PENDAHULUAN Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Intim Dari Empat Pola Attachment Dewasa Pada Individu Menikah Dengan Usia Pernikahan Dibawah Lima Tahun Di Bandung.

6

1. PENDAHULUAN

Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal mereka pada hubungan yang lebih intim dengan pasangannya. Jika relasi ini berkembang lebih lanjut, maka ia akan menghasilkan suatu kesepakatan untuk terlibat secara mendalam dan dalam jangka waktu yang relatif panjang, seperti halnya pernikahan. Hal ini seiring dengan salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa awal yaitu belajar mulai hidup dalam hubungan pernikahan dengan pasangan Duvall, 1977. Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Dal am kehidupan pernikahan terjadi suatu penyatuan antara dua individu yang berasal dari budaya, lingkungan dan keluarga yang berbeda. Wajar jika keduanya membawa nilai-nilai yang berbeda. Banyak hal yang dihadapi pasangan yang baru dalam mengarungi kehidupan pernikahan, seperti perbedaan minat, hobi, pandangan tentang sesuatu hal. Kehadiran anak, hubungan dengan mertua atau ipar, masalah aktivitas bersama atau pekerjaan menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi pembicaraan atau perdebatan pasangan. Karenanya, diperlukan usaha bersama dan terus-menerus untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dibawa pasangan agar hubungan pernikahan dapat harmonis dan dinamis yang adalah harapan individu yang menikah. Namun, pada kenyataannya pernikahan tidaklah selalu mulus. Adakalanya terjadi konflik yang menyebabkan relasi terganggu. Masa awal pernikahan ini adalah masa yang paling rawan terjadi konflik. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kemungkinan tingkat perceraian yang paling tinggi terletak antara dua sampai lima tahun. Hal ini terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap 120 pasangan suami istri yang bercerai di Pengadilan Agama Bandung, 45 berada di bawah usia pernikahan kurang dari lima tahun Kompas, Juli 2003. Ini menunjukkan bahwa masa-masa awal pernikahan merupakan masa yang rentan dan sangat menuntut penyesuaian yang baik dari pasangan suami istri. Timbul suatu pertanyaan yang mendasar: Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan perceraian? Majalah Femina, April 2001, menyebutkan penyebab tertinggi dari perceraian tersebut diantaranya adalah kekurangterbukaan dalam berkomunikasi, perbedaan pendapat, perlakuan tidak adil oleh pasangan seperti 7 perselingkuhan dan kekerasan ekonomi. Sementara pada tahun 2001, dari seluruh kasus perceraian yang terjadi di Kotamadya Bandung, Pengadilan Agama Kotamadya Bandung mencatat sebanyak 15,55 merupakan masalah moral perselingkuhan, krisis akhlak, cemburu, 34,23 masalah tan ggung jawab ekonomi, penganiayaan, 42,16 disebabkan karena terus menerus berselisih dengan pasangan politis, gangguan pihak ketiga, tidak adanya keharmonisan dan 8,06 disebabkan oleh hal-hal lain. Hasil wawancara terhadap seorang psikolog pernikahan dan keluarga di Bandung, Dra. Sawitri Supardi, menyatakan bahwa ada empat ha l yang menyebabkan terjadinya pertengkaran dan perceraian pada pasangan di awal pernikahannya, yaitu menurunnya komitmen terhadap pernikahan, menurunnya penghargaan terhadap pasangan, kurangnya rasa percaya trust terhadap pasangan, dan ketidakmampuan dalam pengelolaan ekonomi. Dari pemaparan data-data penyebab perceraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi akar persoalan adalah ketidakmampuan individu dan pasangannya untuk menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya, sehingga relasi yang terjadi menjadi kurang hangat. Orlofsky 1993 menjelaskan tentang tingkah laku intim dalam suatu pernikahan yang akan menentukan kelangsungan pernikahan tersebut. Ia meny ebutkan sembilan bentukdimensi tingkah laku intim tersebut, yaitu: komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keput usan, mempertahankan minat pri badi, penghormatan integritas individu pasangan dan kemandirian. Hasil wawancara terhadap beberapa orang yang bercerai ditemukan bahwa mereka atau pasangannya kurang mampu menunjukkan tingkah laku intim yang disebutkan oleh Orlofsky. Seorang responden menyebutkan bahwa ia dan suaminya memiliki perbedaan pendapat tentang pergaulan dengan teman-teman setelah menikah. Sang istri masih ingin banyak pergi dengan teman-temannya, sementara sang suami tidak setuju. Ketidakmampuan mereka untuk menemukan cara menyelesaikan perbedaan tersebut, tidak ada yang berusaha memahami apa yang menjadi dasar pasangannya bertindak demikian, serta tidak ada yang mau mengalah menyebabkan persoalan menjadi besar dan akhirnya menyebabkan mereka bercerai. Responden lainnya menyatakan bahwa 8 ia bercerai dengan pasangannya karena tidak mempu menemukan cara dan bentuk komunikasi yang tepat bagi keduanya. Ia mengaku bahwa ia adalah tipe orang yang “blak-blakan”, sementara pasangannya tipe orang yang tertutup. Ketidaksesuaian tersebut mengakibatkan mereka sering bertengkar, dan berujung pada perceraian. Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa individu akan mengalami banyak konflik dan ketidakpuasan terhadap pernikahannya jika ia kurang mampu menampilkan secara optimal tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya. Konflik dan rasa tidak puas yang mungkin tidak terselesaikan ini mungkin saja akan berakhir ke perceraian. Atau dapat disimpulkan bahwa efek terburuk dari ketidakmampuan bertingkah laku intim adalah perceraian. Jika kita berpaling dan melihat ke sekeliling kita, ternyata masih banyak juga terdapat pasangan yang mampu mempertahankan ikatan pernikahannya sampai usia tuanya. Peneliti mewawancarai lima pasangan yang rata-rata berusia 45-50 tahun. Setengah dari mereka menyebutkan bahwa yang penting adalah mencoba berbuat yang terbaik dalam pernikahan mereka, seperti misalnya jujur dan terbuka terhadap pasangannya, selalu berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangannya, dan tetap mau menerima perbedaan yang ada di antara mereka. Setengah lainnya mengatakan bahwa yang terpenting adalah menganggap pasangan sama berharganya seperti diri sendiri, karena dengan itu ia akan berusaha selalu terbuka, menghormati pendapat dan tindakan pasangannya. Keseluruhan dari mereka tidak menyangkal bahwa kadang terjadi konflik, tapi mereka selalu berusaha untuk duduk bersama dan mendiskusikan masalah yang terjadi, tidak memaksakan pendapatnya pada pasangannya, serta mencari penyelesaian terbaik yang dapat diterima keduanya. Pasangan yang langgeng ini adalah contoh nyata hubungan pernikahan yang bahagia karena mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat secara optimal. Muncul suatu pertanyaan tentang faktor apakah dalam diri individu yang akan menentukan bagaimana ia bertingkah laku dalam pernikahannya. Jawabannya adalah rasa aman dan nyaman yang dirasakan individu dalam relasinya dengan pasangannya. Perasaan aman atau nyaman yang dirasakan individu ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsikan dirinya maupun pasangannya, apakah positif atau negatif. Saat mewawancarai responden-responden yang bercerai, penel iti 9 menemukan bahwa kebanyakan mereka kurang merasakan rasa aman dan nyaman dalam relasi pernikahannya. Mereka menganggap pasangannya kurang dapat dipercaya, jarang ada saat mereka membutuhkan. Ini mengakibatkan tingkah laku intim yang mereka tampilkan menjadi kurang optimal. Mereka menjadi kurang terbuka dalam berkomunikasi, kurang mau berusaha memahami pasangannya, dan lainnya. Namun sebaliknya, para responden yang dapat mempert ahankan pernikahannya langgeng dan bahagia menyatakan bahwa rasa aman dan nyaman dalam relasinya dengan pasangannya tercipta dari pandangan yang positif terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangannya. Mereka umumnya menganggap pasangannya sama berharganya dengan diri mereka, karenanya jarang sekali mereka melakukan tingkah laku yang akan menyakiti pasangannya. Rasa aman dan nyaman yang bers umber pada bagaimana individu memandang diri dan pasangannya dipaparkan dalam suatu teori tentang ikatan emosional antara individu dengan pasangan romantis dewasanya, yaitu teori attachment dewasa Adult Attachment theory. Secara singkat, teori ini menjelaskan tentang bagaimana individu menjalin suatu kelekatan emosional dengan orang lain yang bermakna secara emosional baginya. Teori attachment dewasa menjadikan teori attachment masa kanak-kanak childhood attachment theory dari Bowlby sebagai dasarnya. Bartholomew 1990 menyempurnakan teori Bowlby dan memaparkan empat pola kelekatan emosional kepada seorang pasangan romantis dewasa yang didasari oleh bagaimana persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, yang disebut dengan empat pola attachment dewasa. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola attachment dewasa, khususnya di Amerika Serikat, yang bertujuan memperkaya teori attachment dewasa. Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan banyak hal, termasuk didalamnya tingkahlaku yang ditunjukkan oleh pola-pola attachment dewasa dalam relasi sosialnya, dengan teman, pasangan, orangtua dan lainnya. Tapi sayangnya, di Indonesia masih sangat minim literatur maupun penelitian tentang pola attachment dewasa tersebut. Akibatnya, pengetahuan kita tentang pola attachment dewasa dan bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa di Indonesia pun sangat minim. Berdasarkan pemaparan tentang data-data tentang perceraian di kotamadya Bandung dan masih minimnya penelitian dan literatur 10 tentang pola-pola attachment dewasa di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung. PERUMUSAN MASALAH Pernikahan adalah relasi yang mendalam antara dua individu. Pernikahan dapat berjalan dengan baik dan langgeng jika individu-individu yang menjalani pernikahan tersebut mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat. Tingkah laku yang dimaksud adalah komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, penghormatan integritas individu pasangan serta kemandirian Orlofsky, 1993. Bagaimana individu akan menampilkan tingkah laku intim dalam pernikahannya sangat ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi dirinya sendiri dan pasangannya. Inilah yang disebut dengan pola attachment dewasa. Menurut Bartholomew 1990; dalam Feeney and Noller, 1996 terdapat e mpat pola attachment dewasa, yaitu pola Secure, Preoccupied, Dismissing, dan Fearful. Keempat pola attachment dewasa tersebut berbeda dalam mempersepsi dirinya sendiri dan mempersepsi orang lain. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola-pola attachment dewasa dan bagaimana tiap pola bertingkah laku dalam relasinya dengan orang lain. Tapi penelitian-penelitian tersebut hampir seluruhnya dilakukan di Amerika Serikat maupun negara barat lainnya. Sementara di Indonesia hal tersebut masih sangat minim, sehingga pengetahuan kita tentang pola-pola attachment dewasa masih sedikit dan terbatas. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung? 11

2. TINJAUAN PUSTAKA