59
Gambar 14. TingkatMutu Pelayanan MediaSumber Informasi
5.5 Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga Setiap
Kecamatan
Perilaku ketahanan pangan rumah tangga miskin merupakan salah satu kondisi eksisiting yang menjadi pijakan dalam membangun model komunikasi,
informasi dan edukasi KIE bagi ketahanan pangan rumah tangga miskin. Perilaku ketahanan pangan yang dimaksud meliputi : 1 pengetahuan rumah
tangga miskin terhadap konsep ketahanan pangan; 2 pengetahuan rumah tangga miskin terhadap program ketahanan pangan yang digulirkan oleh pemerintah
proyek maupun yang digulirkan oleh pihak swasta dan swadaya masyarakat; 3 sikap rumah tangga miskin terhadap ketahanan pangan; 4 kinerja atau keragaan
ketahanan pangan rumah tangga miskin; 5 akses rumah tangga miskin terhadap sumber-sumber produktif terkait dengan ketahanan pangan; 6 waktu terjadinya
kerawanan pangan dalam rumah tangga miskin dihitung dalam rentang waktu atau periode; 7 adaptasi rumah tangga miskin dalam menghadapi kerawanan
pangan; dan 8 derajat motivasi rumah tangga miskin dalam ketahanan pangan. Hampir seluruh perilaku ketahanan pangan rumah tangga miskin akan
dianalisis secara deskriptif, baik secara parsial berdasarkan pertanyaan- pertanyaan, desa dan kecamatan kasus maupun secara kumulatif berdasarkan
60
prosentase total pertanyaan dan generalisasi kedalam lingkup kabupaten kasus, yakni Kabupaten Bandung. Prosentase total merupakan kumulatif jawaban dari
sejumlah pertanyaan yang disusun berdasarkan indikator dari setiap variabel. Semua jawaban diukur dengan skala likert dan dikategorikan menjadi tigas
jawaban yang tingkatannya telah disusun secara konsisten berdasarkan jawaban yang dikehendaki. Berikut adalah uraian lengkap dari setiap perilaku ketahanan
pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung:
5.5.1 Pengetahuan Responden Terhadap Konsep Ketahanan Pangan
Bagi masyarakat desa, ketahanan pangan rumah tangga bukan hanya menjadi kewajiban dalam rumah tangga tetapi sudah melembaga dalam sistem
sosial. Keberadaan tempat penyimpanan beras di dapur atau gudang penyimpanan beras atau gabah merupakan bukti dari eksistensi ketahanan pangan. Bahkan, para
petani yang sering menyimpan umbi-umbian di para-para rumah atau menyimpan jagung dan kacang-kacangan di atas perapian merupakan salah satu bentuk
perilaku ketahanan pangan. Namun secara semantik atau bahasa, masyarakat tidak secara eksplisit menyebut ketahanan pangan, tetapi lebih sering diberi istilah
antisipasi, jaga-jaga, cadangan dan
ngeureut neundeun
menyisihkan dan menabung.
Seiring dengan menyebar dan membaiknya penyebaran dan akses masyarakat terhadap informasi, maka konsep-konsep ketahanan pangan mulai
dikenal oleh masyarakat desa, termasuk oleh keluarga miskin. Namun demikian, pengetahuan masyarakat desa berbeda-beda untuk setiap daerah. Ada
kecenderungan, semakin dekat tempat tinggal masyarakat atau rumah tangga miskin dengan perkotaan semakin tinggi tingkat pengetahuan mereka. Hasil
penelitian mengungkap bahwa secara kumulatif tingkat pengetahuan rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung terhadap konsep ketahanan pangan berada
pada kategori sedang 62,1. Secara parsial, meskipun tingkat pengetahuan responden sama-sama berada pada kategori sedang, namun tingkat pengetahuan
responden di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk yang relatif lebih dekat dengan kota Kabupaten Bandung dan Kota Bandung lebih tinggi daripada
61
responden yang berada di Kecamatan Ibun dan Paseh 70,0 dan 80,0 berbanding 51,7 dan 46,7.
Berdasarkan jawaban-jawaban responden terhadap empat pertanyaan indikator konsep ketahanan pangan, rumah tangga miskin yang lebih tahu konsep
ketahanan pangan terdapat di Kecamatan Ibun 16,7, hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah Kecamatan Ibun merupakan lahan kering yang hanya
dapat diusahakan dengan palawija dan sayuran semusim sekali. Ibun merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung yang memiliki tingkat kerawanan
pangan tinggi. Oleh karena itu, sudah berbagai program ketahanan pangan digulirkan di Kecamatan Ibun, baik oleh pemerintah daerah, pemerintah provinsi,
pemerintah pusat, lembaga swadaya maupun perguruan tinggi. Pada umumnya, mereka yang lebih tahu konsep ketahanan pangan adalah rumah tangga miskin
yang sering dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan, rapat-rapat dan kelompok tani. Namun demikian, jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Ibun dan
Kecamatan Paseh, yang tidak tahu tentang konsep ketahanan pangan juga lebih tinggi 35,8 dan 36,7 daripada Kecamatan Banjaran dan Kecamatan
Pameungpeuk. Tetapi ketika membangingkan dengan desa lainnya non kasus, responden sebenarnya lebih tahu bahwa daerah mereka lebih kuat.
Di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk yang desanya tergolong desa kota, rumah tangga miskin pada umumnya tidak terlalu peduli dengan rumah
tangga miskin tetangganya. Mereka mulai terpengaruh oleh budaya individualisme masyarakat perkotaan. Namun karena akses dan mobilitasnya
tergolong tinggi, maka rumah tangga miskin di Banjaran dan Pameungpeuk lebih mengetahui keadaan di desa-desa yang berada di sekitarnya. Hal ini terlihat dari
persentase pengetahuan mereka yang relatif tinggi 93,3 dan 23,3. Secara sosial, rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung memandang bahwa ketahanan
pangan rumah tangganya berada pada kondisi sedang. Artinya, pelabelan rawan pangan tidak sejalan dengan pandangan masyarakat miskin sendiri, inilah
kenyataan sosial. Ada yang miskin tidak merasa miskin, tetapi ada yang berkecukupan ingin dikategorikan miskin, terutama ketika ada bantuan.
62
5.5.2 Pengetahuan Responden Terhadap Program Ketahanan Pangan
Bagi masyarakat Kabupaten Bandung yang berakses tinggi terhadap Kota Bandung yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Barat, program pembangunan jelas
sudah menjadi hal yang biasa, apalagi program yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Hingga kini, meskipun telah terjadi perubahan di sana sini, namun
Kabupaten Bandung masih menjadi salah satu lumbung padi sekaligus sentra produksi buah-buahan, tanaman palawija dan sayuran di Jawa Barat. Beberapa
program yang berkaitan dengan usahatani dan pangan yang telah dioperasikan di Kabupaten Bandung adalah bimbingan massal, intensifikasi massal, intensifikasi
khusus, kredit usahatani, intensifikasi agribisnis, gema palagung gerakan mandiri padi, kedelai dan jagung, kredit ketahanan pangan, lumbung masyarakat desa,
lembaga usaha ekonomi produktif, pengembangan usaha agribisnis pedesaan, raskin beras untuk orang miskin, bantuan langsung tunai, dan desa mandiri
pangan. Pada kenyataannya, masyarakat pedesaan terutama petani yang sudah
terbiasa dengan istilah bertani atau usaha tani, tidak terlalu peduli dengan istilah program ketahanan pangan. Masyarakat seperti bersepakat untuk melabel program
pembangunan pertanian dari orang luar terutama pemerintah dengan sebutan program atau proyek, apapun istilah dan nama programnya. Secara spasial
maupun sosial, terdapat pengetahuan dan pemahaman yang beragam pada masyarakat. Kecenderungannya, pemahaman masyarakat pedesaan berbeda
dengan masyarakat di pinggiran kota dan perkotaan. Begitu juga berdasarakan kelas sosialnya, masyarakat kelas atas elit desa lebih tahu program atau proyek
daripada kelas menengah dan kelas bawah. Hasil penelitian di Kabupaten Bandung mengungkap bahwa masyarakat
miskin yang belum mengetahui program ketahanan pangan masih cukup tinggi 50,0 dan yang mengetahui sendiri hanya 35,1. Kecenderungannya,
masyarakat miskin lebih akrab dengan program yang pengentasan kemiskinan daripada program ketahanan pangan. Sebagai catatan, responden lebih akrab
dengan program beras miskin 92,5, bantuan langsung tunai 69,2 dan bantuan operasional sekolah 45,0. Program lainnya yang relatif akrab dengan
63
mereka adalah bantuan sembako 33,3, baik dari pemerintah, swasta maupun swadaya. Sedangkan program yang berkaitan dengan usahatani sendiri hanya
diketahui oleh 34,8 masyarakat miskin. Padahal mayoritas masyarakat miskin adalah petani kecil, baik yang berstatus sebagai pemilik, penyakap, penggarap
maupun buruh tani. Secara spasial, penelitian mengungkap bahwa rumah tangga miskin yang
lebih dekat dengan pusat informasi, pusat pemerintahan, pusat pertumbuhan dan sumber-sumber produktif lainnya relatif lebih mengetahui program ketahanan
pangan. Sebagai contoh, rumah tangga miskin di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk lebih tahu masing-masing 43,3 dan 46,1 daripada mereka
yang tinggal di Kecamatan Paseh dan Ibun masing-masing 24,6 dan 26,3. Secara kuantitatif, persentase rumah tangga miskin di Kecamatan Paseh dan Ibun
yang tidak mengetahui program ketahanan pangan lebih tinggi masing-masing 65,8 dan 70,0 dibandingkan dengan di Kecamatan Banjaran dan
Pameungpeuk masing-masing 6,1 dan 8,1. Artinya, intensitas sosialisasi dan implementasi program ketahanan pangan kepada rumah tangga miskin harus lebih
ditingkatkan ke pedesaan atau ke wilayah-wilayah yang semakin dalam. Ini sangat penting, karena secara riil modal sosial masyarakat pedesaan yang berkaitan
dengan ketahanan pangan juga semakin melemah dari sistem sosialnya. Secara parsial, rumah tangga miskin di Kecamatan Banjaran dan
Pameungpeuk memandang program ketahanan pangan lebih dapat dirasakan 93,3 menjawab berhasil dan 80,0 menjawab cukup berhasil. Keadaan
tersebut paradoks dengan respon rumah tangga miskin di Kecamatan Paseh dan Ibun 40 dan 70 memandang program-program ketahanan pangan tidak
berhasil. Bagi masyarakat miskin pedesaan, raskin, bantuan langsung tunai, bantuan operasional sekolah dan bantuan sarana produksi pertanian jauh lebih
dirasakan daripada program ketahanan pangan yang lainnya. Bahkan, 86,7- 100 rumah tangga miskin di Paseh, Ibun dan Banjaran mengetahui dan
menikmati program beras miskin dan bantuan langsung tunai. Ironis, hampir 100 rumah tangga miskin di Kecamatan Ibun yang notabene menjadi desa
rawan pangan dan percontohan desa mandiri pangan, tidak mengetahui program
64
ketahanan pangan yang digulirkan oleh pemerintah maupun yang lainnya. Angka persen tersebut sejatinya bersifat semu bukan tidak tahu yang sebenarnya.
Mereka sejatinya mengetahui adanya program atau proyek dari pemerintah, namun karena kegagalan pendekatan KIE, maka konsep dan makna program tidak
dapat ditangkap oleh rumah tangga miskin.
5.5.3 Sikap Responden Terhadap Ketahanan Pangan Keluarga
Perbedaan pengetahuan masyarakat miskin di pedesaan dan pinggiran kota terhadap konsep dan program ketahanan pangan dipengaruhi oleh sikap mereka
terhadap konsep dan program ketahanan pangan, termasuk sikap terhadap ketahanan pangan rumah tangganya. Pada uraian terdahulu disebutkan bahwa
sebagian rumah tangga miskin yang diwawancarai memandang berada pada tingkat yang sedang ketahanan pangannya, tidak merasa rawan pangan seperti
yang dilabelkan orang luar selama ini. Hasil penelitian mengungkap bahwa 31,1 dan 45,6 rumah tangga miskin menyikapi baik dan cukup baik ketahanan
pangan rumah tangganya. Bahkan 42,5 rumah tangga optimis dapat menyediakan sendiri atau membeli kebutuhan pangan tambahannya, 40,8
optimis mampu mendapatkan pangan sekalipun dalam keadaan sulit misalnya pada saat musim paceklik dan 59,2 rumah tangga miskin optimis mendapat
bantuan dari saudara atau tetangga ketika kesulitan pangan. Keadaan tersebut menegaskan masih adanya perilaku sosial positif, berupa perlindungan sosial atau
strategi koping dari keluarga dan masyarakat sekitar terhadap rumah tangga miskin dan rawan pangan.
Secara spasial, optimisme dalam penyediaan pangan tambahan, penyediaan pangan pada kondisi sulit dan bantuan keluarga atau tetangga lebih
disikapi positif lebih eksis pada masyarakat yang lebih berkarater pedesaan. Kecenderungannya, pada masyarakat di Kecamatan Paseh dan Ibun lebih tinggi
daripada masyarakat di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk. Pada rumah tangga miskin di Kecamatan Pameungpeuk yang relatif “ngota”, mereka lebih
berpijak pada kemampuan sendiri dalam menyediakan pangan pokok maupun pangan tambahan. Tidak seperti di Kecamatan Paseh dan Ibun yang sangat
65
tergantung pada beras sebagai pangan utama, rumah tangga miskin di Kecamatan Pameungpeun justru lebih variatif pola konsumsi pangannya, sehingga mereka
lebih terbiasa dengan pangan alternatif 66,7, seperti mie instan atau panganan lainnya. Sehingga, dengan pola konsumsi seperti itu, mereka memandang lebih
kuat ketahanan pangan rumah tangganya 40,0. Pada kenyataannya, meskipun berbagai program ketahanan pangan telah
digulirkan oleh berbagai pihak di Kabupaten Bandung, namun rumah tangga miskin yang rawan pangan belum merasa nyaman, aman dan terjamin ketahanan
pangan rumah tangganya. Bahkan, 63,3 rumah tangga miskin di Kecamatan Ibun menyatakan belum terjamin ketahanan pangan rumah tangganya. Sedangkan
lainnya baru menyatakan cukup tahan. Berbagai respon tersebut menegaskan bahwa program ketahanan pangan jangan hanya berupa program fisik dan
langsung, tetapi juga perlu meningkatkan KIE untuk merubah pola dan perilaku konsumsi masyarakat, sehingga lebih luas pemahamannya tentang pangan,
sehingga dengan sendirinya mendekat ke diversifikasi. Rumah tangga miskin terutama di pedesaan harus didorong kearah
penguatan ketahanan pangan secara kolektif
community
, bukan orang per orang. Oleh karena itu, pendekatan harus didudukan dalam kerangka pemberdayaan yang
mengandaikan penguatan hal-hal berikut: 1 penguatan akses komunitas rumah tangga miskin terhadap sumber-sumber pangan produktif dan sumberdaya-
sumberdaya produktif; 2 penguatan kesadaran dan partisipasi komunitas rumah tangga miskin dalam kelompok dan kegiatan produktif, termasuk pelatihan,
magang, kewirausahaan dan sebagainya; 3 penguatan kelembagaan komunitas rumah tangga miskin, baik aspek psikokultur, psikostruktur, maupun modal sosial
termasuk daya juang, kerjasama, jejaring, dan sebagainya; dan 4 penguatan tanggung jawab komunitas rumah tangga miskin terhadap diri, sesama, dan
lingkungannya. Hal yang sama harus pula disosialisasikan dan dibangun pada komunitas dan
kelas sosial yang telah berdaya. Harapannya, mereka harus memperhatikan yang miskin, mereka harus peduli terhadap rumah tangga miskin, mereka harus
menguatkan kecerdasan sosial dan perlindungan sosialnya terhadap rumah tangga
66
miskin. Sebagai catatan, rumah tangga miskin di Kecamatan Ibun, Paseh dan Banjaran yang relatif masih memiliki modal sosial, rumah tangga miskin merasa
lebih memiliki harapan dan jaminan ketahanan pangan sekalipun dalam kondisi sulit, karena yakni dan percaya
trust
akan dibantu dan ditolong oleh keluarga, tetangga atau lembaga sosial yang berada di sekitarnya yang relatif lebih peduli
dan lebih kuat ketahanan pangannya.
5.5.4 Sikap Responden Terhadap Program Ketahanan Pangan
Berbagai program ketahanan pangan yang digulirkan secara instan dalam kerangka pendekatan yang parsial dan linear proyek telah terbukti tidak
membangun kemandirian, malahan menumbuhkembangkan ketergantungan dan merusak tatanan sosial produktif yang telah lama eksis dalam sistem sosial
masyarakat pedesaan.
Ada kecenderungan,
semakin banyak
program pembangunan, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, semakin melemah
keberdayaan dan ketahanan pangan masyarakat, semakin melemah partisipasi masyarakat dan semakin menuntut masyarakat. Namun demikian, di lapangan
berbicara lain, masyarakat menyikapinya secara variatif. Apalagi bagi masyarakat miskin yang siang maupun malam dihantui kecemasan untuk memikirkan
kehidupan hari per hari. Hanya sedikit rumah tangga miskin yang yang bersikap tidak positif terhadap program
Hasil penelitian di Kabupaten Bandung mengungkap bahwa rumah tangga miskin tetap menyikapi secara positif program-program ketahanan pangan. Sekitar
35,3 rumah tangga miskin bersikap positif terhadap program-program ketahanan pangan, bahkan 63,4 sangat positif sikapnya terhadap program beras miskin
Raskin dan 50,9 positif terhadap program bantuan operasional sekolah BOS. Sebagian besar rumah tangga miskin 70,8 merasa tidak kawatir akan
ketergantungan terhadap program ketahanan pangan yang digulirkan pemerintah, sedangkan sisanya penuh kekawatiran. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
petani relatif cerdas merespon program ketahanan pangan. Pada kenyataannya, masih banyak rumah tangga miskin sekitar 38,3
yang memandang bahwa program ketahanan pangan bagi rumah tangga miskin
67
masih kurang, baik jumlah maupun manfaatnya. Bahkan, sekitar 40,9 rumah tangga miskin merasa lemah aksesnya terhadap program sembako murah.
Padahal, eksistensi lembaga ketahanan pangan lokal seperti Lumbung Desa dipandang sudah tidak berfungsi dan tidak eksis lagi 40,9, termasuk di
Kecamatan Ibun dan Paseh yang relatif bercorak pedesaan. Sebagian besar 93,3 rumah tangga miskin di Kecamatan Banjaran bersikap pesimis, mereka
memandang bahwa berbagai program ketahanan pangan yang digulirkan selama ini dapat mengakibatkan terjadinya ketergantungan masyarakat. Namun 96,7
rumah tangga di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk menghendaki perlunya perpanjangan program ketahanan pangan. Sedangkan 83,3 rumah tangga miskin
di Kecamatan Ibun justru tidak menghendaki untuk dilanjutkan. Paradoks ini menujukkan paradok sikap antara pesimisme semu rumah tangga miskin desa-
kota dengan rumah tangga miskin pedesaan. Program ketahanan pangan dalam bentuk bantuan sarana produksi pertanian
bagi masyarakat miskin tampak kurang terakses oleh rumah tangga miskin di Kecamatan Paseh dan Ibun, padahal keduanya merupakan kecamatan yang
berbasis pertanian. Berdasarkan hasil diskusi dengan aparat kecamatan di kedua institusi tersebut terungkap bahwa program desa mandiri pangan yang digulirkan
tidak menyentuh langsung para petani kecil, tetapi tampak bias elit. Program ini semu, karena operasionalnya lebih mendorong para petani berlahan luas. Oleh
karena itu, sangat wajar apabila 60,0 rumah tangga miskin di Kecamatan Paseh dan 90,0 rumah tangga miskin di Kecamatan Ibun menjawab tidak ada bantuan
sarana produksi pertanian. Selain bias pelaku sasaran juga bias komoditas, karena program desa mandiri pangan lebih menitik beratkan pada komoditas padi.
5.5.5 KinerjaKeragaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Pengetahuan dan sikap rumah tangga miskin terhadap konsep, program dan ketahanan pangan keluarga mereka sedikit banyak akan mewarnai kinerja
ketahanan pangan rumah tangganya. Hasil penelitian mengungkap bahwa jenis makanan pokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin di Kabupaten
Bandung adalah beras 92,5. Sedangkan tepung terigu, jagung, singkong dan
68
ubi jalar belum menjadi pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat miskin Kabupaten Bandung, terutama di Kecamatan Paseh dan Ibun 100 tergantung
pada beras. Namun, bagi sebagian rumah tangga miskin di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk, singkong terutama olahannya dan ubi jalar sudah mulai
dijadikan sebagai pangan pokok, terutama di saat sulit. Hal ini terjadi karena rumah tangga miskin di tempat tersebut banyak yang tidak akses terhadap
kegiatan pertanian. Selain itu, juga terkait dengan pemahaman masyarakatnya terhadap diversifikasi pangan.
Bagi rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung, terigu terutama olahannya, seperti mie instan mulai menjadi pangan pokok, hal ini terlihat dari
cukup besarnya persentase rumah tangga yang mengkonsumsi mie instan 34,2, terutama pada masyarakat desa-kota, seperti di Kecamatan Banjaran dan
Pameungpeuk. Rendahnya pemahaman tentang diversifikasi pangan pada masyarakat
miskin, terutama
di pedesaan,
mengakibatkan tingginya
ketergantungan terhadap beras. Sehingga sulit bagi masyarakat miskin untuk bergeser ke komoditas lain disaat beras tidak terakses. Oleh karena itu, penting
untuk meningkatkan sosialisasi diversifikasi pangan, termasuk pengolahan dan peningkatan nilai gizinya. Secara spasial, Kecamatan Paseh dan Ibun yang
didominasi lahan kering untuk palawija merupakan potensi besar bagi pengembangan jagung, singkong dan ubi jalar. Sebagai catatan, Ibun masih
menjadi pusat pengembangan ubi jalar di Kabupaten Bandung. Secara umum, tingkat konsumsi daging dan buah-buahan pada rumah
tangga miskin di Kabupaten Bandung masih sangat rendah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 83,4 rumah tangga miskin rendah konsumsi
dagingnya dan
64,2 rendah
tingkat konsumsi
buah-buahannya. Kecenderungannya, tingkat konsumsi pada daging dan buah-buahan lebih rendah
di pedesaan Paseh dan Ibun daripada di desa-kota Banjaran dan Pameungpeuk. Namun terlihat bahwa tingkat konsumsi ikan terutama ikan asin, sayuran
tersedia di lingkungan, tahu-tempe dan kacang-kacangan relatif tinggi berkisar antara 45,0-65,0.
69
sebagian besar 80,8 rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung mendapatkan sumber makanan pokoknya dari luar tidak memproduksi sendiri,
baik di pedesaan Paseh dan Ibun maupun di desa-kota Banjaran dan Pameungpeuk. Pada umumnya 74,2 rumah tangga miskin mendapatkan
makanan pokok dengan cara membeli dari warung dan 50,0 mendapat bantuan dari pemerintah raskin, BLT dan dari saudara atau tetangga. Akses rumah tangga
miskin terhadap pasar masih rendah 86,7. Jika dibandingkan, rumah tangga miskin di desa-kota lebih menggantungkan hidupnya pada sumber pangan dari
luar 90,0 sampai 100. Sedangkan rumah tangga miskin pedesaan yang masih lekat dengan aktivitas usahatani, lebih rendah 50,0-66,7. Sebagian pangan
dapat diperoleh rumah tangga miskin pedesaan dari pemberian infaq dan zakat hasil panen, menjadi buruh panen, buruh angkut hasil pertanian, hasil mungut
mengais sisa-sisa panen di sawah. Selain makanan pokok, rumah tangga miskin juga memiliki sumber makanan tambahan. Pada umumnya, makanan tambahan
mereka peroleh dari membeli diwarung 74,3 dan bantuan dari saudara atau keluarga 56,6. Sedangkan yang mampu menyediakan sendiri hanya sekitar
8,3. Rendahnya akses mereka terhadap sumber pangan pokok maupun pangan
tambahan sendiri menunjukkan bahwa penguasaan dan akses mereka terhadap lahan juga rendah. Mereka pada umumnya adalah para tuna kisma, seperti buruh
tani dan petani penggarap lahan sempit. Sedangkan rendahnya akses mereka terhadap pasar terjadi karena sangat rendahnya sumber pendapatan mereka dan
jauhnya jarak ke pasar. Secara sosial, meski pembayaran mereka ke warung- warung tersendat-sendat, namun mereka tetap diberi pinjaman oleh tukang
warung. Hubungan mereka dengan warung sudah seperti patron-klien. Secara sosial, meskipun angkanya masih kurang dari 30, namun bantuan dari
pemerintah, saudara maupun tetangga, namun dirasakan sangat membantu rumah tangga miskin dalam pengadaan pangan pokok maupun pangan tambahan.
Secara umum, kinerja ketahanan pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung berada pada keadaan lemah rentan, selain kemampuan mereka dalam
pengadaan pangan pokok dan pangan tambahan tergantung kepada sumber dari
70
luar, juga kecukupan gizinya masih jauh dari cukup. Oleh karena itu, selain meningkatkan akses mereka terhadap sumber-sumber produktif sumber pangan
maupun sumber pendapatan juga disertai dengan menjaga keberlanjutan program ketahanan pangan yang berlandaskan kemandirian sosial, kelembagaan dan usaha
ekonomi produktifnya.
5.5.6 Akses Pangan Rumah Tangga
Berdasarkan kinerja ketahanan pangan rumah tangga miskin, analisis dapat dipertajam, kenapa kinerjanya rendah? Apakah analisis sebelumnya yang
menduga bahwa hal itu terjadi karena lemahnya akses mereka terhadap sumber- sumber produktif? Hasil penelitian mengungkap bahwa dugaan-dugaan
sebelumnya itu ternyata berlawanan dengan fakta-fakta di lapangan. Secara umum, akses rumah tangga miskin terhadap sumber pangan ternyata cukup tinggi
46,9, sedangkan yang lemah hanya 19. Menariknya, jarak ke sumber pangan pokok dan ke sumber pangan tambahan, biaya transportasi untuk mendapatkan
pangan pokok dan pangan tambahan, serta kepraktisan pangan pokok dan pangan tambahan untuk dimanfaatkan semuanya berakses tinggi mudah dengan kisaran
angka 79,0 sampai 91,7. Tetapi kenapa ketahanan pangan mereka rendah? Berdasarkan angka-angka tersebut, maka persoalan yang sesungguhnya
terlihat jelas, bahwa akses pangan rumah tangga miskin yang lemah itu terletak pada sisi kemampuan ekonominya pendapatan atau daya beli. Kelemahan
tersebut secara keseluruhan melemahkan akses pangan rumah tangga miskin lainnya, seperti akses fisik. Kemampuan rumah tangga miskin untuk membeli
pangan pokok maupun pangan tamabah berada pada kondisi yang lemah 35,0 dan 49,2. Analisis parsial lainnya yang menegaskan lemahnya daya beli rumah
tangga miskin terlihat pada rendahnya kemampuan menjangkau pangan yang memiliki jumlah, jenis dan kecukupan gizi. Ini sangat rasional, karena lemahnya
pendapatan jelas akan mengakibatkan lemahnya daya jangkau rumah tangga miskin untuk mendapatkan pangan yang bergizi yang sejatinya berharga lebih
mahal.
71
Secara spasial maupun parsial, akses fisik rumah tangga miskin di desa pedesaan maupun di desa-kota sangat tinggi, namun akses fisik rumah tangga
miskin di desa-kota Banjaran dan Pameungpeuk lebih tinggi daripada di pedesaan Paseh dan Ibun. Pada desa kota, ketersediaan pangan pokok maupun
tambahan dalam satu bulan berada pada tingkatan sedang, kondisinya jauh lebih baik daripada rumah tangga miskin di pedesaan yang secara riil berakses rendah.
Artinya, keterjaminan rumah tangga miskin di wilayah desa-kota lebih tinggi daripada rumah tangga miskin di wilayah pedesaan. Hal ini sangat wajar, karena
di desa-kota sumber pangan lebih banyak dibandingkan dengan sumber pangan di pedesaan yang terbatas dan bersifat musiman.
5.5.7 Waktu Kerawanan Pangan Rumah Tangga
Bagi rumah tangga miskin, baik di wilayah pedesaan maupun wilayah desa-kota, kerawanan pangan bisa lebih parah keadaannya pada musim-musim
tertentu, tetapi keadaan rawan pangan dapat menjadi menguat pada waktu-waktu tertentu. Bagi petani kecil, buruh tani, buruh panen dan tukang pungut, kerawanan
pangan dapat menguat pada saat-saat musim panen. Tetapi keadaannya dapat menjadi lebih parah pada saat musim paceklik, baik pada musim menunggu panen
maupun pada musim kemarau. Tetapi akan berbeda dengan desa-kota, bagi sebagian dari mereka yang tidak bergantung pada aktivitas pertanian lebih
memilih perkotaan sebagai area untuk mencari pekerjaan kasar buruh atau tukang, namun tidak sedikit yang melakukan aktivitas pertanian mengikuti arus
migrasi komutasi ke perkotaan atau sektor non pertanian, terutam pada saat menunggu panen dan musim kering.
Pada umumnya, waktu kerawanan pangan pada rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung bervariasi. Namun demikian, waktu kerawanan pangan
umumnya terjadi pada musim-musim tertentu, terutama pada musim kemarau. Secara statistik, hanya 9,2 rumah tangga miskin yang merasakan kerawanan
pangan setiap hari. Mereka pada umumnya rumah tangga miskin yang sudah lansia dan rumah tangga dengan tanggungan keluarga berat. Waktu kerawanan
pangan yang terlihat cukup besar adalah yang terjadi sebulan sekali, hal ini
72
dirasakan oleh sekitar 23,4 rumah tangga miskin. Hampir semua rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung telah merasakan kerawanan pangan pada setiap
waktu. Disamping kesulitan, ada juga petani yang tidak merasa rawan pangan pada
waktu-waktu yang dilaluinya. Pada Tabel 4.7 terlihat bahwa di Kabupaten Bandung terdapat sekitar 12,5 yang tidak merasa kerawanan pangan pada
musim kemarau, bahkan sekitar 60,8 tidak merasa kerawanan pangan setiap hari. Adanya sekitar 20,8 rumah tangga miskin yang menderita atau merasa
rawan pangan pada musim hujan terjadi karena waktu masih paceklik, petani baru menanam dan masih menunggu panen beberapa bulan kemudian. Dikampung
musim seperti ini tidak disebut musim
paceklik
, tetapi disebut musim
tapran
atau musim
nguyang
, yaitu musim ketika tidak ada apa-apa ditengah dinginnya musim hujan. Keadaan tersebut terlihat jelas di Kecamatan Paseh 30,0 dan di
Kecamatan Ibun 53,3. Sedangkan di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk tidak ada satu rumah tangga miskinpun yang rawan 0.
Secara spasial ruang waktu kerawanan pangan di wilayah pedesaan Paseh dan Ibun lebih sering dan lebih besar dibandingkan dengan di wilayah desa-kota
Banjaran dan Pameungpeuk. Hampir setiap waktu ada yang rawan pangan di wilayah pedesaan, sedangkan di desa-kota kerawanan pangan itu hanya tampak
pada musim kemarau. Kecenderungannya, di pedesaan angka kerawanan pangan semakin besar dalam setiap periode yang diukur sehari, seminggu, sebulan dan
semusim. Waktu kerawanan yang umum terjadi adalah setiap musim kemarau, baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah desa-kota. Ironisnya, rumah tangga
miskin di pedesaan mengalami kerawanan pangan di musim kemarau hingga dirasakan oleh 53,3 hingga 56,7. Keadaan tersebut dapat dijadikan dasar bagi
implementasi KIE dan program penyelesaian kasus kerawanan pangan rumah tangga miskin pedesaan. Sehingga lebih akurat dalam penanganan kerawanan
pangan di pedesaan, apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus didahulukan? Tampaknya akan lebih terukur dan kena sasaran, apalagi jika sudah disiapkan
dengan peta rawan pangan per rumah tangga.
73
5.5.8 Adaptasi Rumah Tangga Menghadapi Kerawanan Pangan
Seperti mahluk hidup yang ada di alam pada umumnya, manusia juga memiliki kemampuan adaptif dalam menghadapi berbagai situasi, tak terkecuali
ketika menghadapi kerawanan pangan. Perilaku adaptif sesungguhnya sudah sejak nenek moyang diterapkan dalam penanganan kerawanan pangan. Masyarakat adat
sudah sejak lama menerapkan strategi adaptasi ini, baik melalui diversifikasi pangan, pengolahan pangan, substitusi pangan, pembangunan lumbung desa,
meningkatkan kepedulian sesama, membangun perlindungan sosial coping mechanism dan sebagainya. Bahkan, pelibatan tenaga kerja dalam jumlah besar,
baik pada saat mengolah lahan, penyiangan dan panen, tidak lain merupakan strategi adaptasi untuk berbagi pangan.
Hasil penelitian mengungkap bahwa 30,5 rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung memiliki dan menerapkan beragam strategi adaptasi dalam
menghadapi kerawanan pangan. Namun terdapat sekitar 38,3 rumah tangga miskin yang tidak menerapkan strategi adaptasi dalam menghadapi kerawanan
pangan. Ini sangat mengkawatirkan, karena sejatinya mereka yang tidak menerapkan satupun adaptasi merupakan sebuah bentuk kemerosotan perilaku dan
daya juang manusia, yang secara psiko sosial membutuhkan penanganan baik secara psikologi, psikokultur maupun psikostruktur. Ironisnya, 96,7 rumah
tangga miskin enggan mengganti pangan pokok beras dengan pangan alternatif. Kalaupun mengkonsumsi pangan alternatif, mereka tetap akan mencari pangan
pokok. Istilah orang Sunda, sekalipun sudah memakan pangan alternatif dalam jumlah banyak, namun tetap mengaku dan merasa belum makan, karena belum
makan nasi. Secara umum, strategi adaptasi yang cukup nyata diterapkan oleh rumah
tangga miskin di Kabupaten Bandung adalah 1 meminta bantuan pada saudara atau tetangga 51,7; 2 meminjam pangan atau uang kepada saudarakerabat
69,2; 3 meminjam pangan atau uang kepada orang lain, termasuk pinjam ke warung atau ke majikan 68,4; dan 4 mengerahkan seluruh anggota keluarga
untuk bekerja, termasuk merantau ke kota 46,7. Keadaan tersebut menegaskan bahwa masyarakat miskin juga tergiring ke arah perilaku instan, yakni meminjam
74
atau meminta kepada saudara, tetangga atau pemerintah. Perilaku ini jelas dapat menjadi ancaman, karena dapat menurunkan kerja keras atau daya juang. Adaptasi
yang cukup menarik relatif konstan diterapkan oleh rumah tangga miskin adalah pengerahan seluruh anggota keluarga untuk mencari pendapatan atau bekerja.
Kelembagaan pangan lokal, termasuk lumbung desa, sudah tidak menjadi sandaran lagi bagi masyarakat. Keberadaannya bukan hanya tergeser oleh
hadirnya lembaga baru, tetapi karena pengaruh pendekatan usahatani yang diterapkan selama ini yang cenderung berjalan cepat. Padi bukan lagi dipetik,
tetapi ditebang, lalu dirontokan, dikeringkan dan dikemas, sehingga dapat dengan mudah diolah atau dijual. Akibatnya, lumbung tidak terisi, sehingga terbengkalai
dan kehilangan peran dan fungsinya. Perlahan lembaga sosial ekonomi masyarakat desa ini pun tergerus dari sistem sosial.
Secara spasial dan parsial, strategi adaptasi yang diterapkan oleh rumah tangga miskin di pedesaan Paseh dan Ibun lebih variatif dibandingkan rumah
tangga miskin di desa-kota. Strategi yang cukup signifikan perbedaannya adalah mengurangi jumlah pangan yang dikonsumsi 23,3 sampai 50 dan
mengurangi intensitas dan frekuensi makan termasuk berpuasa. Namun rumah tangga miskin di pedesaan sangat sulit mengganti pangan pokok dengan pangan
alternatif 100. Persamaannya, baik rumah tangga miskin di wilayah pedesaan maupun di desa-kota, sama-sama tidak melakukan penjualan barang-barang
berharga yang ada di rumah ketika mengalami kerawanan atau kesulitan pangan 66-100. Hal ini tidak dilakukan diduga karena dua faktor, yakni faktor tidak
memiliki harta berharga dan kedua karena tidak dianggap darurat sekali masih memungkinkan dicari alternatifnya.
Adanya kelompok rumah tangga miskin yang tidak menerapkan strategi adaptasi sejatinya menarik untuk dicermati. Ada kecenderungan hal tersebut
dilakukan pula oleh mereka yang secara fisik masih memungkinkan untuk melakukan berbagai aktivitas kerja. Faktor penyebabnya tidak lain adalah
kemalasan, yaitu kemalasan yang muncul sebagai akibat banyaknya program bantuan dan program ketahanan pangan yang bersifat instan. Program-program
yang digulirkan tanpa disertai upaya pemberdayaan kearah kemandirian rumah
75
tangga miskin mengakibatkan menguatnya ketergantungan dan memudarnya partisipasi dan inisiatif rumah tangga miskin.
Faktor banyaknya bantuan pula yang kemudian menumbuhkan perilaku meminjam ngutang, yang hasil pinjaman ini cenderung dimanfaatkan untuk
kegiatan-kegiatan konsumtif, bukan aktivitas produktif. Meminjam di jaman seperti sekarang ini bukan lagi berkategori strategi adaptasi, tetapi lebih
merupakan perilaku konsumtif yang secara sosial menjalar dan membudaya dari kaum yang berada
the have
kepada kaum yang miskin
the have not
. Inilah yang dikhawatirkan oleh para perencana pembangunan partisipatif, yakni
memudarnya partisipasi itu sendiri.
5.5.9 Motivasi Ketahanan Pangan Responden
Pembahasan apakah strategi adaptasi rumah tangga miskin dalam menghadapi kerawanan pangan benar-benar strategi atau suatu bentuk perilaku
menyimpang dari kaum miskin yang ketergantungan pada program-program ketahanan pangan dari luar? Tampaknya dapat dicermati lebih dalam dari
motivasi ketahanan pangan rumah tangga miskin. Hasil penelitian mengungkap dan mempertajam apa yang dihipotesis dan
dianalisis pada sub bab sebelumnya. Benar bahwa motivasi rumah tangga miskin di Kabupaten Bandung dalam ketahanan pangan bersifat semu, instan dan telah
dengan secara kuat meracuni pemikiran dan mental rumah tangga miskin, sehingga motivasi mereka dalam ketahanan pangan hanya ingin mendapatkan
bantuan pangan. Sementara keberdayaan kemandirian sebagaimana diharapkan tidak terbangun, bahkan cenderung melemah dari waktu ke waktu.
Kaum miskin sudah tidak termotivasi untuk bertani, karena bagi mereka bertani dianggap tidak akan menyelesaikan kerawanan pangan rumah tangganya
33,4 responden sangat rendah motivasinya. Motivasi yang rendah juga terlihat pada aspek keterlibatan dalam lembaga atau kegiatan sosial, 50 responden
memandang bahwa keterlibatannya tidak akan berdampak positif terhadap penyelesaian kerawanan pangan rumah tangganya. Hal yang paling rendah
motivasinya adalah untuk mengganti atau mendiversifikasikan pangan pokok
76
dengan pangan alternatif. Sekitar 95 responden tidak memiliki motivasi untuk mengganti pangan pokok.
Ironisnya program-program ketahanan pangan yang digulirkan selama ini oleh berbagai pihak, direspon cukup signifikan 30-35. Mereka pada umumnya
masih mengharpkan bantuan agar semakin banyak, semakin besar dan berjalan terus. Adanya program sangat dirasakan oleh mereka, karena ketersediaan pangan
rumah tangga terjaga, kemampuan mendapatkan pangan lebih meningkat, ketersediaan pangan minimal untuk satu bulan terjamin, dan sebagainya. Bagi
kaum miskin pedesaan yang nyata, program dipandang tidak menyebabkan ketergantungan. Namun bagi kaum miskin di desa-kota, adanya bantuan dirasakan
oleh sebagian dari mereka telah mengakibatkan terjadinya ketergantungan kaum miskin terhadap program-program. Akibatnya, motivasi mereka dalam program
benar-benar mencari pangan dan pendapatan yang paling gampang instan, tidak usaha bekerja dan tidak menyita waktu banyak. Lebih jauh, mereka menjadi
bersifat menunggu bukan mencari pangan atau pendapatan. Inilah persoalan besar yang harus dipecahkan, bagaimana program berjalan tanpa disertai pengurangan
modal-modal sosial yang potensial. Secara spasial maupun parsial, motivasi ketahanan pangan rumah tangga
miskin di pedesaan Paseh dan Ibun lebih tinggi dibandingkan motivasi rumah tangga miskin di desa-kota. Pada umumnya, rumah tangga miskin di pedesaan
lebih nyata dibanding dengan di desa-kota. Hal ini terjadi karena batasan dan kontrol sosial miskin di pedesaan lebih kuat daripada di perkotaan. Disamping itu,
semangat kaum miskin pedesaan untuk menjaga atau memperbaiki ketahanan pangan rumah tangganya juga lebih tinggi. Meskipun lapangan pekerjaan di
pedesaan jenuh, namun kaum miskin pedesaan tetap mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk menjaga kecukupan dan ketahanan pangannya.
Pada masyarakat miskin pedesaan, daya juang dan motivasinya yang relatif masih tinggi harus dipertahankan sebagai modal untuk meraih
kemandiriannya. Tugas beratnya, program yang digulirkan harus sejalan dan mumpuni dioperasikan dengan potensi yang dimiliki oleh kaum miskin tersebut.
Pengerahan seluruh anggota rumah tangga untuk bekerja dan memperoleh
77
pendapatan merupakan daya juang yang sangat luar biasa untuk sebuah aksi pemberdayaan. Oleh karena itu, perlu diidentifikasi aktivitas-aktivitas yang
dilakukan oleh tiap-tiap anggota rumah tangga tersebut. Hasil analisis gender pada desa-desa di Kabupaten Bandung mengungkap bahwa sesungguhnya di dalam
rumah tangga miskin itu sudah ada pembagian tugas yang jelas. Bahkan teridentifikasi bahwa, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bekerja di
sektor produktif. Ada ungkapan bahwa semakin miskin sebuah rumah tangga maka semakin
tinggi tingkat partisipasi anggota rumah tangga tersebut dalam mencari penghidupan. Ungkapan tersebut benar apa adanya di pedesaan. Sekalipun mereka
tidak bekerja produktif, maka mereka pergi setiap hari untuk mendapatkan sesuatu, seperti pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, pergi ke sungai untuk
mencari ikan, pergi ke sawah untuk mencari ikan belut, pergi ke kebun mencari rumput yang dapat digunakan untuk ternak atau di jual, pergi mengembalakan
ternak, pergi ke saudara atau tetangga mencari pekerjaan serabutan, dan sebagainya. Pola semacam ini sejatinya membuat hidup mereka produktif.
Bahkan, jika dicermati, tingkat partisipasi masyarakt miskin dalam kegiatan sosial, maka jauh lebih tinggi dibandingkan kaum yang berada. Modal sosial
mereka seperti kepedulian dan kegotong-royongannya juga masih tertanam kuat. Secara parsial, perilaku ketahanan pangan rumah tangga miskin di
Kabupaten Bandung lemah dalam aspek pengetahuan tentang program ketahanan pangan 37,5, adaptasi rumah tangga dalam menghadapi kerawanan pangan
38,3 dan motivasi ketahanan pangan 44,5. Sedangkan aspek perilaku ketahanan pangan yang kondisinya relatif baik adalah akses pangan rumah tangga
miskin akses fisik dan aspek waktu terjadinya ketahanan pangan cenderung terkonsentrasi pada musim kemarau. Sedangkan aspek lainnya menampilkan
derajat atau kinerja yang sedang atau tergolong biasa. Secara komparatif, perilaku ketahanan pangan rumah tangga di Kecamatan
Paseh dan Ibun lebih buruk dibandingkan dengan perilaku ketahanan rumah tangga miskin di Kecamatan Banjaran dan Pameungpeuk. Perilaku di desa-kota
Banjaran dan Pameungpeuk berada pada kondisi sedang dan baik, dengan
78
tingkat perilaku buruk hanya 9,2-9,5. Sedangkan perilaku ketahanan pangan di desa pedesaan Paseh dan Ibun menampilkan kinerja buruk 45,2-50,7.
Perilaku ketahanan pangan yang buruk tersebut terutama diakibatkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan rumah tangga miskin terhadap program ketahanan
pangan dan rendahnya motivasi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sedangkan perilaku ketahanan pangan desa-kota menampilkan kinerja yang
relatif baik, dari dari segi pengetahuan terhadap konsep dan program ketahanan pangan, sikap terhadap program ketahanan pangan, akses terhadap sumber
pangan, strategi adaptasi dalam menghadapi kerawanan pangan, dan motivasi dalam mewujudkan ketahanan pangan, meskipun sudah terkontaminasi oleh bias
orientasi. Keadaan tersebut menegaskan bahwa, baik kepada rumah tangga miskin pedesaan maupun pinggiran kota, upaya pemberdayaan harus dilakukan secara
terpadu dan didorong kearah kemandirian, bukan sebaliknya menjebak mereka dalam ketergantungan.
5.6 Perilaku Komunikasi Rumah Tangga Miskin dalam Ketahanan Pangan