Perubahan Neurotransmitter Pada Demensia Alzheimer

(1)

PERUBAHAN NEUROTRANSMITTER

PADA DEMENSIA ALZHEIMER

OLEH

FASIHAH IRFANI FITRI

NIP : 198307212008012007

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi i

Daftar Singkatan iii Daftar Gambar iv

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang 1

I.2 Tujuan 2

I.3 Manfaat 2

II. PEMBAHASAN

II.1. Demensia Alzheimer 3

II.1.1. Definisi 3 II.1.2. Sejarah 3 II.1.3. Epidemiologi 4 II.1.4. Kriteria Diagnosis 5 II.1.4.1. Diagnosis Pasti Demensia Alzheimer 6 II.1.4.2. Probable Demensia Alzheimer 6 II.1.4.3. Possible Demensia Alzheimer 7 II.1.5.Gambaran Klinis 7 II.1.6. Patogenesis 8

II.2. Neurotransmitter 14

II.2.1. Neurotransmitter Asam Amino 14 II.2.1.1. Glutamat 14 II.2.1.2. Gamma-aminobutyric-acid (GABA) 15 II.2.2. Neurotransmitter Monoamin 16 II.2.2.1. Acetylcholine (ACh) 16 II.2.2.2. Dopamin 17 II.2.2.3. Norepinefrin dan Epinefrin 17 II.2.2.4. Serotonin 17 II.2.3. Neuropeptida 17 II.3. Abnormalitas Neurotransmitter Pada Demensia Alzheimer 19 II.3.1 Hipotesis Kolinergik pada Demensia Alzheimer 19


(3)

II.3.2. Keterlibatan Neuron Glutamatergik pada Demensia Alzheimer 23 II.3.3. Keterlibatan Neuron GABAergik pada Demensia Alzheimer 28 II.3.4. Defisit Katekolamin Pada Korteks 29 II.3.5. Defisit Serotonin Pada Demensia Alzheimer 29

III. KESIMPULAN 32

II.3.6. Neuropeptida 30


(4)

DAFTAR SINGKATAN

AAE :asam amino eksitatorik

ACh : acetylcholine

AChE : acetylcholinesterase

BACE : β site of APP cleavage enzyme CT scan : computed tomography scan CSF : Cerebrospinal fluid

DA : Demensia Alzheimer

EEG : electroencephaolography GABA : γ-aminobutyric acid

GAD : glutamic acid decarboxylase

ICD-10 : International Classifiation of Diseases, 10th NFT : neurofibrillary tangles

revision

NINCDS-ADRDA : The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke-Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association Work Group

NMDA : N-methyl-D-aspartate

PPA : protein perkursor amiloid

SDAT : Senile Dementia Alzheimer Type SSRI : selective serotonin reuptake inhibitor


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kaskade Amiloid 9 Gambar 2. Proses PPA normal dan patologis 10 Gambar 3. Pembentukan β-Amiloid 12 Gambar 4. Agregasi β-Amiloid 13 Gambar 5. Mekanisme neurokimiawi sinyal glutamatergik 15 Gambar 6. Mekanisme neurokimiawi sinyal kolinergik 17 Gambar 7. Hipotesis Kolinergik 21 Gambar 8. Hipotesis Glutamat 24


(6)

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Demensia Alzheimer (DA) adalah gangguan degeneratif fatal progresif dengan manifestasi berupa perburukan memori dan kognitif, gangguan aktivitas sehari-hari yang progresif, dan sejumlah gejala neuropsikiatrik dan gangguan perilaku yang bervariasi.1 Demensia Alzheimer merupakan salah satu penyebab utama perburukan mental pada usia lanjut dan merupakan penyebab pada 50%-60% seluruh kasus demensia.

Tanda-tanda klinis yang utama adalah kehilangan memori, penurunan fungsi kognitif yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri. Keadaan ini akan berdampak pada ketergantungan hidup sehari-hari baik dari keluarga maupun pendamping.

2

3

Perburukan klinis pada DA, sebagian besar, disebabkan oleh defisit yang melibatkan sejumlah jalur neurokimiawi. Patogenesis DA cukup kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Dari perspektif histopatologi otak, DA memiliki tiga karakteristik utama, yaitu adanya plak amiloid, neurofibrillary tangles (NFT) dan hilangnya neuron. Walaupun hilangnya neuron menyebabkan defisit pada transmisi neuron, namun neuron yang belum mati juga menunjukkan gangguan transmisi pada DA. Terdapat bukti yang menunjukkan keterlibatan neuron kolinergik dan glutamatergik pada etiologi DA. Terdapat penurunan konsentrasi dan fungsi acetylcholine (ACh), suatu neurotransmitter penting untuk proses memori dan belajar, pada pasien dengan DA. Defisit ini dan defisit kolinergik presinaptik lainnya, mencakup hilangnya neuron kolinergik dan gangguan aktivitas

acetylcholinesterase (AChE), mendasari timbulnya hipotesis kolinergik dari DA. Hipotesis glutamatergik menghubungkan penurunan kognitif pada pasien DA dengan kerusakan neuron yang disebabkan oleh overaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) oleh glutamat.

Sejumlah penelitian telah berhasil menunjukkan adanya hubungan antara penurunan kemampuan belajar dan memori dengan defisit pada neurotransmitter asam amino eksitatorik (AAE), bersama dengan peran penting dari sistem kolinergik pada proses atensi dan sebagai modulator pada transmisi AAE. Sejumlah intervensi terapeutik potensial mulai ditemukan yang diarahkan untuk memperbaiki hilangnya fungsi kolinergik presinaptik.

4

2

I.2. Tujuan Penulisan

I.2.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui definisi, sejarah, epidemiologi, kriteria diagnosis, gejala klinis, dan patogenesis Demensia Alzheimer.


(7)

I.2.2. Tujuan Khusus

1.2.2.1. Untuk mengetahu neurotransmitter yang terlibat dalam patogenesis Demensia Alzheimer

1.2.2.1. Untuk mengetahui abnormalitas neurotransmitter pada Demensia Alzheimer

I.3. Manfaat Penulisan

Dengan mengetahui perubahan neurotransmitter pada Demensia Alzheimer, maka pengobatan dapat lebih difokuskan kepada neurotransmitter yang terganggu sehingga pengobatan lebih optimal.


(8)

II. PEMBAHASAN

II.1. DEMENSIA ALZHEIMER II.1.1. Definisi

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.

Menurut International Classifiation of Diseases, 10

5

th

revision (ICD-10), DA adalah sindroma demensia dengan awitan (onset) perlahan-lahan (insidious) dan perburukan lambat, tidak ditemukan bukti/kelainan klinis dan laboratoris dari penyakit sistemik atau penyakit di otak yang dapat menyebabkan demensia, tidak ditemukan riwayat awitan (onset) gejala neurologi yang mendadak pertanda gangguan otak fokal. 5

II.1.2. Sejarah

Demensia Alzheimer pertama kali ditemukan pada tahun 1906 oleh Alois Alzheimer, seorang neurolog dan psikiater Jerman. Alzheimer menemukannya pada seorang penderita berumur 51 tahun yang meninggal 4 tahun kemudian sesudah menderita demensia. Gejala klinis dari penderita tersebut selain demensia juga ditemukan gangguan perilaku termasuk stress dan depresi serta paranoid. 3

Kasus tersebut dianggap unik, pasien masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia yang ternyata mengalami degenerasi dan kemudian pasien meninggal 4-5 tahun sesudah onset serangan pertama. Hasil otopsi menunjukkan kejanggalan, ditemukan bahwa sepertiga bagian dari neuron korteks serebri hilang. Pada sel neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya, Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NFT) dimana NFT bersamaan dengan senile plaque dianggap sebagai pertanda diagnostik DA.

Pada tahun 1910, psikiater Kraeplin memberi nama penyakit ini sebagai penyakit Alzheimer. Presenile demensia pada mulanya merupakan sebutan penyakit Alzheimer yang ditemukan pada usia muda sedangkan pada yang berusia lanjut diberi nama dengan Senile Dementia Alzheimer Type (SDAT). Namun dari hasil penelitian histopatologis tidak ditemukan perbedaan antara presenile dan senile maka disepakati untuk memberi nama penyakit ini sebagai penyakit Alzheimer.

6


(9)

II.1.3. Epidemiologi

Studi prevalensi menunjukkan bahwa pada tahun 2000 terdapat sekitar 4.5 juta penderita DA di Amerika Serikat dan diperkirakan meningkat hingga 13.2 juta pada tahun 2050 seiring dengan meningkatnya usia populasi.

Data tentang insiden DA menunjukkan bahwa DA adalah suatu masalah global yang akan menjadi lebih berat seiring menuanya populasi . Studi dari berbagai bagian di dunia ( Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Afrika) menunjukkan insiden yang berbeda. Terlepas dari negeri asalnya, tingkat insiden age-specific dari DA meningkatkan secara eksponensial dengan meningkatnya usia. Di Amerika Serikat, tingkat insidensi DA adalah 1 per 1.000 penduduk pada usia 60-64 tahun dan 25 per 1.000 penduduk pada usia lebih dari 85 tahun.

1,2

Walaupun DA bukan suatu bagian normal dari proses penuaan,prevalensi DA juga meningkat seiring pertambahan usia. Kurang dari 1 persen individu yang berusia 60-64 tahun tampaknya terkena, diperkirakan bahwa sampai 40 persen dari usia diatas 85 tahun mempunyai kondisi ini. Kecenderungan yang serupa diamati di dalam suatu population-based study para orang Eropa yang berusia 65 tahun atau lebih tua. Age-standardized prevalensi adalah 4.4 persen, dan prevalensi meningkat dengan usia ( 0.6 persen untuk yang berusia 65-69 tahun; 22.2 persen untuk yang berusia 90 tahun atau lebih.

7

Di Amerika Serikat, 12 persen populasi berusia paling sedikit 65 tahun. Pada tahun 2020, 16 persen populasi akan berusia 65 tahun atau lebih,dan penduduk berusia di atas 80 tahun diperkirakan mencakup 3.7 persen dari populasi. Pertumbuhan akan terjadi dalam semua suku dan ras. Pada tahun 2050, jumlah orang dengan DA diperkirakan meningkat hingga 13.2 juta, dan diperkirakan bahwa lebih dari 8.0 juta kasus akan berusia lebih tua dari 85 tahun.

7

Epidemiologi dari DA telah banyak ditinjau akhir-akhir ini oleh. Insidensi dan prevalensi tingkat penyakit ini meningkat secara dramatis dengan bertambahnya usia, dengan tingkat insiden hampir 2 persen dan tingkat prevalensi 30 persen atau lebih tinggi pada orang tua berusia 80 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa karena meningkatnya usia populasi, prevalensi DA akan naik empat kali lipat pada 50 tahun mendatang, sehingga lebih dari 8 juta orang akan terkena.

7

Di Indonesia, angka rata-rata umur harapan hidup pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 65 tahun. Dengan bertambahnya persentase angka harapan hidup maka jumlah penderita DA pada tahun-tahun mendatang akan meningkat. Dalam menanggapi perubahan demografi ini maka penelitian epidemiologis DA sangat penting untuk mendapatkan pendataan yang akurat di Indonesia.

6


(10)

II.1.4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan menurut kelengkapan informasi klinis, patologi dan kemiripan sindroma demensia. Menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke-Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association Work Group (NINCDS-ADRDA), diagnosis DA dibagi atas diagnosis pasti, probable dan possible. 5

II.1.4.1. Diagnosis Pasti Demensia Alzheimer

Bila penyandang memenuhi kritertia probable DA ketika masih hidup dan konfirmasi pemeriksaan histopatologis pada biopsi atau otopsi saat meninggal.

II.1.4.2. Probable Demensia Alzheimer

• Demensia yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinik, terdokumentasi dengan pemeriksaan Mini Mental, Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan lain yang setara dan dikonfirmasi dengan tes neuropsikologi

• Defisit meliputi dua atau lebih area kognisi

• Perburukan memori dan fungsi kognisi lain yang progresif

• Tidak terdapat gangguan kesadaran

• Awitan (onset) antara usia 40-90 tahun, sering setelah usia 65 tahun

• Tidak ditemukan gangguan sistemik atau penyakit otak sebagai penyebab gangguan memori dan fungsi kognisi yang progresif tersebut

Keadaan yang menyokong diagnosis probable DA meliputi perburukan progresif fungsi/kognisi spesifik seperti bahasa (afasia), keterampilan motorik (apraksia), dan persepsi (agnosia); gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan perilaku penderita; riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa (terutama yang telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan neuropatologi); pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan cairan otak yang normal pada pemeriksaan rutin; gambaran electroencephaolography (EEG) yang normal atau aspesifik seperti penambahan aktivitas gelombang lambat; gambaran atrofi serebri pada

computed tomography scan (CT scan) kepala dengan progresivitas yang dibuktikan pada pemeriksaan serial.

Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable DA, setelah disingkirkan penyebab demensia lain, yaitu awitan (onset) perjalanan penyakit dimulai insidious (perlahan-lahan), gejala muncul bertahap seperti kurva (plateau); gejala penyerta lain berupa keluhan depresi, insomnia,inkontinensia, delusi, ilusi, halusinasi, pembicaraan katastrofik, gejolak


(11)

emosional atau fisikal, gangguan seksual, dan penurunan berat badan. Kelainan neurologis lain pada beberapa penderita terutama yang penyakitnya berderajat lanjut akan melibatkan gangguan motorik seperti hipertonus, mioklonus, gangguan lenggang jalan (gait) atau bangkitan (seizure). Gambaran CT scan kepala yang normal sesuai umurnya.

Gambaran klinis yang tidak menyokong diagnosis probable DA antara lain awitan (onset) penyakit yang mendadak; ditemukan defisit neurologis fokal seperti hemiparese, gangguan sensorik, gangguan lapang pandang dan adanya inkoordinasi pada fase awal perjalanan penyakit; kejang atau gangguan lenggang jalan (gait) pada fase awal penyakit.

5

5

II.1.4.3. Possible Demensia Alzheimer

• Penyandang dengan sindroma demensia tanpa gangguan neurologis, psikiatris dan gangguan sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia dan awitan (onset), presentasi atau perjalanan penyakit yang bervariasi dibanding DA klasik

• Dapat ditegakkan pada pasien dengan gangguan sistemik atau gangguan otak sekunder yang dapat menyebabkan demensia tetapi dipertimbangkan bukan sebagai penyebab demensia

• Dapat dipergunakan untuk keperluan penelitian bila terdapat suatu defisit kognitif berat,progresif bertahap tanpa penyebab lain yang teridentifikasi

II.1.5. Gambaran Klinis

Manifestasi dari DA berkembang dari tanda awal gangguan memori menjadi kehilangan fungsi kognitif yang berat. Perjalanan klinis ini progresif, berakhir dengan inkapasitas komplit dan kematian.

Gejala awal adalah gangguan memori.Kemudian dalam beberapa tahun kemudian, gangguan memori itu mulai dari jenis short-term recent memory, mengganggu kemampuan pada orientasi diri, bersifat ragu-ragu, tidak percaya diri, perubahan sikap pada kehidupan kebiasaan dan sosial sehari-harinya, kemudian menjadi gangguan kognitif akan meluas, gangguan berbahasa, sulit mengingat kata-kata, gangguan persepsi visual dan kegagalan

judgment (eksekutif) kesulitan melakukan pekerjaan rutin sehari-harinya, gangguan memori yang lebih lanjut yaitu ketidakmampuan menyimpan ingatan pada saat tertentu, gangguan kalkulasi, visuospasial, praksis,lalu terjadi perubahan tingkah laku, depresi,agitasi, delusi, ansietas, halusinasi, kehilangan kendali diri,memori otobiografi hilang, tidak mengenal dirinya sendiri, bisa diikuti, kejang kemudian membutuhkan perawatan lama,harus ditolong,


(12)

didampimgi perawat untuk kegiatan sehari-harinya kemudian menjadi mutism, inkontinensia dan akhirnya meninggal.6

Kecuali status mental, pemeriksaan neurologis biasanya normal, namun gambaran ekstrapiramidal, termasuk rigiditas, bradikinesia,gangguan gait dan postural, relatif umum dijumpai pada tahap akhir penyakit. Abnormalitas okulomotor, serebellar, atau saraf periferpada pemeriksaan fisik menunjukkan kemungkinan bentuk demensia yang lain.

8

II.1.6. Patogenesis

Terdapat semakin banyak konsensus yang menyatakan bahwa produksi dan akumulasi dari peptide beta-amyloid (Aβ) adalah inti dari patogenesis DA. Bukti yang mendukung peranan penting dari Aβ mencakup hal-hal berikut: mutasi pada protein perkursor amiloid (PPA) menyebabkan DA onset-dini; semua mutasi yang diketahui berhubungan dengan DA meningkatkan produksi Aβ; pada pasien dengan trisomi 21 (sindroma Down) dan dan tiga set gen untuk PPA, karakteristik neuropatologis DA akan berkembang pada usia pertengahan; Aβ bersifat neurotoksik secara in vitro dan menyebabkan kematian sel; overekspresi dari protein prekursor amiloid pada tikus transgenic percobaan untuk DA menyebabkan plak neuritik yang mirip dengan yang dijumpai pada manusia dengan DA; genotip apolipoprotein E є4, suatu factor risiko mayor untuk DA, menyebabkan percepatan deposisi amiloid; dan pembentukan antibody antiamiloid pada manusia dengan DA tampaknya memperburuk proses penyakit. Pembentukan NFT, oksidasi dan peroksidasi lipid, eksitotoksisitas glutamat,inflamasi dan aktivasi kaskade kematian sel apoptotik dianggap sebagai konsekuensi sekunder dari pembentukan dan deposisi Aβ (Gambar 1). Disfungsi sel dan kematian sel pada kelompok neuron yang bertanggung jawab untuk mempertahankan sistem neurotransmitter tertentu menimbulkan defisit asetilkolin, norepinefrin dan serotonin. 1


(13)

Perubahan proses PPA yang menyebabkan akumulasi Aβ dalam otak kini dianggap sebagai proses awal yang paling penting pada DA, dan sebagai penghubung dengan berbagai patologis neurochemical dan sinaptik lainnya. (gambar 2). 9

Gambar 1. Kaskade Amiloid


(14)

Terdapat hubungan antara jumlah amiloid pada otak pasien DA dengan keparahan demensia, namun jumlah neuron yang hilang dan NFT pada hipokampus berhubungan lebih erat dengan level kognitif. Protein prekursor amiloid berlokasi di kromosom 21, dan individu dengan sindroma Down, dengan trisomi 21, menunjukkan akumulasi Aβ dan perkembangan patologis DA lebih awal. Pada kultur sel, Aβ terbukti membunuh neuron yang dikultur, juga mengganggu keseimbangan energi, transpor membran mencakup transporter glutamat, dan plastisitas sinaptik elektrofisiologis. Amiloid β juga terbukti memicu stres oksidatif jika terakumulasi pada membran neuron dan mitokondria, menyebabkan peroksidasi lipid, masuknya ion kalsium secara berlebihan dan pembentukan radikal bebas oksigen. Oligomer Aβ juga berikatan dengan reseptor NMDA, mempercepat fungsinya, sehingga neuron dirusak melalui aliran kalsium yang berlebihan melalui channel NMDA. Aktivitas reseptor NMDA yang berlebihan juga dihubungkan dengan hiperfosforilasi tau, yang berperan terhadap NFT.

Mekanisme terjadinya akumulasi peptida Aβ pada sebagian besar pasien dengan DA sporadik tidak begitu jelas, namun pada bentuk yang familial, terdapat defek pada enzim proteolitik yang normalnya memproses PPA.Protein prekursor amiloid adalah protein membran yang berperan pada plastisitas dan survival neuron. Protein prekursor amiloid dapat

9

Gambar 2. Proses PPA normal dan patologis

Dikutip dari : Johnston MV. Dementia and Related Disorders. In : Johnston MV, Gross RA. Editors. Principles of Drug Therapy in Neurology. Second edition.New York : Oxford University Press. 2008.


(15)

dipecah pada daerah α,β,γ-secretase dan pemecahan sequential oleh BACE (β site of APP cleavage enzyme) dan α-secretase menghasilkan fragmen PPA yang memiliki fungsi fisiologis. Namun, pemecahan oleh BACE dan γ-secretase menyebabkan produksi Aβ yang bersifat toksik. Mutasi yang terjadai pada DA familial menyebabkan perubahan pada protein PPA sehingga pemecahan oleh BACE dan γ-secretase terjadi lebih banyak atau mengubah gen presinilin yang memodifikasi aktivitas γ-secretase. Faktor metabolik dan lingkungan seperti diet tinggi lemak juga dianggap dapat memodifikasi proses PPA melalui mekanisme seperti stres oksidatif. Obat-obat penurun kolesterol golongan statin terbukti menurunkan kadar Aβ pada tikus mutan PPA sementara kadar kolesterol yang tinggi dapat meningkatkan akumulasi peptida, kemungkinan dengan mempercepat peroksidasi lipid. Fenotip apoliporotein E juga dapat meningkatkan risiko DA dengan mempercepat agregasi Aβ.Neuron dengan proyeksi yang panjang, seperti sistem kolinergik atau neuron dengan input sinaptik eksitatorik yang kuat, seperti pada hipokampus, lebih cenderung mengakumulasi Aβ.

Protein prekursor amiloid awalnya dipecah pada ujung amino Aβ oleh protease aspartyl yang terikat pada membran (disebut sebagai β-secretase).Pemecahan ini menghasilkan derivative dalam jumlah besar (sAPPβ) dan fragmen APP yang terikat pada membrane dengan ujung karboksil (CTFβ). Pemecahan CTFβ oleh γ-secretase menghasilkan produksi peptide Aβ dengan ukuran panjang yang bervariasi. Dua jenis yang paling menarik perhatian adalah peptide Aβ dengan 40 asam amino (Aβ 40) dan peptide Aβ dengan 42 asam amino (Aβ42). Pada saat yang sama, suatu cognate CTFγ diproduksi. Dua protease membran

polytopic homolog, yang disebut sebagai presenilins 1 dan 2 (PS1 dan PS2), tampaknya merupakan γ-secretase. Jika keduanya bukan γ-secretase, setidaknya PS merupakan kofaktor esensial untuk reaksi pemecahan ini.

9

10


(16)

Bukti terbaru dari penelitian oleh British familial dementia (BFD) dan familial Danish dementia (FDD) mendukung hipotesis bahwa akumulasi Aβ pada otak merupakan penyebab DA. BFD dan FDD adalah kelainan demensia dengan onset-lanjut yang dicirikan dengan plak non Aβ, tangles dan hilangnya neuron. Sebagaimana pada DA, defek utama pada BFD tampaknya adalah pembentukan abnormal dari suatupeptida dengan kemamouan amiloidogenik. Dengan demikian,pada dua kelainan tersebut, akumulasi peptida amiloidogenik berhubungan dengan demensia. Secara kolektif, data ini mendukung versi modifikasi dari hipotesis kaskade amiloid, yang diilustrasikan pada gambar. 10

Gambar 3. Pembentukan β-Amiloid

Dikutip dari : Golde TE. Alzheimer disease therapy : Can the amyloid cascade be halted ?. J Clin Invest. 2003. 111:11-18


(17)

II.2. NEUROTRANSMITTER

Untuk disebut sebagai neurotransmitter, suatu molekul kimiawi harus disintesis dalam neuron, berada pada ujung presinaptik, dan mendepolarisasi membran postsinaptik dan kahirnya harus dipindahkan dari celah sinaps. Terdapat tiga golongan neurotransmitter yaitu asam amino, monoamin dan neuropeptida. Neurotransmitter asam amino dan monoamin disebut small-molecule neurotransmitters. Prekursor small-molecule neurotransmitters

disintesis di soma. Setelah sintesis, molekul ini ditranspor ke ujung akson dengan transport akson anterograde, dan tersimpan dalam vesikel sinaptik. Neurotransmitter neuropeptida kurang dipahami. Neurotransmitter ini adalah asam amino rantai pendek dan tersedia pada ujung akson dalam bentuk akhir, juga tersimpan dalam vesikel pada ujung sinaptik. 11

II.2.1. Neurotransmitter Asam Amino

Neurotransmitter asam amino mencakup glutamat, aspartat, glisin, dan gamma amino butyric acid (GABA). Lebih dari setengah neuron pada SSP mengekspresikan reseptor untuk neurotransmitter asam amino. Glisin ditemukan pada neuron medula spinalis, dimana ia bekerja sebagai neurotransmitter inhibitori. Glutamat diyakini bersifat eksitatorik dan

Gambar 4. Agregasi β-Amiloid

Dikutip dari : Golde TE. Alzheimer disease therapy : Can the amyloid cascade be halted ?. J Clin Invest. 2003. 111:11-18


(18)

berperan penting dalam proses belajar. Glutamat kadang-kadang ditemukan pada sel-sel inhibitori, namun tidak berfungsi sebagai neurotransmitter pada sel-sel tersebut.

II.2.1.1.Glutamat

11

Kapasitas untuk berfikir dan mengingat berasal dari berbagai jalur input dan output

antara hipokampus dan neokorteks, dan seluruh jalur tersebut bergantung pada sinyal yang diperantarai oleh neurotransmitter glutamat. Pada individu sehat, siklus neurotransmisi glutamatergik mulai pada mitokondria neuron hipokampus, dimana enzim glutaminase

mengkatalisasi konversi glutamin menjadi glutamat. Kemudian, molekul transporter glutamat vesikular memperantarai packaging molekul glutamat ini ke dalam vesikel. Vesikel yang mengandung glutamat ini kemudian dilepaskan dari neuron, menyebabkan peningkatan konsentrasi glutamat bebas pada sinaps, yang dapat mentransmisikan sinyal neural melalui interaksi dengan reseptor glutamat pada neuron postsinaptik. Konsentrasi glutamat sinaptik kemudian segera kembali ke kadar yang normal melalui rapid uptake molekul glutamat yang tidak terikat oleh sel-sel glia di sekitarnya, yang kemudian mengkonversi molekul glutamat ini menjadi glutamin. Molekul glutamin ini kemudian masuk kembali ke neuron dan siklus signaling glutamatergik berjalan kembali. 4

Gambar 5. Mekanisme neurokimiawi sinyal glutamatergik

Dikutip dari : Francis,P.T. The interplay of neurotransmitter in Alzheimer’s Disease. CNS Spectr. 2005; 10 (11 Suppl 18): 6-9


(19)

II.2.1.2.Gamma-aminobutyric-acid (GABA)

Gamma-aminobutyric-acid dalam jumlah yang relatif besar terdapat pada substansia grisea otak dan medula spinalis. Zat ini merupakan suatu zat yang bersifat inhibitor dan merupakan mediator yang bertanggungjawab terhadap inhibisi presinaptik. Glutamic acid decarboxylase (GAD) merupakan enzim yang membentuk GABA dari L-glutamic acid. Telah ditemukan dua bentuk reseptor GABAA dan GABAB. Keduanya memperantarai inhibisi,

tetapi dengan jalur ionik yang berbeda. Interneuron inhibitor yang berisi GABA terdapat pada korteks serebri dan serebelum juga pada nuklei pada otak dan medula spinalis.12

II.2.2. Neurotransmitter Monoamin

Neurotransmitter monoamin mencakup ACh, dopamin, epinefrin, norepinefrin dan serotonin. 11

II.2.2.1.Acetylcholine (ACh)

Acetylcholine disintesis oleh enzim choline acetyl transferase (ChAT) dari acetyl coenzyme A (CoA) dan choline. Choline tidak dapat disintesis oleh sistem saraf, dan harus berasal dari diet. Acetylcholine adalah neurotransmitter untuk seluruh neuron otonom preganglion dan neuron parasimpatis post ganglion. Enzim acetycholineesterase

menghidrolisis ACh dan terutama dijumpai pada membran pre dan postinaptik. Acetylcholine

yang dilepaskan oleh interneuron pada amigdala memfasilitasi konsolidasi memori jangka panjang. Acetylcholine juga ditemukan pada korteks serebri dan merupakan neurotransmitter

dari neuron-neuron yang membentuk nucleus basalis of Meynert, yang akson-aksonnya berproyeksi secara luas ke korteks. 11,12


(20)

Gambar 6. Mekanisme neurokimiawi sinyal kolinergik

II.2.2.2.Dopamin

Terdapat empat sistem dopamin utama pada otak yaitu :1. sistem dopamin yang berasal dari nukleus hipotalamik ke median eminence, dimana dopamin menghambat pelepasan prolaktin dari kelenjar pituitary; 2. sistem kedua berasal dari substansia nigra ke striatum dan berhubungan dengan aktivitas motorik basal ganglia; 3. sistem ketiga berasal dari sel-sel yang berlokasi pada area tegmental ventral dari striatum ventral dan meluas ke nucleus accumbens (mesolimbic system); 4. sistem keempat berasal dari sel-sel pada area tegmental ventral dan berproyeksi ke struktur sistem limbik dan ke korteksprefrontal (sistem mesokortikal).11

II.2.2.3. Norepinefrin dan Epinefrin

Norepinefrin (NE) diproduksi oleh sel-sel yang membentuk locus ceruleus (LC) pada batang otak. Akson-akson dari sel ini meluas ke berbagai bagian otak dan medula spinalis. Norepinefrin berhubungan dengan arousal, vigilance dan reward dependency. Hiperaktivitas


(21)

NE menyebabkan insomnia, penurunan berat badan, iritabilitas, agitasi dan penurunan ambang nyeri. Hiperaktivitas perifer NE menyebabkan gejala-gejala ansietas (takikardi, kram otot dan peningkatan tekanan darah). Penurunan aktivitas NE berhubungan dengan beberapa bentuk depresi dan peningkatan NE berhubungan dengan mania. Epinefrin dilepaskan oleh medula adrenal mengaktivasi saraf vagus. Noepinefrin yang dilepaskan pada amigdala penting dalam memodulasi konsolidasi memori jangka panjang.

II.2.2.4. Serotonin

11,12

Serotonin (5-hydroxytryptamine atau 5-HT) diklasifikasikan sebagai suatu indolamine dan disintesis dari tryptophan. Dua enzim, tryptophan hydroxylase dan 5-hydroxytryptophan decarboxylase dibutuhkan untuk mengsintesis serotonin dari tryptophan. Dalam otak, neuron serotonergik ditemukan pada nucleus raphe batang otak, akson-aksonnya secara luas berproyeksi ke otak dan medula spinalis. Serotonin dianggap sebagai neurotransmitter

modulator dengan efek inhibisi pada mood, arousal, kognitif dan perilaku makan. Terdapat hipotesa bahwa abnormalitas pada fungsi serotonin pada korteks prefrontal adalah faktor utama dalam perilaku agresif dan kasar.

II.2.3. Neuropeptida

11

Lebih dari 50 peptida pendek disebut sebagai neuroaktif. Terdapat lima kelompok peptida neuroaktif, dimana yang secara luas telah dikenali adalah opioid, peptida neurohipofiseal, dan tachykinin. Golongan opioid terdiri dari opiocortin, enkephalin, dynorphin, dan FMRFamide. Peptida neurohipofiseal terdiri dari vasopresin, oksitosin, dan neurophysin. Substansi P adalah tachykinin. 11

II.3. ABNORMALITAS NEUROTRANSMITTER PADA DEMENSIA ALZHEIMER

Pada pemeriksaan postmortem, DA dicirikan dengan hilangnya neuron dan pembentukan NFT pada neokorteks dan hipokampus, terutama mengenai neuron piramial dan sinapsnya. Nukleus subkortikal dengan neurotransmitter spesifik yang terkena proses neurodegeneratif, mencakup nukleus basal Meynert dan septum medial yang kolinergik,

nukleus raphe serotonergik, dan locus coeruleus noradrenergik.

Investigasi biokimia dari jaringan biopsi pada pasien DA 3.5 tahun (rata-rata) setelah onset gejala menunjukkan bahwa patologi neurotransmitter selektif terjadi pada tahap awal penyakit. Secara spesifik, penanda presinaptik dari sistem kolinergik tampak menurun, dimana ditemukan penurunan aktivitas ChAT dan sintesis Ach yang berhubungan erat dengan derajat gangguan kognitif pada pasien DA.

2


(22)

Penanda serotonergik dan beberapa penanda noradrenergik juga terpengaruh, sedangkan penanda untuk dopamin, GABA atau somatostatin tidak berubah. Namun studi postmortem pada otak pasien DA (yang mewakili tahap akhir penyakit) menunjukkan banyak lagi sistem neurotransmitter yang terkena, mencakup GABA dan somatostatin, yang tampaknya menunjukkan bahwa interneuron kortikal, terkena pada tahap lanjut dari perjalanan penyakit. Berdasarkan studi post mortem tersebut, perubahan pada neurotransmisi serotonergik tampaknya berhubungan dengan gangguan perilaku pada DA seperti depresi, dan bukan disfungsi kognitif. 2,9

II.3.1 Hipotesis Kolinergik pada Demensia Alzheimer

Studi biokimia terhadap otak pasien DA yang dimulai pada tahun 1970-an menunjukkan defisit neokortikal pada enzim yang bertanggung jawab terhadap sintesis Ach, yaitu choline acetyltransferase (ChAT). Penemuan selanjutnya yang menunjukkan adanya penurunan choline uptake,pelepasan Ach dan hilangnya cholinergic perikarya dari nucleus basalis of Meynert mengkonfirmasi adanya defisit kolinergik presinaptik yang penting. Studi ini bersamaan dengan peran yang semakin jelas dari Ach pada proses belajar dan memori, melahirkan ‘hipotesis kolinergik dari DA’. Oleh sebab itu, diusulkanlah bahwa degenerasi neuron kolinergik pada basal forebrain dan hilangnya neurotransmisi kolinergik yang menyertainya pada korteks serebri dan daerah lainnya berperan secara signifikan terhadap perburukan pada fungsi kognitif pada pasien DA. 2

Telah diketahui bahwa neurotransmisi yang diperantarai oleh molekul Ach memegang peranan penting pada proses atensi. Namun fakta bahwa daerah di seluruh neokorteks menerima input kolinergik dari basal forebrain menunjukkan bahwa peran Ach melebihi fungsi atensi, dan hipotesis ini konsisten dengan penemuan yang menunjukkan bahwa sinyal kolinergik memiliki pengaruh dramatis terhadap kognisi. Faktanya,hipotesis kolinergik dari DA menyatakan bahwa defisiensi pada neurotransmisi kolinergik kortikal berperan terhadap karakteristik defisit kognitif yang dijumpai pada pasien; walaupun begitu, sampai sejauh mana disfungsi kognitif pada DA adalah akibat langsung dari abnormalitas sinyal kolinergik masih belum jelas.

Terlepas dari mekanisme persis yang mendasari hipotesis kolinergik dari DA, sejumlah perubahan kolinergik penting telah diumpai. Sebagai contoh, aktivitas ChAT, enzim yang mengkatalisasi sintesis Ach dari choline dan acetyl coenzym A, berkurang hingga 35% -50% dari kadar normal pada DA. Lebih lanjut lagi, pengambilan kembali dari choline,yang penting untuk sintesis molekul Ach yang akan dilepas ke celah sinaps pada saat


(23)

neurotransmisi, berkurang hingga sekitar 60% dari kadar normal pada DA, dan pengukuran langusng menunjukkan bahwa sintesis Ach berkurang hingga setengah pada pasien DA. Telah terbukti bahwa penurunan level sintesis Ach secara signifikan berhubungan dengan peningkatan keparahan demensia pada pasien dengan DA.2,4

Gambar 7. Hipotesis Kolinergik Pada DA

Dikutip dari : Francis,P.T., Palmer,A.M., Snape,M.,Wilcock G.K. The cholinergic hypothesis of Alzheimer’s disease : a review of progress. Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999 : 66: 137-147.


(24)

Terlepas dari berbagai abnormalitas kolinergik yang diumpai pada pasien DA, reseptor Ach tetap relatif tidak berubah. Oleh karena itu, intervensi farmakologis yang ditujukan untuk mengembalikan kadar Ach normal di otak tampaknya dapat diharapkan dapat memperbaiki transmisi kolinergik.

Hubungan sinaps antar neuron pada korteks serebri tampaknya merupakan target paling awal pada DA, dan hilangnya sinaps jauh lebih nyata dibandingkan kematian neuron pada awal penyakit. Seiring dengan terganggunya jaringan sinaps pada korteks, muncullah

neuropathological hallmarks dari kondisi ini, mencakup NFT, degenerasi granulovakuolar dan plak neuritik. Hilangnya inervasi kolinergik pada korteks serebri yang berasal dari basal forebrain tampak nyata pada awal penyakit DA. Pada pemeriksaan postmortem pada otak pasien DA tahap lanjut, dijumpai hubungan yang erat antara hilangnya aktivitas ChAT, keparahan demensia dan densitas plak. Hilangnya ChAT menggambarkan destruksi progresif dan penyakit pada ujung saraf kolinergik. Penurunan paling banyak dijumpai pada korteks temporal dan parietal, yang secara morfologis paling parah terkena pada DA. Suatu studi menemukan bahwa perkiraan sintesis Ach secara in vitro pada spesimen biopsi kortikal secara signifikan berhubungan dengan tingkat gangguan kognitif pada pasien DA.

4

Kebalikan dengan perubahan awal pada hubungan sinaptik di korteks, neuron kolinergik pada basal forebrain tidak terpengaruh sampai tahap lanjut penyakit. Ini menunjukkan bahwa gangguan pada neuron kolinergik dimulai pada korteks dan berjalan secara retrograde dan mempengaruhi neuron pada basal forebrain. Studi morfologis pada otak secara postmortem menemukan bahwa jumlah neuron pada nukleus basalis yang diwarnai untuk reseptor neurotrophin P75 berkurang pada MCI dan DA, walaupun neuron yang positif untuk ChAT tetap ada. Studi lain dari jaringan otak dari individu dengan MCI dan DA ringan menemukan tidak adanya penurunan pada aktivitas ChAT jika dibandingkan dengan kontrol, pada korteks parietal, temporal atau singuli,dan peningkatan aktivitas di hipokampus dan korteks frontal superior. Up-regulation dari aktivitas ChAT pada korteks frontal dan hipokampus, begitu pula pada dengan up-regulation dari transporter kolin yang dijumpai pada suatu studi lain, tampaknya menggambarkan kompensasi oleh neuron kolinergik seiring dengan gagalnya fungsi sinaptik selama transisi dari MCI ke DA. Terbalik dengan penurunan pada penanda biokimia pada ujung saraf kolinergik, hanya sedikit dijumpai perubahan pada reseptor muskarinik pada pemeriksaan post mortem pada otak pasien DA.

9

Gangguan neurotransmisi kolinergik kortikal berperan terhadap patologi Aβ dan meningkatkan fosforilasi protein tau. Aktivasi selektif dari M1-M3 namun tidak M2-M4-mAChR (muscarinic acetyl choline receptor) meningkatkan sekresi sAPPα dan menurunkan


(25)

pembentukan Aβ total. Reseptor Ach muskarinik memperantarai efeknya pada proses PPA melalui aktivasi jalur phosphatidyl inositol signaling dan mungkin melalui jalur tyrosin kinase MAP (mitogen activated protein). Kebalikannya, ekspresi BACE1 mengalami

downregulation oleh aktivasi M2-mAChR dan jalur protein kinase A-mediated. Nikotin melalui kerjanya pada nicotinic nAChR (nicotinic acetylcholine receptor) juga telah diamati dapat memodulasi proses PPA melalui jalur non-amyloidogenic. Nikotin juga menyebabkan inhibisi pembentukan fibril Aβ dan disrupsi dari preformed Aβ fibrils. Amiloid-β menurunkan konsentrasi Ach intraseluler dan mengganggu reseptor M1. Dengan ikatan langsung berafinitas tinggi dengan nAChR, terutama pada subtipe α7, Aβ dapat mengganggu fungsi reseptor. Aktivasi nAChR menyebabkan peningkatan signifikan dari fosforilasi tau, sementara aktivasi mAChR dapat mencegah fosforilasi tau. 16

II.3.2. Keterlibatan Neuron Glutamatergik pada Demensia Alzheimer

Pada pasien dengan DA, bukti yang ada menunjukkan adanya gangguan pada siklus neurotransmisi glutamat, pada reuptake free glutamate oleh sel glia dari sinaps. Studi neuropatologis menunjukkan adanya penurunan kadar reuptake glutamat pada korteks frontal dan temporal pada pasien dengan DA, mungkin disebabkan oleh modifikasi oksidatif pada molekul glutamate transporter 1. Lebih lanjut lagi, hilangnya uptake oleh transporter glutamate vesicular telah dilaporkan pada pasien dengan DA.Dari bukti-bukti ini muncullah hipotesis tentang keterlibatan sistem glutamat pada DA. 4

Gambar 8. Hipotesis Glutamat

Dikutip dari : Francis,P.T. The interplay of neurotransmitter in Alzheimer’s Disease. CNS Spectr. 2005; 10 (11 Suppl 18): 6-9


(26)

Menurut hipotesis ini, inefficient removal dari glutamat bebas dari sinaps menyebabkan terdapatnya kadar glutamat sinaptik yang tinggi pada kondisi istirahat. Sebagai tambahan, karena penurunan pada vesicular glutamate uptake menyebabkan berkurangnya glutamat yang tersimpan dalam vesikel, sehingga neuron memiliki molekul neurotransmitter

yang lebih sedikit untuk dilepaskan ke celah sinaps pada saat aktivitas neuron. Akibat dari abnormalitas pada signaling neuronal ini ada dua. Pertama, adanya peningkatan kadar neurotransmitter di sinaps pada saat istirahat menyebabkan aktivasi tingkat rendah yang kronis pada reseptor glutamat di neuron postsinaptik dan mungkin kematian sel. Kedua, karena background signal ini, begitu pula fakta bahwa neuron memilki jumlah

neurotransmitter yang lebih sedikit untuk dilepaskan pada saat neuronal firing, perbedaan antara konsentrasi glutamat sinaptik sewaktu aktivitas neuron dan konsentrasi glutamat sinaptik pada saat istirahat semakin kecil, menyebabkan neurotransmisi yang suboptimal yang dicontohkan dengan kurangnya potensiasi jangka panjang (long term potentiation/LTP). Proses neural ini, dimana respon eksitatorik dari neuron postsinaptik untuk memberikan sinyal dari neuron presinaptik meningkat kekuatannya dengan sitmulasi berulang pada sinaps antara neuron, terutama bergantung pada neurotransmisi yang diperantarai oleh reseptor NMDA, karena reseptor ini memungkinkan masuknya jumlah ion Ca2+ dalam jumlah besar ke sel postsinaptik. Sekarang dipercaya bahwa LTP, yang dapat bertahan pada sinaps selama periode beberapa jam hingga bulan, merupakan model untuk proses belajar dan memori, dan sejumlah studi telah menunjukkan hilangnya LTP pada hewan percobaan dengan DA.

Malfungsi pada komponen siklus glutamat-glutamin dapat menyebabkan kaskade kematian neuronal yang bersifat self-perpetuating dan eksitotoksitas glutamatergik. Cedera neuronal kronik menyebabkan aktivasi reseptor NMDA extra-synaptic. Hal ini berinteraksi dengan ‘fyn’ [src)proto oncogenic) family tyrosine kinase] melalui dua protein, DLG4 (disc large homolog 4, terlibat dalam anchoring synaptic protein dan GNB2L1 (guanine nucleotide binding protein). Mekanisme asosiasi DLG4 dan disosiasi GNB2L1 dari Fyn berkontribusi terhadap hiperaktivitas reseptor NMDA kronis pada DA. Fyn kemudian mengaktivasi NMDA

extra-synaptic (NR2B subunit) menyebabkan influks Ca2+ yang terus-menerus ke dalam sitoplasma. Kadar Ca2+ intraselular yang tinggi menyebabkan disfungsi mitokondria. Over-aktivasi kronik reseptor NMDA mengirim suatu CREB (cyclic AMP response element binding protein) shut-off signal sehingga kadar phospho-CREB menurun.Ini menyebabkan penurunan produksi pro-survival signal seperti BDNF (brain derived neurotrophic factor). Seluruh kejadian ini menyebabkan disfungsi seluler dan kematian sel dalam suatu periode waktu.

4


(27)

Abnormalitas dijumpai pada sistem glutamat dan GABA pada korteks serebri pada jaringan otak pada pasien dengan DA. Banyak neuron piramidal besar menggunakan glutamat sebagai neurotransmitternya, dan terlibat pada sirkuit eksitatorik penting seperti jalur

perforant, yang membawa informasi dari korteks entorhinal ke girus dentata pada hipokampus. Proyeksi dari neuron eksitatorik pada CA1 dan subikulum hipokampus membentuk jalur eferen mayor untuk informasi yang meninggalkan hipokampus dan akan disimpan pada bagian-bagian di korteks serebri. Korteks entorhinal, jalur perforant, subikulum, dan daerah CA1 mengandung plak dan NFT dalam jumlah yang besar pada tahap awal DA, mengganggu kemampuan daerah ini untuk mengkode memori baru. Pengikatan 3H-D-aspartate yang bergantung pada natrium ke tempat uptake excitatory amino acid (EAA)

presinaptik pada ujung saraf berkurang pada korteks temporal. Immunoreaktivitas menyerupai glutamat dijumpai pada neuron yang mengandung NFT pada 50-70% sel-sel piramidal CA1/CA2 pada hipokampus. Reseptor postsinaptik untuk glutamat yang diukur in vitro dengan autoradiografi menggunakan 3H-glutamat untuk mengukur pengikatan ke tempat yang sensitif NMDA dilaporkan berkurang pada korteks serebri dan hipokampus pasien DA hingga 50-85%. Reseptor glutamat tipe NMDA terikat dengan saluran ion,yang dapat dilabel dengan menggunakan tempat reseptor anestesi disosiatif (phencyclidine); tempat pengikatan ini juga berkurang pada DA.

Terdapat juga perubahan pada subunit NR1 dari reseptor NMDA pada pasien denganDA yang membuat neuron lebih sensitif terhadap cedera. Observasi ini menunjukkan adanya gangguan mayor pada fungsi sinaps eksitatorik pada DA.Sistem neurotransmitter asam amino eksitatorik, terutama saluran yang mengandung tempat NMDA/anestesi disosiatif, terlibat dalam proses belajar dan memori dan fenomena elektrik terkait dari potensiasi jangka panjang pada hipokampus. Perubahan degeneratif pada jalur EAA yang terlibat dalam proses belajar tampaknya penting dalam patogenesis demensia, dan eksitasi berlebih yang diperantarai oleh jalur ini tampaknya memegang peranan penting pada degenerasi neuron progresif pada DA. Eksitasi berlebih dari reseptor NMDA menicu overload

kalsium dan gangguan metabolik yang berhubungan dengan stres oksidatif atau metabolik, dimana terbentuk radikal bebas. Oligomer Aβ berinteraksi secara tidak langsung dengan sub unit NR1 dari reseptor NMDA untuk mengaktivasi stres oksidatif pada neuron hipokampal di kultur, suatu efekyang dihalangi oleh NMDA blocker memantine.

9

9

Studi imejing pasien dengan DA juga mendukung keterlibatan neuron piramid pada penyakit ini karena pola hipometabolisme regional sejajar dengan atrofi/hilangnya neuron, pembentukan tangle,and hilangnya sinaps. Hilangnya neuron piramidal kortikal, hilangnya


(28)

sinaps, dan penurunan konsentrasi glutamat bersama-sama dengan pembentukan NFT,semua berhubungan dengan keparahan demensia. Penemuan ini menunjukkan bahwa neuron piramidal dan neurotransmitter glutamatnya ( dan/atau aspartat) berperan dalam gejala kognitif DA dan oleh karena itu menghadirkan suatu target terapeutik baru. Walapun begitu, neuron ini adalah cholinoceptive dan tampaknya masuk akal untuk mengusulkan bahwa salah satu kerja obat cholinomimetic untuk DA adalah untuk meningkatkan aktivitas itu neuron EAA melalui reseptor nicotinic dan muscarinic yang terdapat pada sel-sel tersebut.

Ini didukung oleh studi eletrofisiologis yang menunjukkan kerja eksitatorik dari obat

cholinomimetic pada neuron piramidal kortikal. Sebagai akibat dari hilangnya neuron kolinergik dan piramidal lainnya, penurunan neurotransmisi EAA akan menyebabkan hipoaktivitas piramidal yang bercampur dengan tingkat inhibisi neuron GABAergik yang tetap. Konsekuensinya, dapat dihipotesiskan bahwa sebagai tambahan terhadap efek merusak dari hilangnya neuron dan pembentukan tangle, terdapat perubahan keseimbangan neurotransmisi pada otak pasien DA yang mengarah pada aktivitas neuron yang lebih rendah. Studi lain telah menunjukkan bahwa fosforilasi tau, yang dianggap sebagai langkah penting dalam pembentukan tangles (yang terutama terjadi pada neuron piramidal kortikal EAA), juga dipengaruhi oleh sistem second messenger fosfolipase C. Oleh sebab itu, setelah stimulasi reseptor kolinergik muskarinik, aktivasi protein kinase C menyebabkan inaktivasi suatu protein kinase (GSK-3) yang memfosforilasi tau, invitro, dengan cara yang serupa seperti yang ditemukan pada DA. Sebagai pendukung teori ini, sel-sel neuron pada kultur dengan reseptor muskarinik M1 menunjukkan penurunan fosforilasi tau setelah terapi dengan agonis kolinergik. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi dari penurunan aktivitas kolinergik, penurunan aktivasi protein kinase C menyebabkan aktivitas GSK-3 yang kebih tinggi dan kemudian hieprfosforilasi tau. Maka, jika interaksi neurotransmitter-protein ini terjadi pada otak pasienDA,maka mungkin saja bahwa perubahan pada keseimbangan neurotransmisi pada DA dapat berkontribusi terhadap peningkatan hiperfosforilasi tau dan produksi amiloid kemudian neurodegenerasi pada daerah yang rentan. Lebih lanjut lagi, tampaknya mungkin bahwa inhibitor AChE dapat menurunkan gambaran histopatologis dari perjalanan penyakit. Berdasarkan studi terkini dari DA, hipotesis glutamatergik dari DA diusulkan sebagai teori tambahan dari hipotesis kolinergik. Oleh sebab itu, hipotesis kolinergik dapat diperbaharui dengan menambahkan bahwa target utama aksi kolinomimetik adalah neuron piramidal EAA dan hipofungsi kolinergik melengkapi hilangnya fungsi EAA. Secara bersamaan, sistem ini tampaknya bertanggungjawab untuk defisit neuropsikologis dan berperan dalan perkembangan patologi DA.

2,17,18


(29)

II.3.3. Keterlibatan Neuron GABAergik pada Demensia Alzheimer

Neuron inhibisi GABA, yang terutama merupakan interneuron kecil pada korteks serebri, juga terkena pada tahap awal DA. Neuron ini memegang peranan penting untuk mengontrol eksitabilitas di korteks begitu juga plastisitas kortikal. Studi post mortem pada jaringan otak pasien dengan DA menunjukkan kehilangan 70% uptake GABA ke ujung saraf pada korteks dan hipokampus di DA. Hal ini konsisten dengan laporan bahwa enzim sintetis GABA, glutamate decarboxylase (GAD), juga berkurang pada pemeriksaan post mortem jaringan otak pasien DA. Neuropeptida somatostatin yang juga colocalized dengan GAD pada beberapa neuron, juga ditemukan menurun pada otak pasien DA. Reseptor GABA dan benzodiazepin juga ditemukan berkurang pada jaringan otak pada pasien DA. Hilangnya inervasi inhibisi GABA-ergic pada DA berperan terhadap meningkatnya eksitabilitas yang menyebabkan degenerasi neuronal progresif dan perubahan perilaku seperti psikosis. 9

II.3.4. Defisit Katekolamin Pada Korteks

Degenerasi pada locus coeruleus dan penurunan penanda biokimia untuk proyeksi noradrenergik dari pons ke korteks serebri merupakan temuan yang sering dijumpai pada DA. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan konsentrasi norepinefrin kortikal yang lebih besar pada pasien muda dibandingkan pasien tua dengan DA. Peningkatan

turnover dari norepinefrin menunjukkan bahwa mungkin terdapat kompensasi untuk proses destruktif yang berhubungan dengan DA pada pasien muda. Terlepas dari hilangnya penanda noradrenergik presinaptik, densitas reseptor postsinaptik untuk alpha-1, alpha-2 dan subtipe reseptor beta adrenergik di hipokampus dan korteks temporal secara umum dilaporkan normal. Walaupun begitu, subunit spesifik dari reseptor α2-adrenergik dilaporkan berkurang pada hipokampus pasien DA. Defisit noradrenergik pada DA dihubungkan dengan gangguan perilaku yang berkaitan dengan atensi dan memori working. Kontras dengan inervasi noradrenergik, tampaknya tidak ada penurunan yang signifikan dari konsentrasi dopamin pada korteks serebri pasien DA. 9,16

II.3.5. Defisit Serotonin Pada Demensia Alzheimer

Keterlibatan serotonin DA juga dibuktikan dengan pengamatan bahwa (a) DA dicirikan dengan perubahan kadar serotonin pada CSF, (b) hilangnya neuron yang mensintesis serotonin dan reseptornya pada DA, (c) adanya serotonin polymorphism pada DA dan (d) perbaikan agitasi dan gejala perilaku lainnya pada DA dengan pemberian obat serotonergik. 16


(30)

Terdapat sejumlah perubahan penanda biokimia pada neuron serotonin yang berproyeksi ke korteks serebri yang mungkin berhubungan dengan insidens tinggi dari depresi, agresi, dan gangguan neuropsikiatrik lainnya pada pasien DA. Defisit dijumpai pada kadar serotonin (5-HT), uptake 5-HT pada ujung saraf serotonin, dan metabolit serotonin yaitu 5-hydroxyindoleatiacetic acid pada korteks serebri pasien DA. Studi terkini juga melaporkan penurunan neuron dan peningkatan plak pada nucleus raphe dorsalis pada midbrain yang merupakan asal proyeksi serotonin ke korteks. Reseptor subtipe 5HT2A dan 5HT6 berkurang sekitar 40% pada korteks prefrontal pada pasien dengan DA, dan dianggap penting dalam manifestasi neuropsikiatrik. 9,16

II.3.6. Neuropeptida

Neurotransmitter peptida dan modulato mencakup cholecystokinin, neuropeptida Y, dan somatostatin ditemukan dalam kadar yang relatif tinggi pada korteks serebri, sementara substansi P, corticotropin releasing factor (CRF), adrenocorticotropic hormone dan

dynorphin dijumpai dalam kadar yang lebih sedikit. Peptida ini berlokasi terutama pada interneuron GABA-ergik terutama pada lapisan korteks 2,3, dan 6 dan pada hipokampus.Penurunan kadar somatostatin dilaporkan pada beberapa daerah kortikal pada pemeriksaan post mortem pasien DA. Suatu studi melaporkan penurunan 42% dari immunoreaktivitas somatostatin pada korteks frontal, penurunan 28% pada korteks temporal dan 42% pada korteks parietal. Studi ini juga melaporkan korelasi antara penurunan aktivitas ChAT dan somatostatin pada beberapa area otak dan menemukan penurunan kadar somatostatin pada CSF yang berkorelasi dengan skor tes psikologis.Studilain menemukan kadar somatostatin CSF yang rendah pada pasien DA, berhubungan dengan kemampuan pada tes neuropsikologi, namun tidak berhbungan dengan durasi DA. Kadar somatostatin CSF berhubungan dengan tingkat penggunaan glukosa terutama pada lobus parietal posterior. Somatostatin dan neuropeptida Y telah diidentifikasi pada degenerating neurites pada plak senilis. Konsentrasi CRF-like immunoreactivity juga menurun pada korteks pasien DA; perubahan ini secara signifikan berhubungandengan penurunan aktivitas ChAT. Kadar neuropeptida endokrin galanin meningkat pada nucleus basalisdan ujung proyeksi kolinergik ke korteks. Galanin telah terbukti menghambat pelepasan ACh. Ia menghasilkan defisit kognitif pada hewan percobaan dan diusulkan bahwa up-regulation pada DA tampaknya berkontribusi terhadap gangguan kognitif. 9


(31)

III. KESIMPULAN

1. Demensia Alzheimer (DA) adalah gangguan degeneratif fatal progresif dengan manifestasi berupa perburukan memori dan kognitif, gangguan aktivitas sehari-hari yang progresif, dan sejumlah gejala neuropsikiatrik dan gangguan perilaku yang bervariasi.

2. Insidensi dan prevalensi tingkat penyakit ini meningkat secara dramatis dengan bertambahnya usia, dengan tingkat insiden hampir 2 persen dan tingkat prevalensi 30 persen atau lebih tinggi pada orang tua berusia 80 tahun atau lebih.

3. Produksi dan akumulasi dari peptide beta-amyloid (Aβ) adalah inti dari patogenesis DA

4. Neurotransmitter adalah suatu molekul kimiawi yang disintesis dalam neuron, berada pada ujung presinaptik, dan mendepolarisasi membran postsinaptik dan kahirnya harus dipindahkan dari celah sinaps.

5. Terdapat tiga golongan neurotransmitter yaitu asam amino, monoamin dan neuropeptida.

6. Neurotransmitter asam amino mencakup glutamat, aspartat, glisin, dan gamma amino butyric acid (GABA).

7. Neurotransmitter monoamin mencakup ACh, dopamin, epinefrin, norepinefrin dan serotonin

8. Investigasi biokimia dari jaringan biopsi pada pasien DA 3.5 tahun (rata-rata) setelah onset gejala menunjukkan bahwa patologi neurotransmitter selektif terjadi pada tahap awal penyakit.

9. Penanda presinaptik dari sistem kolinergik tampak menurun, dimana ditemukan penurunan aktivitas ChAT dan sintesis Ach yang berhubungan erat dengan derajat gangguan kognitif pada pasien DA

10. Pada pasien dengan DA, bukti yang ada menunjukkan adanya gangguan pada siklus neurotransmisi glutamat, pada reuptake free glutamate oleh sel glia dari sinaps.

11. Penanda serotonergik dan beberapa penanda noradrenergik juga terpengaruh, sedangkan penanda untuk dopamin, GABA atau somatostatin tidak berubah.

12. Studi postmortem pada otak pasien DA (yang mewakili tahap akhir penyakit) menunjukkan banyak lagi sistem neurotransmitter yang terkena, mencakup GABA dan somatostatin, yang tampaknya menunjukkan bahwa interneuron kortikal, terkena pada tahap lanjut dari perjalanan penyakit.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cummings,J.L. Alzheimer’s Disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67

2. Francis,P.T., Palmer,A.M., Snape,M.,Wilcock G.K. The cholinergic hypothesis of Alzheimer’s disease : a review of progress. Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999 : 66: 137-147.

3. Purba JS. Demensia dan Penyakit Alzheimer. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2006.

4. Francis,P.T. The interplay of neurotransmitter in Alzheimer’s Disease. CNS Spectr. 2005; 10 (11 Suppl 18): 6-9

5. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Edisi 1. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003

6. Sjahrir,H. Pengenalan demensia. Dalam : Sjahrir H, Nasution D, Rambe H H. Editor. Demensia (kepikunan). Medan : USU Press.

7. Jalbert JJ, Daiello LA, Lapane KL. Dementia of Alzheimer Type. Epidemiologic Reviews. 2008 ; 30: 15-34

8. Small SA, Meyeux R. Alzheimer disease and related dementia. In :Rowland LP,ed. Merrit’S Neurology. 10th

9. Johnston MV. Dementia and Related Disorders. In : Johnston MV, Gross RA. Editors. Principles of Drug Therapy in Neurology. Second edition.New York : Oxford University Press. 2008.

edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000. p 634-642.

10.Golde TE. Alzheimer disease therapy : Can the amyloid cascade be halted ?. J Clin Invest. 2003. 111:11-18

11.Clark DL, Boutros NN, Mendez MF. The Brain and Behavior. An Introduction to Behavioral Neuranatomy. New York : Cambridge University Press. 2005.

12.Waxman SG. Clinical Neuroanatomy. 25 ed. Boston : Mc Graw Hill. 2003.

13.DavisKL, Mohs RC, Marin D, et al. Cholinergic markers in elderly patients with early signs of Alzheimer disease. JAMA. 1999 ; 281 : 1401-1406

14.Baskin DS, Browning JL, Pirozzolo, et al. Brain Choline Acetyltransferase and Mentalfunction in Alzheimer disease. Arch Neurol. 1999 : 56 : 1121-1123.

15.Ikonomovic MD, Abrahamson EE, Isanski BA, et al. Superior Frontal cortex cholinergic axon density in Mild cognitive Impairment and Early Alzheimer Diasease. Arch Neurol. 2007 : 64 (9) : 1312-1317.


(33)

16.Mohandas E, Ramohan V, Ragunath B. Neurobiology of Alzheimer’s Disease. Indian J Psychiatry. 2009. 51(1) : 55-61.

17.Allen TGJ, Abogadie Fc, Brown DA. Simultaneous release of glutamateandacetylcholine from single magnocellular ‘cholinergic’ basal forebrain. J of Neuroscience. 2006 ; 26(5) : 1588-1595

18.Dong H, Xiang Y, Farchi N, et al. Excessive expressionof acetylcholinesterase impairs glutamatergic synaptogenesis in hippocampal neurons. J of Neuroscience. 2004 ; 24 (4) : 8950-8960.


(1)

sinaps, dan penurunan konsentrasi glutamat bersama-sama dengan pembentukan NFT,semua berhubungan dengan keparahan demensia. Penemuan ini menunjukkan bahwa neuron piramidal dan neurotransmitter glutamatnya ( dan/atau aspartat) berperan dalam gejala kognitif DA dan oleh karena itu menghadirkan suatu target terapeutik baru. Walapun begitu, neuron ini adalah cholinoceptive dan tampaknya masuk akal untuk mengusulkan bahwa salah satu kerja obat cholinomimetic untuk DA adalah untuk meningkatkan aktivitas itu neuron EAA melalui reseptor nicotinic dan muscarinic yang terdapat pada sel-sel tersebut.

Ini didukung oleh studi eletrofisiologis yang menunjukkan kerja eksitatorik dari obat cholinomimetic pada neuron piramidal kortikal. Sebagai akibat dari hilangnya neuron kolinergik dan piramidal lainnya, penurunan neurotransmisi EAA akan menyebabkan hipoaktivitas piramidal yang bercampur dengan tingkat inhibisi neuron GABAergik yang tetap. Konsekuensinya, dapat dihipotesiskan bahwa sebagai tambahan terhadap efek merusak dari hilangnya neuron dan pembentukan tangle, terdapat perubahan keseimbangan neurotransmisi pada otak pasien DA yang mengarah pada aktivitas neuron yang lebih rendah. Studi lain telah menunjukkan bahwa fosforilasi tau, yang dianggap sebagai langkah penting dalam pembentukan tangles (yang terutama terjadi pada neuron piramidal kortikal EAA), juga dipengaruhi oleh sistem second messenger fosfolipase C. Oleh sebab itu, setelah stimulasi reseptor kolinergik muskarinik, aktivasi protein kinase C menyebabkan inaktivasi suatu protein kinase (GSK-3) yang memfosforilasi tau, invitro, dengan cara yang serupa seperti yang ditemukan pada DA. Sebagai pendukung teori ini, sel-sel neuron pada kultur dengan reseptor muskarinik M1 menunjukkan penurunan fosforilasi tau setelah terapi dengan agonis kolinergik. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi dari penurunan aktivitas kolinergik, penurunan aktivasi protein kinase C menyebabkan aktivitas GSK-3 yang kebih tinggi dan kemudian hieprfosforilasi tau. Maka, jika interaksi neurotransmitter-protein ini terjadi pada otak pasienDA,maka mungkin saja bahwa perubahan pada keseimbangan neurotransmisi pada DA dapat berkontribusi terhadap peningkatan hiperfosforilasi tau dan produksi amiloid kemudian neurodegenerasi pada daerah yang rentan. Lebih lanjut lagi, tampaknya mungkin bahwa inhibitor AChE dapat menurunkan gambaran histopatologis dari perjalanan penyakit. Berdasarkan studi terkini dari DA, hipotesis glutamatergik dari DA diusulkan sebagai teori tambahan dari hipotesis kolinergik. Oleh sebab itu, hipotesis kolinergik dapat diperbaharui dengan menambahkan bahwa target utama aksi kolinomimetik adalah neuron piramidal EAA dan hipofungsi kolinergik melengkapi hilangnya fungsi EAA. Secara bersamaan, sistem ini tampaknya bertanggungjawab untuk defisit neuropsikologis dan berperan dalan perkembangan patologi DA.

2,17,18


(2)

II.3.3. Keterlibatan Neuron GABAergik pada Demensia Alzheimer

Neuron inhibisi GABA, yang terutama merupakan interneuron kecil pada korteks serebri, juga terkena pada tahap awal DA. Neuron ini memegang peranan penting untuk mengontrol eksitabilitas di korteks begitu juga plastisitas kortikal. Studi post mortem pada jaringan otak pasien dengan DA menunjukkan kehilangan 70% uptake GABA ke ujung saraf pada korteks dan hipokampus di DA. Hal ini konsisten dengan laporan bahwa enzim sintetis GABA, glutamate decarboxylase (GAD), juga berkurang pada pemeriksaan post mortem jaringan otak pasien DA. Neuropeptida somatostatin yang juga colocalized dengan GAD pada beberapa neuron, juga ditemukan menurun pada otak pasien DA. Reseptor GABA dan benzodiazepin juga ditemukan berkurang pada jaringan otak pada pasien DA. Hilangnya inervasi inhibisi GABA-ergic pada DA berperan terhadap meningkatnya eksitabilitas yang menyebabkan degenerasi neuronal progresif dan perubahan perilaku seperti psikosis. 9

II.3.4. Defisit Katekolamin Pada Korteks

Degenerasi pada locus coeruleus dan penurunan penanda biokimia untuk proyeksi noradrenergik dari pons ke korteks serebri merupakan temuan yang sering dijumpai pada DA. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat penurunan konsentrasi norepinefrin kortikal yang lebih besar pada pasien muda dibandingkan pasien tua dengan DA. Peningkatan turnover dari norepinefrin menunjukkan bahwa mungkin terdapat kompensasi untuk proses destruktif yang berhubungan dengan DA pada pasien muda. Terlepas dari hilangnya penanda noradrenergik presinaptik, densitas reseptor postsinaptik untuk alpha-1, alpha-2 dan subtipe reseptor beta adrenergik di hipokampus dan korteks temporal secara umum dilaporkan normal. Walaupun begitu, subunit spesifik dari reseptor α2-adrenergik dilaporkan berkurang pada hipokampus pasien DA. Defisit noradrenergik pada DA dihubungkan dengan gangguan perilaku yang berkaitan dengan atensi dan memori working. Kontras dengan inervasi noradrenergik, tampaknya tidak ada penurunan yang signifikan dari konsentrasi dopamin pada korteks serebri pasien DA. 9,16

II.3.5. Defisit Serotonin Pada Demensia Alzheimer

Keterlibatan serotonin DA juga dibuktikan dengan pengamatan bahwa (a) DA dicirikan dengan perubahan kadar serotonin pada CSF, (b) hilangnya neuron yang mensintesis serotonin dan reseptornya pada DA, (c) adanya serotonin polymorphism pada DA dan (d) perbaikan agitasi dan gejala perilaku lainnya pada DA dengan pemberian obat serotonergik. 16


(3)

Terdapat sejumlah perubahan penanda biokimia pada neuron serotonin yang berproyeksi ke korteks serebri yang mungkin berhubungan dengan insidens tinggi dari depresi, agresi, dan gangguan neuropsikiatrik lainnya pada pasien DA. Defisit dijumpai pada kadar serotonin (5-HT), uptake 5-HT pada ujung saraf serotonin, dan metabolit serotonin yaitu 5-hydroxyindoleatiacetic acid pada korteks serebri pasien DA. Studi terkini juga melaporkan penurunan neuron dan peningkatan plak pada nucleus raphe dorsalis pada midbrain yang merupakan asal proyeksi serotonin ke korteks. Reseptor subtipe 5HT2A dan 5HT6 berkurang sekitar 40% pada korteks prefrontal pada pasien dengan DA, dan dianggap penting dalam manifestasi neuropsikiatrik. 9,16

II.3.6. Neuropeptida

Neurotransmitter peptida dan modulato mencakup cholecystokinin, neuropeptida Y, dan somatostatin ditemukan dalam kadar yang relatif tinggi pada korteks serebri, sementara substansi P, corticotropin releasing factor (CRF), adrenocorticotropic hormone dan dynorphin dijumpai dalam kadar yang lebih sedikit. Peptida ini berlokasi terutama pada interneuron GABA-ergik terutama pada lapisan korteks 2,3, dan 6 dan pada hipokampus.Penurunan kadar somatostatin dilaporkan pada beberapa daerah kortikal pada pemeriksaan post mortem pasien DA. Suatu studi melaporkan penurunan 42% dari immunoreaktivitas somatostatin pada korteks frontal, penurunan 28% pada korteks temporal dan 42% pada korteks parietal. Studi ini juga melaporkan korelasi antara penurunan aktivitas ChAT dan somatostatin pada beberapa area otak dan menemukan penurunan kadar somatostatin pada CSF yang berkorelasi dengan skor tes psikologis.Studilain menemukan kadar somatostatin CSF yang rendah pada pasien DA, berhubungan dengan kemampuan pada tes neuropsikologi, namun tidak berhbungan dengan durasi DA. Kadar somatostatin CSF berhubungan dengan tingkat penggunaan glukosa terutama pada lobus parietal posterior. Somatostatin dan neuropeptida Y telah diidentifikasi pada degenerating neurites pada plak senilis. Konsentrasi CRF-like immunoreactivity juga menurun pada korteks pasien DA; perubahan ini secara signifikan berhubungandengan penurunan aktivitas ChAT. Kadar neuropeptida endokrin galanin meningkat pada nucleus basalisdan ujung proyeksi kolinergik ke korteks. Galanin telah terbukti menghambat pelepasan ACh. Ia menghasilkan defisit kognitif pada hewan percobaan dan diusulkan bahwa up-regulation pada DA tampaknya berkontribusi terhadap gangguan kognitif. 9


(4)

III. KESIMPULAN

1. Demensia Alzheimer (DA) adalah gangguan degeneratif fatal progresif dengan manifestasi berupa perburukan memori dan kognitif, gangguan aktivitas sehari-hari yang progresif, dan sejumlah gejala neuropsikiatrik dan gangguan perilaku yang bervariasi.

2. Insidensi dan prevalensi tingkat penyakit ini meningkat secara dramatis dengan bertambahnya usia, dengan tingkat insiden hampir 2 persen dan tingkat prevalensi 30 persen atau lebih tinggi pada orang tua berusia 80 tahun atau lebih.

3. Produksi dan akumulasi dari peptide beta-amyloid (Aβ) adalah inti dari patogenesis DA

4. Neurotransmitter adalah suatu molekul kimiawi yang disintesis dalam neuron, berada pada ujung presinaptik, dan mendepolarisasi membran postsinaptik dan kahirnya harus dipindahkan dari celah sinaps.

5. Terdapat tiga golongan neurotransmitter yaitu asam amino, monoamin dan neuropeptida.

6. Neurotransmitter asam amino mencakup glutamat, aspartat, glisin, dan gamma amino butyric acid (GABA).

7. Neurotransmitter monoamin mencakup ACh, dopamin, epinefrin, norepinefrin dan serotonin

8. Investigasi biokimia dari jaringan biopsi pada pasien DA 3.5 tahun (rata-rata) setelah onset gejala menunjukkan bahwa patologi neurotransmitter selektif terjadi pada tahap awal penyakit.

9. Penanda presinaptik dari sistem kolinergik tampak menurun, dimana ditemukan penurunan aktivitas ChAT dan sintesis Ach yang berhubungan erat dengan derajat gangguan kognitif pada pasien DA

10. Pada pasien dengan DA, bukti yang ada menunjukkan adanya gangguan pada siklus neurotransmisi glutamat, pada reuptake free glutamate oleh sel glia dari sinaps.

11. Penanda serotonergik dan beberapa penanda noradrenergik juga terpengaruh, sedangkan penanda untuk dopamin, GABA atau somatostatin tidak berubah.

12. Studi postmortem pada otak pasien DA (yang mewakili tahap akhir penyakit) menunjukkan banyak lagi sistem neurotransmitter yang terkena, mencakup GABA dan somatostatin, yang tampaknya menunjukkan bahwa interneuron kortikal, terkena pada tahap lanjut dari perjalanan penyakit.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cummings,J.L. Alzheimer’s Disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67

2. Francis,P.T., Palmer,A.M., Snape,M.,Wilcock G.K. The cholinergic hypothesis of Alzheimer’s disease : a review of progress. Neurol Neurosurg Psychiatry. 1999 : 66: 137-147.

3. Purba JS. Demensia dan Penyakit Alzheimer. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2006.

4. Francis,P.T. The interplay of neurotransmitter in Alzheimer’s Disease. CNS Spectr. 2005; 10 (11 Suppl 18): 6-9

5. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Edisi 1. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003

6. Sjahrir,H. Pengenalan demensia. Dalam : Sjahrir H, Nasution D, Rambe H H. Editor. Demensia (kepikunan). Medan : USU Press.

7. Jalbert JJ, Daiello LA, Lapane KL. Dementia of Alzheimer Type. Epidemiologic Reviews. 2008 ; 30: 15-34

8. Small SA, Meyeux R. Alzheimer disease and related dementia. In :Rowland LP,ed. Merrit’S Neurology. 10th

9. Johnston MV. Dementia and Related Disorders. In : Johnston MV, Gross RA. Editors. Principles of Drug Therapy in Neurology. Second edition.New York : Oxford University Press. 2008.

edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000. p 634-642.

10.Golde TE. Alzheimer disease therapy : Can the amyloid cascade be halted ?. J Clin Invest. 2003. 111:11-18

11.Clark DL, Boutros NN, Mendez MF. The Brain and Behavior. An Introduction to Behavioral Neuranatomy. New York : Cambridge University Press. 2005.

12.Waxman SG. Clinical Neuroanatomy. 25 ed. Boston : Mc Graw Hill. 2003.

13.DavisKL, Mohs RC, Marin D, et al. Cholinergic markers in elderly patients with early signs of Alzheimer disease. JAMA. 1999 ; 281 : 1401-1406

14.Baskin DS, Browning JL, Pirozzolo, et al. Brain Choline Acetyltransferase and Mentalfunction in Alzheimer disease. Arch Neurol. 1999 : 56 : 1121-1123.

15.Ikonomovic MD, Abrahamson EE, Isanski BA, et al. Superior Frontal cortex cholinergic axon density in Mild cognitive Impairment and Early Alzheimer Diasease. Arch Neurol. 2007 : 64 (9) : 1312-1317.


(6)

16.Mohandas E, Ramohan V, Ragunath B. Neurobiology of Alzheimer’s Disease. Indian J Psychiatry. 2009. 51(1) : 55-61.

17.Allen TGJ, Abogadie Fc, Brown DA. Simultaneous release of glutamateandacetylcholine from single magnocellular ‘cholinergic’ basal forebrain. J of Neuroscience. 2006 ; 26(5) : 1588-1595

18.Dong H, Xiang Y, Farchi N, et al. Excessive expressionof acetylcholinesterase impairs glutamatergic synaptogenesis in hippocampal neurons. J of Neuroscience. 2004 ; 24 (4) : 8950-8960.