Analisis Efektifitas Transmisi Moneter Ganda di Indonesia

(1)

SKRIPSI

ANALISIS EFEKTIVITAS TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER GANDA DI INDONESIA

OLEH

INGRIT MAGDALENA 100501098

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti transmisi moneter ganda yaitu konvensional dan syariah terhadap tingkat inflasi. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah Vector Error Corection Model (VECM) dan Uji Kausalitas Granger yang bertujuan untuk melihat hubungan dan keterkaitan transmisi moneter Ganda dari kebijakan konvensional dan dari kebijakan syariah terhadap inflasi. Hasil penelitian menunjukkan transmisi moneter konvensional memiliki kesinambungan terhadap inflasi yang dimulai dari SBI (Sertifikat Bank Indonesia) menuju ke LOAN dan LOAN menuju IHK yang dijadikan indikator dalam melihat inflasi sedangkan dari sisi transmisi monenter syariah menunjukkan tidak adanya kesinambungan dari variabel-variabel syariah menuju ke inflasi, variabel syariah hanya berkesinambungan diantara variabel-variabel tersebut. Selain itu variabel konvensional seperti PUAB dan SBMK memberikan pengaruh positif terhadap inflasi dalam jangka pendek dan panjang, LOAN dan SBI memberikan pengaruh negatif terhadap inflasi dalam jangka panjang kemudian variabel syariah dalam jangka panjang hampir semua menunjukkan pengaruh negatif terhadap inflasi kecuali variabel FINC.

Kata Kunci: Inflasi,Transmisi Moneter Konvensional,Transmisi Moneter Syariah, VECM, Kausalitas.


(3)

ABSTRACT

This study aims to examine the monetary transmission of dual banking system from is a conventional and sharia to the inflation rate. In this study, the model used is the Vector Error correction model (VECM) and Granger Causality Test which aims to look at the relationship and linkages Dual transmission of monetary policy from the conventional and sharia policy against inflation. The results showed the conventional monetary transmission has continuity to inflation starting from SBI (Bank Indonesia Certificate) and LOAN LOAN heading towards CPI is used as an indicator in view of the transmission of inflation while monenter sharia showed no continuity of sharia variables leading to inflation , sharia is only continuous variables among these variables. In addition to the conventional variables such as interbank and SBMK a positive influence on inflation in the short and long term, and SBI LOAN negatively impact inflation in the long run then the variable sharia in the long run almost all showed a negative effect on inflation except FINC variables.

Keyword : Inflation, Conventional Monetary Transmission, Sharia Monetary Transmission, VECM, Causality Test.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Efektifitas Transmisi Moneter Ganda di Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu kepada:

1. Orang tua penulis, Ayahanda H.Pantur Sihite dan Ibunda Kartini Napitupu lu yang selalu menjadi motivasi penulis untuk lebih maju dan yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dana sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac.Ak, CA selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Sekertaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc, Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekertaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Dosen Pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Rachmat Sumanjaya HSB, M. Si dan Bapak Sayarief Fauzie, SE, M.Ak, Ak selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan kritikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh Bapak/ Ibu Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Staff Akademik Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan mahasiswa stambuk 2010 S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, namun semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Medan, Juli 2014

Ingrit Magdalena NIM. 100501098


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR GRAFIK ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian... 9

1.4.Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kebijakan Moneter ... 11

2.2. Teori Tingkat Bunga ... 14

2.3. Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional ... 18

2.4. Transmisi Kebijakan Moneter Syariah ... 22

2.5. Penelitian Terdahulu ... 28

2.6. Kerangka Pemikiran ... 31

2.7. Hipotesis Penelitian ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Definisi Operasional Variabel ... 34

3.3. Jenis Data ... 36

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

3.5. Teknik Analisis ... 36

3.5.1. Uji Akar Unit (Augmented Dickey Fuller/ADF) ... 37

3.5.2. Penentuan Panjang Lag ... 38

3.5.3. Uji Kointegrasi (Johansen Cointegration Test) ... 39

3.5.4. Vector Auto Regression (VAR)/VECM ... 40

. 3.5.5. Impulse Response Function (IRF) ... 43


(6)

3.5.7. Analisis Kausalitas Granger ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. Gambaran Deskriptif Variabel ... 47

4.1.1. Gambaran umum Perkembangan Transmisi Kebijakan Moneter ... 47

4.1.2. Variabel-variabel dalam Perbankan Ganda ... 48

4.2. Analisis Data ... 54

4.2.1. Pengujian Stasioneritas ... 54

4.2.2. Penentuan Panjang Lag ... 56

4.2.3. Uji Kointegrasi ... 58

4.2.4. Uji Stabilitas Model VAR ... 60

4.2.5. Uji VECM ... 61

4.2.6. Uji Impulse Response Function (IRF) ... 66

4.2.7. Uji Forecasting Error Variance Decomposition ... 73

4.2.8. Uji Kausalitas Grager ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

5.1. Kesimpulan ... 79

5.2. Saran. ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(7)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah

Tahun 2005-2012 ... 3 3.1. Jenis, Satuan, Simbol, dan Sumber Data ... 36 4.1. Hasil Uji Stasioneritas – ADF Test pada Level... 55

4.2. Hasil Uji Stasioneritas – ADF Test pada First

Difference ... 56 4.3. Hasil Penentuan Panjang Lag Pada Transmisi Moneter

Konvensional ... 57 4.4. Hasil Penentuan Panjang Lag Pada Transmisi Moneter

Syariah ... 57 4.5. Hasil Uji Kointegrasi Variabel-variabel Transmisi

Moneter Konvensional ... 59 4.6. Hasil Uji Kointegrasi Variabel-variabel Transmisi

Moneter Syariah ... 60 4.7. Uji Stabilitas Model VAR ... ... 61 4.8. Hasil Uji VECM Variabel-variabel Transmisi Moneter

Konvensional ... 63 4.9. Hasil Uji VECM Variabel-variabel Transmisi Moneter

Syariah ... 65 4.10. Nilai Impulse Response Transmisi Moneter Konvensional

Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 69 4.11. Nilai Impulse Response Transmisi Moneter Syariah

Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 72 4.12. Nilai Varian Decomposition Transmisi Moneter

Konvensional Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 73 4.13. Nilai Varian Decomposition Transmisi Moneter

Syariah Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 74 4.14. Hasil Uji Kausalitas Granger Transmisi Moneter

Konvensional ... 76 4.15. Hasil Uji Kausalitas Granger Transmisi Moneter


(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Skema Al – Musyarakah ... 25

2.2. Skema Al – Mudharabah ... 27

2.3. Skema Pemikiran ... ... 28

3.1. Proses Pembentukan Analisis VAR ... 46

4.1. Alur Transmisi Moneter Konvensional Sampai Ke IHK ... 76

4.2. Alur Transmisi Moneter Syariah Sampai Ke IHK ... 78


(9)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman

4.1. Perkembangan SBI, PUAB dan SBMK ... 49

4.2. Perkembangan LOAN dan IHK ... 51

4.3. Perkembangan SBIS, PUAS, dan FINC ... 52

4.4. Perkeembangan IHMK ... 53

4.5. Hasil Uji Impulse Response Transmisi Moneter Konvensional ... 67

4.6. Hasil Uji Impulse Response Transmisi Moneter Syariah ... 70


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data Mentah ... 84

2 Uji Stasioner Pada Tingkat Level ... 87

3 Uji Stasoineritas Pada First Difference (Tanpa Tren) ... 90

4 Penentuan Panjang Lag Transmisi Moneter Konvensional . 93 5 Penentuan Panjang Lag Transmisi Moneter Syariah ... 94

6 Uji Kointegrasi TransmisiMoneter Konvensional ... 95

7 Uji Kointegrasi TransmisiMoneter Syariah ... 97

8 Uji Stabilitas Model VAR ... 99

9 Uji VECM Variabel-variabel Transmisi Moneter Konvensional ... 100

10 Uji VECM Variabel-variabel Transmisi Moneter Syariah ... 102

11 Grafik Impulse Response Variabel-variabel Transmisi Moneter Konvensional Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 104

12 Grafik Impulse Response Variabel-variabel Transmisi Moneter Syariah Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 105

13 Tabel Nilai Impulse Response Variabel-variabel Transmisi Moneter Konvensional Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 106

14 Tabel Nilai Impulse Response Variabel-variabel Transmisi Moneter Syariah Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 108

15 Tabel Nilai Variance Decomposition Variabel-variabel Transmisi Moneter Konvensional Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 110

16 Tabel Nilai Variance Decomposition Variabel-variabel Transmisi Moneter Syariah Tiap Tahun Selama 10 Tahun ... 112

17 Uji Kausalitas Transmisi Moneter Konvensional ... 114


(11)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti transmisi moneter ganda yaitu konvensional dan syariah terhadap tingkat inflasi. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah Vector Error Corection Model (VECM) dan Uji Kausalitas Granger yang bertujuan untuk melihat hubungan dan keterkaitan transmisi moneter Ganda dari kebijakan konvensional dan dari kebijakan syariah terhadap inflasi. Hasil penelitian menunjukkan transmisi moneter konvensional memiliki kesinambungan terhadap inflasi yang dimulai dari SBI (Sertifikat Bank Indonesia) menuju ke LOAN dan LOAN menuju IHK yang dijadikan indikator dalam melihat inflasi sedangkan dari sisi transmisi monenter syariah menunjukkan tidak adanya kesinambungan dari variabel-variabel syariah menuju ke inflasi, variabel syariah hanya berkesinambungan diantara variabel-variabel tersebut. Selain itu variabel konvensional seperti PUAB dan SBMK memberikan pengaruh positif terhadap inflasi dalam jangka pendek dan panjang, LOAN dan SBI memberikan pengaruh negatif terhadap inflasi dalam jangka panjang kemudian variabel syariah dalam jangka panjang hampir semua menunjukkan pengaruh negatif terhadap inflasi kecuali variabel FINC.

Kata Kunci: Inflasi,Transmisi Moneter Konvensional,Transmisi Moneter Syariah, VECM, Kausalitas.


(12)

ABSTRACT

This study aims to examine the monetary transmission of dual banking system from is a conventional and sharia to the inflation rate. In this study, the model used is the Vector Error correction model (VECM) and Granger Causality Test which aims to look at the relationship and linkages Dual transmission of monetary policy from the conventional and sharia policy against inflation. The results showed the conventional monetary transmission has continuity to inflation starting from SBI (Bank Indonesia Certificate) and LOAN LOAN heading towards CPI is used as an indicator in view of the transmission of inflation while monenter sharia showed no continuity of sharia variables leading to inflation , sharia is only continuous variables among these variables. In addition to the conventional variables such as interbank and SBMK a positive influence on inflation in the short and long term, and SBI LOAN negatively impact inflation in the long run then the variable sharia in the long run almost all showed a negative effect on inflation except FINC variables.

Keyword : Inflation, Conventional Monetary Transmission, Sharia Monetary Transmission, VECM, Causality Test.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kebijakan moneter (monetary policy) memiliki peran yang sangat krusial dalam upaya pencapaian sasaran ekonomi makro. Pengambilan kebijakan moneter yang tepat akan mampu mempengaruhi stabilitas harga, tingkat pertumbuhan ekonomi, penciptaan dan perluasan kesempatan kerja melalui jalur mekanisme moneter yang diambil. Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan suatu proses dimana suatu kebijakan yang dibuat dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam suatu negara, saluran transmisi kebijakan moneter dilakukan melalui enam saluran yaitu suku bunga, kredit,harga aset, neraca perusahaan, nilai tukar dan ekspektasi, kebijakan ini seluruhnya dijalankan oleh bank sentral yang merupakan mitra utama pemerintah dalam menggerakkan dan menjalankan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya .

Melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) atau Open Market Operation salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan Bank Indonesia adalah terkendalinya laju inflasi tahunan yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Berkaitan dengan itu,dalam rangka pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tersebut, Bank Indonesia dapat menerapkan kerangka kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar (target kuantitas) atau suku bunga (target suku bunga), pengendalian suku bunga


(14)

dilakukan dengan menetapkan suku bunga jangka pendek sebagai target operasional.

Sementara itu, di Indonesia sendiri kebijakan perbankan mulai dikeluarkan pada tahun 1992 yang berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian didukung oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), (Dahlan Slamat, 2005:407). Dual banking system adalah penerapan dan pemberlakuan terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional atau bank umum yang beroperasi dengan sistem bunga dan bank yang beroperasi dengan sistem syariah secara berdampingan), yang secara umum juga tidak membatasi bank umum konvensional dalam memberikan layanan secara syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).

Perbankan syariah mulai diterapkan di indonesia setelah diberlakukannya undang-undang No.7 Tahuun 1992 tentang perbankan sebagaiman telah diubah dengan UUNo.10 Tahun 1998. Dengan diperkenalkannya perbankan berdasarkan prinsip syariah, maka sistem perbankan di Indonesia saat ini disamping perbankan konvensional yang kita kenal dapat pula dijalankan dengan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan usaha perbankan syariah pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan atas dasar prinsip syariah sebagaimana digariskan syariah (hukum) islam.


(15)

Bank syariah dalam menjalankan operasinya tidak menggunakan sistem bunga sebagai dasar penentuan imbalan yang akan diterima atas pembiayaan yang diberikan dan atau pemberian imbalan atas dana masyarakat. Penentuan imbalan yang diinginkan dan yang akan diberikan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip syariah. Hal ini disebabkan ajaran Islam melarang pengenaaan riba, yang oleh banyak pemuka agama Islam ditafsirkan sebagai larangan memungut bunga.

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perbankan syariah, Bank Indonesia terus melakukan sosialisasi yang intensif. Kegiatan sosialisasi atau edukasi publik dilakukan dalam berbagai bentuk seperti seminar, lokakarya, liputan, melalui media massa cetak dan elektronik, serta penerbitan buku-buku tentang perbankan syariah yang pengembangannya dibantu oleh para Nahdathul Ulama, Masyarakat Ekonomi Syariah dan lembaga lainnya.

Perkembangan usaha perbankan syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat dilihat dari jumlah bank dan kantor bank, kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana.

Tabel 1.1

Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah Tahun 2005-2012

Kelompok bank 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Bank Umum Syariah

Unit Usaha Syariah Jumlah Kantor BUS & UUS 3 19 504 3 20 531 3 26 597 5 27 953 11 23 998 11 23 1477 11 24 1737 11 24 2262


(16)

Jumlah BPRS 92 105 114 131 138 150 155 158 Total 596 659 740 1116 1167 1661 1927 2455 Sumber : Bank Indonesia, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2013

Tabel diatas menunjukkan perkembangan perbankan syariah tahun 2008 yaitu adanya penambahan Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 7 unit, pada tahun 2005 jumlah BUS adalah 3 unit, tetapi unit usah syariah sudah mencapai 19 unit dan peningkatan yang paling baik ditunjukan pada tahun 2008 dengan jumlah BUS 5 unit, tetapi unit syariah mencapai 27 unit. Perkembangan yang paling mencolok adalah pada kantor BUS dan UUS. Pada tahun 2009 jumlah kantor BUS dan UUS 998 unit , tetapi pada tahun 2012 telah mencapai 2262 unit. BPR Syariah (BPRS) juga mengalami peningkatan jumlah yang sangat pesat, dari hanya 92 unit pada tahun 2005 menjadi 150 unit pada tahun 2012, mengingat wilayah operasional BPR adalah pada wilayah-wilayah pedesaan dan daerah terpencil, maka penambahan jumlah BPRS sangat positif, sebab semakin banyak lembaga keuangan yang melayani masyarakat kelompok kecil.

Berkebalikan dengan prinsip bank konvensional di mana bank konvensional yang dalam operasionalnya menetapkan dan menggunakan metode bunga. Tingkat bunga yang dinyatakan dalam persentase tersebut merupakan aspek penting yang selalu terkait dengan kegiatan usaha bank konvensional, yang dilakukan dengan mengeluarkan produk-produk untuk menyerap dana dari masyarakat antara lain tabungan, simpanan deposito, simpanan giro; menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara mengeluarkan dan


(17)

menyalurkan kredit antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit konsumtif, kredit jangka pendek; dan pelayanan jasa keuangan antara lain kliring, inkaso, kiriman uang, Letter of Credit, dan jasa-jasa lainnya seperti jual beli surat berharga, bank draft dan perdagangan efek.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia fungsi dan penerapan Bank Konvensional sangat penting dan strategis. Bank Konvensional sangat penting dalam hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter dalam pembangunan ekonomi. Kredit-kredit dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi, sebagian besar disalurkan oleh bank konvensional. Di Indonesia, pendirian bank konvensional milik pemerintah juga mempunyai misi pembangunan. Setelah era regulasi perbankan tahun 1983, pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia ikut mendirikan badan usaha milik daerah (BUMD), yang juga salah satunya menopang pembangunan daerah.

Banyak ahli perbankan di negara-negara maju mendefinisikan bank konvensional merupakan institusi keuangan yang berorientasi laba. Untuk memperoleh laba tersebut bank konvesional melaksanakan fungsi intermediasi. Karena diijinkan mengumpulkan dana dalam bentuk deposito, bank konvensional disebut juga sebagai lembaga keuangan depositori.

Sebagai sebuah lembaga keuangan, aset terbesar yang dimiliki bank konvensional adalah aset finansial. Semakin besar aset yang dimilki suatu bank, biasanya porsi aktiva tetapnya semakin kecil. Jarang sekali bank konvesional yang termasuk kategori bank besar yang porsi aktiva tetapnya melebihi 5% apalagi


(18)

10% dari total aset. Aset utama bank konvensional adalah kredit yang disalurkan kepada debitur dengan imbal hasilnya adalah bunga. Dalam kondisi yang normal aset dari kredit porsinya mencapai 65%-75% dari aset total yang dimiliki bank tersebut.

Disis lain, sebelum juli 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter yang mengacu kepada target uang primer. Kerangkan ini dianggap cukup efektif dalam menarik kembali kelebihan likuiditas diperbankan yang merupakan akibat dari bantuan likuiditas Bank Indonesia, dalam menjalankan fungsi bank sentral sebagai banker of bank yang dikenal juga sebagai lender of last resort.

Dalam perkembangannya pada mekanisme transmisi kebijakan moneter peranan suku bunga memiliki pengaruh yang semakin penting dalam mempengaruhi variabel makro ekonomi terutama inflasi dibandingkan dengan peranan uang primer. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang tidak stabil antara pengaruh uang primer dengan tingkat inflasi dan sulitnya mengendalikan pertumbuhan ekonomi dan uang primer oleh bank sentral karena adanya perubahan perilaku permintaan uang kartal,giral dan kuasi masyarakat di indonesia

Selanjutnya, untuk mendukung efektivitas transmisi kebijakan moneter yang lebih optimal serta menciptakan kerangkan kebijakan moneter yang kuat dan antisipatif maka Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan moneter berbasis suku bunga. Kerangka kebijakan moneter yang baru yaitu Inflation


(19)

Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja dilakukan secara transparan, konsisten serta komitmen dalam rangka mencapai sasaran inflasi yang rendah dan stabil dalam beberapa tahun kedepan. Dengan penetapan dan pengumuman secara eksplisit Inflation Targeting Framework (ITF) mulai di implementasikan Bank Indonesia sejak juli 2005.

Dalam mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI- Rate) yang merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan stance moneter dalam merespon prospek sasaran inflasi kedepan. BI Rate diumumkan secara periodik kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu tertentu. Perubahan BI Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap perkembangan kondisi makroekonomi.

Secara umum prasyarat utama berjalannya transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga yaitu ditandai dengan adanya Interest rate pass- through yang menggambarkan adanya transmisi perubahan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan sebagai perubahan suku bunga official bank sentral. Seperti studi yang dilakukan De Bondt, 2002 (dikutip dalam Ascarya, 2012) mengatakan kecepatan dan kepenuhan pass-through dari suku bunga official menuju pasar uang dan perbankan menjadi kekuatan transmisi kebijakan moneter.

Selain itu Taylor, 1995 (dikutip dalam Natsir) dalam studinya mengatakan jalur suku bunga menekankan perubahan struktur suku bunga di sektor keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan kepada suku


(20)

bunga menengah/ panjang yang selanjutnya mempengaruhi permintaan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap inflasi. Jalur suku bunga pada mekanisme transmisi kebijakan moneter menekankan pada aspek harga yang berpengaruh pada aktivitas ekonomi di sektor rill, selain itu kondisi perbankan yang sehat merupakan syarat mutlak berjalannya kebijakan moneter dalam perekonomian di suatu negara.

Dengan kemajuan perkembangan perbankan syariah maka transmisi kebijakan moneter tidak hanya berpengaruh pada bank konvensional saja, namun juga perbankan syariah karena mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat juga melalui jalur syariah , instrumen kebijakan moneter tidak hanya melalui bunga saja tetapi juga menggunakan sistem bagi hasil atau fee. Dengan begitu interest rate pass through dapat disebut policy rate pass-through dimana konvensional

menggunakan bunga sedangkan syariah dengan sistem bagi hasil atau fee.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia”

1.2.Perumusan Masalah

Mekanisme transmisi kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi maka diperlukan alur transmisi yang paling efektif dalam meningkatkan aktivitas ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter sistem perbankan ganda yaitu


(21)

konvensional dan syariah di indonesia guna mengetahui efektifitas kebijakan moneter ganda dalam sistem perbankan ganda.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas , masalah penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah transmisi kebijakan moneter ganda di Indonesia yaitu jalur suku bunga untuk Bank Konvensional dan sistem bagi hasil bagi Bank Syariah efektif ?

2. Bagaimana peran Bank Syariah dengan sistem bagi hasil dan peran Bank Konvensional dengan sistem bunga mempengaruhi tingkat inflasi ?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui efektivitas transmisi kebijakan moneter ganda di indonesia melalui jalur suku bunga untuk Bank Konvensional dan sistem bagi hasil bagi Bank yang berdasarkan Syariah

2. Untuk mengetahui peran Bank Syariah melalui sistem bagi hasil dan Bank Konvensional melalui jalur suku bunga dalam keterkaitan pengendalian inflasi


(22)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagi Bank Indonesia dapat menjadi acuan dalam menetukan alur dan efektivitas transmisi kebijakan moneter ganda di Indonesia.

2. Bagi peneliti dapat meningkatkan wawasan tentang penelitian yang dilakukan.

3. Bagi pembaca, mahasiswa, akademisi, diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat dijadikan referensi dalam penelitian-penelitian yang sejenis.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan Bank Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar). Pada negara yang didominasi dengan sistem ekonomi kapitalis, perkembangan keuangan kapitalis melalui bank konvensional sangat berpengaruh terhadap penerapan kebijakan moneter yang dikenal luas dengan kebijakan moneter perspektif konvensional. Melalui lembaga perbankan kebijakan moneter perspektif konvensional telah lama dipakai dan mencapai sasaran moneter, namun dengan berakhirnya krisis moneter/ekonomi, semakin banyak bank yang bermasalah, akibatnya bertambah banyak pula bank yang dilikuidasi.

Salah satu masalah yang muncul adalah bank menghadapi negative spread (suku bunga tabungan lebih besar dari pada suku bunga pinjaman), sehingga bank sulit memperoleh keuntungan. Jika sistem bunga menimbulkan negative spread, maka bank dapat mencari solusi lain, seperti sistem bagi hasil yang ditawarkan bank syariah, ekonomi dan keuangan dengan prinsip islam secara bertahap telah digunakan selam 30 tahun terakhir di berbagai negara, baik itu secara tunggal ataupun ganda yang berdampingan dengan konvensional. Perkembangan keuangan dan ekonomi islam akan mendorong perkembangan kebijakan moneter dalam perspektif islam.


(24)

Indonesia bukanlah negara pertama yang menerapkan lembaga keuangaan berdasarkan sistem ganda. Beberapa negara yang telah terlebih dahulu menerapkannya antara lain adalah Arab Saudi, Mesir, Sudan, Pakistan dan Malaysia. Tetapi sekarang sudah cukup banyak negara yang menerapkan sistem syariah, termasuk di beberapa negara Barat. Ada juga negara yang sepenuhnya menerapkan sistem syariah sebagai landasan operasional sistem keuangannya, misalnya Arab Saudi dan Sudan. Kebanyakan negara, termasuk indonesia memberikan pilihan lembaga-lembaga keuangannya untuk menerapkan sistem konvensional atau syariah dalam pengelolaan lembaga keuangannya.

Menurut pemikiran aliran moneteris mengatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada perkembangan moneter. Milton friedman mengatakan bahwa inflasi merupakan fenomena moneter yang perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan uang yang beredar terlalu tinggi , hanya dengan mengurangi jumlah uang yang beredar maka inflasi akan dapat dihindari, selain itu jumlah uang yang beredar juga akan mempengaruhi perilaku Gross National Product(GNP) rill.

Kebijakan moneter yang menerapkan suku bunga berhubungan dengan tingkat inflasi dan sasaran pertumbuhan moneter seperti pertumbuhan ekonomi dan pengendalian harga. Terdapat berbagai kebijakan moneter yang pelaksanaanya bertujuan untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan tingkat inflasi, diantaranya rezim kebijakan moneter inflation targeting yang dilaksanakan bank indonesia melalui kebijakan suku bunga.


(25)

Model Inflation Targeting Framework merupakan kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi. Namun dalam hal ini walaupun sasaran utamanya adalah inflasi bukan berarti bank indonesia hanya fokus pada inflasi saja dan tidak memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan secara menyeluruh. Inflasi berhubungan positif dengan fluktuasinya, saat inflasi tinggi maka fluktuasinya juga mengalami kenaikan sehingga tidak ada kepastian di masa yang akan datang yang berdampak pada peningkatan suku bunga dalam jangka panjang di karenakan tingginya premi resiko akibat inflasi.

Inflation targeting perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter Bank Indonesia manapun di dunia (Stanley Fischer, 1994). (Guitan, 1994) hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung meningkat mengikuti pertumbuhan naturalnya.

Menurut kelompok moneteris inflasi dapat terjadi akibat adanya peningkatan konsumsi, investasi (PMA dan PMDN) dan pengeluaran pemerintah walaupun jumlah sirkulasi uang yang beredar tidak meningkat. Peningkatan konsumsi mungkin di akibatkan pencairan tabungan masyarakat, sedangkan pengeluaran pemerintah dan investasi diakibatkan oleh perubahan suatu kebijaksanaan. Sedangkan inflation targeting sendiri merupakan gabungan antara aliran klasik dengan aliran keynes. Aliran klasik mengatakan bahwa inflasi merupakan fenomena moneter, sehingga diperlukan kebijakan moneter yang ketat untuk mengatasinya sedangkan aliran keynes mengatakan inflasi disebabkan oleh


(26)

banyaknya pekerja yang mencari kerja sehingga melebihi jumlah kapasitas yang diperlukan bukan karena jumlah uang yang melebihi jumlah barang. Maka dari itu diperlukan kebijakan moneter yang mampu menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran dalam perekonomian yang dilaksanakan secara bijaksana dan sesuai dengan perkembangan yang ada. Kebijakan moneter yang dibuat mempunyai sasaran dalam jangka menengah dan panjang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, sedangkan dalam jangka pendek kebijakan moneter yang dibuat umumnya sesuai dengan target yang akan dicapai.

2.2. Teori Tingkat Bunga

Menurut teori klasik tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga di mana pergerakan tingkat bunga pada perekonomian akan mempengaruhi tabungan (saving) yang terjadi. Dalam hal ini keinginan masyarakt untuk menabung sangat tergantung pada tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin besar keinginan masyarakat untuk menabung atau masyarakat akan terdorong untuk mengorbankan penggeluarannya guna menambah besarnya tabungan. Jadi tingkat bunga menurut klasik adalah balas jasa yang diterima seseorang karena menunda konsumsinya (Nopirin, 1992 : 70).

Menurut keynes tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima seseorang karena orang tersebut tidak menimbun uang atau balas jasa yang diterima seseorang karena orang tersebut mengorbankan liquidity preferencenya. Makin besar liquidity preference seseorang makin besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, makin besar tingkat bunga yang diterima orang tersebut


(27)

bilamana dia meminjamkan uang tersebut kepada orang lain. Pendapat keynes ini sangat berbeda dengan pendapat aliran klasik, dimana tingkat bunga menurut klasik adalah premi yang diterima karena menunda konsumsinya pada masa yang akan datang ( Nopirin, 1992 : 92 ).

Permintaan uang mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat bunga. Hubungan negatif antara permintaan dengan tingkat bunga ini diterangkan Keynes, dia mengatakan bahwa masyarakat mempunyai pendapatan tentang adanya tingkat bunga nominal (natural rate). Bilamana tingkat bunga turun dari tingkat bunga normal, dalam masyarakat ada suatu keyakinan akan naik suku bunga masa yang akan datang.

Tanggapan Keynes tentang bunga juga berhubungan dengan ongkos (harga) memegang uang kas, karena semakin tinggi tingkat bunga semakin besar ongkos memegang uang kas (sesuai dengan tingkat bunga yang diperoleh karena kekayaan dinyatakan dalam bentuk uang kas). Hal ini akan menyebabkan keinginan memegang uang kas juga akan semakin menurun. Bila tingkat bunga turun berarti ongkos memegang uang kas akan semakin rendah sehingga permintaan uang kas naik.

Penambahan jumlah uang beredar akan mempengaruhi tingkat bunga yang terjadi. Dimana penambahan uang beredar tersebut dilakukan melalui kebijakan moneter. Teori bunga moneter dan teori bunga rill merupakan hal yang sangat rumit belakangan ini, apakah tingkat bungakeseimbangan ditentukan oleh


(28)

faktor-faktor rill seperti kebiasaan menabung atau produktivitas investasi, atau tingkat bunga tersebut hanya merupakan fenomena (gejala) yang murni bersifat moneter. Secara umum banyak yang beranggapan bahwa suku bunga yang terjadi ditentukan oleh faktor-faktor rill, sedangkan pengaruh dari sudut moneter hanya bersifat gangguan jangka pendek yang tidak mengubah tingkat bunga keseimbangan. Tingkat suku bunga keseimbangan merupakan suatu tingkat dimana permintaan barang dan jasa sama dengan penawarannya dalam keadaan full employment. Karena yang menentukan suku bunga keseimbangan ini tergantung pada permintaan investasi dan tabungan full employment.

Menurut kaum moneteris (klasik) berpendapat bahwa kekuatan-kekuatan rillah yang menentukan suku bunga rill, sehingga suku bunga nominal sama dengan dengan tingkat suku bunga nominal ditambah inflasi. Bila ekspansi moneter atau adanya pertambahan jumlah uang beredar akan menyebkan terjadinya inflasi, dan selanjutnya akan menurunkan suku bunga nominal dan rill. Jadi suku bunga nominal naik sebesar laju inflasi, dan suku bunga rill tidak akan naik sehingga mengalami perubahan.

Sebagai alat untuk menekan inflasi kenaikan BI rate dimaksudkan untuk menarik jumlah uang yang beredar di masyarakat, yang jumlahnya besar, melebihi kebutuhan aktivitas perekonomian. Dengan naiknya suku bunga pemilik uang diharapkan akan menabung uangnya di bank. Uang akan masuk ke dalam kas bank umum. Itu berarti jumlah uang yang beredar tidak lagi banyak dan dapat dikendalikan dalam penggunanya, baik itu dalam pemberian barang maupun


(29)

kegiatan lainnya. Motif spekulasi penggunaan uang dapat dikurangi, sehingga kecepatan uang yang beredar melemah. Dengan melemahnya jumlah uang yang beredar dimaksudkan juga dapat menekan laju inflasi.

Bank Indonesia mengisyaratkan suku bunga SBI sebagai target operasional dalam mengendalikan moneter. Dengan cara ini Bank Indonesia akan lebih mudah di dalam mengendalikan inflasi dan mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian bank indonesia menjadi pengendali suku bunga di indonesia.

Ketidakseimbangan perbandingan mata uang yang beredar, antara uang kartal dan uang giral, menyebabkan kebijakan moneter yang mempergunakan jumlah uang primer yang beredar selalu menjadi kurang efektif. Perbandingan tersebut kini, kira-kira 80% uang kartal dan kira-kira 20% uang giral. Perbandingan yang memihak pada peenggunaan uang kartal yang lebih besar sebagai pertanda bahwa perekonomian indonesia masih dalam kondisi tertinggal. Perputaran uang dan pertukaran (perdagangan) masih berjalan lambat. Efisiensi perekonomian juga masih relatif rendah.

Jumlah uang kartal dapat berubah secara substantif jika permintaannya naik tidak terkendali, terutama pada masa liburan umum dan hari besar agama. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Dengan demikan jumlah uang primer yang beredar naik turun, sesuai dengan kebutuhan. Semuanya ini akan mempengaruhi nilai tukar uang kartal itu sendiri. Dengan demikian jumlah uang primer yang beredar, sebagai target operasional perbankan menjadi tidak menentu karena kebijakan moneter lainnya tak kuasa menstabilkannya.


(30)

Alasan lainnya adalah suku bunga dapat mempengaruhi alokasi aset yang dimiliki oleh masyarakat. Pemilik aset dapat memilih penempatan dana, yang lebih menguntungkan bagi dirinya. Dengan demikian terjadinya alokasi dana yang efektif, yang lebih menguntungkan secara ekonomis. Disamping itu, dana dimaksud akan mengalir ke sektor-sektor ekonomi yang memerlukan, sektor ekonomi yang produktif sehingga sangat mendukung perekonomian makro. Aliran dana akan terjadi dan masuk ke kantong – kantong produksi yang memerlukan. Perekonomian pun terdorong untuk berkembang. Penempatan aset menjadi lebih pasti dan lebih menguntungkan, apakah akan masuk ke pasar uang atau masuk ke pasar modal. Pemilik aset tinggal memilih. Suku bunga di pakai sebagai alat komparasi mengenai penempatan aset yang lebih menguntungkan.

2.3. Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional

Setelah Bank Sentral mengubah instrumen-instrumen moneternya maka secara teoritis konsep transmisi kebijakan moneter di mulai. Pengubahan instrumen moneter tersebut akan mempengaruhi sasaran operasional, misalnya saja Bank Sentral menaikan rSBI. Peningkatan ini akan berdampak pada kenaikan suku bunga pasar uang antar bank (RPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar dan secara akhir juga berdampak pada penargetan inflasi di masyarakat.

Seiring perkembangan struktur dalam perekonomian maka transmisi kebijakan moneter tidak hanya melalui jalur uang saja (Money Chanel) melainkan berkembang menjadi enam jalur. Salah satu diantaranya melalui jalur suku


(31)

bunga. (Taylor, 1995) dan Bofinger (2001:80) mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga menekankan pada pengeruh perubahan struktur suku bunga di sektor keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan kepada suku bunga menengah/ panjang yang berdampak pada permintaan yang selanjutnya berpengaruh pada inflasi.

Model mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga (interest rate pass through) sudah banyak diteliti di berbagai negara diantaranya penelitian yang dilakukan Rousseas (1985) yang disebut model marginal cost pricing yang menyatakan bahwa perubahan suku bunga cost of fund bank akan diteruskan dalam bentuk perubahan suku bunga bank kepada nasabahnya, karena hal ini mencerminkan perubahan marginal cost dari bank. Model ini masih dianggap sebagai model terbaik untuk menjelaskan interest rate pass through dari suku bunga kebijakan ke suku bunga perbankan Egert el al., 2006 (dikutip dalam Nikoloz Gigineishvili,2011) persamaan umumnya adalah sebagai berikut.

brn,t = γ0 + γmrn,t ... (2.1) dimana br adalah suku bunga yang ditetapkan oleh bank , γ0 adalah markup , dan mr adalah marginal cost price yang di proxy dengan market interest rate. Dengan ide dasar market interest rate merupakan marginal funding cost yang dihadapi bank.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh De Bondt, 2002 (dikutip dalam Kurnia Ningsih,2013) mengatakan bahwa model interest rate pass through dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan biaya dana dengan menerapkan


(32)

model biaya marjinal harga standar untuk pasar keuangan. Teori ini mendasari bahwa suku bunga pasar uang mencerminkan biaya marginal atau opportunity cost karena pada dasarnya bank bergantung pada kedua biaya ini untuk pinjaman jangka pendek. hal ini dinyatakan dengan model :

R = α + , ίM

... (2.2) dimana R adalah harga pasar masing-masing , � adalah koefisien pass through jangka panjang , dan α adalah markup. Jika pasar persaingan sempurna (informasi lengkap dan persaingan sempurna ) dan resiko bank netral, β akan sama dengan 1, menunjukkan pass-through atau elastisitas suku bunga unit permintaan untuk deposito dan pinjaman ( Coricelli , Egert, dan McDonald, 2006). Studi empiris umumnya menunjukkan bahwa dalam prakteknya pass-through biasanya β < 1. Persamaan (2.2) merupakan hubungan ekuilibrium jangka panjang. Secara keseluruhan keseimbangan penyesuaian paling tepat digambarkan dengan error model corecction berikut ,(dikutip dalam Nikoloz Gigineishvili,2011):

�ί tR = μ + ρ (ί tR

- 1 – α – �ί Mt – 1) + γ�ί Mt + ε ... (2.3) di mana ρ mengukur kecepatan penyesuaian, dan γ adalah koefisien pass -through jangka pendek. Persamaan (2.3) dapat lebih diperluas dengan lebih dinamika dalam jangka pendek untuk sampai pada bentuk lag. berikut persamaan autoregressive:

�ί tR = μ + ρ (ί tR

- 1 – α – �ί Mt – 1) + ∑� = 0γk �ί t-kM + ∑� =1 δk �ί tR – k + ε ... (2.4) atau dengan menggantikan �ίt = ίt – ίt -1 dan mengelompokkan istilah yang sama :

ί tR


(33)

Dalam persamaan ini, βk adalah elastisitas interaksi jangka pendek, sementara αk mencerminkan kekuatan suku bunga. Dengan mengestimasi persamaan (2.5), suku bunga jangka panjang koefisien pass-through dapat dihitung sebagai berikut :

� = (∑�+1=0�k) / ( 1- ∑�=1+1�k ) ... (2.6) Hubungan harga mark-up antara pasar dan tingkat bunga menggambarkan bahwa β harus positif. (Weth, 2002).

∑�+1�

�=0 k > 0 ... (2.7) yaitu, dampak kumulatif dari harga pasar kontemporer pada tingkat bunga positif

∑�+1�

�=1 k < 1 ... (2.8) Yang merupakan kondisi stabilitas suku bunga.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Kobayashi (2008) yang membahas tentang incomplete interest pass through di daerah Euro menghasilkan bahwa tidak semua bank komersial langsung merespon perubahan suku bunga kebijakan dan kebijakan moneter tidak memberikan dampak yang sama terhadap keseluruhan ekonomi. Selain itu hanya sebagian dari suku bunga pinjaman perbankan yang disesuaikan dengan adanya perubahan suku bunga kebijakan , fluktuasi suku bunga pinjaman menimbulkan biaya welfare, sehingga bank sentral perlu melakukan stabilisasi perubahan suku bunga pinjaman dengan cara policy rate smoothing. Namun, perubahan drastis suku bunga kebijakan tetap diperlukan ketika terdapat shock yang secara langsung mempengaruhi suku bunga pinjaman.


(34)

Pada umumnya interest rate pass through menggunakan suku bunga pasar sebagai variabel eksogen yang digunakan untuk mengukur pass through suku bunga bank, hampir semua studi menyimpulkan bahwa kecepatan pass through disetiap negara berbeda hal ini dikarenakan proses penyesuaian suku bunga perbankan terhadap suku bunga pasar menjadi lebih homogen dan cepat, selain itu pada negara negara maju umumnya interest pass through nya lebih tinggi hal ini dikarenakan pasar keuangan yang sangat kompetitif dan berkembang di bandingkan dengan negara- negara kecil mengingat bahwa kondisi pasar keuangan di negara-negara kecil biasanya kurang berkembang .

2.4. Transmisi Kebijakan Moneter Islam (Syariah)

Pada moneter konvensional alur transmisi kebijakan melalui enam saluran yaitu jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur uang, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi. Keenam jalur tersebut seluruhnya dapat digunakan dalam moneter konvensional namun tidak begitu dengan moneter islam (ekonomi islam), misalnya saja jalur suku bunga , jalur ini tidak dapat diaplikasikan dalam ekonomi islam karena dalam ekonomi islam konsep bunga diharamkan dan tidak sesuai dengan ajaran islam, maka untuk produk pembiayaan bank syariah secara keseluruhan didasarkan atas prinsip bagi hasil, prinsip bagi hasil tersebut terdiri dari al-musyarakah dan al-mudharabah (Dahlan Siamat, 2005 : 426).

a. Al- Musyarakah

Istilah lain dari musyarakah adalah sharikah atau syirkah. Musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko


(35)

akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah terdiri atas dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan wasiat atau kondisi lainnya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan berbagi keuntungan dan kerugian.

Teknik perbankan

1. Bentuk umum dari usaha bagi hasil musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.

2. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih diman mereka secara bersama –sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

3. Secara spesifikasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (enterpreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) atau intangible asset, seperti hak paten dan goodwill, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.


(36)

4. Dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksible.

Ketentuan umum

Semua modal disatukan untuk dijadikan modala proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menetukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan berikut: 1. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi

2. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya.

3. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaanya atau digantikan oleh pihak lain.

4. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasamaapabila menarik diri dari perserikatan, meninggal dunia dan menjadi tidak cakap hukum

5. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama, keuntungan dibagi sesuaia dengan porsi kontribusi modal.

6. Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.


(37)

Gambar 2.1 Skema Al- Musyarakah

b. Al-Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil ardhi, yaitu berpergian untuk urusan dagang. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatn yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan kelalaian si pengelola. Seadainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Nasabah

Proyek Usaha

Bank

Keuntungan

Bagi hasil keutungan sesuai porsi kontribusi


(38)

Teknik perbankan

1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.

2. Hasil pengelolaan modala pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:

- Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) - Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang telah disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpanan piak nasabah, seperti penyelewengan,kecurangan, dan penyalahgunaan dana.

4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.

5. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban dapat dikenakan sanksi administrasi.


(39)

Gambar 2.2 Skema Al- Mudharabah

Perjanjian bagi hasil

Ditengah perkembangan ekonomi hingga saat ini belum ditemukan teori yang efektif untuk menggambarkan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam konteks moneter islam, demikian pula dengan jalurnya. Namun belakangan ini banyak studi yang mulai bermunculan tentang transmisi kebijakan moneter islam, transmisi kebijakan moneter pada jalur pembiayaan melalui perbankan Syariah Malaysia ke pertumbuhan ekonomi (Sukmana dan Kassim : 2010) ,yang dirumuskan secara sederhana dengan konsep berikut:

IPI = f ( IF, ID, ONIGHT ) ... (2.9)

Dimana :

IPI : Industrial Production Indeks yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi atau output

IF : Pembiyaan perbankan syariah

ID : Pendanaan dan dana pihak ketiga/ DPK perbankan syariah

Nasabah Bank

Proyek/Usaha

Pembagian Keuntungan


(40)

ONIGHT : Suku bunga overnight dipasar uang antar bank sebagai indikator kebijakan moneter

Sedangkan menurut (Ascarya : 2010) melakukan penelitian mengenai transmisi moneter syariah menggunakan SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah). SBIS dibuat oleh Bank Indonesia sebagai upaya dalam meningkatkan efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip Syariah, instrumen ini digunakan sebagai Operasi Pasar Terbuka dalam rangka pengendalian moneter untuk mencapai nilai tukar dan tingkat inflasi yang stabil. Disini SBIS berperan sebagai variabel kebijakan moneter.

2.5.Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mengetahui efektivitas transmisi kebijakan moneter ganda yang juga mengaitkannya dengan pengaruhnya terhadap inflasi tidak semua peneliti menggunakan metode analisis Granger causality untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang terkait.

1. Peran Perbankan Syariah Dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda (Ascarya, 2010). Mengkaji tujuan adanya transmisi kebijakan moneter pada jalur pembiyaan perbankan Syariah Indonesia ke tujuan akhir kebijakan moneter, yaitu pertumbuhan ekonomi dan kestabilan nilai uang, yang dirumuskan sebagai berikut :

IPI = f ( IFIN, IDEP, PUAS, SBIS )


(41)

Dimana:

- IPI: adalah Industrial Production Index sebagai proksi pertumbuhan

ekonomi atau output

- CPI : adalah Consumer Price Index sebagai proksi inflasi

- IFIN : adalah pembiayaan perbankan syariah

- IDEP: adalah pendanaan atau dana pihak ketiga/ DPK perbankansyariah

- PUAS: adalah suku bunga satu hari dipasar uang antar bank syariah

- SBIS: adalah imbal bagi hasil sertifikat bank indonesia syariah yang

digunakan sebagai indikator moneter.

Menyimpulkan pentingnya peran perbankan syariah dalam Transmisi kebijakan moneter ganda di indonesia melalui jalur pembiayaan perbankan karena variabel-variabel syariah khususnya pendanaan dan pembiayaan syariah memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi namun tidak memberikan pengaruh negatif terhadap inflasi.

2. Penelitian yang dilakukan Espinosavega dan Rebucci, 2003 (Dikutip

dalam Ascarya:2012) tentang transmisi kebijakan moneter dalam

persfektif konvensional, khususnya tentang interest rate pass through.

yaitu dengan membandingkan Chile dan negara lain (Euro, Canada,US,Australia dan New Zealand), Egert et al (2006) menggunakan sampel lima negara Eropa Tengah dan Timur atau CEE-5 (Crech Republic, Hungary, Poland, Slovakia, dan Slovenia) sedangkan Sorensen dan Werner (2006) menggunakan sampel negara-negar Euro area dengan panel data dinamis dan metode ECM.egert et al (2006) menemukan bahwa


(42)

interest rate pass through di CEE-5 rendah dan menurun dari tahun ke tahun karena tidak adanya kointegrasi anatara suku bunga kebijakan dengan suku bunga perbankan (jangka pendek dan jangka panjang), serta diperkirakan akan terus menurun di masa yang akan datang. Hal ini berdampak pada kondisi inflasi sehingga Bank Sentral perlu menentukan kebijakan untuk menstabilkan inflasi.

3. Bank Interest Rate Pass Through In Euro Area A Cross Country

Comparison (Christoffer Kok Sorenses dan Thomas Werner, 2014). Mengkaji adanya heterogenitas yang besar di negara-negara Euro area

tentang keseimbangan pass through jangka panjang dan kecepatan

penyesuaiannya. Hasil ini juga mengkonfirmasi lambat dan tidak komplitnya proses penyesuaian suku bunga perbankan terhadap suku bunga kebijakan yang dapat memicu inflasi.

4. Mekanisme Transmisi Syariah Pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia

(Aam Slamet Rusydiana, 2009). Mengkaji tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan bank indonesia maka akan semakin rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Terdapat hubungan yang negatif antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral akan memicu perbakan konvensional untuk menaikkan suku bunganya, baik bunga pinjaman maupun bunga deposito yang berdampak pada penurunan


(43)

daya saing perbankan syariah dan menjadi kurang kompetitif. Namun pembiayaan syariah berkontribusi pada penurunan tingkat inflasi karena pembiayaan perbankan syariah khususnya pembiayaan produktif dengan prinsip bagi hasil memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang seimbang antara sektor moneter dan rill.

2.6.Kerangka Pemikiran

Secara umum mekanisme kebijakan moneter merupakan suatu kebijakan yang menghubungkan secara langsung antara kebijakan moneter dengan kondisi perekonomian dalam suatu negara. Melalui transmisi kebijakan moneter diharapkan mampu memberikan pengaruh terhadap perkembangan aktivitas perekonoomian, sesuai dengan peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan peraturan Bank Indonesia nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah diharapkan mampu meningkatkan efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter baik itu melalui perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Dengan begitu mekanisme transmisi kebijakan moneter tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional saja melainkan melalui perbankan syariah dengan instrumen yang tidak terbatas hanya dengan sistem bunga yang dipakai perbankan konvensional melainkan juga dapat melibatkan instrumen syariah yaitu bagi hasil/ fee atau margin .


(44)

Gambar 2.3 Skema Pemikiran

2.7.Hipotesis

Bank Indonesia sebagai pusat moneter bertujuuan menjaga penguatan stabilitas moneter. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakannya sebagai otoritas moneter. Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan yang dapat secara langsung di pengaruhi oleh pemerintah serta memeliki pengaruh langsung terhadap aktivitas dan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Kebijakan yang dikeluarkan dapat mempengaruhi jumlah uang beredar yang merupakan salah satu indikator kebijakan moneter yang

Transmisi Kebijakan Moneter Ganda

Instrumen Moneter Konvensional

Instrumen Moneter Syariah

Bunga Bank Konvensional

Bagi Hasil/fee atau Margin

Inflasi Pasar Uang antar Bank yang

digunakan untuk konvesional

Pasar uang antar bank syariah


(45)

memiliki peranan yang sangat besar karena berdampak terhadap inflasi dan pertumbuhan perekonomian .

Berdasarkan uraian dan telaah literatur serta penelitian terdahulu mengenai efektifitas transmisi kebijakan moneter, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Pada perbankan konvensional dengan jalur suku bunga dan pada perbankan syariah dengan sistem bagi hasil, dalam pelaksanaan efektivitas transmisi kebijakan moneter ganda secara teori telah efektif.

2. Pada perbankan konvensional ada kesinambungan jalur suku bunga dengan inflasi sedangkan dari sisi perbankan syariah transmisi kebijakan moneter tidak menunjukkan adannya kesinambungan jalur imbal hasil dari margin dengan acuan SBIS sampai ke inflasi


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian menekankan pada definisi, pengujian teori dan gagasan ahli melalui pengukuran data variabel dalam penelitian dan melakukan analisis data dengan model statistik.

3.2.Definisi Operasional Variabel

a. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Indek Harga Konsumen yaitu persentase harga yang digunakan utuk menganalisis tingkat/laju inflasi.

b. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini yaitu variabel yang memiliki keterkaitan dengan transmisi kebijkan moneter yaitu :

1. SBI

Suku bunga SBI dapat dijadikan sebagai policy rate perbankan konvensional untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan berdampak langsung pada inflasi , SBI yang digunakan ialah SBI dalam satu bulan .

2. SBIS

Merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS disini merupakan policy rate perbankan syariah, yaitu berupa tingkat bonus SWBI dan tingkat fee SBIS.


(47)

3. PUAB

Merupakan kegiatan transaksi keuangan jangka pendek yang memperdagangkan surat-surat berharga. PUAB disini merupakan suku bunga pasar uang antar bank konvensional.

4. PUAS

Merupakan kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antar peserta pasar berdasarkan prinsip syariah (Fatwa Dewan Syariah Nasional) . PUAS disini merupakan tingkat bagi hasil pasar uang antar bank syariah

5. LOAN

Merupakan transaksi jumlah kredit yang diberikan oleh perbankan konvensional yang digabung dalam semua sektor perekonomian. LOAN yang digunakan ialah total pemberian kredit konvensional satu bulan 6. FINC

Merupakan jumlah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah . FINC yang digunakan juga merupakan pembiayan syariah setiap bulannya 7. IHK

Merupakan tingkat harga konsumen yang menunjukkan naik turunnya harga barang. IHK disini merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur inflasi.

8. SBMK

Merupakan kredit modal kerja yang diberikan bank konvensional.

SBMK yang digunakan ialah total pemberian kredit modal kerja konvensional dalam satu bulan.


(48)

9. IHMK

Merupakan tingkat imbal hasil modal kerja oleh perbankan syariah dalam satu bulan .

3.3.Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder runtun waktu (time series), yang merupakan data yang hasil publikasi oleh lembaga yang

terkait yaitu Bank Indonesia. Dan periode data yang akan digunakan mulai dari

Januari 2009 sampai dengan Desember 2013.

Tabel. 3.1.

Jenis, Satuan, Simbol dan Sumber Data

Jenis Data (Variabel) Satuan Simbol Sumber

Suku Bunga SBI Persen SBI BI

Tingkat Bonus SBIS Persen SBIS BI

Pasar Uang Antar Bank Konvensional Persen PUAB BI

Pasar Uang Antar Bank Syariah Persen PUAS BI

Jumlah Kredit Bank Konvesional Miliar LOAN BI

Jumlah Pembiayaan Bank Syariah Juta FINC BI

Tingkat Bunga Modal Kerja Konvensional Persen SBMK BI Imbal Hasil Modal Kerja Syariah Persen IHMK BI Sumber: diolah penulis

3.4.Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan dan diperoleh dari publikasi resmi lembaga yang terkait yaitu Bank Indonesia dan World Bank.

3.5. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan Granger Causality Test dan VAR (Vektor Autoregression)/ VECM (Vector Error Corection Model). Adapun tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut, pertama uji akar unit yang


(49)

bertujuan untuk melihat kestasioneran data dari setiap variabel yang digunakan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979). Kedua uji kointegrasi untuk melihat keseimbangan jangka panjang serta dilanjutkan dengan uji VAR(VektorAutoregression)/ VECM (Vector Error Corection Model yang bertujuan melihat hubungan saling ketergantungan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini serta melihat kesinambungan nya dalam jangka panjang. Ketiga dilanjutkan dengan Analisis Kausalitas Granger.

3.5.1. Uji akar-akar unit ( Augmented Dickey-Fuller/ADF )

Pengujian akar unit digunakan untuk melihat apakah data yang digunakan telah berbentuk stasioner atau tidak. Data yang stasioner adalah data yang bersifat flat, tidak mengandung trend dengan keragaman yang konstan serta tidak berfluktuasi. Untuk melihat apakah koefisisen tertentu dari model autoregresif yang ditaksir memiliki nilai satu atau tidak maka dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979), hal ini dikarenakan model outoregresif tidak memiliki distribusi yang baku. Penaksiran metode Dickey dan Fuller (Gujarati,1998) adalah sebagai berikut.

∆�� = ���−1+∑�=2��∆��−1+1+�� ... (3.1)

∆�� = �0+���−1+∑�=2��∆��−1+1+�� ... (3.2)

∆�� = �0+�1�+���−1+∑�=2��∆��−1+1+�� ... (3.3) dimana:


(50)

∆�� = ��− ��−1 T = trend waktu

Seluruh data yang digunakan dalam regresi membandingkan nilai ADF yang dihasilkan dengan nilai kritisnya. Jika hasil perhitungan nilai ADFnya lebih besar dibandingkan nilai kritisnya, maka Ho menyatakan tidak ada akar unit yang ditolak. Dengan kata lain bahwa variabel yang diamati telah stasioner.

3.5.2. Penentuan Panjang Lag

Dalam mengaplikasikn uji ADF, kita juga harus menentukan panjang lag yang di masukkan ke dalam model. Biasanya lag yang digunakan adalah lag yang dapat menghapuskan korelasi serial dari residual, maka dari itu diperlukan lag yang sesuai sehingga model yang digunakan signifikan

Untuk menentukan panjang lag digunakan parameter pendukung yaitu: AIC (Akaike Information Criterion) , SIC (Schwarz Information Criterion) , dan LR (Likelihood Ratio) . Penentuan jumlah lag yang digunakan dari persamaan VAR dengan AIC, SIC, atau LR adalah jumlah lag yang terkecil. Nilai dari AIC, SIC, atau LR berguna untuk memilih model yang paling baik. Namun jika terjadi kontradiksi antara nilai AIC, SIC, dan LR maka yang digunakan adalah kriteria dari SIC hal ini dikarenakan kriteria SIC memberikan timbangan yang lebih besar dibandingkan kriteria lainnya.

Menurut Enders (2004) perhitungan AIC dan SC adalah sebagai berikut : AIC (k) =�ln���� (�)�+ 2� ... (3.4) SIC (k) =�ln���� (�)

� �+ �ln (�) ... (3.5) Dimana :


(51)

T = jumlah observasi yang digunakan K = panjang lag

SSR = Redisual Sum of Squares N = jumlah parameter uang diestimasi

Sedangkan menggunakan LR adalah sebagai berikut :

�� =−2 (�� − ��) ... (3.6) Dimana :

1 = log likelihood

r = restrictive regression u = unrestrictive regression

3.5.3. Uji Kointegrasi (Cointegration Test)

Setelah mengetahui bahwa variabel-variabel yang digunakan stasioner, maka untuk mengetahui apakah ada hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel yang terkait maka dilakukan uji kointegrasi. Suatu sistem variabel disebut terkointegrasi jika beberapa variabel tersebut (minimal satu variabel) terintegrasi pada ordo yang sama dan berlaku kombinasi linier dari sistem variabel tersebut yang terintegrasi pada ordo nol I(0), yaitu disequillibrium error atau residual (u

t) bersifat stasioner. Variabel yang saling berkointegrasi menggambarkan keadaan keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium).

Pada penelitian ini uji kointegrasi yang digunakan adalah uji kointegrasi yang dikembangkan oleh Johansen. Uji ini dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel (vektor). Dalam uji kointegrasi Johansen dilakuka n dengan dua uji statistik, yang pertama menguji hipotesis null yang bisa


(52)

menggunakan statistik uji trace yang mensyaratkan bahwa jumlah dari arah kointegrasi adalah kurang dari atau sama dengan p dan uji ini dapat dilakukan sebagai berikut :

������ (�) = −� � in (1−λi) �

�=�+1 ……… (3.7)

dimana �+1, …. � menyatakan nilai eigenvectors terkecil (� − �). Null hypothesis yang disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan banyaknya r. Dengan kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau sama dengan (≤) r, dimana r = 0,1,2,...

Untuk uji statistik yang kedua adalah uji maximum eginvalue (�maks) yang dilakukan dengan formula sebagai berikut :

�max(r,r+1) = -T in (1-�r-1) ……… (3.8)

Uji ini berdasarkan pada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vector kointegrasi yang berlawanan (r+1) dengan vector kointegrasi. Untuk melihat hubungan kointegrasi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilai Trace statistic dan Max-Eigen statistic dibandingkan dengan nilai critical value pada tingkat kepercayaan 5 % , 10%.

3.5.4.Vector Auto Regression (VAR)

VAR merupakan sistem dan persamaan dengan jumlah variabel endogen sebanyak n. VAR merupakan multivariate time series yang menganggap bahwa semua variabel merupakan variabel endogen. Sims (1980) menyatakan bahwa terdapat simultanitas yang benar antara semua variabel. Maka semua variabel-


(53)

perlakuan antara variabel endogen dan eksogen. Enders (2004) memformulasikan sistem first order bivariate primitive yang dituliskan sebagai berikut :

yt = b10 – b12 zt + γ11 yt-1 + γ12 zt-1 + εyt ... (3.9) zt = b20 – b21 yt + γ21 yt-1 + γ22 zt-1 + εzt ... (3.10)

dengan asumsi bahwa yt dan zt adalah stasioner, εyt dan εzt adalah white noise

distrubances dengan standart deviasi σy dan σz , dan εyt dan εzt adalah white noise disturbance yang tidak terkorelasi.

selanjutnya data yang dalam keadaan semua variabel mengandung akar unit namun berkointegrasi, untuk memperoleh hubungan jangka panjangnya dilanjutkan pada VECM. Model VECM digunakan di dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkointegrasi sehingga menunjukka adanya hubungan teoritis antar variabel. Adanya kontegrasi ini maka model VECM yang menggunakan model VAR non struktural yang disebut model VAR yang teristriksi. Dalam penelitian ini model VAR digambarkan sebagai berikut :

Y1t = 01 + ∑�=1�i1 Y1t-i + ∑�=1�i1 Y2t-i + ∑�=1� i1 Y3t-i + ∑�=1Ɵ i1 Y4t-i + ∑�=1� i1 Y5t-i + ∑�=1ί i1 Y6t-i + ∑�=1ө i1 Y7t-i +e1t ... (3.11) Y2t = 02 + ∑�=1�i2 Y2t-i + ∑�=1�i2 Y1t-i + ∑=1� i2 Y3t-i + ∑฀=1Ɵ i2 Y4t-i + ∑฀=1฀ i2

Y5t-i + ∑฀=1ί i2 Y6t-i + ∑฀=1ө i2 Y7t-i + e1t ... (3.12) Y3t = 03 + ∑฀=1฀i3 Y2t-i + ∑฀=1฀i3 Y1t-i + ∑=1฀ i3 Y3t-i + ∑�=1Ɵ i3 Y4t-i + ∑ ��=1


(54)

Y4t = 04 + ∑�=1�i4 Y2t-i + ∑�=1�i4 Y1t-i + ∑�=1� i4 Y3t-i + ∑=1Ɵ i4 Y4t-i + ∑�=1� i4 Y5t-i +∑�=1ί i4 Y6t-i + ∑�=1ө i4 Y7t-i +e1t ... (3.14) Y5t = 05 + ∑�=1�i5 Y2t-i + ∑�=1�i5 Y1t-i + ∑=1� i5 Y3t-i + ∑�=1Ɵ i5 Y4t-i + ∑ ��=1 i5

Y5t-i +∑�=1ί i5 Y6t-i + ∑�=1ө i5 Y7t-i + e1t ... ... (3.15) Y6t = �06 + ∑ ��=1 i6 Y2t-i + ∑ ��=1 i6 Y1t-i + ∑ �=1 i6 Y3t-i + ∑=1Ɵ i6 Y4t-i + ∑ ��=1 i6

Y5t-i +∑�= i6 Y6t-i + ∑�= i6 Y7t-i +e1t ... (3.16) Y7t = 07 + ∑ ��=1 i7 Y2t-i + ∑ ��=1 i7 Y1t-i + ∑ ��=1 i7 Y3t-i + ∑�=1Ɵ i7 Y4t-i + ∑ ��=1 i7

Y5t-i +∑�=1ί i7 Y6t-i + ∑�=1ө i7 Y7t-i + e1t ... (3.17) Y8t = �08 + ∑ ��=1 i8 Y2t-i + ∑ ��=1 i8 Y1t-i + ∑ �=1 i8 Y3t-i + ∑=1Ɵ i8 Y4t-i + ∑ ��=1 i6

Y5t-i +∑�=1ί i8 Y6t-i + ∑�=1ө i8 Y7t-i + e1t ... (3.18) Dimana :

Y1 : SBI (Sertifikat Bank Indonesia)

Y2 : SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) Y3 : PUAB (Pasar Uang Antar Bank)

Y4 : PUAS (Pasar Uang Antar Bank Syariah)

Y5 : LOAN (Jumlah Kredit Yang Diberikan Bank Konvensional) Y6 : FINC (Jumlah Pembiayaan Syariah)

Y7 : SBMK (Bunga Kredit Modal Kerja) Y8 : IHMK (Imbal Hasil Modal Kerja)

Kedelapan persamaan dinyatakan dalam bentuk ringkas menjadi :


(55)

Dimana :

Yt = vektor yang berisi n dari masing-masing variabel dalam VAR Ao = vektor intersept (nx1)

Ai = koefisien matrik (nxn) ɛt = error term (nx1)

3.5.5. Impulse Response Function (IRF)

Impulse Response merupakan salah satu analisis penting di dalam model VAR/VECM. Analisis impulse response ini melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR/VECM karena adanya guncangan (shock) atau perubahan di dalam variabel gangguan (e). impulse response dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon dinamika IHK pada transmisi kebijakan moneter konvensional maupun syariah terhadap guncangan variabel SBI, PUAB, LOAN, SBMK dari sisi konvensional dan guncangan variabel SBIS, PUAS,FINC dan IHMK dari sisi syariah.

3.5.6. Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)

Selain impulse response dalam model VAR/VECM juga menyediakan analisis Forecasting Error Variance Decomposition atau sering disebut dengan variance decomposition. Dalam variance decomposition dapat dilihat relatif pentingnya setiap variabel didalam sistem VAR/VECM karena adanya shock. Variance decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR/VECM.


(56)

3.5.7. Analisis Kausalitas Granger (Granger Causality Analysis)

Dalam analisis ekonomi, hubungan sebab akibat antara variabel tidak hanya berjalan satu arah. Maka melalui uji kausalitas granger pada intinya dapat mengindikasikan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau hanya satu arah saja. Dalam analisis regresi, walaupun kita telah membuat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya, namun tidak dijelaskan arah hubungan dari variabel tersebut. Dengan kata lain, ekstensi dari hubungan antara variabel tidak menunjukan kausalitas atau arah hubungan. Uji Kausalitas umumnya menggunakan uji yang dikembangkan oleh Genger, dengan metode Granger Causality Test.

Model persamaan yang dapat dibentuk dari keadaan di atas adalah :

Trans.Mon.Gandat = ∑ ��=1 Inft-i + ∑�= Trans.Mon.Gandat-j + µ1t ... (3.18)

Inft = ∑�=1θ�Inft-i + ∑�=1γ Trans.Mon.Gandat-j + µ2t ... (3.19)

Dari kedua persamaan tersebut, kita dapat membedakan 4 keadaan hubungan, yakni :

1) Apabila terdapat kausalitas searah antara Inflasi dengan Transmisi Moneter Ganda.

Jika Σß ≠ 0 dan Σγ= 0,

2) Apabila terdapat kausalitas searah antara Transmisi Moneter Ganda dengan Inflasi


(57)

3) Apabila terdapat kausalitas bilateral (dua arah) antara Transmisi Moneter Ganda dengan Inflasi

Jika Σγ ≠ 0 dan Σß ≠ 0,

4) Apabila Transmisi Moneter Ganda dengan Inflasi tidak saling berhubungan (independen)

Jika Σγ = 0 dan Σß = 0,

Untuk mempertegas model kausalitas diatas maka dapat dilakukan F-Test untuk masing-masing regresi.

Untuk menguji hipotesis, digunakan uji F sebagai berikut :

�= (�������−�����)/�

��/(�−�) ... (3.20) Dimana :

m = jumlah lag

k = jumlah parameter yang diestimasi dalam unrestricted regression

Jika nilai Fhitung > Ftabel ,maka Transmisi Kebijakan moneter Ganda mempunyai hubungan kesinambungan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Begitu pula sebaliknya, jika nilai Fhitung < Ftabel ,maka Transmisi kebijakan Moneter Ganda tidak mempunyai hubungan kesinambungan terhadap tingkat inflasi di Indonesia.

Dalam penulisan skripsi ini, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program’ Eviews 6.


(58)

stasioner tidak stasioner

tidak

Gambar 3.1.

Proses Pembentukan Analisis VAR

Data Time Series

Unit Root Test Stasioner di Deferensi Data

(First Difference) Stasioner Pada Level

Uji Kointegrasi VAR Pada Level

VAR Pada First

Difference Terjadi Kointegrasi VECM Granger Causality

Data Time Series di logkan


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Deskriftif Variabel

4.1.1 Gambaran Umum Perkembangan Transmisi Kebijakan Moneter

Proses terjadinya transmisi kebijakan moneter di tandai dengan terjadinya perubahan BI Rate sampai pada mempengaruhi inflasi. Proses ini menggambarkan tindakan Bank Sentral melalui perubahan-perubahan instrumen-instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variabel ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh terhadap perkembanngan suku bunga, nilai tukar dan harga saham disamping volume dana masyarakat yang disimpan di bank, kredit yang disalurkan pada dunia usaha serta penanaman dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya. Sedangkan pada sektor rill kebijakan berpengaruh terhadap perkembangan konsumsi, investasi, ekspor, impor yang nantinya akan mencapai tujuan akhir inflasi.

Bekerjanya transmisi kebijakan moneter yang dimulai dari perubahan kebijakan moneter sampai terjadinya efek terhadap kegiatan ekonomi yang memerlukan waktu yang cukup lama (time lag) selain itu kondisi perbankan dan keuangan juga memiliki peranan yang sangat penting berjalannya transmisi kebijakan moneter ini, maka dapat disimpulkan berjalannya transmisi kebijakan moneter ini diperlukan kesinambungan antara kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor rill yang sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.


(1)

Lampiran 15.

Tabel Nilai Variance Decomposition Variabel-variabel

Transmisi Moneter Konvensional Tiap Tahun Selama 10

Tahun

Variance Decomposition of

IHK:

Period S.E. IHK SBI PUAB LOAN SBMK

1 0.006834 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.011387 96.54667 0.024235 0.460454 2.844896 0.123744 3 0.015105 89.24619 0.187399 2.489839 7.915225 0.161349 4 0.018340 81.80605 0.487600 3.839875 13.72453 0.141937 5 0.021197 75.87495 0.877502 4.404342 18.71619 0.127020 6 0.023750 71.49121 1.299558 4.577398 22.50908 0.122749 7 0.026067 68.25485 1.704076 4.618303 25.29626 0.126503 8 0.028204 65.80204 2.063903 4.622829 27.37722 0.134009 9 0.030198 63.88505 2.371759 4.620163 28.98066 0.142364 10 0.032075 62.34769 2.631231 4.616538 30.25435 0.150199 Variance

Decomposition of SBI:

Period S.E. IHK SBI PUAB LOAN SBMK

1 0.002543 0.686697 99.31330 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.004525 0.459351 96.62712 0.068159 1.602179 1.243193 3 0.006446 0.526981 93.57533 0.077979 3.909396 1.910319 4 0.008266 0.734713 90.94363 0.047614 6.012950 2.261096 5 0.009973 0.960983 88.79408 0.033932 7.805292 2.405716 6 0.011563 1.163640 87.16120 0.025701 9.169124 2.480334 7 0.013039 1.328913 85.95824 0.020217 10.16546 2.527175 8 0.014410 1.459265 85.07131 0.016602 10.89073 2.562094 9 0.015689 1.561359 84.40450 0.014125 11.43061 2.589403 10 0.016887 1.641991 83.89048 0.012332 11.84411 2.611091 Variance

Decomposition of PUAB:

Period S.E. IHK SBI PUAB LOAN SBMK

1 1.660052 0.650359 0.543381 98.80626 0.000000 0.000000 2 1.745647 1.390273 0.820428 89.39548 5.508557 2.885259 3 1.763491 2.619062 0.898386 87.60122 5.829884 3.051445 4 1.782584 4.468686 0.908573 85.74251 5.744343 3.135889 5 1.803461 6.399235 0.922457 83.91509 5.615605 3.147616 6 1.825724 8.281339 0.941717 82.08490 5.508218 3.183829 7 1.848020 10.02771 0.961736 80.35005 5.433797 3.226703 8 1.869812 11.66136 0.978417 78.70115 5.384336 3.274739 9 1.891098 13.20392 0.991649 77.13947 5.344248 3.320706 10 1.912001 14.67333 1.002392 75.65260 5.307679 3.363997 Variance


(2)

Period S.E. IHK SBI PUAB LOAN SBMK 1 3.32E+08 0.001887 0.022693 0.005454 99.96997 0.000000 2 5.97E+08 0.748475 0.690278 0.021338 98.50369 0.036214 3 8.30E+08 1.606153 1.706301 0.053972 96.60810 0.025475 4 1.03E+09 2.211049 2.681061 0.156498 94.93490 0.016489 5 1.21E+09 2.623314 3.509374 0.245743 93.60721 0.014357 6 1.38E+09 2.905590 4.174469 0.308147 92.59488 0.016910 7 1.52E+09 3.106450 4.695749 0.347149 91.82953 0.021122 8 1.66E+09 3.255031 5.103326 0.372492 91.24382 0.025327 9 1.79E+09 3.368985 5.425266 0.390130 90.78657 0.029048 10 1.91E+09 3.458861 5.683410 0.403334 90.42217 0.032227 Variance

Decomposition of SBMK:

Period S.E. IHK SBI PUAB LOAN SBMK

1 0.001734 2.052960 5.304246 20.62971 2.074926 69.93816 2 0.002517 4.168475 3.717124 17.30296 7.452463 67.35898 3 0.003114 5.582812 3.458002 12.21130 11.54120 67.20669 4 0.003593 6.262292 3.607283 10.09005 13.44675 66.59362 5 0.004020 6.618647 3.821819 8.808886 14.76543 65.98522 6 0.004410 6.800736 4.023793 8.002648 15.76998 65.40284 7 0.004771 6.896376 4.201577 7.416373 16.58095 64.90473 8 0.005108 6.948517 4.356374 6.974066 17.23281 64.48823 9 0.005424 6.979127 4.490016 6.626865 17.76058 64.14341 10 0.005723 6.998514 4.604696 6.348596 18.19212 63.85608 Cholesky

Ordering: IHK SBI PUAB LOAN


(3)

Lampiran 16.

Tabel Nilai Variance Decomposition Variabel-variabel

Transmisi Moneter Syariah Tiap Tahun Selama 10 Tahun

Variance Decomposition

of IHK:

Period S.E. IHK SBIS PUAS FINC IHMK

1 0.007338 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.012648 98.78130 0.496992 0.325412 0.314256 0.082042 3 0.016976 97.96075 1.000512 0.663934 0.256996 0.117813 4 0.020589 97.32359 1.370515 0.910204 0.254526 0.141170 5 0.023691 96.90454 1.620512 1.080205 0.238745 0.155996 6 0.026435 96.61881 1.788652 1.195295 0.231817 0.165424 7 0.028916 96.42111 1.905374 1.276300 0.225183 0.172031 8 0.031199 96.27776 1.989505 1.335062 0.220957 0.176721 9 0.033324 96.17009 2.052673 1.379487 0.217474 0.180278 10 0.035322 96.08626 2.101733 1.414103 0.214869 0.183032 Variance

Decomposition of SBIS:

Period S.E. IHK SBIS PUAS FINC IHMK

1 0.002686 0.028340 99.97166 0.000000 0.000000 0.000000 2 0.004893 0.337741 99.53906 0.014303 0.004511 0.104387 3 0.006865 0.683505 99.17377 0.010007 0.012179 0.120542 4 0.008630 0.987525 98.84739 0.007682 0.019547 0.137855 5 0.010212 1.232512 98.58781 0.006372 0.025272 0.148030 6 0.011642 1.420806 98.38834 0.005694 0.029551 0.155608 7 0.012947 1.563805 98.23715 0.005330 0.032694 0.161024 8 0.014148 1.672773 98.12196 0.005133 0.035040 0.165092 9 0.015264 1.756880 98.03309 0.005020 0.036821 0.168190 10 0.016307 1.822884 97.96335 0.004950 0.038207 0.170609 Variance

Decomposition of PUAS:

Period S.E. IHK SBIS PUAS FINC IHMK

1 0.008484 1.792353 2.787248 95.42040 0.000000 0.000000 2 0.009182 3.156815 2.459299 88.76729 0.003156 5.613440 3 0.009562 3.026489 3.942299 83.93201 1.136499 7.962698 4 0.010048 3.062453 7.793134 76.80334 2.055865 10.28521 5 0.010714 3.836715 13.46627 68.15177 3.150365 11.39488 6 0.011485 4.964674 19.39666 59.83252 3.891097 11.91505 7 0.012300 6.081200 24.73354 52.64146 4.472591 12.07121 8 0.013112 7.051469 29.23611 46.75116 4.879881 12.08138 9 0.013904 7.857619 32.94719 41.96918 5.194014 12.03199 10 0.014665 8.521963 36.00323 38.07439 5.434843 11.96558 Variance

Decomposition of FINC:


(4)

1 7669.134 0.778277 0.210537 0.001545 99.00964 0.000000 2 8706.990 1.121573 0.517371 0.036986 98.31890 0.005169 3 10556.52 1.424396 0.770582 0.126741 97.67428 0.004005 4 11758.55 1.767485 1.114654 0.164665 96.94775 0.005447 5 13030.30 2.030342 1.384570 0.195961 96.38441 0.004713 6 14119.39 2.253978 1.634882 0.213830 95.89213 0.005178 7 15167.45 2.425742 1.832467 0.227463 95.50918 0.005147 8 16133.93 2.565864 1.999317 0.237090 95.19236 0.005366 9 17053.54 2.677980 2.134656 0.244743 94.93716 0.005465 10 17923.26 2.770680 2.247970 0.250784 94.72497 0.005597 Variance

Decomposition of IHMK:

Period S.E. IHK SBIS PUAS FINC IHMK

1 0.003164 27.48367 1.697841 3.529316 0.310946 66.97823 2 0.004096 31.99638 1.377084 8.432959 0.483855 57.70972 3 0.004963 32.15588 1.575585 10.19500 0.592871 55.48066 4 0.005665 31.93035 1.829107 11.61267 0.686521 53.94135 5 0.006295 31.44378 2.128582 12.45637 0.753321 53.21795 6 0.006863 30.99940 2.403157 13.06074 0.804192 52.73251 7 0.007388 30.61183 2.643357 13.49017 0.842497 52.41215 8 0.007878 30.29195 2.845536 13.81592 0.872370 52.17422 9 0.008338 30.02781 3.014426 14.06963 0.896067 51.99206 10 0.008775 29.80914 3.155490 14.27359 0.915311 51.84647 Cholesky

Ordering: IHK SBIS PUAS FINC IHMK


(5)

Lampiran 17 . Uji Kausalitas Transmisi Moneter Konvensiona

Pairwise Granger Causality Tests

l

Date: 07/06/14 Time: 17:24 Sample: 2009M01 2013M12 Lags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

LOAN does not Granger Cause IHK 59 8.85669 0.0043

IHK does not Granger Cause LOAN 1.18664 0.2807

PUAB does not Granger Cause IHK 59 0.01502 0.9029

IHK does not Granger Cause PUAB 1.39733 0.2422

SBI does not Granger Cause IHK 59 0.39741 0.5310

IHK does not Granger Cause SBI 5.87450 0.0186

SBMK does not Granger Cause IHK 59 0.79113 0.3776

IHK does not Granger Cause SBMK 0.23661 0.6286

PUAB does not Granger Cause LOAN 59 0.13427 0.7154 LOAN does not Granger Cause PUAB 1.37717 0.2456 SBI does not Granger Cause LOAN 59 9.05599 0.0039

LOAN does not Granger Cause SBI 5.07143 0.0283

SBMK does not Granger Cause LOAN 59 12.9642 0.0007 LOAN does not Granger Cause SBMK 0.32344 0.5718 SBI does not Granger Cause PUAB 59 0.19728 0.6586

PUAB does not Granger Cause SBI 0.01725 0.8960

SBMK does not Granger Cause PUAB 59 0.96968 0.3290 PUAB does not Granger Cause SBMK 0.25628 0.6147 SBMK does not Granger Cause SBI 59 5.38018 0.0240


(6)

Lampiran 18. Uji Kausalitas Transmisi Moneter Syariah

Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/06/14 Time: 17:27 Sample: 2009M01 2013M12 Lags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

SBIS does not Granger Cause IHK 59 0.39741 0.5310

IHK does not Granger Cause SBIS 5.87450 0.0186

PUAS does not Granger Cause IHK 59 0.05351 0.8179

IHK does not Granger Cause PUAS 1.22923 0.2723

FINC does not Granger Cause IHK 59 3.18857 0.0796

IHK does not Granger Cause FINC 10.5612 0.0020

IHMK does not Granger Cause IHK 59 3.15089 0.0813

IHK does not Granger Cause IHMK 11.9880 0.0010

PUAS does not Granger Cause SBIS 59 0.09041 0.7648 SBIS does not Granger Cause PUAS 15.1340 0.0003 FINC does not Granger Cause SBIS 59 4.29118 0.0429 SBIS does not Granger Cause FINC 1.18249 0.2815 IHMK does not Granger Cause SBIS 59 1.17534 0.2830 SBIS does not Granger Cause IHMK 0.72933 0.3967 FINC does not Granger Cause PUAS 59 1.21509 0.2750 PUAS does not Granger Cause FINC 1.11654 0.2952 IHMK does not Granger Cause PUAS 59 1.18182 0.2816 PUAS does not Granger Cause IHMK 0.69150 0.4092 IHMK does not Granger Cause FINC 59 2.12588 0.1504 FINC does not Granger Cause IHMK 15.8503 0.0002