LatarBBelakangB Memahami ekspresi marah orang tua : dilihat dari perspektif anak middle childhood.

1 BABBIB PENDAHULUANB

A. LatarBBelakangB

Setiap individu itu unik. Salah satu novel yang diangkat dari kisah nyata berjudul Toto-Chan: Gadis Cilik di Jendela Kuroyanagi, 2007 cukup menggambarkan bagaimana individu dalam konteks ini, anak-anak memiliki keunikannya masing-masing. Toto-chan adalah murid sekolah dasar yang memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar dan sering bertindak sesuka hatinya. Tak jarang bahwa perilaku yang dilakukannya tidak dapat dipahami orang dewasa. Suatu kali, mama Toto-chan dipanggil oleh wali kelasnya karena Toto- chan melakukan banyak hal yang sangat mengganggu aktivitas di kelas. Hal-hal yang dilakukan Toto-chan itu sangat membuatnya senang namun sebaliknya, sangat menjengkelkan bagi wali kelasnya. Akibatnya, wali kelas dan guru-guru Toto-chan yang sudah kehabisan akal untuk menghadapi sikapnya itu sangat memohon agar Toto-chan dipindahkan dari sekolah tersebut. Yang menarik adalah bagaimana sikap orang tua Toto-chan dalam menghadapi sikap Toto- chan tersebut. Mama Toto-chan merupakan tokoh yang sering muncul dalam novel ini. Dihari dimana Toto-chan dipindahkan dari sekolah yang lama, mama Toto-chan tidak mengatakan kepada Toto-chan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah. Mama Toto-chan tahu bahwa Toto-chan tidak akan mengerti mengapa 2 dia dianggap telah berbuat salah dan mama Toto-chan tidak ingin Toto chan menderita tekanan batin, jadi diputuskan untuk tidak memberitahu Toto-chan sampai dia dewasa kelak. Hal yang menarik lainnya adalah mama Toto-chan mau berusaha untuk mendengarkan dan memahami apa yang diceritakan oleh Toto-chan. Mama Toto-chan menanggapi secara positif apa yang diceritakan oleh Toto-chan dampaknya, Toto-chan dapat belajar untuk menemukan sendiri kesalahan yang dilakukannya tanpa harus ditegur secara keras atau dimarahi oleh mama Toto-chan. Dari kisah Toto-chan dapat dilihat bahwa ia berulang kali melakukan hal yang dianggap salah di sekolahnya bahkan sampai membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Bagi anak-anak, pengalaman dikeluarkan dari sekolah merupakan hal yang menyulitkan, tidak menyenangkan, dan dianggap sebagai sebuah kegagalan. Namun, Toto-chan tidak menganggap pengalaman itu sebagai hal yang menyulitkan karena ia tidak dijadikan sumber masalah oleh mamanya. Mama Toto-chan tidak menyalahkan Toto-chan akan kejadian yang dialami. Hal itu yang kemudian membuat Toto-chan tetap berkembang dengan baik. Usia anak-anak merupakan masa-masa eksplorasi dan pengembangan potensi yang dimilikinya. Anak belajar juga untuk beradaptasi dengan lingkungan agar dapat berfungsi secara sosial di masyarakat kelak. Dalam prosesnya bereksplorasi dan belajar, anak dapat melakukan banyak cara salah satunya yaitu dengan melakukan hal yang disukai atau bermain. Montessori dalam Woolfolk, 2005 hal. 36, berkata bahwa “Play is children’s work” atau 3 bermain adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak. Otak manusia berkembang karena adanya stimulasi dan bermain menyediakan stimulasi pada setiap tahap perkembangan. Pada anak-anak yang beranjak remaja, bermain akan berlanjut menjadi bagian dari perkembangan fisik dan sosial mereka Meece, 2002 dalam Woolfolk, 2005. Di sisi lain, anak-anak juga mulai belajar untuk mengambil keputusan sendiri berdasarkan pertimbangannya. Hal ini didukung dengan pernyataan penting dari Piaget bahwa setiap individu membangun pemahamannya sendiri Woolfolk, 2005, sehingga tidak jarang bahwa anak sering didapati melakukan kesalahan atau melanggar aturan yang ditetapkan orang tua. Semua hal di atas merupakan hal yang wajar terjadi pada anak-anak karena memang seperti itulah natur dari anak-anak dan mereka pun masih terus berkembang. Dalam masa perkembangannya, anak memiliki suatu zona yang disebut zone of proximal development yang merupakan area dimana anak tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri dan untuk berhasil dibutuhkan bimbingan orang yang lebih dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mahir Wertsch, 1991 dalam Woolfolk, 2005. Orang dewasa yang berinteraksi setiap hari dengan anak adalah orang tua sehingga mereka memiliki peran dalam membimbing dan mengarahkan anak sehingga menjadi individu yang mandiri. Oleh karena itu, keluarga memiliki fungsi sosialisasi yang menekankan bagaimana anak memperoleh motivasi, nilai, dan pola perilaku yang membuatnya dapat berfungsi dalam masyarakat luas Maccoby, 1984; Zigler 4 Child, 1973, dalam Kuczynsky, 1997. Walaupun bahasan sosialisasi memberikan gambaran tentang orang tua yang menekan standar dan perilaku tertentu pada anak yang dianggap pasif dan resisten, sosialisasi yang efektif membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar perilaku yang muncul berdasarkan permintaan orang tua Kuczynsky, 1997. Dengan kata lain dalam membangun suatu sosialisasi yang efektif dibutuhkan cara pandang terhadap anak sebagai subjek yang aktif. Sosialisasi dan penanaman nilai pada anak tidak terlepas dari proses komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Komunikasi yang terjadi dalam keluarga tersebut kemudian menjadi pusat dari penyesuaian diri dalam keluarga Galvin, dkk, 2015. Pemahaman yang anak dapatkan di rumah akan mereka bawa di lingkungan luar. Bagaimana orang tua menjelaskan pada anak tentang suatu kejadian dan menolong anak dalam memahami kejadian tersebut. Namun, pada kenyataannya orang tua tidak hanya menghadapi situasi yang mudah. Ada kalanya orang tua menghadapi situasi yang sulit dalam menanamkan nilai pada anak, misalkan anak melakukan pelanggaran, menolak perintah atau bertindak seenaknya. Pada saat itulah orang tua perlu melakukan suatu cara untuk mengatasi dan mengomunikasikan apa yang diharapkan orang tua kepada anak dalam rangka memberitahu apa yang baik dan yang tidak bagi anak. Hal tersebut juga dilakukan demi mendisiplinkan anak. Dalam proses tersebut tidak jarang ditemukan orang tua yang berespon dengan menegur keras 5 atau memarahi anak. Menurut Cummings, dkk 1989, bahkan dalam keluarga yang harmonis pun didapati momen kemarahan di antara orang tua. Ekspresi marah memiliki efek yang membangun ketika disampaikan dengan cara yang tepat. Menurut APA dalam Ensyclopledia of Psychology, 2000, marah bisa menjadi hal yang baik karena marah dapat memberikan jalan untuk mengekspresikan perasaan negatif atau memotivasi untuk menemukan solusi dari permasalahan. Menurut Gautam 2013, terdapat pula tipe kemarahan yang bertujuan untuk mendorong individu membuat suatu perubahan positif bagi dirinya. Begitu pula dalam konteks keluarga, orang tua perlu menunjukkan ekspresi marah untuk memberitahu kesalahan yang dilakukan anak. Dengan begitu, anak akan belajar dari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki diri di kemudian hari. Namun, menurut penelitian Crockenberg dalam Cummings 1991, anak-anak sangat sensitif dengan ekspresi marah dari orang dewasa terutama orang tuanya. Menurut psikolog anak dan remaja, Zulhaqqi dalam m.detik.com diakses pada tanggal 17 September 2015, ketika terbiasa dimarahi dan dibentak maka anak cenderung membentuk pemikiran bahwa membentak, memukul dan tindak kekerasan lain adalah bentuk kasih sayang. Hal ini berdampak pada kecenderungan anak untuk meniru hal tersebut dalam kesehariannya dan mengekspresikan kemarahan dan permusuhan kepada orang tuanya. Selain itu, anak menjadi mudah cemas, merasa tidak aman, tidak nyaman, tidak percaya diri dan tidak bisa memposisikan dirinya dengan tepat. Hal tersebut didukung 6 dengan penelitian Cummings 1991, ia menemukan hal yang cukup konsisten secara umum dengan fakta bahwa anak laki-laki cenderung menanggapi kemarahan orang dewasa dengan sikap marah dan agresivitas dibandingkan anak perempuan sedangkan anak perempuan cenderung menahan diri dan mengalami kecemasan dibandingkan anak laki-laki e.g., Block, Block, Gjerde, 1986; Feshbach, 1970. Dalam mengambil suatu tindakan tentu orang tua memiliki alasannya masing-masing. Namun yang menjadi masalah apakah anak menangkap maksud dari orang tua tersebut. Menurut Galvin 2005, jika makna tidak tersampaikan dengan baik oleh si pembawa pesan maka hasilnya adalah kebingungan atau kesalahpahaman. Selain itu, kosa kata yang dimiliki anak masih lebih sedikit dibandingkan orang dewasa sehingga terkadang anak tidak mampu memberikan alasan kepada orang tua tentang perbuatan yang dilakukannya sehingga orang tua pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya. Ditambah dengan adanya kecenderungan anak untuk menampilkan display rules atau suatu tata krama dalam mengungkapkan ekspresi atau hal yang sebenarnya dirasakan atau menampilkan topeng dalam pengungkapan emosinya Bukatko, 2008. Dalam menampilkan display rules anak dapat tidak menunjukkan ekspresi apapun, cenderung diam atau justru menampilkan emosi yang berkebalikan yang lebih dapat diterima orang lain Underwood, 1992. Apabila hal itu terjadi maka hal yang sebenarnya terjadi 7 akan semakin kabur dan dapat menghambat relasi dalam keluarga sehingga pada akhirnya berdampak pula pada perkembangan anak. Besarnya efek dari ekspresi marah orang tua yang memungkinkan munculnya kesalahpahaman dan kebingungan di antara relasi anak dan orang tua mendorong peneliti untuk melihat dari sudut pandang anak dan meninjau bagaimana mereka memahami ekspresi marah orang tua tersebut. Kurangnya penelitian terkini yang dilakukan oleh para peneliti lain tentang pemahaman ekspresi marah orang tua dari sudut pandang anak mendorong peneliti untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap sejumlah anak berusia 10-12 tahun yang memiliki pengalaman dimarahi oleh orang tuanya. Ekspresi marah orang tua itu penting untuk menyatakan kesalahan namun perlu pula meninjau pemahaman anak agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara relasi orang tua dan anak.

B. BBRumusanBMasalahB