10
8. Status gizi keluarga terutama balita.
Khumaidi
dalam
Roesini Sukanta 1997 menyebutkan beberapa faktor lain
yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, antara lain : 1. Jumlah tanggungan keluarga.
Besarnya tanggungan keluarga dapat menyebabkan tingkat pengeluaran yang lebih banyak sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas
pangan yang dibeli. 2. Tingkat pendidikan Kepala Rumahtangga.
Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan pendapatan keluarga, mengatur penggunaan pendapatan dengan bijaksana, dan
mampu memilih jenis makanan yang murah dan bergizi tinggi. 3. Luas lahan garapan atau kepemilikan alat tangkap ikan.
Luas lahan garapan dan kepemilikan alat tangkap ikan disertai dengan kemampuan
pengelolaan usahatani,
diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan rumahtangga petaninelayan. Mubyarto, 1994
4. Tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan berkaitan erat dengan daya beli terhadap pangan dalam
jumlah cukup dan bernilai gizi baik.
2.3. Dampak dari ketahanan pangan yang rendah.
Kepastian untuk mendapatkan pangan keterjaminan, berkaitan erat dengan ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Apabila rumahtangga mampu membeli
kebutuhan pangan untuk konsumsi anggotanya maka ketersediaan pangan di tingkat rumahtangga dapat tercukupi. Hal ini berarti pula keterjaminan pangan
dapat terpenuhi. Distribusi dan pemasaran merupakan hal lain yang menunjang terhadap keterjaminan masyarakat memperoleh pangan. Distribusi akan sangat
berkaitan dengan kondisi sarana dan prasarana penunjangnya Soetatwo Hadiwigeno, 1996.
Pada sisi konsumsi terdapat fakta bahwa masih tingginya penduduk yang rawan pangan dan kelaparan. Berdasarkan hasil perhitungan FAO 2005
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 6 penduduk yang menderita
11
kelaparan yaitu sekitar 12 juta 600 ribu orang, atau satu diantara 17 orang penduduk Indonesia menderita kelaparan. Berdasarkan hasil penelitian Anis Catur
Adi 1999 di tiga kabupaten yaitu di Kabupaten Pasuruan, Probolinggo dan Kota Sidoardjo menunjukkan bahwa ada sekitar 18.3 rumahtangga rawan pangan dan
9.3 rumahtangga menderita kelaparan. Menurut Soekirman 1996 cukup tidaknya ketersediaan pangan di pasar
berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan bagi keluarga miskin dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan pangan keluarganya
terancam. Hardinsyah 2001
dalam
Tuti Gantini 2004 mengungkapkan bahwa tiga dari 10 anak balita Indonesia mengalami gizi kurang KEP, tiga dari sepuluh
wanita hamil mengalami kurang energi kronik KEK, enam dari 10 keluarga berpotensi mengalami rawan pangan
food insecurity
karena tidak mampu memenuhi dua pertiga dari kebutuhan pangannya. Penentu utama ketahanan
pangan di tingkat rumahtangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses dan ketersediaan pangan tersebut.
Tingginya kasus rawan pangan dan kelaparan di Indonesia apabila tidak segera ditangani dengan serius, maka hal ini akan menimbulkan masalah yang
juga serius bagi kualitas sumberdaya manusia di masa depan. Menurut Sihadi 2005 bahwa anak balita yang mengalami rawan pangan dan kelaparan apalagi
sampai mengalami gizi buruk meskipun mereka terselamatkan dari kematian, namun dalam tingkatan tertentu menyebabkan berat otak, jumlah sel, ukuran besar
sel, dan zat-zat biokimia lainnya lebih rendah daripada anak-anak normal, bahkan IQ anak yang menderita gizi buruk lebih rendah 13,7 poin dibandingkan dengan
anak yang normal.
1
2.4. KIE Ketahanan Pangan Keluarga Miskin