengalami penurunan yaitu di Kabupaten Langkat, Asahan, Karo, Tapanuli Utara/ Humbang Hasundutan/ Tobasa/Samosir dan Nias/Nias Selatan.

2.5. Kerangka Pemikiran

Dalam perencanaan pangan, maka hal yang akan dimulai adalah dengan menentukan perkiraan ketersediaan beras yang didasarkan melalui pendekatan tingkat produksi beras dan tingkat konsumsi beras itu sendiri. Faktor lain yang juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi beras adalah jumlah pangan lainya, seperti volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan produksi ubi jalar.

Ketergantungan konsumsi beras di masyarakat saat ini masih banyak, sedangkan konsumsi terhadap komoditi subtitusi beras masih terbilang cukup


(37)

rendah. Beberapa masyarakat di daerah tertentu masih ada kerawanan pangan yang disebabkan oleh kurangnya produksi beras akibat gagal panen, rendahnya pendapatan masyarakat dan kurangnya tingkat adopsi dalam pengolahan.

Pengembangan pangan yang hanya berfokus pada satu jenis pangan saja akan dapat menyebabkan pemanfaatan potensi sumberdaya lainya semakin berkurang. Hambatan dalam diversifikasi pangan dalam pencapaian keanekaragaman pangan adalah faktor budaya masyarakat bahwa tidak ada pengganti sumber energi selain beras, pendapatan masyarakat yang kurang merata, dalam pengelolaanya lebih praktis dibanding dengan pengolahan pangan lainya.

Setelah mengetahui katersediaan beras dan kebutuhan beras, apabila terdapat pemasalahan-permasalahan yang dihadapi pemerintah provinsi Sumatera Utara maka diberi upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatur ketersediaan beras dan kebutuhan beras di provinsi Sumatera Utara.

Diversifikasi pangan diharapkan dapat mendorong masyarakat dalam penganekaragaman pangan yang lebih bermutu. Dengan demikian diharapkan dinas pemerintahan yang terkait melakukan berbagai kebijakan pangan, teknologi budidaya dan industri pengolahan pangan.


(38)

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Hubungan

: Pengaruh

2.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu jawaban sementara yang menjadi hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. a. Perkembangan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara cenderung meningkat.

b. Perkembangan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara cenderung menurun.

2. H1 : Ada pengaruh nyata volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi

jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

H0 : Tidak ada pengaruh nyata volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan

ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara. Produksi Kedelai

Produksi ubi jalar

Produksi ubi kayu

Produksi jagung

Tingkat Konsumsi beras


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu di Provinsi Sumatera Utara yang mencakup dari 26 Kabupaten/Kota. Alasan menentukan daerah ini bahwa Provinsi Sumatera Utara termasuk daerah produsen beras yang terbesar di Pulau Sumatera (tabel 2) serta memiliki jumlah penduduk terbesar di pulau Sumatera (lampiran 8) dan konsumsi beras terbesar di Pulau Sumatera (tabel 2).

Tabel 2. Data Produksi dan Konsumsi Beras Tingkat Provinsi di Pulau Sumatera 2011.

Provinsi Produksi (Ton) Konsumsi (Ton/Tahun)

Nanggroe Aceh Darussalam 962.036 605.392

Sumatera Utara 1.820.263 1.687.022

Sumatera Barat 1.215.976 729.490

Riau 307.481 648.718

Jambi 368.052 393.630

Sumatera Selatan 1.269.641 961.323

Bengkulu 304.226 235.869

Lampung 1.448.293 977.223

Kepulauan Bangka Belitung 12.465 158.394

Kepulauan Riau 277 180.747

Sumber: Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012

3.2. Metode Pengumpulan Data

Dalam melaksanakan penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan jenis data kuantitatif bentuk runtun waktu (time series) tahunan pada kurun waktu 15 tahun (1999 – 2013).

Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Ketahanan Pangan Sumatera Utara dan sumber lain yaitu: jurnal dan hasil-hasil penelitian.


(40)

Data yang dikumpulkan mencakup semua variabel yang relevan untuk keperluan estimasi, seperti tingkat konsumsi beras, volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.

3.3. Metode Analisis Data

Semua data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi kemudian dianalisis sesuai dengan hipotesis yang diajukan.

Untuk menguji hipotesis 1, dianalisis dengan metode grafik dan linear analysis untuk melihat bagaimana kecenderungan volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.

Untuk menguji hipotesis 2, dianalisis dengan metode analisis regresi berganda untuk menganalisis bagaimana pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras.

Analisis regresi linier berganda ialah suatu alat analisis dalam ilmu statistik yang berguna untuk mengukur hubungan matematis antara lebih dari 2 peubah. Menurut Nawari (2010), Model regresi linier berganda yang memiliki variabel penduga lebih dari satu, yaitu Xi sampai dengan Xk. Bentuk umum persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut:

Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn

Keterangan:

Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan) X1 dan X2 = Variabel independen

a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)


(41)

Dan untuk menguji identifikasi masalah (2) akan diuji dengan menggunakan regresi, dengan persamaan :

Y = a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 + a4X4 + µ

Keterangan :

Y = Tingkat Konsumsi Beras (Kg/kapita/tahun)

a0 = Konstanta Intersep

X1 = Volume Produksi Kedelai (Ton/tahun)

X2 = Volume Produksi Jagung (Ton/tahun)

X3 = Volume Produksi Ubi kayu(Ton/tahun)

X4 = Volume Produksi Ubi Jalar (Ton/tahun)

µ = Standar Error

a1-a4 = Koefisien Variabel Regresi

Secara serempak hipotesis yang digunakan adalah :

Ho = volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi beras.

H1 = volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar berpengaruh

nyata terhadap tingkat konsumsi beras.

Jika th ≤ t tabel, tidak diterima Ho ; terima H1


(42)

3.4. Uji Asumsi Klasik

Dalam regresi linier majemuk ditemukan berbagai permasalahan. Digunakannya beberapa variabel bebas mengakibatkan berpeluangnya variabel bebas tersebut saling berkorelasi, atau yang dikenal dengan multikolinearitas

diantara variabel bebas dan dikenal juga istilah heteroskedatisitas yaitu bila varian tidak konstan atau beruba-ubah. Bila kedua hal itu terjadi, maka akan mengganggu ketepatan model yang dibuat.

3.4.1. Multikolinieritas

Dalam membuat regresi berganda, variabel bebas yang baik adalah variabel bebas yang mempunyai hubungan dengan variabel terikat, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan variabel bebas lainnya sebab apabila ada variabel bebas yang memiliki hubungan dengan variabel bebas lainnya akan mengakibatan multikolinearitas (Supriana, 2009).

Multikolinieritas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) dan nilai tolerance. Jika nilai VIF < 10 dan nilai tolerance > 0,10 maka tidak ada korelasi antarvariabel independen yang nilainya lebih dari 95% sehingga model tersebut bebas dari multikolinieritas (Wijaya,2011)

3.4.2. Heteroskedastisitas

Dalam praktiknya heterokesdastis banyak ditemui pada data cross-section

karena pengamatan dilakukan pada individu-individu yang berbeda-beda pada saat yang sama akan tetapi bukan berarti tidak ada dalam data time series.

Beberapa alasan mengapa heteroskesdastis menjadi begitu penting diperhatikan ketika mengestimasi koefisien regresi dengan OLS adalah karena ditemukan


(43)

akibat dari varian koefisien regresi yang lebih besar, maka akan mengandung berbagai konsekuensi lain (Nachrowi dan Usman, 2006)

Untuk melihat ada atau tidaknya heteroskedastisitas, dapat diketahui dengan melihat penyebaran data pada grafik scatterplot yaitu:

1. Dengan melihat apakah penyebaran data (titik-titik) pada scatterplot

membentuk pola tertentu yang teratur seperti bergelombang, melebar kemudian menyempit, maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika penyebaran data pada scatterplot tidak terdapat pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka mengindikasikan tidak terjadi heteroskedastisitas.

Selain menggunakan metode grafik, uji heteroskedastisitas juga dapat diuji menggunakan metode Glejser. Dasar pengambilan keputusan pada uji ini yakni:

1. Signifikansi > 0,05, tidak terjadi heteroskedastisitas 2. Signifikansi < 0,05, terjadi heteroskedastisitas

3.4.3. Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error mendekati distribusi normal. Pada SPSS 16, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data berdistribusi tidak normal, sedangkan apabila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka data berdistribusi normal. Model regresi yang baik adalah model regresi yang berdistribusi normal (Wijaya,2011).


(44)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diberikan defenisi dan batasan operasional sebagai berikut.

3.5.1. Definisi

1. Volume Produksi padi adalah jumlah hasil produksi produk padi setiap tahun dalam satuan ton.

2. Volume Produksi jagung adalah jumlah hasil produksi jagung setiap tahun dalam satuan ton.

3. Produksi ubi kayu adalah jumlah hasil produksi ubi kayu setiap tahun dalam satuan ton.

4. Produksi ubi jalar adalah jumlah hasil produksi ubi jalar setiap tahun dalam satuan ton.

5. Produksi kedelai adalah jumlah hasil produksi kedelai setiap tahun dalam satuan ton.

6. Tingkat konsumsi beras adalah jumlah konsumsi beras yang dikonsumsi untuk setiap orang dalam satuan kilogram dalam setahun (Kilogram/kapita/tahun).

3.5.2. Batasan Operasional

1. Data yang diambil adalah data produksi kedelai, produksi jagung, produksi ubi kayu dan produksi ubi jalar serta tingkat konsumsi beras.

2. Data yang digunakan adalah data tahunan yang runtun waktu selama periode tahun 1999- 2013


(45)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak dan Keadaaan Geografi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 1º- 4º LU dan 98º - 100º BT. Adapun batasan wilayah Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. - Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat Malaka. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. - Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 Km2, sebagian besar berada di Daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias. Berdasarkan luas daerah menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas 12.163,65 Km2 atau 16,97 % diikuti Kabupaten Labuhan Batu dengan luas 9.223,18 Km2 atau 12,87 % kemudian diikuti Kabupaten Mandailing natal dengan luas 6.620,70 Km2 atau sekitar 9,23 %. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 Km2 atau sekitar 0,02 % dari total luas wilayah Sumaetra utara.

Karena terletak dekat garis khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara tergolong ke dalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,20C, sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya


(46)

bisa mencapai 13,40 C. Sebagaimana Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba.

4.2. Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara

Di daerah Sumatera Utara, terdapat beragam jenis tanaman bahan pangan yang dibudidayakan. Beras masih merupakan tanaman yang bahan pangan yang paling banyak diusahakan dan juga merupakan bahan pangan pokok sebagian besar penduduk di wilayah Sumatera Utara. Produksi padi Sumatera Utara selama periode 1998-2006 rata-rata mengalami penurunan sebesar 23 % per tahun.

Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun merupakan pusat produksi padi di Sumatera Utara. Dimana pada tahun 2012, produksi padi Kabupaten Deli Serdang mencapai 486.255 Ton atau sebesar 13,09 % dari total produksi Sumatera Utara. Sementara produksi padi Kabupaten Simalungun pada tahun yang sama mencapai 441.732 Ton atau 11,89 % dari total produksi padi Sumatera Utara.

Tanaman palawija di Sumatera Utara cukup potensial. Untuk komoditas jagung, produksinya di tahun 12 adalah 1.347.124 Ton dengan Kabupaten Karodan simalungun sebagai andalan produsen jagung di Sumatera Utara. Dimana, produksi jagung terbesar di Kabupaten Karo sebesar 486.293 Ton dan di Kabupaten Simalungun sebesar 383.796 Ton.

Perkembangan luas panen dan produksi bahan pangan di Sumatera Utara selama 5 tahun terahir dapat dilihat pada tabel 4.1.


(47)

Tabel 4.1. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan Sumatera Utara

Jenis Tanaman Pangan

Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Padi Sawah

LuasPanen (ha)

696.722 718.583 702.308 703.168 714.307 Produksi

(ton)

3.189.758 3.382.066 3.422.264 3.440.262 3.552.373 Padi

Ladang

Luas Panen (ha)

51.818 49.824 52.366 54.379 50.792 Produksi

(ton)

151.036 145.833 160.038 167.141 163.140 Jagung Luas

Panen (ha)

240.413 147.782 274.822 255.291 243.098 Produksi

(ton)

1.098.969 1.166.548 1.377.718 1.294.645 1.347.124 Kedelai Luas

Panen (ha)

9.597 11.494 7.803 11.413 5.475 Produksi

(ton)

11.647 14.206 9.438 11.426 5.419 Kacang

Tanah

Luas Panen (ha)

16.626 14.294 14.520 10.773 10.10154 Produksi

(ton)

19.316 16.771 16.449 11.093 12.073 Kacang

Hijau

Luas Panen (ha)

5.160 4.124 3.110 3.004 3.498 Produksi

(ton)

5.493 4.426 3.344 3.250 3.817 Ubi

Kayu

Luas Panen (ha)

37.941 38.611 32.402 37.929 38.749 Produksi

(ton)

736.771 1.007.284 905.571 1.091.711 1.171.520 Ubi

Jalar

Luas Panen (ha)

10.316 12.359 14.874 15.466 14.495 Produksi

(ton)

114.187 140.138 179.387 191.104 186.583

Sumber: Badan Pusat Statistika Sumatera Utara 2013 (diolah)

4.3. Keadaan Penduduk Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi keenam yang memiliki penduduk terbanyak di Indonesia dan provinsi berpenduduk terbesar di luar Pulau Jawa. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara mencapai 12.985.075 orang, yang terdiri atas 6.479.051


(48)

laki-laki dan 6.506.024 perempuan. Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat adalah tiga kabupaten/kota dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 2.109.339 orang (16,24 persen), 1.789.243 orang (13,78 persen), dan 966.133 orang (7,44 persen). Sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk paling sedikit yang berjumlah 40.481 orang (0,31 persen). Dengan luas wilayah Provinsi Sumatera Utara sekitar 71.680,68 kilometer persegi yang didiami oleh 12.985.075 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 181 orang per kilo meter persegi. Kabupaten/kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kota Medan yakni sebanyak 7.957 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat yakni sebanyak 33 orang per kilo meter persegi.

Dari data hasil Sensus Penduduk 2010, laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara tahun 2000-2010 telah mengalami penurunan menjadi sebesar 1,11%, yang merupakan laju pertumbuhan penduduk terendah di Sumatera, atau posisi ke-5 laju pertumbuhan penduduk terendah secara nasional (dibawah laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah (0,37%), Jawa Timur (0,76%), Kalimantan Barat (0,91%), dan D.I Jogyakarta (1,02%).


(49)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perkembangan Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar

5.1.1. Kecenderungan Volume Produksi Kedelai

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat dilihat perkembangan volume produksi Kedelai di Provinsi Sumatera Utara periode tahun 1999-2013 pada tabel 5.1 beserta grafik 5.1 di bawah ini.

Tabel 5.1. Volume Produksi Kedelai Sumatera Utara

Tahun Volume Produksi (Ton)

1999 29.262

2000 12.881

2001 10.719

2002 10.197

2003 10.466

2004 12.333

2005 15.793

2006 7.043

2007 4.345

2008 11.647

2009 14.206

2010 9.438

2011 11.426

2012 5.419

2013 3.229

Total 168.404

Rata- rata 11.226,93

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2014

Dari Tabel 5.1 di atas, terlihat bahwa volume produksi kedelai Sumatera Utara terbesar selama periode tahun 1999-2013 ada pada tahun 1999 yakni sebesar 29.262 ton, sedangkan volume produksi terkecil ada di tahun 2013 yakni sebesar 3.229 ton. Total volume produksi kedelai selama periode tahun 1999-2013 adalah 168.404 ton dengan rataan produksi sebesar 11.226,93 ton per tahun.


(50)

Kecenderungan volume produksi kedelai di Sumatera Utara (1999-2013) digambarkan pada gambar 5.1. berikut.

Gambar 5.1. Kecenderungan Volume Produksi kedelai di Sumatera Utara (1999-2013)

Pada Gambar 5.1 tampak bahwa volume produksi kedelai di Sumatera Utara selama periode tahun 1999-2013 cenderung menurun dari tahun ke tahun. Bentuk persamaan linear dari perkembangan volume produksi kedelai yang diperoleh yaitu:

Y= 17744 - 814,6 X, artinya bahwa ada trend yang negatif atau penurunan volume produksi kedelai setiap tahun rata-rata sebesar 814,6 ton. Penyebab dari turunnya volume produksi ini antara lain disebabkan adanya kecenderungan penurunan tingkat produksi dan luas panen tanaman kedelai.

Penurunan produksi kedelai setiap tahunnya di Sumatera Utara diperkirakan akan berpengaruh pada tingkat konsumsi pangan di Sumatera Utara karena kedelai merupakan salah satu komoditi substitusi dari beras. Apabila umbi-

y = -814.66x + 17744 0

5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

produksi kedele (ton)

produksi kedele (ton) trend linear (produksi kedele (ton))


(51)

umbian dijadikan sebagai bahan pengganti beras, kekurangan protein dapat disubstitusi dengan mengkonsumsi kacang- kacangan.

(Depertemen Kesehatan RI, 1998).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1a yang menyatakan volume produksi kedelai cenderung meningkat tidak dapat diterima, karena ternyata volume produksi kedelai cenderung menurun setiap tahun selama periode tahun 1999- 2013.

5.1.2. Kecenderungan Volume Produksi Jagung

Uraian berikut memperlihatkan keadaan perkembangan volume produksi Jagung di provinsi Sumatera Utara periode tahun 1999- 2013, sebagaimana terlihat pada tabel 5.2 beserta grafik 5.2. dibawah ini.

Tabel 5.2. Volume Produksi Jagung di Sumatera Utara

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2014

Tahun Produksi Jagung (Ton)

1999 619.677

2000 666.764

2001 634.162

2002 640.593

2003 687.360

2004 712.560

2005 735.456

2006 682.042

2007 804.850

2008 1.098.969

2009 1.166.548

2010 1.377.718

2011 1.294.645

2012 1.347.124

2013 1.182.928

Total 12.308.407


(52)

Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa volume produksi jagung Sumatera Utara terbesar pada periode tahun 1999-2013 ada pada tahun 2010 yakni sebesar 1.377.718 ton, sedangkan volume produksi terendah ada di tahun 1999 yakni sebesar 619.677 ton. Total volume produksi jagung selama periode tahun 1999-2013 adalah 12.308.407 ton dengan rataan produksi sebesar 802.560,467 ton per tahun.

Kecenderungan volume produksi jagung di Sumatera Utara (1999-2013) digambarkan juga pada gambar 5.2

Gambar 5.2. Kecenderungan Volume Produksi Jagung di Sumatera Utara (1999-2013)

Pada Gambar 5.2, tampak bahwa volume produksi Jagung di Sumatera Utara (1999-2013) cenderung mengalami peningkatan, meskipun sempat terjadi penurunan produksi namun tidak terlalu signifikan. Bentuk persamaan volume produksi jagung yaitu: Y= 43.707 + 59.127X, artinya bahwa adanya trend yang positif atau peningkatan volume produksi jagung rata- rata sebesar 59.127 ton setiap tahunnya.

y = 59127x + 437076

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

produksi jagung (ton)

produksi jagung (ton) trend linear (produksi jagung(ton))


(53)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1a yang menyatakan volume produksi jagung cenderung meningkat dapat diterima, karena volume produksi jagung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan meningkatnya volume produksi jagung tersebut, ketersediaan atau kemungkinan surplus pangan di Sumatera Utara akan semakin besar.

Menurut (Suryana et al,1990) jagung adalah salah satu komoditi subtitusi beras yang dapat dijadikan dengan berbagai olahan sehingga dengan meningkatnya produksi jagung dapat mengurangi ketergantungan konsumsi beras dan juga dapat mengurangi impor beras di Sumatera Utara.

5.1.3. Kecenderungan Volume Produksi Ubi Kayu

Uraian berikut memperlihatkan keadaan perkembangan volume produksi ubi kayu di Provinsi Sumatera Utara periode tahun 1999- 2013, sebagaimana terlihat pada tabel 5.3 beserta grafik 5.3.

Tabel 5.3. Volume Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara

Tahun Produksi (Ton)

1999 581.699

2000 480.128

2001 507.519

2002 441.819

2003 411.995

2004 464.961

2005 509.796

2006 452.450

2007 438.573

2008 736.771

2009 1.007.284

2010 905.571

2011 1.091.711 2012 1.171.520

2013 1.518.221 Total 10.720.018 Rata- rata 714.672,067


(54)

Dari Tabel 5.3, terlihat bahwa volume produksi ubi kayu Sumatera Utara terbesar selama periode tahun 1999-2013 ada pada tahun 2013 yakni sebesar 1.518.221 ton, sedangkan volume produksi terendah ada di tahun 2003 yakni sebesar 411.995 ton. Total volume produksi ubi kayu selama periode tahun 1999-2013 adalah 10.720.018 ton dengan rataan produksi sebesar 714.672,067 ton per tahun.

Kecenderungan volume produksi ubi kayu di Sumatera Utara (1999-2013) digambarkan juga melalui gambar 5.3.

Gambar 5.3 Kecenderungan Volume Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1999-2013)

Pada gambar 5.3 produksi ubi kayu di Sumatera Utara (1999- 2013) diketahui cenderung meningkat. Bentuk persamaan volume produksi ubi kayu yaitu:

Y= 20.786 + 63.351X, artinya bahwa adanya trend yang positif atau peningkatan produksi ubi kayu rata- rata sebesar 63.351 ton setiap tahunnya.

y = 63351x + 207861

0 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

produksi ubi kayu (ton)

produksi ubi kayu (ton) trend linear (produksi ubi kayu (ton))


(55)

Penyebab meningkatnya volume produksi ini antara lain meningkatnya luas panen dan rata- rata produksi ubi kayu pertahun.

Berdasarkan gambar 5.3, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1a yang menyatakan volume produksi ubi kayu cenderung meningkat dapat diterima, karena volume produksi ubi kayu cenderung meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya produksi ubi kayu di Sumatera Utara akan membantu dalam peningkatan ketahanan pangan khususnya dalam konsumsi beras sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2012 ubi kayu dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti beras karena merupakan sumber pangan utama karbohidrat setelah padi dan jagung.

5.1.4. Kecenderungan Volume Produksi Ubi Jalar

Uraian berikut memperlihatkan keadaan perkembangan volume produksi ubi jalar di provinsi Sumatera Utara periode tahun 1999- 2013, sebagaimana terlihat pada tabel 5.4 beserta grafik 5.4.

Tabel 5.4 . Volume Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara

Tahun Produksi (Ton)

1999 134.642

2000 126.961

2001 118.183

2002 118.170

2003 135.661

2004 117.295

2005 115.728

2006 102.712

2007 117.641

2008 114.187

2009 140.138

2010 179.387

2011 191.104

2012 186.583

2013 116.670

Total 2.015.062

Rata- rata 134.337,467


(56)

Dari Tabel 5.4 terlihat bahwa volume produksi ubi jalar di Sumatera Utara terbesar selama tahun 1999-2013 ada pada tahun 2011 yakni sebesar 191.104 ton, sedangkan volume produksi terendah ada di tahun 2006 yakni sebesar 102.712 ton. Total volume produksi ubi jalar selama periode 1999-2013 adalah 2.015.062 ton dengan rataan 134.337,467ton per tahun.

Kecenderungan volume produksi ubi jalar di Sumatera Utara (1999-2013) digambarkan juga melalui gambar 5.4.

Gambar 5.4.Kecenderungan Volume Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1999-2013)

Pada gambar 5.4 tampak bahwa volume produksi ubi jalar di Sumatera Utara dari tahun 1999 – 2008 cenderung meningkat. Bentuk persamaan volume produksi ubi jalar yaitu: Y=11.003 + 3.037X, artinya bahwa adanya trend positif atau peningkatan volume produksi ubi jalar rata- rata sebesar 3.037 ton setiap tahunnya.

y = 3037.6x + 110037

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

produksi ubi jalar (ton)

produksi ubi jalar (ton) trend linear (produksi ubi jalar (ton))


(57)

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1a yang menyatakan volume produksi ubi jalar cenderung meningkat dapat diterima, karena berdasarkan gambar 5.4 produksi ubi jalar selama periode 1999- 2013 cenderung naik setiap tahunnya.

5.2. Perkembangan Jumlah dan Tingkat Konsumsi Beras

Yang dimaksud dengan tingkat konsumsi beras dalam hal ini adalah jumlah beras yang dikonsumsi oleh setiap penduduk setiap tahunnya di Provinsi Sumatera Utara. Perkembangan jumlah dan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara diperlihatkan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5. Perkembangan Jumlah Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Beras Sumatera Utara (2001- 2013)

Tahun Jumlah Konsumsi

Beras (ton)

Jumlah Penduduk

Tingkat Konsumsi Beras (kg/kapita/tahun)

2001

1.511.017 11.722.397 128.9

2002

1.412.171 11.847.075 119.2

2003

1.400.698 11.890.399 117.8

2004

1.411.159 12.123.360 116.4

2005

1.447.152 12.326.678 117.4

2006

1.454.001 12.643.494 115.0

2007

1.466.070 12.834.371 114.23 2008

1.487.737 13.042.317 114.07 2009

1.440.099 13.248.386 108.7 2010

1.406.362 12.982.204 108.33 2011

1.453.188 13.103.596 110.9 2012

1.303.170 13.215.401 98.61

2013

1.392.599 13.326.307 104.5

Rata- Rata 1.429.647 113,39

Sumber: Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Utara tahun, 2014

Dari tabel 5.5 terlihat bahwa tingkat konsumsi beras selama periode 2001-2013 cenderung menurun dari tahun ke tahun. Tingkat konsumsi beras terbesar


(58)

ada pada tahun 2001 sedangkan tingkat konsumsi beras terendah ada pada tahun 2012. Rata- rata tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara selama periode 2001- 2013 adalah sebesar 113,39 Kg/kapita/tahun. Sementara itu, rata- rata jumlah konsumsi beras di Sumatera Utara selama periode 2001- 2013 adalah 1.429.647 ton per tahun.

Perkembangan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara (2001- 2013) dapat juga dilihat pada gambar 5.5.

Gambar 5.5. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara (2001 – 2013)

Berdasarkan gambar 5.5 diketahui bahwa tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara selama periode 2001-2013 terjadi penurunan. Berdasarkan hasil trend linier analysis, yang diperlihatkan pada gambar 5.5 dan lampiran 5, diperoleh persamaan tingkat konsumsi berasadalah:

y = -1.7554x + 125.68

0 20 40 60 80 100 120 140

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

tingkat konsumsi beras (Kg/kapita/tahun)

tingkat konsumsi beras (Kg/kapita/tahun) trend linear (tingkat konsumsi


(59)

Y= 125,6 - 1,755X. Persamaan ini menunjukkan adanya trend negatif atau penurunan tingkat konsumsi beras dari tahun ke tahun. Artinya setiap tahunnya terjadi penurunan tingkat konsumsi beras rata- rata sebesar 1,755 Kg/kapita/tahun.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1a yang menyatakan tingkat konsumsi beras cenderung menurun dapat diterima.

Penurunan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara akan dapat membantu ketersedian pangan khususnya ketersediaan beras di Sumatera Utara. Walaupun terjadi penurunan tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara, namun rata- rata tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara yakni sebesar 113,39 Kg/kapita/tahun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rat-rata tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia yakni sebesar 97,65 Kg/kapita/tahun (Susenas –BPS 2012)..

Pemilihan bahan pangan merupakan suatu hal yang terikat dengan budaya dan tradisi lokal. Oleh karena itu, meski telah mengalami perkembangan sosial serta ekonomi, namun pola makanan bangsa Indonesia termasuk masyarakat Sumatera Utara masih di dominasi oleh nasi yang berasal dari beras. Hal ini menyebabkan terjadinya impor yang semakin meningkat dari tahun ke tahun pun tak menyurutkan kebutuhan masyarakat akan beras dan masih mendominasi sebagai bahan pangan pokok sebagian besar penduduk tersebut.

Dengan demikian pemantapan ketahanan pangan masih perlu ditingkatkan yaitu selain melalui peningkatan produksi pangan juga melalui diversifikasi konsumsi pangan. Diversifikasi pangan dilakukan melalui pengembangan pangan seperti jagung dan umbi- umbian, sedangkan pengembangan produk melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan citra rasa dan citra produk pangan.


(1)

(2)

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 100.9825 121.0405 1.1339E2 6.65601 13 Std. Predicted Value -1.864 1.150 .000 1.000 13 Standard Error of Predicted

Value 1.710 3.720 2.540 .650 13

Adjusted Predicted Value 103.8326 121.9527 1.1432E2 6.26018 13

Residual -2.92804 7.85946 .00000 3.44377 13

Std. Residual -.694 1.863 .000 .816 13

Stud. Residual -1.334 2.093 -.064 1.069 13

Deleted Residual -1.15915E1 9.91542 -.93685 6.59478 13 Stud. Deleted Residual -1.415 2.911 .014 1.252 13

Mahal. Distance 1.048 8.412 3.692 2.428 13

Cook's Distance .004 1.155 .249 .397 13

Centered Leverage Value .087 .701 .308 .202 13 a. Dependent Variable: konsumsi beras


(3)

Lampiran 8. Jumlah Penduduk Setiap Provinsi di Pulau Sumatera (2010)

Sumber: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2011

No

Provinsi

Jumlah Penduduk

1

Aceh

4.494.410

2

Sumatera Utara

12.982.204

3

Sumatera Barat

4.846.909

4

Riau

5.538.367

5

Jambi

3.092.265

6

Sumatera Selatan

7.450.394

7

Bengkulu

1.715.518

8

Lampung

7.608.405

9

Kepulauan Bangka Belitung

1.223.296

10

Kepulauan Riau

1.679.163


(4)

y = 59127x + 437076

800000

1000000

1200000

1400000

1600000

produksi jagung (ton)

produksi jagung (ton)

y = -814.66x + 17744

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

produksi kedelai (ton)

produksi kedelai (ton)

Linear (produksi kedelai

(ton))

Lampiran 9. Trend Linear Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi

Kayu dan Ubi Jalar di Provinsi Sumatera Utara 1999

-2013


(5)

y = 3037.6x + 110037

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

produksi ubi jalar (ton)

produksi ubi jalar (ton)

Linear (produksi ubi jalar

(ton))

y = 3037.6x + 110037

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

produksi ubi kayu (ton)

produksi ubi kayu (ton)

Linear (produksi ubi kayu


(6)

y = -1.7554x + 125.68

0

20

40

60

80

100

120

140

tingkat konsumsi beras (Kg/kapita/tahun)

tingkat konsumsi beras

(Kg/kapita/tahun)

trend linear (tingkat

konsumsi