TINJAUAN PUSTAKA Resiliensi siswa SMA Negeri I Wuryantoro (studi deskriptif pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Wuryantoro tahun ajaran 2015/2016 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan pribadi-sosial).
orang lain. Namun tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi baik positif
maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi baik positif maupun negatif
dan tepat merupakan bagian dari resiliensi Reivich Shatte, 2002. Reivich dan Shatte 2002, mengungkapkan dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang dan fokus. Dalam keadaan tenang individu
dapat mengontrol dan mengurangi stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat individu
merasa dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernafasan, relaksasi otot dan membayangkan tempat yang tenang dan
menyenangkan. Sedangkan
untuk keterampilan
fokus pada
permasalahan yang ada akan mempermudah individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Dua buah
keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak
hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.
b. Kontrol Terhadap Impuls Impuls Control
Kontrol terhadap impuls merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan, keinginan, kesukaan,
serta tekanan yang muncul dalam dirinya, kemudian akan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membawanya kepada kemampuan berpikir jernih dan akurat. Kontrol terhadap impuls ini bukan hanya berhubungan erat dengan pengaturan
emosi, tetapi juga dengan keinginan tertentu dari individu yang dapat mengganggu serta menghambat perkembangannya Reivich Shatte,
2002. Individu dengan kontrol terhadap impuls yang rendah pada
umumnya percaya pada pemikiran impulsifnya yang mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut.
Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berlaku agresif. Tentunya perilaku ini akan membuat
orang di sekitar merasa kurang nyaman, pada akhirnya akan berdampak buruk bagi hubungan sosialnya.
Reivich dan Shatte 2002, mengatakan bahwa individu dapat melakukan pencegahan terhadap impulsivitasnya. Pencegahan ini
dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Seperti memberikan
pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri; „apakah benar apa yang saya
lakukan?‟, „apakah manfaat dari semua ini?‟, dll. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan
regulasi emosi yang ia miliki. Individu yang memiliki skor resilience question yang tinggi pada faktor regulasi emosi, cenderung memiliki
skor resilience question yang tinggi pula pada faktor pengendalian impuls.
c. Optimisme Optimism
Orang yang memiliki resiliensi merupakan orang yang optimis. Optimis berarti memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan
menjadi lebih baik. Individu memiliki kontrol dan harapan atas kehidupannya. Individu yang optimis memiliki kemungkinan yang
kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan, dan berprestasi di berbagai bidang. Mereka
percaya bahwa situasi yang sulit dapat berubah menjadi situasi yang lebih baik. Mereka percaya bahwa mereka dapat memegang kendali
dan arah hidupnya. Hal ini merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang,
yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Dikarenakan
dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi
yang lebih baik Reivich Shatte, 2002. Optimisme yang dimaksud adalah optimisme realistis, yaitu
sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Perpaduan antara
optimisme yang realistis dan self-efficacy merupakan kunci dari resiliensi dan kesuksesan.
d. Kemampuan Menganalisis Masalah Causal Analysis
Kemampuan menganalisis masalah menunjukan bahwa individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya
secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang
sama terus menerus. Kemampuan menganalisis masalah dilakukan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian.
Seligman dalam Reivich Shatte, 2002 mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan
causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal saya-bukan saya,
permanen selalu tidak selalu, dan pervasive semua-tidak semua. Individu
dengan gaya
berpikir “Saya-Selalu-Semua”
merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut Saya, hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang
ada tidak dapat diubah Selalu, serta permasalahan yang ada akan cenderung mempengaruhi seluruh aspek hidupnya Semua. Sementara
individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh
orang lain Bukan Saya, di mana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah Tidak Selalu dan permasalahan yang
ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya Tidak semua. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gaya berpikir explanatory, memegang peranan penting dalam konsep resiliensi Reivich Shatte, 2002. Individu yang terfokus
pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang
cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua”
dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang
menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak akan menyalahkan
orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self- esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka
tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali
penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan
meraih kesuksesan. e.
Empati Empathy Empati merupakan kemampuan individu untuk mampu membaca
dan merasakan begaimana perasaan dan emosi oranglain, sehingga individu mampu membaca sinyal-sinyal mengenai kondisi emosional
dan psikologis mereka melalui isyarat non-verbal, dan kemudian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menentukan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Empati adalah pemahaman pikiran dan perasaan orang lain dengan cara
menempatkan diri ke dalam kerangka psikologis orang tersebut Kartono dalam Nashori, 2008.
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial Reivich Shatte, 2002. Hal ini dikarenakan
kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda
nonverbal tersebut, tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain, dapat sangat
merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal.
Individu dengan
empati yang
rendah cenderung
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain f.
Efikasi Diri Self Efficacy Efikasi diri menggambarkan perasaan seseorang mengenai
keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, keyakinan mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk
sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah tersesat.
Self-efficacy memiliki pengaruh terhadap prestasi yang diraih, kesehatan fisik dan mental, perkembangan karir, bahkan perilaku
memilih dari seseorang. Self-efficacy memiliki kedekatan dengan konsep perceived control, yaitu suatu keyakinan bahwa individu
mampu mempengaruhi
keberadaan suatu
peristiwa yang
mempengaruhi kehidupan individu tersebut. g.
Pencapaian Reaching Out Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk
meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup keberanian individu dalam mengatasi ketakutan-ketakutan
yang mengancam dalam kehidupannya. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out.
Hal ini dikarenakan, sejak kecil individu telah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka
adalah individu-individu yang lebih memilih untuk memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus
berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan
dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa
mendatang. Mereka
memiliki rasa
ketakutan untuk
mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Hakikat Remaja 1.
Pengertian Siswa Siswa adalah individu yang datang pada institusi pendidikan dengan
tujuan belajar. Individu ini sedang mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun pikiran. Sebagai
individu yang sedang mengalami perkembangan, dan pertumbuhan, Ia memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk melewati tahap-tahap
tugas perkembangannya. Menurut Sanjaya, Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu terlihat dari adannya perbedaan baik bakat, minat, dan
kemampuan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa Siswa adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jarum, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Jadi dapat disimpulkan Siswa adalah individu yang unik, sedang berada pada tahap perkembangan dan pertumbuhan, dan
secara sengaja datang pada institusi pendidikan dengan tujuan belajar. Siswa umumnya berada pada fase balita hingga fase remaja dengan
rentang usia 3-18 tahun. Di Indonesia, Siswa melewati beberapa tahap pendidikan diantaranya; Pendidikan Anak Usia Dini PAUD, Taman
Kanak-kanak TK, Sekolah Dasar SD, Sekolah Menengah Pertama SMP, dan Sekolah Menengah Atas SMASMK. Siswa yang menjadi
subyek dalam penelitian ini yaitu siswa Sekolah Menengah Atas SMA yang sedang berada pada fase remaja awal.
2. Pengertian Remaja Papalia dan Olds 2008, berpendapat bahwa masa remaja
merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Adapun Anna Freud dalam Hurlock, 1990, berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi
proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam
hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, di mana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Menurut Papalia dan Olds 2008, masa remaja adalah perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai oleh periode
transisional yang ditandai dengan adanya perubahan baik secara biologis, psikologi, kognitif, dan psikososial. Masa remaja dimulai pada usia 11
atau 12 sampai awal usia dua puluhan. Adapun Hurlock 1990, membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal 13 hingga 16 atau 17 tahun dan masa remaja akhir 16 atau 17 tahun hingga 18 tahun. Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh
Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang telah mendekati masa dewasa.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum remaja diartikan sebagai salah
satu tahap perkembangan yang merupakan transisi dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan baik
fisik, kognitif, dan psikososial. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Karakteristik Masa Remaja
Masa remaja, seperti pada masa sebelumnya memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan masa sebelumnya dan sesudahnya. Berikut ini
adalah karakteristik pada masa remaja menurut Hurlock 1980:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Dikatakan penting karena
semua perkembangan dalam remaja menimbulkan perlu adanya penyesuaian mental, sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Periode peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana remaja meninggalkan sifat kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku yang baru.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Perubahan pada masa remaja
adalah meninggikan emosi, perubahan tubuh, minat dan peran dalam kelompok sosial, perubahan minat dan pola perilaku, memiliki sifat
ambivalen, menuntut kebebasan namun belum ragu atas kemampuan untuk bertanggungjawab.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Banyaknya perubahan yang
terjadi dalam diri remaja membuat sebagian remaja mengalami kegagalan dalam penyesuaian dengan pola perilaku yang baru.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada masa ini mereka
mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan karena adanya
stereotip bahwa remaja itu masa yang negatif, dianggap anak yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan bersifat merusak, sehingga timbul ketakutan akan adanya stereotip dari masyarakat.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja selalu
mempunyai harapan atau angan-angan dan cita-cita yang tinggi, namun belum dapat memahami kemampuan yang sesungguhnya.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Menjelang menginjak
masa dewasa, mereka merasa gelisah untuk meninggalkan masa belasan tahunnya. Mereka belum cukup untuk berperilaku sebagai
orang dewasa, mereka mulai berperilaku sebagai status orang dewasa seperti cara berpakaian, merokok, menggunakan obat-obat dan
sebagainya yang dipandang dapat memberikan citra seperti yang diinginkan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, karakteristik masa remaja adalah masa penting, peralihan, perubahan, usia bermasalah, mencari identitas,
usia penuh ketakutan, masa yang tidak realistik, dan ambang kedewasaan.
3. Tugas Perkembangan Remaja
Yusuf 2010 mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja antara lain:
a. Menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif.
b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa
lainnya. c.
Mencapai jaminan kemandirian ekonomi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan.
e. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
f. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang perlu bagi
kompetensi sebagai warga Negara. William Kay dalam Jahja, 2011, mengemukakan tugas-tugas
perkembangan remaja sebagai berikut: a.
Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya. b.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas.
c. Mengembangkan ketrampilan komunikasi interpersonal dan bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok.
d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri. f.
Memperkuat self-control kemampuan mengendalikan diri atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup.
g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri sikapperilaku
kekanak-kanakan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Konsep Dasar Bimbingan Pribadi-Sosial 1.
Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial Yusuf dan Nurihsan 2010: 11 mendefinisikan bimbingan pribadi-
sosial sebagai bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah pribadi-sosial. Masalah-masalah tersebut
antara lain masalah hubungan dengan sesama teman, dengan guru dan staf sekolah, pemahaman sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan
lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal, dan penyelesaian konflik.
Winkel dan Sri Hastuti 2006:118 mendefinisikan bimbingan pribadi-sosial sebagai bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya
sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya sendiri; dalam mengatur diri sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian
waktu luang, penyaluran nafsu seksual, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan pergaulan
sosial. Yusuf dan Nurihsan 2010: 11 mengungkapkan bahwa bimbingan
pribadi-sosial diarahkan
untuk memantapkan
kepribadian dan
mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada
pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan.
Lebih lanjut, Yusuf dan Nurihsan 2010: 5 mengungkapkan bahwa bimbingan pribadi-sosial diberikan dengan cara menciptakan
lingkungan yang
kondusif, interaksi
pendidikan yang
akrab, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif,
serta ketrampilan-ketrampilan pribadi-sosial yang tepat. Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa bimbingan pribadi sosial adalah upaya untuk membantu
individu dalam
memantapkan kepribadian
dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah
yang berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain, yang didukung melalui penciptaan lingkungan yang kondusif dan interaksi pendidikan yang akrab.
2. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial a.
Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, SekolahMadrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada
umumnya
b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersikap
fluktuatif antara yang menyenangkan anugerah dan yang tidak menyenangkan musibah, serta mampu meresponnya secara positif
sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun
kelemahan; baik fisik maupun psikis.
e. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang
lain.
f.
Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat.
g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai
orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.
h. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk
komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial, yang diwujudkan dalam
bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silahturahim
dengan sesama manusia
j.
Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
30