Hubungan antara gaya kelekatan dengan ekspresi emosi marah konstruktif pada remaja.
HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN EKSPRESI EMOSI MARAH KONSTRUKTIF PADA REMAJA
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Rosalia Vica Nirmala
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubugan antara Gaya Kelekatan dengan Ekspresi Emosi Marah pada remaja. Rancangan penelitian berupa penelitian Kuantitatif Korelasional dengan jumlah subjek sebanyak 161 remaja berusia 13-20 tahun yang dipilih dengan metode pengambilan data cross sectional. Instrumen yang digunakan adalah skala gaya kelekatan dan skala ekspresi emosi marah berupa skala Likert. Koefisien reliabilitas pada skala gaya kelekatan sebesar 0,745 (secure), 0,753 (fearful), 0,886 (preoccupied), dan 0,793 (dismissing), serta koefisien reliabilitas skala ekspresi emosi marah sebesar 0,895. Uji normalitas menunjukkan bahwa variabel ekspresi emosi marah dan sub-variabel gaya kelekatan takut-menghindar memiliki sebaran data penelitian yang normal, sedangkan pada sub-variabel gaya kelekatan aman, terpreokupasi, dan menolak memiliki sebaran data yang tidak normal. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa variabel ekspresi emosi marah dengan keempat sub-variabel gaya kelekatan sudah memiliki kesesuaian arah hubungan, tetapi tidak signifikan pada gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah. Analisis data dilakukan dengan Satistik Non-Parametrik, dengan teknik analisis Spearman Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara gaya kelekatan takut-menghindar (r -0,593, sig 0,000), terpreokupasi (r -0,204, sig 0,005), dan menolak (r -0,376, sig 0,000) dengan ekspresi emosi marah. Semakin tinggi gaya kelekatan takut-menghindar, terpreokupasi, dan menolak, maka semakin rendah ekspresi emosi marah yang konstruktif. Sedangkan, pada gaya kelekatan aman ditemukan bahwa ada hubungan positif namun tidak signifikan dengan ekspresi emosi marah (r 0,095, sig 0,116). Semakin tinggi gaya kelekatan aman, belum tentu ekspresi emosi marahnya konstruktif. Hubungan yang tidak signifikan antara gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif mungkin disebabkan adanya faktor budaya. Budaya Timur yang hidup di Indonesia tidak mengajarkan masyarakatnya untuk mengekspresikan emosinya, sehingga masyarakat di Indonesia cenderung tidak dapat mengekspresikan emosi marahnya walaupun mereka memiliki kelekatan yang aman.Selain itu, peneliti menemukan bahwa ajaran budaya Jawa tentang kesopanan juga turut menjadi faktor yang berhubungan dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif pada penelitian ini.
(2)
THE CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE AND CONSTRUCTIVE ANGER EXPRESSION IN ADOLESCENT
Psychology Faculty Sanata Dharma University
Rosalia Vica Nirmala
ABSTRACT
This research aims to determined the correlation between attachment style and anger expression in adolescent. The design of this study was Correlational Quantitative, with a number of sample 161 adolescent within 13-20 years old that were selected using cross sectional method. The instruments of this study were the scale of attachment style and the scale of anger expression by using Likert scale. Reliability coefficient on the form of attachment style scale were 0,745 (secure attachment), 0,753 (fearful attachment), 0,886 (preoccupied attachment), 0,793 (dismissing attachment), and the reliability coefficient on the form of anger expression scale was 0,895. The normality test showed that the spread of data from anger expression and fearful attachment were normal, besides, the spread of data from secure, preoccupied, and dismissing attachment were not normal. The linearity test in this study showed that anger expression had the congruen linearity with the attachment style, but not significance on secure attachment style. Data of this study were analyzed using Non-Parametric Statistic with Spearman Rho analyzing technique. The result showed that there was negative correlation and significance between fearful attachment style (r -0,593, sig 0,000), preoccupied attachment style (r -0,204, sig 0,005), dismissing attachment style (r -0,376, sig 0,000) with anger expression. The higher fearful, preoccupied, and dismissing attachment style, then the lower constructive anger expression. On the other side, there is positive but not significance correlation between secure attachment style and anger expression (r 0,095, sig 0,116). If the secure attachment style is high, then the anger expression is uncertainly constructive. The researcher found that there was cultural factor in this study that might be correlated with
secure attachment style. Even the people had secure attachment style, it’s not the common thing in
the East culture to expressed their anger in such ways. Besides, the Javanese culture about politeness also be the factor between secure attachment and constructive anger expression.
(3)
HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN EKSPRESI EMOSI MARAH KONSTRUKTIF PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Rosalia Vica Nirmala
NIM : 109114081
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
(4)
(5)
(6)
iv
HALAMAN MOTTO
“Bijaksana artinya mengetahui bahwa kita tidak tahu segalanya”
-Socrates-Sukses adalah ABC~~~ Ability (Kemampuan), Breaks (Kegagalan-kegagalan), dan Courage (Keberanian)
-Charles
Luckman-“Maju dan cobalah, bagaimanapun hasilnya bersyukurlah karena sudah
berani mencoba”
“Pada akhirnya, bersyukur tanpa mengatakan ‘Seandainya…’ akan lebih
membahagiakan”
“Kebahagiaan adalah suatu kebiasaan. Kembangkanlah kebiasaan itu” -Elbert
Hubbard-“Don’t trust too much, don’t love too much, don’t hope too much. Because TOO MUCH can hurt you SO MUCH”
(7)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan bagi Tuhan Yesus Kristus Bagi orang tuaku yang luar biasa, Bapak Drs. Yustinus Joko
Setyono.dan Ibu Yosepha Rini Mariani.
Kakakku Ignatius Nugrahanto Prasetyo Wibowo dan kakak iparku Ririn Dewi Ariyani.
Sahabat-sahabatku dan teman-temanku yang tersayang.
(8)
(9)
vii
HUBUNGAN ANTARA GAYA KELEKATAN DENGAN EKSPRESI EMOSI MARAH KONSTRUKTIF PADA REMAJA
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Rosalia Vica Nirmala
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubugan antara Gaya Kelekatan dengan Ekspresi Emosi Marah pada remaja. Rancangan penelitian berupa penelitian Kuantitatif Korelasional dengan jumlah subjek sebanyak 161 remaja berusia 13-20 tahun yang dipilih dengan metode pengambilan data cross sectional. Instrumen yang digunakan adalah skala gaya kelekatan dan skala ekspresi emosi marah berupa skala Likert. Koefisien reliabilitas pada skala gaya kelekatan sebesar 0,745 (secure), 0,753 (fearful), 0,886 (preoccupied), dan 0,793 (dismissing), serta koefisien reliabilitas skala ekspresi emosi marah sebesar 0,895. Uji normalitas menunjukkan bahwa variabel ekspresi emosi marah dan sub-variabel gaya kelekatan takut-menghindar memiliki sebaran data penelitian yang normal, sedangkan pada sub-variabel gaya kelekatan aman, terpreokupasi, dan menolak memiliki sebaran data yang tidak normal. Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa variabel ekspresi emosi marah dengan keempat sub-variabel gaya kelekatan sudah memiliki kesesuaian arah hubungan, tetapi tidak signifikan pada gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah. Analisis data dilakukan dengan Satistik Non-Parametrik, dengan teknik analisis Spearman Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara gaya kelekatan takut-menghindar (r -0,593, sig 0,000), terpreokupasi (r -0,204, sig 0,005), dan menolak (r -0,376, sig 0,000) dengan ekspresi emosi marah. Semakin tinggi gaya kelekatan takut-menghindar, terpreokupasi, dan menolak, maka semakin rendah ekspresi emosi marah yang konstruktif. Sedangkan, pada gaya kelekatan aman ditemukan bahwa ada hubungan positif namun tidak signifikan dengan ekspresi emosi marah (r 0,095, sig 0,116). Semakin tinggi gaya kelekatan aman, belum tentu ekspresi emosi marahnya konstruktif. Hubungan yang tidak signifikan antara gaya kelekatan aman dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif mungkin disebabkan adanya faktor budaya. Budaya Timur yang hidup di Indonesia tidak mengajarkan masyarakatnya untuk mengekspresikan emosinya, sehingga masyarakat di Indonesia cenderung tidak dapat mengekspresikan emosi marahnya walaupun mereka memiliki kelekatan yang aman.Selain itu, peneliti menemukan bahwa ajaran budaya Jawa tentang kesopanan juga turut menjadi faktor yang berhubungan dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif pada penelitian ini.
(10)
viii
THE CORRELATION BETWEEN ATTACHMENT STYLE AND CONSTRUCTIVE ANGER EXPRESSION IN ADOLESCENT
Psychology Faculty Sanata Dharma University
Rosalia Vica Nirmala
ABSTRACT
This research aims to determined the correlation between attachment style and anger expression in adolescent. The design of this study was Correlational Quantitative, with a number of sample 161 adolescent within 13-20 years old that were selected using cross sectional method. The instruments of this study were the scale of attachment style and the scale of anger expression by using Likert scale. Reliability coefficient on the form of attachment style scale were 0,745 (secure attachment), 0,753 (fearful attachment), 0,886 (preoccupied attachment), 0,793 (dismissing attachment), and the reliability coefficient on the form of anger expression scale was 0,895. The normality test showed that the spread of data from anger expression and fearful attachment were normal, besides, the spread of data from secure, preoccupied, and dismissing attachment were not normal. The linearity test in this study showed that anger expression had the congruen linearity with the attachment style, but not significance on secure attachment style. Data of this study were analyzed using Non-Parametric Statistic with Spearman Rho analyzing technique. The result showed that there was negative correlation and significance between fearful attachment style (r -0,593, sig 0,000), preoccupied attachment style (r -0,204, sig 0,005), dismissing attachment style (r -0,376, sig 0,000) with anger expression. The higher fearful, preoccupied, and dismissing attachment style, then the lower constructive anger expression. On the other side, there is positive but not significance correlation between secure attachment style and anger expression (r 0,095, sig 0,116). If the secure attachment style is high, then the anger expression is uncertainly constructive. The researcher found that there was cultural factor in this study that might be correlated with
secure attachment style. Even the people had secure attachment style, it’s not the common thing in
the East culture to expressed their anger in such ways. Besides, the Javanese culture about politeness also be the factor between secure attachment and constructive anger expression.
(11)
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus berkat karunia dan anugerahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Gaya Kelekatan dengan Ekspresi Emosi Marah Pada Remaja” dengan baik. Penulis juga menyadari bahwa karya ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widianto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Carolus Wijoyo Adinugroho, M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran, ketulusan, dan perhatian telah membimbing penulis untuk dapat berpikir luas dan kritis, serta nasehat, saran, dan pengertiannya selama proses penulisan karya ini.
3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti M. S., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan perhatian dan dorongan dalam proses kelancaran studi selama masa perkuliahan.
4. Seluruh dosen dan staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah memberikan bimbingan, pengajaran, serta kelancaran administrasi kepada penulis.
5. Bagi orang tua luar biasaku, Bapak dengan cinta dalam diamnya dan Ibu yang selalu mengingatkan dan mendoakan. Orang tua yang telah
(13)
xi
mendidik, membesarkan, dan selalu mendoakan serta memberikan semangat bagi penulis sampai penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini. 6. Kakakku tersayang dan terkadang menyebalkan (Mas I’ok), kakak iparku
yang cerewet tapi baik hati (Mbak Dewi). Terimakasih atas dorongan dan candaan yang dapat menjadi penyemangat bagi penulis.
7. Mbak Ratna Ayu Pratama yang dengan tulus bersedia direpotkan penulis, mengizinkan penggunaan skalanya dalam penelitian ini, dan memberikan supervisi bagi penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Mbak Elsadan Kak Ongen yang memberikan banyak pengalaman dan cerita kepada penulis selama ini.
9. Teman tersayangku Luna dan Keket alias Katy, terimakasih sudah banyak berbagi cerita, berbagi kesenangan, kesedihan maupun kemarahan, menyediakan waktu untuk menghibur dan memberikan dorongan bagi penulis selama penulis melaksanakan studi di kota yang menyenangkan ini.
10. Teman baikku Vivid dan Dien, terimakasih sudah sering ke gereja bersama, berbagi banyak cerita, dan saling memotivasi sampai penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini.
11. Partner berenang Bibin dan Cik Grace, terimakasih sudah mau berbagi pengalaman dan berbagi cerita dengan penulis selama ini.
(14)
xii
12. Teman-teman sekelompok bimbingan, Rika, Regina, Silvi, Ika, Tika, Vincent, Aldo. Terimakasih sudah berbagi ilmu, bantuan, dan motivasi selama proses pembuatan skripsi ini.
13. Temanku Koleta Yovi, terimakasih sudah banyak membantu proses pengambilan data dan berbagi bantuan selama ini.
14. Teman-teman dari UKM Radio Masdha, Komunitas Paingan (KOMPAI), DPMF Psikologi periode 2012-2013, dan semua teman-teman dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, terimakasih sudah banyak berbagi pengalaman yang sangat berharga bagi penulis sampai saat ini.
15. Pengajar dan teman-teman ICEE Sanata Dharma, terimakasih sudah memberikan pengalaman berbahasa Inggris yang sangat menyenangkan. 16. Serta terimakasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penulis
selama studi sampai menyelesaikan studi, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan seluruh pihak.
Yogyakarta, Juni 2015 Penulis
(15)
xiii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN………. ii HALAMAN PENGESAHAN……….. iii
HALAMAN MOTTO……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……… v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi
ABSTRAK………. vii
ABSTRACT………... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………. ix
KATA PENGANTAR……… x
DAFTAR ISI……….. xiii
DAFTAR TABEL……….. xvi
DAFTAR GAMBAR………. xviii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xix
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang……….... 1
B. Rumusan Masalah………... 9
C. Tujuan Penelitian……… 9
D. Manfaat Penelitian……….. 10
1. Manfaat Teoritis……… 10
2. Manfaat Praktis………. 10
(16)
xiv
A. Ekspresi Emosi Marah……… 11
1. Definisi Ekspresi Emosi Marah………. 11
2. Faktor Penyebab Emosi Marah…………... 14
3. Jenis-jenis Ekspresi Emosi Marah……….. 15
4. Aspek Ekspresi Emosi Marah Konstruktif………. 16
5. Indikator Ekspresi Emosi Marah Konstruktif…………. 17
B. Kelekatan………. 18
1. Definisi Kelekatan………... 18
2. Macam-macam Gaya Kelekatan…..………... 19
3. Faktor Pembentuk Kelekatan……….. 23
C. Remaja………... 25
1. Definisi Remaja………... 25
2. Tugas Perkembangan Remaja………... 26
D. Dinamika Hubungan antar Variabel……… 29
E. Hipotesis Penelitian………. 36
BAB III METODE PENELITIAN……… 37
A. Jenis Penelitian……… 37
B. Variabel Penelitian………... 37
C. Definisi Operasional………... 38
D. Subjek Penelitian……… 40
E. Metode dan Alat PengumpulanData………. 41
1. Metode………... 41
2. Alat Ukur………... 41
a. Skala Gaya Kelekatan………... 42
(17)
xv
F. Persiapan Penelitian………... 48
1. Pelaksanaan Uji Coba………... 48
2. Seleksi Item………... 49
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur………... 53
a. Uji Validitas………. 53
b. Uji Reliabilitas……….. 53
G. Metode Analisis Data……… 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... 56
A. Pelaksanaan Penelitian……….. 56
B. Deskripsi Subjek Penelitian……….. 57
C. Deskripsi Statistik Data Penelitian……… 58
D. Hasil Penelitian………... 63
1. Uji Asumsi Penelitian………... 63
a. Uji Normalitas……….. 63
b. Uji Linearitas……… 64
2. Uji Hipotesis………. 67
E. Pembahasan………... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 85
A. Kesimpulan………. 85
B. Saran………... 85
DAFTAR PUSTAKA………... 87
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1. Respon dan Skor Item Skala Gaya Kelekatan……... 42 Tabel 3.2. Respon dan Skor Item Skala Ekspresi Emosi Marah……... 44 Tabel 3.3. Blueprint dan Distribusi Item Skala Ekspresi Emosi Marah
Sebelum Uji Coba ……… 45 Tabel 3.4. Blueprint dan Distribusi Item Skala Ekspresi Emosi Marah
Setelah pada Uji Coba Kedua………... 46 Tabel 3.5. Distribusi Item Skala Gaya Kelekatan Setelah Uji Coba….. 49 Tabel 3.6. Distribusi Item Skala Ekspresi Emosi Marah
Setelah Uji Coba……… 51 Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
dan Jenis Kelamin……….. 57 Tabel 4.2. Deskripsi Subjek Berdasarkan Pendidikan dan Suku……… 57 Tabel 4.3. Deskripsi Statistik Data Variabel Gaya Kelekatan dan
Ekspresi Emosi Marah……… 58 Tabel 4.4. Deskripsi Statistik Data Variabel Gaya Kelekatan dan
Ekspresi Emosi Marah pada Remaja Awal……… 59 Tabel 4.5. Deskripsi Statistik Data Variabel Gaya Kelekatan dan
Ekspresi Emosi Marah pada Remaja Tengah………. 60 Tabel 4.6. Deskripsi Statistik Data Variabel Gaya Kelekatan dan
Ekspresi Emosi Marah pada Remaja Akhir……… 61 Tabel 4.7. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov Test……….... 62 Tabel 4.8. Hasil Uji Linearitas………... 64 Tabel 4.9. hasil Uji Linearitas pada Remaja Awal, Tengah, Akhir……. 65
(19)
xvii
Tabel 4.10. Uji Hipotesis dengan Non-Parametrik– Spearman Rho…… 67 Tabel 4.11. Uji Hipotesis dengan Non-Parametrik–Spearman Rho
(20)
xviii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
(21)
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A Skala Ekspresi Emosi Marah………... 95 Lampiran B Skala Gaya Kelekatan…………... 103 Lampiran C Hasil Uji Reliabilitas Skala Ekspresi
Emosi Marah Try Out Petama……… 107 Lampiran D Hasil Uji Reliabilitas Skala Ekspresi
Emosi Marah Try Out Kedua……….. 111 Lampiran E Hasil Uji Reliabilitas Skala Ekspresi
Emosi Marah Sebelum Seleksi Item……… 115 Lampiran F Hasil Uji Reliabilitas Skala Ekspresi
Emosi Marah Setelah Seleksi Item……….. 118 Lampiran G Hasil Uji Reliabilitas Skala
Gaya Kelekatan Sebelum Seleksi Item………... 121 Lampiran H Hasil Uji Reliabilitas Skala
(22)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman sekarang ini dapat kita lihat di berita-berita banyak remaja yang melakukan tindak kekerasan, seperti tawuran, penganiayaan, bahkan sampai tega membunuh ketika mereka merasa marah, kecewa, dendam, atau sakit hati kepada orang lain. Salah satu contohnya adalah kasus tawuran pelajar SMA 10 Yogyakarta dengan SMA Muhamadiyah 3, pada Selasa, 19 Februari 2013 di Jl. Kapten Tendean. Dilaporkan bahwa awalnya kedua belah pihak terlihat bersitegang sampai akhirnya tawuran terjadi. Tawuran menyebabkan beberapa siswa luka-luka terkena lemparan batu dan tiga sepeda motor diduga milik siswa SMA 10 Yogyakarta rusak parah, dan langsung dibawa kabur pemiliknya (www.tribunjogja.com).
Salah satu kasus yang cukup mencengangkan adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada 5 Maret 2014. Korban pembunuhan adalah seorang mahasiswi berinisial AS (19) yang dilakukan oleh mantan pacar dan teman korban. Polisi menduga kasus ini terjadi karena pelaku (H, 19 tahun) merasa marah dan sakit hati kepada korban yang tidak mau dihubungi lagi oleh pelaku setelah mereka putus hubungan berpacaran. Selain itu, pembunuhan ini juga dibantu oleh pacar H yang juga merupakan teman korban, berinisial A
(23)
(19), diduga terjadi karena pelaku merasa cemburu dan khawatir pacarnya (H) menjalin hubungan lagi dengan korban (www.kompas.com).
Selain itu, terdapat kasus tentang seorang remaja berinisial RC (18) yang menuntut orang tuanya membayar biaya kuliah dan biaya hidupnya. Kasus yang terjadi di Amerika Serikat itu tengah dipantau secara seksama karena hal tersebut berkaitan dengan konflik yang tampaknya universal antara orang tua dan anak remaja mereka. Disebutkan bahwa RC meninggalkan rumah pada Oktober 2013 dan setelah kabur dari rumah, akhirnya pada Selasa, 4 Maret 2014, RC mengajukan tuntutan kepada orang tuanya berupa uang sebesar 723 dollar AS untuk tunjangan anak mingguan dan sisa uang sekolahnya (www.kompas.com).
Perasaan dan emosi dapat dikatakan sebagai aspek utama dalam kehidupan manusia. Emosi, baik itu emosi negatif (marah, sedih, takut) maupun emosi positif (senang, puas, bahagia) memberikan warna dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa emosi lah yang membedakan manusia dengan komputer atau mesin-mesin (Matsumoto, 2008). Selain itu, hubungan antar manusia dapat dikatakan baik atau buruk tergantung dari cara mereka mengekspresikan emosi. Misalnya ketika dua orang mengekspresikan rasa kasih melalui senyuman dan candaan akan terlihat lebih menyenangkan bagi kedua orang tersebut ataupun bagi orang lain yang melihatnya. Namun, apabila seseorang mengekspresikan kedengkian kepada orang lain melalui cemoohan, ejekan, dan saling menjatuhkan akan terlihat tidak menyenangkan
(24)
bagi orang yang melakukannya ataupun bagi orang lain yang melihatnya (Prawitasari, 1995).
Pengungkapan atau pengekspresian emosi merupakan upaya untuk mengkomunikasikan perasaan yang berorientasi pada tujuan (Planalp, 1999, dalam Retnowati dkk, 2003). Dari beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekspresi emosi merupakan cara individu menunjukkan atau mengungkapkan perasaannya. Jika seseorang mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang kurang tepat, maka hal tersebut dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain.
Berdasarkan kasus pertama dan kedua dapat kita lihat bahwa ada masalah pada ekspresi emosi para pelaku yang masih berusia remaja. Mereka sampai tega menganiaya dan melakukan tindak kekerasan untuk mengekspresikan emosi mereka. Pada kasus ketiga, ekspresi emosi remaja tersebut juga dapat digolongkan sebagai ekspresi emosi yang kurang konstruktif karena dirinya sampai tega menuntut orang tuanya ke pengadilan. Selain itu, dari pernyataan para pelaku pada kasus kedua terlihat bahwa pelaku merasa marah terhadap korban, sehingga mereka mengekspresikan emosi marahnya kepada korban. Namun, para pelaku mengekspresikan emosi marahnya dengan cara-cara yang tidak konstruktif, karena penganiayaan dan pembunuhan yang mereka lakukan jelas-jelas tindakan yang melanggar hukum dan akhirnya merugikan diri sendiri dan orang lain.
(25)
Cara seseorang mengekspresikan emosi marah dibedakan menjadi dua, yaitu ekspresi emosi marah konstruktif dan destruktif (Nay, 2007). Ekspresi emosi marah konstruktif adalah pengungkapan emosi marah dengan cara-cara yang rasional, sehingga menghasilkan penyelesaian masalah yang realistis. Di sisi lain, ekspresi emosi marah destruktif merupakan pengungkapan emosi marah dengan cara-cara yang merugikan diri sendiri dan orang lain (Nay, 2007).
Berdasarkan kasus-kasus tersebut terlihat bahwa para pelaku kekerasan memiliki ekspresi emosi marah yang tidak konstruktif. Di sisi lain, sebenarnya terdapat pilihan yang lebih baik dalam mengekspresikan emosi marah, sehingga seseorang tidak sampai merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengangkat ekspresi emosi marah sebagai variabel penelitian. Selain itu, peneliti tertarik untuk meneliti ekspresi emosi marah pada remaja karena masa remaja dikatakan sebagai masa yang penuh gejolak emosi, terutama emosi marah (Hurlock, 1973). Salah satu tugas perkembangan remaja adalah kemandirian emosional, dimana remaja diharapkan mampu memahami gejolak emosional pada masa perkembangannya, sehingga remaja mampu mengelola dan mengekspresikan emosi marahnya dengan cara-cara yang konstruktif (Hurlock, 1973).
Selain itu, emosi marah dapat memicu timbulnya agresivitas yang dapat mengarah pada tindak kriminal (Batson, 1992). Di sisi lain, emosi marah sebenarnya dapat diekspresikan dengan cara-cara yang lebih konstruktif, yaitu
(26)
cara-cara yang menimbulkan kelegaan pada diri sendiri dan orang lain, serta adanya penyelesaian masalah yang realistis (Nay, 2007). Hal tersebut menyebabkan peneliti ingin meneliti tentang ekspresi emosi marah yang konstruktif.
Pada kasus kedua, tidak hanya ekspresi emosi marah pelaku yang dapat dikatakan tidak konstruktif, tetapi juga terlihat bahwa hubungan pelaku dan orang tuanya yang kurang baik. Pelaku (H) pernah mengatakan kepada ibu korban bahwa dirinya merasa kurang diperhatikan oleh orang tuanya, terutama ayahnya, bahkan pelaku merasa tidak diakui anak oleh ayahnya (www.solopos.com). Pada kasus ketiga jelas terlihat bahwa hubungan anak dan orang tua kurang baik karena remaja berinisial RC tersebut merasa orang tuanya tidak pernah mengurusi biaya kehidupannya dan ia tidak segan mengajukan tuntutan ke pengadilan terhadap kedua orang tuanya. Salah satu penelitian tentang peran keberfungsian keluarga terhadap pengungkapan emosi menyatakan bahwa faktor kedekatan antar anggota keluarga merupakan faktor yang paling mendukung pada pemahaman dan pengungkapan emosi individu (Retnowati, dkk, 2003).
Keluarga merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi dimana individu belajar merasakan perasaan, cara berpikir tentang perasaan tersebut, dan mengetahui pilihan-pilihan yang dimiliki untuk bereaksi, serta cara mengungkapkannya (Goleman, 2007). Hubungan yang buruk dalam keluarga membuat remaja memiliki penilaian yang rendah terhadap dirinya dan
(27)
akhirnya akan dibawa dalam bersosialisasi, sehingga muncul perasaan tidak berharga, menolak diri, tidak bertanggungjawab, sangat agresif, atau mudah menyerah (Hurlock, 1993).
Dikatakan bahwa kekerasan atau agresivitas pada remaja timbul akibat pengalaman kekerasan pada masa anak-anak dan pola asuh orang tua yang terbiasa menghukum anak ketika anak melakukan kesalahan (Berkowitz, 2003). Hal tersebut menunjukkan bahwa cara seseorang mengekspresikan emosinya merupakan proses belajar atau modeling. Menurut penelitian yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan remaja dipengaruhi oleh acara-acara televisi yang menunjukkan adegan-adegan kekerasan, sehingga dicontoh oleh para remaja (www.bbc.indonesia.com). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya orang tua tidak mengajarkan remajanya untuk melakukan kekerasan, tetapi para remaja tersebut mencontoh adegan-adegan kekerasan dari tayangan di televisi.
Selain itu, salah satu penelitian tentang agresi menyatakan bahwa orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya, lama-kelamaan akan membuat anak merasa marah atau kesal kepada orang tuanya tetapi tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskannya kepada orang lain (Sarwono, 2011). Namun, kita cermati kasus ketiga, yang nampaknya ekspresi emosi si anak bukan lagi hasil belajar atau modeling, tetapi lebih karena hubungan anak dengan orang tuanya yang kurang baik.
(28)
Selain itu, kota Yogyakarta sebagai tempat penelitian ini, dapat dikatakan memiliki budaya Jawa yang melekat di kehidupan masyarakatnya. Pada budaya Jawa, para orang tua mengajarkan bahwa mengekspresikan emosi secara terbuka justru dianggap tidak sopan (Sukarno, 2010), tetapi ternyata cukup banyak kasus kekerasan, seperti tawuran yang terjadi di Yogyakarta.
Hubungan orang tua dan anak dikemukakan oleh Bowlby sebagai kelekatan. Kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang bertahan lama antara individu dengan figur lekatnya. Selain itu, perkembangan emosional sejak dini terjadi dalam konteks sosial yang ditetapkan secara jelas, yaitu keluarga (Bowlby, 1979, dalam Feeney & Noller, 1996). Salah satu teori kelekatan menyebutkan bahwa sistem kelekatan berevolusi secara adaptif sejalan dengan berkembangnya hubungan antara bayi dengan pengasuh utama dan akan membuat bayi tetap dekat dengan orang yang mengasuh dan melindunginya (Simpson, dalam Helmi 2004).
Di sisi lain, masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa dan individu yang beranjak remaja akan mengalami perubahan fisik, psikis, maupun sosial. Kelekatan yang sudah terbentuk sejak bayi dapat menjadi bekal bagi remaja untuk menghadapi perubahan-perubahan yang dialaminya (Bowlby, 1973). Model mental yang berisi pandangan individu terhadap diri sendiri dan orang lain yang merupakan organisasi dari persepsi, penilaian, kepercayaan, dan harapan individu akan responsivitas dan
(29)
sensitivitas emosional dari figur lekat, yang berpengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku (Simpson, dalam Helmi, 2004).
Remaja yang paling merasa aman adalah remaja yang memiliki hubungan yang kuat dan penuh dukungan dengan orang tua yang memahami sudut pandang dan usaha mereka untuk mencapai kemandirian, serta menyediakan kenyamanan ketika remaja mengalami tekanan emosional (Allen, dkk 2003; Laursen, 1996, dalam Papalia & Olds, 2009). Remaja dengan kelekatan aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku bermasalah (Cassidy & Shaver, 1999). Selain itu, ditemukan bahwa kelekatan dapat memprediksi fungsi psikososial remaja, misalnya kemampuan berinteraksi dengan teman sebaya, depresi, dan kecemasan (Allen & Moore, 1998, dalam Cassidy & Shaver, 1999). Penelitian lain menemukan bahwa cara seseorang mengungkapkan emosinya dirangsang oleh orang-orang yang berada pada lingkar terdekat (circle intimate) (Rime & Zech, 2001).
Masa remaja dikatakan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, individu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada banyak aspek, seperti fisik, sosial, dan emosi. Selain itu, masa remaja juga dikatakan sebagai masa penting untuk mengelola emosi, terutama emosi marah, sehingga remaja dapat mengontrol pengungkapan emosinya dengan baik (Hurlock, 1973). Selain itu, tugas perkembangan remaja adalah menuju kedewasaan dan remaja diharapkan mampu memiliki emosi yang stabil, sehingga dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi stress dan
(30)
fluktuasi emosional secara lebih efektif (Santrock, 2007). Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk memberikan informasi dan bantuan bagi para remaja untuk mampu mengekspresikan emosinya, terutama emosi marah, dengan cara-cara yang lebih baik / konstruktif.
Selain itu, peneliti melihat adanya pengaruh orang tua, salah satunya terlihat dari kelekatan terhadap kemampuan remaja dalam mengungkapkan emosi marahnya. Peneliti tertarik untuk meneliti kelekatan karena kelekatan menjadi sesuatu yang penting di awal masa perkembangan manusia dan dikatakan bahwa kelekatan bertahan sepanjang hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelekatan dapat menjadi fondasi yang memiliki peran dan manfaat penting dalam perkembangan manusia. Berdasarkan hal tersebut peneliti melihat adanya hubungan antara gaya kelekatan dengan ekspresi emosi marah konstruktif pada remaja.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah ada hubungan antara gaya kelekatan dengan ekspresi emosi marah konstruktif padaremaja?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara gaya kelekatan dengan ekspresi emosi marah konstruktif pada remaja.
(31)
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis :
a. Memberikan gambaran tentang hubungan gaya kelekatan remaja dengan orang tua dan ekspresi emosi marah yang konstruktif pada remaja.
b. Memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan tentang gaya kelekatan dalam hubungannya dengan ekspresi emosi.
2. Manfaat Praktis :
a. Memberikan informasi mengenai peran penting kelekatan guna mengetahui gaya kelekatan yang lebih adaptif, sehingga orang tua dapat lebih memperhatikan kelekatan jika ingin anaknya memiliki ekspresi emosi marah yang konstruktif.
b. Dapat memberi masukan bagi para remaja untuk mengekspresikan emosi marah dengan cara yang lebih konstruktif.
(32)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Ekspresi Emosi Marah
1. Definisi Ekspresi Emosi Marah
Emosi memberikan warna pada pengalaman kita karena emosi menunjukkan jati diri, hubungan kita dengan orang lain, dan cara berperilaku kita. Emosi juga memberikan makna pada setiap kejadian dalam hidup kita (Matsumoto, 2008). Menurut Albin (1986), emosi adalah perasaan yang kita alami. Berbagai emosi yang muncul kita beri nama seperti sedih, kecewa, gembira, dan sebutan dari perasaan-perasaan itu mempengaruhi cara kita berpikir tentang perasaan-perasaan itu dan cara kita bertindak dalam menanggapi perasaan tersebut. Selain itu, emosi merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran yang mempengaruhi biologis dan psikologis seseorang, sehingga menimbulkan kecenderungan bertindak untuk merespon perasaan dan pikiran tersebut (Goleman, 2007).
Emosi merupakan reaksi penilaian dari sistem saraf terhadap suatu rangsangan, baik rangsangan yang berasal dari luar maupun dari dalam diri seseorang (Sarwono, 2014). Teori James-Lange menempatkan aspek persepsi terhadap respon fisiologis yang terjadi ketika ada rangsangan-rangsangan datang sebagai pemicu emosi yang dialami manusia (Heine, 2008). Di sisi lain, teori dua faktor dari W. B. Cannon
(33)
dan Philip Bard menyatakan bahwa persepsi terhadap objek yang dapat menimbulkan emosi akan diproses secara simultan oleh dua instansi dalam tubuh, yaitu sistem saraf otonom dan cerebral cortex, sehingga tidak mungkin terjadi perubahan fisiologis yang menyebabkan munculnya emosi (Heine, 2008).
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran yang muncul sebagai respon terhadap stimulus-stimulus yang dirasakan, yang akan mempengaruhi cara bertindak dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran tersebut.
Manusia memiliki enam emosi dasar, yaitu marah, sedih, takut, jijik, terkejut, dan bahagia (Ekman, 2003). Salah satu emosi yang sulit diterima dan sulit diungkapkan adalah emosi marah (Albin, 1986). Emosi marah merupakan perasaan tersinggung akibat perilaku atau perkataan seseorang dan karena suatu kenyataan tidak baik atau tidak sesuai harapan. Marah adalah suatu emosi penting yang memberi tahu bahwa kita perlu menyelesaikan suatu masalah dan dapat menjadi penggangu karena sangat melelahkan dan merampas kenyamanan (Nay, 2007). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian marah adalah perasaan tidak senang karena diperlakukan tidak sepantasnya. Seseorang akan merasa marah ketika perlakuan orang lain terhadap diri kita tidak sesuai dengan harapan kita (kbbi.web.id). Jadi, emosi marah adalah perasaan tidak senang yang muncul akibat perilaku orang lain atau suatu situasi tidak berjalan sesuai harapan.
(34)
Penelitian ini berfokus pada emosi marah karena emosi marah disebut sebagai emosi yang menonjol pada masa remaja (Hurlock, 1973). Emosi marah atau kata “kemarahan” mencakup banyak pengalaman berbeda dan saling berkaitan, berkisar antara rasa marah karena gangguan halus hingga amukan. Selain itu, salah satu karakteristik emosi marah adalah dapat membangkitkan kemarahan lain dengan siklus yang dapat bereskalasi dengan cepat (Ekman, 2003). Hal tersebut menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan menyakiti diri sendiri maupun orang lain, serta memicu agresivitas yang dapat mengarah pada tindak kriminal (Batson, 1992). Dengan demikian, emosi marah rentan menimbulkan konflik jika diekspresikan dengan cara yang kasar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan atau memperlihatkan gagasan, maksud, dan perasaan (kbbi.web.id). Selain itu, ekspresi merupakan pernyataan batin seseorang dengan cara berkata, bernyanyi, atau bergerak, yang tumbuh karena dorongan akan mengungkapkan perasaan atau pikiran (Wullur, dalam Sobur, 2003).
Jadi, ekspresi emosi adalah suatu proses menyatakan atau pengungkapan suatu perasaan yang muncul sebagai respon terhadap stimulus-stimulus yang kita rasakan. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa ekspresi emosi marah adalah suatu proses menyatakan atau
(35)
mengungkapkan perasaan tidak senang yang muncul akibat perilaku atau situasi yang tidak sesuai harapan.
2. Faktor-faktor Penyebab Emosi Marah
Menurut, Robert Nay (2007), berikut ini faktor-faktor yang dapat memicu munculnya emosi marah, yaitu :
a. Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri sendiri. Performa diri individu terbentuk dari kombinasi antara gen dan pengalaman-pengalaman atau hal-hal yang telah dipelajari. Ketika individu berekspektasi melakukan sesuatu yang melampaui batas kewajaran atau melampaui kemampuannya, maka kemungkinan munculnya kemarahan akan lebih besar.
b. Ketika orang lain gagal memenuhi ekspektasi atau sikap seseorang berbeda dari harapan, maka kemungkinan juga akan muncul kemarahan dalam diri individu.
c. Ketika sesuatu tidak berjalan seperti yang direncanakan.
Selain itu, menurut Robins (1986), kondisi yang dapat menyebabkan individu mengalami emosi marah adalah situasi psikologis dimana individu merasa bahwa hasil dari sesuatu tidak sesuai dengan harapannya. Selain itu, kekecewaan juga dapat menyebabkan individu merasa marah. Kekecewaan terjadi ketika suatu situasi tidak sesuai dengan harapan atau ketika perilaku seseorang
(36)
tidak sesuai dengan harapan. Individu dapat juga merasa marah ketika suatu perilaku menimbulkan pencelaan.
3. Jenis-jenis Ekspresi Emosi Marah
Saat emosi marah atau kemarahan muncul, kita memiliki beberapa pilihan dalam mengekspresikannya. Bowlby (1973) membedakan ekspresi emosi marah menjadi dua jenis, yaitu :
a. Ekspresi Emosi Marah Fungsional
Merupakan cara mengungkapkan emosi marah yang memiliki suatu pengharapan akan datangnya keadaan yang lebih baik. Ekspresi emosi marah yang fungsional biasanya dilakukan dengan cara mengkomunikasikan emosi marah melalui diskusi.
b. Ekspresi Emosi Marah Disfungsional
Merupakan ekspresi emosi marah yang mengandung keputusasaan dalam kemarahan. Ekspresi emosi marah disfungsional biasanya ditunjukkan melalui perilaku yang kurang terkontrol, seperti melempar benda-benda, memukul, atau justru menarik diri akibat rasa frustasi dan putus asa yang muncul.
Selain itu, menurut Yadi & Rahmat (2006), ekspresi emosi marah pada seseorang dapat berfluktuasi, yaitu :
a. Ekspresi emosi marah adaptif yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain, memberi kelegaan pada individu yang
(37)
merasa marah, dan tidak menimbulkan masalah dengan orang lain. Cara mengungkapkan emosi marah yang adaptif dapat dilakukan secara verbal, misalnya dengan mendiskusikan objek kemarahan dan mencari solusi yang menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain.
b. Ekspresi emosi marah maladaptive yang dinyatakan atau diungkapkan dengan cara yang dapat menimbulkan rasa bermusuhan dan dapat menimbulkan masalah pada diri sendiri dan orang lain.
Di sisi lain, Nay (2007) menyatakan bahwa terdapat dua jenis ekspresi emosi marah, yaitu :
a. Ekspresi emosi marah konstruktif
Merupakan suatu pengekspresian emosi marah melalui cara-cara rasional, sehingga dapat mencapai suatu penyelesaian yang realistis.
b. Ekspresi emosi marah destruktif
Merupakan pengekspresian emosi marah yang membuat orang lain merasa frustasi atau terancam.
4. Aspek-aspek Ekspresi Emosi Marah Konstruktif
Emosi marah dikatakan sebagai emosi yang paling sulit diungkapkan, memiliki energi yang besar, dan memiliki gradasi level
(38)
dari emosi marah yang berupa gangguan halus sampai yang berupa amukan. Hal tersebut menyebabkan seseorang rentan mengalami atau menimbulkan konflik apabila mengekspresikannya dengan cara yang kasar (Ekman, 2003). Di sisi lain, terdapat cara-cara yang lebih baik atau konstruktif dalam mengekspresikan emosi marah, sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain yang disebut sebagai ekspresi emosi marah konstruktif. Penelitian ini mengacu pada teori tentang ekspresi emosi marah konstruktif dari Nay (2007). Aspek-aspek ekspresi emosi marah konstruktif meliputi :
a. Pendefinisian masalah melalui bahasa dan perilaku yang dapat dipahami orang lain
b. Pertukaran pikiran mengenai solusi-solusi yang mungkin dilakukan.
c. Penyeleksian solusi yang paling disepakati kedua pihak setelah memperhitungkan untung/ruginya secara bersama-sama.
5. Indikator Ekspresi Emosi Marah Konstruktif
Berdasarkan ketiga aspek ekspresi emosi marah konstruktif, berikut ini merupakan indikator dari ekspresi emosi marah konstruktif (Nay, 2007), yaitu :
a. Pengungkapan emosi marah melalui bahasa dan perilaku yang mudah dipahami orang lain.
(39)
b. Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti orang lain.
c. Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti diri sendiri.
d. Kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain. e. Kemampuan untuk melihat peluang atau alternatif solusi.
B. Kelekatan
1. Definisi Kelekatan
Kelekatan adalah tindakan yang bertujuan untuk mencapai kedekatan dengan individu yang disukai. Pada awalnya kelekatan sendiri berasal dari penelitian tentang interaksi antara bayi dan caregiver atau dengan kata lain interaksi antara anak dan orang tuanya (Bowlby, 1979, dalam Feeney & Noller, 1996). Selain itu, kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara dua orang (Santrock, 2007).
Teori lain menyebutkan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kelekatan yang kekal sepanjang waktu (Ainsworth dalam Ervika, 2005). Kelekatan adalah hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif yang memiliki arti khusus antara individu satu dengan individu lainnya. Hubungan tersebut akan bertahan cukup lama, sehingga individu tetap merasa
(40)
aman walaupun figur lekatnya tidak berada dekat dengannya (Sutcliffe, 2002). Selain itu, kelekatan merupakan bentuk dari suatu ikatan kasih sayang yang berhubungan dengan adanya rasa aman dalam hubungan tersebut (Bee, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang bertahan lama, bahkan seumur hidup antara individu dengan figur lekatnya yang menciptakan rasa aman pada individu tersebut.
2. Macam-macam Gaya Kelekatan
Menurut Bowlby (1973) terdapat tiga gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment style), gaya kelekatan cemas-menghindar (anxious-avoidant attachment style), dan gaya kelekatan cemas-ambivalen (anxious-ambivalent attachment style).
a. Gaya Kelekatan Aman
Gaya kelekatan aman terbentuk ketika individu merasa percaya pada figur lekatnya dan menganggap bahwa figur lekatnya merupakan figur yang selalu mendapingi, responsif, sensitif, penuh kasih sayang, dan selalu siap melindungi serta mendampingi dirinya.
b. Gaya Kelekatan Cemas-Menghindar
Gaya kelekatan cemas-menghindar terbentuk ketika individu merasa tidak mendapatkan kasih sayang, tidak direspon, bahkan
(41)
merasa ditolak oleh figur lekatnya sehingga individu cenderung tidak memiliki kepercayaan diri.
c. Gaya Kelekatan Cemas-Ambivalen
Gaya kelekatan cemas-ambivalen terbentuk ketika individu merasa tidak yakin bahwa figur lekatnya akan selalu ada dan membantu dirinya ketika dibutuhkan. Hal tersebut menyebabkan individu cenderung mudah mengalami kecemasan bila berpisah dengan figur lekatnya, cenderung bergantung pada orang lain, mencari perhatian, dan merasa cemas ketika bereksplorasi dalam lingkungan.
Di sisi lain, Bartholomew dan Horowitz (1991), menyebutkan bahwa terdapat empat gaya kelekatan. Bartholomew dan Horowitz menekankan kelekatan terhadap sikap dasar, yaitu diri sendiri dan orang lain, yang dapat bersifat positif dan negatif. Menurut teori tersebut, gaya kelekatan dipengaruhi oleh sejauh mana individu menilai dirinya positif atau negatif dan sejauh mana individu menilai orang lain positif (dapat dipercaya) atau negatif (tidak dapat dipercaya). Keempat gaya kelekatan menurut Bartholomew dan Horowitz (1991) adalah :
a. Gaya Kelekatan Aman (Secure Attachment Style)
Individu dengan gaya kelekatan aman memiliki harga diri dan kepercayaan interpersonal yang tinggi, memiliki pandangan yang
(42)
positif tentang dirinya dan orang lain, serta mampu menjalin hubungan interpersonal berdasarkan rasa percaya. Mereka yang memiliki gaya kelekatan ini merasa nyaman bergantung pada orang lain maupun orang lain bergantung padanya, sehingga mereka tidak merasa cemas ketika memiliki hubungan dekat dengan orang lain (Hazan & Shaver, 1987). Orang-orang dengan gaya kelekatan aman lebih tidak mudah marah, tidak menunjukkan sikap bermusuhan pada orang lain, dan memiliki harapan yang positif serta konstruktif dalam menghadapi konflik (Mikulincer, 1998). Selain itu, individu dengan gaya kelekatan aman memiliki hubungan yang hangat dengan orang tua mereka (Bringle & Bagby, 1992 dalam Baron & Byrne 2005).
b. Gaya Kelekatan Takut-Menghindar (Fearfull-Avoidant Attachment Style)
Individu dengan gaya kelekatan ini memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka cenderung menghindari berhubungan dekat dengan orang lain karena mereka takut akan penolakan. Orang-orang dengan gaya kelekatan ini cenderung memendam perasaan marah dan permusuhan tanpa menyadarinya (Mikulincer, 1998). Selain itu, individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar cenderung menggambarkan orang tua mereka secara negatif (Levy, dkk dalam Baron & Byrne, 2005).
(43)
c. Gaya Kelekatan Terpreokupasi (Pre-occupied Attachment Style) Individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, tetapi mengharapkan orang lain menerima dirinya. Hal tersebut menyebabkan individu dengan gaya kelekatan ini cenderung menjalin hubungan dengan kedekatan yang terkadang berlebihan, tetapi mereka juga mengalami kecemasan dan merasa takut ditolak.
d. Gaya Kelekatan Menolak (Dismissing Attachment Style)
Individu dengan gaya kelekatan ini memiliki pandangan yang terlalu positif terhadap diri sendiri, merasa berharga dan mandiri, serta merasa patut untuk mendapat atau menjalin hubungan dekat dengan orang lain, tetapi gambaran dirinya tersebut cenderung berkebalikan dengan pandangan orang lain terhadap dirinya. Selain itu, masalah utama individu dengan gaya kelekatan menolak adalah mereka mengharapkan orang lain lebih buruk dari dirinya dan cenderung menghindari interaksi langsung (Baron & Byrne, 2005).
Perbedaan gaya kelekatan akan menyebabkan perbedaan dalam memandang diri sendiri dan orang lain (Bartholomew & Hrowitz, 1991). Selain itu, seseorang yang memiliki gaya kelekatan aman akan cenderung menampilkan sikap bersahabat dan percaya diri. Di sisi lain, individu dengan gaya kelekatan menghindar cenderung bersikap skeptis, mudah curiga, mudah berubah pendirian, dan sulit terbuka
(44)
pada orang lain. Individu tersebut cenderung merasa tidak nyaman dalam hubungan yang dekat, tidak dapat mengekspresikan diri, dan kurang hangat. Selain itu, individu dengan gaya kelekatan cemas cenderung tidak percaya diri, merasa tidak berharga, kurang asertif, sehingga mereka cenderung kurang berani dalam menjalin relasi dengan orang lain (Hazan & Shaver, 1987).
Penelitian ini menggunakan empat gaya kelekatan yang dikemukakan oleh Bartholomew & Horowitz (1991), yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan takut-menghindar, gaya kelekatan terpreokupasi, dan gaya kelekatan menolak. Peneliti menggunakan empat gaya kelekatan dari Bartholomew dan Horowitz (1991) karena teori tersebut dianggap lebih aplikatif dan lebih rinci dalam membedakan gaya kelekatan. Selain itu, teori tersebut melihat gaya kelekatan secara umum, bukan dalam area yang lebih sempit seperti teori Hazan & Shaver yang hanya melihat gaya kelekatan dalam hubungan romantis, sehingga lebih cocok untuk penelitian ini.
3. Faktor-faktor Pembentuk Kelekatan
Kelekatan tidak timbul secara tiba-tiba, melainkan berkembang melalui serangkaian tahapan yang diawali dengan preferensi umum bayi terhadap manusia hingga kebersamaan dengan pengasuh utama (Santrock, 2011). Selain itu, kelekatan juga terbentuk dari faktor-faktor
(45)
yang mendukung. Menurut Papalia, dkk. (2008), faktor-faktor yang membentuk kelekatan antara lain :
a. Sensitivitas Figur
Sensitivitas figur dapat berarti seberapa besar kepekaan figur terhadap kebutuhan individu atau sejauh mana figur kelekatan mampu mengetahui kebutuhan-kebutuhan individu.
b. Responsivitas Figur
Responsivitas figur yang dimaksud adalah cara figur kelekatan memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Figur kelekatan diharapkan mampu memberikan respon yang sesuai dengan kebutuhan individu.
Menurut Bee (2000), faktor penting dalam mengembangkan kelekatan adalah penerimaan dan adanya sensitivitas figur lekat, yang termasuk di dalamnya adalah respon yang berkesinambungan dan konsisten terhadap kebutuhan individu. Di sisi lain, Erikson (1968, dalam Santrock, 2011) menyatakan bahwa kenyamanan fisik dan perawatan yang peka memainkan peran penting dalam pembentukan kelekatan. Kedua hal tersebut merupakan hal yang esensial untuk mencapai kepercayaan pada masa bayi dan merupakan dasar bagi
(46)
kelekatan dan pandangan seumur hidup bahwa dunia merupakan tempat yang nyaman untuk dihuni.
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Remaja (adolescence)berasal dari bahasa Latin “adolescere”, yang berarti berkembang atau berkembang menuju kedewasaan (Hurlock, 1967). Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional (Horrocks, dalam Hurlock 1967).Selain itu, Hurlock (1967) mengatakan bahwa masa remaja terjadi pada rata-rata usia 13 sampai 21 bagi perempuan dan antara 14 sampai 21 bagi laki-laki. Para ahli perkembangan menggambarkan remaja sebagai masa remaja awal (Early Adolescence) dan masa remaja akhir (Late Adolescence). Masa remaja awal kira-kira sama dengan usia sekolah menengah pertama dan individu mengalami banyak perubahan pubertas. Di sisi lain, masa remaja akhir berlangsung kira-kira setelah usia 15 tahun (Santrock, 2003).
Menurut Papalia dan Olds (2008), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 11 atau 12 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan atau transisi
(47)
dari anak-anak menuju dewasa yang disertai dengan perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosi. Merujuk pada pendapat beberapa ahli yang sudah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa batasan usia remaja adalah antara 13 sampai 20 tahun.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan pada setiap tahap perkembangan manusia memiliki karakteristiknya sendiri. Dalam masa perkembangan remaja, salah satu tugas perkembangan yang penting adalah pembentukan otonomi dan kelekatan (Santrock, 2011).
Para peneliti mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa “storm and stress”. Kata “storm” sendiri sebenarnya merujuk pada kemarahan yang disertai dengan sifat yang meledak-ledak, yang merupakan emosi dominan pada masa remaja. Kata “stress” sendiri merujuk pada faktor-faktor emosi dan fisik yang mengganggu fungsi normalnya, termasuk kemarahan yang menyebabkan kemunduran fungsi fisik dan psikologis (Hurlock, 1973). Erikson menyatakan bahwa masa remaja merupakan tahap kelima dalam perkembangan psikososial, dimana individu berada pada tahap identitas versus kekacauan identitas. Pada tahap ini, individu dihadapkan pada pertanyaan tentang siapa mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam hidupnya (Erikson, dalam Santrock 2003). Pencarian identitas pada remaja tersebut dapat mempengaruhi
(48)
emosi mereka karena remaja dituntut untuk lebih dewasa, sedangkan mereka masih mencari tahu jati diri mereka yang sebenarnya. Hal tersebut dapat menimbulkan stress tersendiri pada diri remaja, sehingga dapat mempengaruhi emosi remaja (Papalia & Olds, 2009). Di sisi lain, pada masa remaja terjadi perubahan hormonal yang membuat mereka belum beradaptasi sepenuhnya terhadap perubahan hormonal tersebut, sehingga berpengaruh terhadap emosi remaja (Santrock, 2007).
Pengalaman lingkungan juga dapat memberikan pengaruh terhadap emosi remaja. Faktor-faktor lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh dua sampai empat kali terhadap depresi dan kemarahan remaja (Brooks-Gunn & Warren 1989, dalam Santrock, 2007). Selain itu, pengalaman yang menekan dalam lingkungan sosial, seperti transisi sekolah menengah dan munculnya pengalaman seksual, serta relasi romantis dapat meningkatkan emosi-emosi negatif pada diri remaja (Santrock, 2007). Di sisi lain, remaja yang mampu menyadari siklus emosionalnya dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi emosi-emosinya dan dapat mengekspresikan emosi dengan cara-cara yang tidak menyakiti orang lain agar relasi mereka dengan orang lain tetap terjaga (Saarni, 1999, dalam Santrock, 2007). Meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran diri remaja dapat mempersiapkan mereka dalam mengatasi stress dan fluktuasi emosional secara lebih efektif. Meskipun demikian, banyak remaja
(49)
yang tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif, sehingga mereka lebih rentan mengalami depresi, marah, dan tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan baik (Santrock, 2007).
Pada permulaan remaja, rata-rata individu tidak memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat di semua bidang kehidupan. Remaja yang mengalami kelekatan aman di usia 14 tahun akan cenderung memiliki relasi yang eksklusif dan merasa nyaman dalam hubungan dekat (Santrock, 2003). Hal tersebut menyebabkan remaja dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka, sehingga mereka lebih siap mempertimbangkan sudut pandang dan memahami pikiran serta perasaan orang lain.
Kemandirian emosional merupakan salah satu tugas penting pada masa remaja karena remaja diharapkan mampu mengelola emosinya (Hurlock, 1973). Hal tersebut dikarenakan masa remaja sebagai masa menuju kedewasaan dan remaja diharapkan mampu memiliki emosi yang stabil, sehingga dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi stress dan fluktuasi emosional secara lebih efektif (Santrock, 2007). Remaja yang mampu mengelola emosinya, terutama emosi marah, diharapkan dapat mengontrol emosi dan memiliki pengungkapan emosi yang lebih baik (Papalia & Olds, 2009).
(50)
D. Dinamika Hubungan Antara Gaya Kelekatan dengan Ekspresi Emosi Marah Konstruktif pada Remaja
Masa remaja dikatakan sebagai masa storm and stress yang merujuk pada kemarahan disertai sifat yang meledak-ledak, serta faktor-faktor emosi dan fisik yang dapat mengganggu fungsi normal pada remaja (Hurlock, 1973). Hal tersebut menunjukkan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh tekanan dan adanya perkembangan pesat yang mencakup perkembangan fisik, kognitif, maupun psikologis. Masa remaja dikatakan sebagai masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, sehingga remaja mulai dituntut untuk mandiri (Santrock, 2007). Kemandirian emosional merupakan salah satu tugas penting pada masa remaja karena remaja diharapkan mampu mengelola emosinya (Hurlock, 1973). Hal tersebut dikarenakan masa remaja sebagai masa menuju kedewasaan dan remaja diharapkan mampu memiliki emosi yang stabil, sehingga dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi stress dan fluktuasi emosional secara lebih efektif (Santrock, 2007).
Di sisi lain, pengalaman lingkungan juga dapat memberikan pengaruh terhadap emosi remaja. Faktor-faktor lingkungan sosial dapat memberikan pengaruh dua sampai empat kali terhadap depresi dan kemarahan remaja (Brooks-Gunn & Warren 1989, dalam Santrock, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan terhadap remaja dapat menjadi tekanan tersendiri bagi mereka, sehingga remaja menjadi stress yang dapat
(51)
memunculkan perasaan marah, sehingga ekspresi emosi marah remaja menjadi tak terduga.
Ekspresi emosi seseorang akan mempengaruhi hubungan seseorang tersebut dengan orang lain. Jika seseorang mengekspresikan emosi marahnya dengan memaki-maki atau melakukan kekerasan fisik terhadap orang lain, maka perilaku tersebut dapat menyebabkan orang lain terluka dan akhirnya dapat menggangu hubungan diantara mereka (Nay, 2007). Di sisi lain, terdapat pilihan yang lebih baik dalam mengekspresikan emosi marah, yang disebut sebagai ekspresi emosi marah konstruktif. Ekspresi emosi marah konstruktif merupakan suatu pengekspresian emosi marah melalui cara-cara yang rasional, sehingga dapat mencapai suatu penyelesaian yang realistis (Nay, 2007).
Salah satu penelitian menemukan bahwa cara seseorang mengungkapkan emosinya dirangsang oleh orang-orang yang berada pada lingkar terdekat (circle intimate) (Rime & Zech, 2001). Selain itu, perkembangan emosional sejak dini terjadi dalam konteks sosial yang ditetapkan secara jelas, yaitu keluarga (Bowlby, 1979, dalam Feeney & Noller, 1996). Faktor kedekatan antar anggota keluarga merupakan faktor yang paling mendukung pada pemahaman dan pengungkapan emosi individu (Retnowati, dkk, 2003). Kedekatan antara individu dengan orang tua atau figur berharga dalam hidupnya disebut Bowlby (1973) sebagai kelekatan. Kelekatan sendiri merupakan gejala dari adanya keterikatan yang umum terjadi pada manusia karena pada dasarnya manusia
(52)
cenderung membentuk ikatan afeksional yang kuat terhadap orang-orang tertentu (Bowlby, 1981).
Kelekatan memiliki dua sikap dasar yang akan membentuk pandangan individu terhadap diri sendiri dan orang lain, yang dapat bersifat positif dan negatif. Kombinasi dari kedua sikap dasar inilah yang akan membentuk gaya kelekatan. (Bartholomew & Horowitz, 1991). Gaya kelekatan dibedakan menjadi empat, yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan takut-menghindar, gaya kelekatan terpreokupasi, dan gaya kelekatan menolak (Bartholomew & Horowitz, 1991).
Individu dengan gaya kelekatan aman lebih mampu membina hubungan persahabatan yang baik, intens, dan memiliki pola interaksi yang baik (Parke & Waters, dalam Ervika 2005). Hal itu dikarenakan individu tersebut memiliki sikap empati, sehingga mereka cenderung memiliki kontrol yang baik dalam mengekspresikan emosi marahnya agar tidak menyakiti orang lain (Bowlby, 1973). Individu dengan gaya kelekatan aman memiliki kepercayaan yang penuh terhadap orang lain, mudah merasa nyaman, dan tidak mudah bergantung pada orang lain tetapi tetap merasa nyaman apabila orang lain bergantung pada dirinya (Bartholomew & Horowitz, 1991). Individu dengan gaya kelekatan aman memiliki model mental yang positif tentang diri dan sosial, sehingga mereka mampu mengekspresikan emosi, hangat, dan bersedia mengenal orang lebih dalam (Cooper, Collins, Shaver, 1998). Hal tersebut menyebabkan emosi marah pada individu dengan gaya kelekatan aman
(53)
cenderung dapat teratasi dengan baik, sehingga ekspresi emosi marahnya cenderung konstruktif.
Individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dikarenakan, individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar memiliki pengalaman ditolak secara emosi (Bartholomew & Horowitz, 1991). Individu dengan gaya kelekatan ini belajar bahwa lingkungan merupakan tempat yang tidak aman dan penuh penolakan, sehingga mereka belajar untuk tidak mengaktifkan pengekspresian emosi-emosi negatif, seperti emosi marah dengan cara menghindari terbangunnya hubungan dekat (Cassidy & Shaver, 1999). Hal tersebut menyebabkan individu memiliki hubungan interpersonal yang negatif dan cenderung memiliki rasa cemburu yang berlebihan. Individu dengan gaya kelekatan ini cenderung memendam perasaan marah dan permusuhan tanpa menyadarinya (Mikulincer, 1998). Di sisi lain, individu yang memiliki ekspresi emosi marah konstruktif mampu mengungkapkan perasaan marahnya dengan bahasa yang mudah dipahami orang lain (Nay, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar memiliki ekspresi emosi marah yang kurang atau tidak konstruktif karena mereka cenderung tidak mengungkapkan perasaan marahnya secara langsung.
Individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, tetapi memiliki pandangan positif terhadap orang lain. Hal tersebut dikarenakan, individu merasa bahwa
(54)
figur lekatnya tidak dapat dipercaya dan tidak yakin figur lekatnya akan selalu memenuhi kebutuhannya. Individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi belajar bahwa dirinya tidak mampu dan melihat bahwa orang lain lebih baik dari dirinya. Hal tersebut menyebabkan, individu dengan gaya kelekatan ini mengharapkan orang lain menerima dirinya dan cenderung menjalin hubungan dengan kedekatan yang terkadang berlebihan (cenderung bergantung pada orang lain), karena mereka mengalami kecemasan dalam mengeksplorasi lingkungan (Bartholomew & Horowitz, 1991). Selain itu, individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi cenderung memiliki masalah dalam fungsi psikososialnya dan cenderung memendam masalah, sehingga individu dengan gaya kelekatan ini lebih rentan mengalami depresi (Baron & Byrne, 2005). Di sisi lain, individu dikatakan memiliki ekspresi emosi marah konstruktif apabila dapat mengungkapkan perasaan marahnya dengan cara yang menimbulkan kelegaan dan menghasilkan penyelesaian masalah yang realistis (Nay, 2007). Namun, individu dengan gaya kelekatan ini cenderung merasa dirinya tidak pantas untuk dicintai, sehingga mereka menghindari penyelesaian masalah ketika suatu hubungan menjadi buruk (Cassidy & Shaver, 1999). Hal tersebut menyebabkan individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi cenderung memiliki ekspresi emosi marah yang kurang atau tidak konstruktif.
Individu dengan gaya kelekatan menolak memiliki pandangan yang terlalu positif terhadap diri sendiri, tetapi memiliki pandangan negatif
(55)
terhadap orang lain. Hal tersebut dikarenakan, individu merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dengan tepat dan sesuai, sehingga mereka belajar bahwa lingkungan merupakan tempat yang penuh ketidaksesuaian.
Selain itu, individu dengan gaya kelekatan ini merasa dirinya lebih baik dari orang lain, sehingga ia merasa tidak nyaman memiliki hubungan dekat dengan orang lain (Bartholomew & Horowitz, 1991). Masalah utama individu dengan gaya kelekatan menolak adalah mereka mengharapkan orang lain lebih buruk dari dirinya (Baron & Byrne, 2005). Hal tersebut menyebabkan individu dengan gaya kelekatan ini cenderung mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang agresif, sehingga muncul perilaku negatif seperti perkelahian atau permusuhan (Cassidy & Shaver, 1999). Hal ini memungkinkan individu dengan gaya kelekatan ini cenderung memiliki ekspresi emosi marah yang kurang atau tidak konstruktif.
(56)
35 Gaya kelekatan aman Gaya kelekatan
takut-menghindar
Gaya kelekatan terpreokupasi
Gaya kelekatan menolak Kelekatan
Belajar bahwa lingkungan adalah tempat yang aman &
suportif
Kebutuhannya terpenuhi dengan tepat dan sesuai
Mengalami penolakan ketika membutuhkan
Merasa tidak yakin bahwa figur lekat akan selalu memenuhi kebutuhannya
Kebutuhannya tidak terpenuhi dengan tepat dan
sesuai
Belajar bahwa lingkungan adalah tempat yang tidak aman dan penuh penolakan
Belajar bahwa dirinya tidak mampu dan orang lain lebih
baik dari dirinya
Belajar bahwa lingkungan adalah tempat yang penuh
ketidaksesuaian
Lebih stabil dan siap dalam menghadapi situasi tak
terduga
Cemas ketika menghadapi dunia luar dengan situasi
yang tak terduga
Cenderung bergantung kepada orang lain dan cemas
untuk mengeksplorasi lingkungan
Merasa dirinya lebih baik dari orang lain
Ekspresi emosi konstruktif Ekspresi emosi kurang atau tidak konstruktif
Ekspresi emosi kurang atau tidak konstruktif
Ekspresi emosi kurang atau tidak konstruktif
(57)
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan peneliti adalah :
1. Terdapat korelasi positif yang signifikan antara gaya kelekatan aman (secure attachment) dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif. Semakin kuat gaya kelekatan aman, maka semakin tinggi ekspresi emosi marah yang konstruktif pada remaja.
2. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara gaya kelekatan takut-menghindar (fearful attachment) dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif. Semakin kuat gaya kelekatan takut-menghindar, maka semakin rendah ekspresi emosi marah yang konstruktif pada remaja. 3. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara gaya kelekatan
terpreokupasi (pre-occupied attachment) dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif. Semakin kuat gaya kelekatan terpreokupasi, maka semakin rendah ekspresi emosi marah yang konstruktif pada remaja. 4. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara gaya kelekatan
menolak (dismissing attachment) dengan ekspresi emosi marah yang konstruktif. Semakin kuat gaya kelekatan menolak, maka semakin rendah ekspresi emosi marah yang konstruktif pada remaja.
(58)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian Kuantitatif Korelasional dengan metode survei yang bertujuan untuk menguji teori yang menghubungkan variabel bebas dengan variabel tergantung (Creswell, 2012). Metode survei merupakan cara pengambilan sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Prasetyo & Jannah, 2008).
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode pengambilan data,yaitu suatu teknik pengumpulan data yang memungkinkan peneliti untuk menganalisis sikap, keyakinan, atau perilaku sampel dalam suatu populasi (Siregar, 2013). Tujuan dari penelitian ini adalah melihat hubungan antara gaya kelekatan remaja dengan orang tua dan ekspresi emosi marah pada remaja.
B. Variabel Penelitian
Penelitian ini memiliki dua variabel yang akan diteliti, yaitu : Variabel Bebas : Gaya kelekatan
1. Gaya kelekatan aman
2. Gaya kelekatan takut-menghindar 3. Gaya kelekatan terpreokupasi
(59)
4. Gaya kelekatan menolak Variabel tergantung : Ekspresi emosi marah
C. Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini meliputi definisi dari kelekatan dan ekspresi emosi marah. Definisinya sebagai berikut :
1. Gaya Kelekatan
Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang bertahan lama, bahkan seumur hidup, antara individu dengan figur lekatnya yang menciptakan rasa aman pada individu tersebut. Gaya kelekatan diukur kecenderungan seseorang dengan orang lain, melalui pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain positif atau negatif. Kecenderungan ini dilihat melalui skor total pada skala gaya kelekatan dari Pratama (2014) yang diukur berdasarkan 4 model gaya kelekatan menurut Bartholomew dan Horowitz (1991), yaitu :
a. Gaya kelekatan aman diukur melalui skor pada skala gaya kelekatan yang mengungkap pandangan yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
b. Gaya kelekatan takut-menghindar diukur melalui skor pada skala gaya kelekatan yang mengungkap pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan orang lain.
(60)
c. Gaya kelekatan terpreokupasi diukur melalui skor pada skala gaya kelekatan yang mengungkap pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, tetapi positif terhadap orang lain.
d. Gaya kelekatan menolak diukur melalui skor pada skala gaya kelekatan yang mengungkap pandangan yang terlalu positif terhadap diri sendiri, tetapi negatif terhadap orang lain.
2. Ekspresi Emosi Marah Konstruktif
Ekspresi emosi marah konstruktif adalah suatu pengekspresian emosi marah melalui cara-cara yang rasional, sehingga dapat mencapai suatu penyelesaian yang realistis. Ekspresi emosi marah yang konstruktif yang diukur melalui skor pada skala ekspresi emosi marah yang mengungkap adanya pendefinisian perasaan dan masalah, pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti diri sendiri, pengontrolan emosi marah agar tidak menyakiti orang lain, kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain, dan kemampuan untuk melihat alternatif solusi.
Ekspresi emosi marah konstruktif diukur melalui skor total dari skala Ekspresi Emosi Marah yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin kuat ekspresi emosi marah konstruktif pada subjek.
(61)
D. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini merupakan remaja berusia 13 sampai 20 tahun. Pemilihan subjek dilakukan dengan cara Non-random Sampling. Teknik tersebut merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan tanpa memberi peluang / kesempatan sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2013).
Selain itu, penelitian ini memilih remaja sebagai subjek karena masa remaja dikatakan sebagai masa storm and stress yang merujuk pada kemarahan disertai sifat yang meledak-ledak, serta faktor-faktor emosi dan fisik yang dapat mengganggu fungsi normal pada remaja (Hurlock, 1973). Salah satu tugas perkembangan remaja yang penting adalah kemandirian emosional, sehingga remaja diharapkan mampu mengelola emosinya (Hurlock, 1973). Hal tersebut dikarenakan masa remaja sebagai masa menuju kedewasaan dan remaja diharapkan mampu memiliki emosi yang stabil, sehingga dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi stres dan fluktuasi emosional secara lebih efektif (Santrock, 2007). Di sisi lain, emosi marah di usia remaja merupakan emosi yang rentan menimbulkan konflik (Ekman, 2003), tetapi remaja juga memiliki pilihan untuk mengekspresikan emosi marah yang dapat menimbulkan kelegaan tanpa menyakiti diri sendiri dan orang lain (ekspresi emosi marah konstruktif) (Nay, 2007).
(62)
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala pada subjek dan langsung diisi oleh subjek. Peneliti dibantu oleh asisten dalam proses pengambilan data. Asisten sendiri merupakan seseorang yang sudah diberi penjelasan tentang metode pengambilan data, sehingga mempermudah dan mempercepat proses pengambilan data.
2. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala Likert yang terdiri dari 2 jenis item, yaitu item yang berisi pernyataan yang mendukung/memihak objek sikap (favorable) dan item yang berisi pernyataan yang tidak mendukung/memihak objek sikap (unfavorable). Rentangan pilihan jawaban pada skala yaitu, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Penggunaan skala sebagai alat ukur pada penelitian ini akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data karena lebih efektif. Selain itu, data yang dikumpulkan akan lebih kaya karena peneliti dapat mengambil data dari banyak subjek dalam sekali pengambilan data.
(63)
Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala gaya kelekatan dan skala ekspresi emosi marah yang akan dijelaskan sebagai berikut : a. Skala Gaya Kelekatan
Skala ini mengukur gaya kelekatan yang disusun berdasarkan karakterisitik dari masing-masing gaya kelekatan pada teori Bartholomew & Horowitz (1991) yang disempurnakan lagi oleh Dale Griffin dan Kim Bartholomew (1994). Teori tersebut membagi gaya kelekatan dalam empat sub variabel gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman, takut-menghindar, terpreokupasi, dan menolak.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala gaya kelekatan dari peneliti lain yang meneliti hubungan antara gaya kelekatan dengan konformitas pada remaja (Pratama, 2014). Skala tersebut dapat digunakan pada penelitian ini karena mengangkat konsep teori yang sama. Selain itu, skala gaya kelekatan tersebut sesuai untuk digunakan pada sampel penelitian ini, yaitu remaja berusia 13 sampai 20 tahun. Peneliti melihat bahwa tidak mudah menemukan skala gaya kelekatan yang sesuai dengan konteks Indonesia karena tidak cukup banyak skala gaya kelekatan yang diadaptasi dengan baik. Peneliti juga melihat bahwa skala gaya kelekatan (Pratama, 2014) merupakan skala yang cukup baik karena telah dilakukan uji coba sebanyak tiga kali, sehingga menghasilkan validitas dan reliabilitas yang cukup baik. Peneliti
(64)
juga telah mendapatkan izin dari pembuat skala untuk menggunakannya dalam penelitian ini. Penggunaan skala gaya kelekatan dari Pratama (2014) juga dapat memudahkan pengambilan data penelitian ini.
Skala gaya kelekatan terdiri dari 24 item, terdiri dari masing-masing 6 item yang dirancang untuk mengukur empat gaya kelekatan. Selain itu, tidak terdapat item unfavorable pada skala gaya kelekatan karena item-item unfavorable pada sub variabel gaya kelekatan saling bertolak-belakang satu dengan yang lain. Item unfavorable pada gaya kelekatan aman, merupakan item favorable pada gaya kelekatan takut-menghindar. Di sisi lain, item unfavorable pada gaya kelekatan terpreokupasi merupakan item favorable pada gaya kelekatan menolak.
Tabel 3.1.
Respon dan Skor Item-item pada Skala Gaya Kelekatan
Respon Skor
Sangat Setuju (SS) 4
Setuju (S) 3
Tidak Setuju (TS) 2
(65)
b. Skala Ekspresi Emosi Marah
Skala ini mengukur ekspresi emosi marah yang disusun berdasarkan aspek-aspek ekspresi emosi marah konstruktif dari teori Robert Nay (2007). Peneliti menggunakan teori tersebut karena teori tersebut cukup rinci dalam memaparkan ekspresi emosi marah konstruktif, sehingga memudahkan peneliti dalam pembuatan skala. Skala ini mengukur tingkat ekspresi emosi marah yang disusun berdasarkan 5 indikator ekspresi emosi marah konstruktif yang dirangkum dari teori yang dikemukakan oleh Robert Nay (2007). Kelima indikator tersebut adalah :
a. Pengungkapan emosi marah melalui bahasa dan perilaku yang mudah dipahami orang lain.
b. Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti orang lain.
c. Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti diri sendiri.
d. Kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain. e. Kemampuan untuk melihat peluang atau alternatif solusi.
Pemberian skor pada skala ekspresi emosi marah didasarkan pada item favorable dan unfavorable. Skor didapatkan dari total skor skala ekspresi emosi marah yang dihitung berdasarkan respon subjek.
(66)
Semakin tinggi skornya, maka ekspresi emosi marah subjek cenderung konstruktif.
Tabel 3.2.
Respon dan Skor Item-item Favorable-Unfavorable pada Skala Ekspresi Emosi Marah
Respon Skor Favorable Skor Unfavorable
Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
(67)
Tabel 3.3.
Blueprint dan Distribusi Item Skala Ekspresi Emosi Marah Sebelum Uji Coba EKSPRESI EMOSI MARAH ITEM JML ITEM (%) Favorable Unfavorable Pengungkapan emosi marah melalui bahasa dan perilaku yang mudah dipahami orang lain
1, 6, 15, 18, 28, 49, 51, 61
11, 26, 33, 41, 45, 56, 60, 63
16
20%
Jumlah 8 8 16
Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti orang lain
3, 23, 25, 27, 36, 48, 52, 64, 68
12, 21, 22, 30, 32, 40, 44, 46, 54
18
20%
Jumlah 9 9 18
Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti diri sendiri
7, 10, 17, 24, 35, 53, 65
2, 13, 14, 37, 42, 57, 69
14
20%
Jumlah 7 7 14
Kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain
8, 31, 34, 38, 39, 43, 47,
4, 5, 16, 19, 20, 58, 59,
14
20%
Jumlah 7 7 14
Kemampuan untuk melihat peluang atau alternatif solusi
9, 55, 62, 70 29, 50, 66, 67 8
20%
Jumlah 4 4 8
(68)
Tabel 3.4.
Blueprint dan Distribusi Item Skala Ekspresi Emosi Marah pada Uji Coba Kedua EKSPRESI EMOSI MARAH ITEM JML ITEM (%) Favorable Unfavorable Pengungkapan emosi marah melalui bahasa dan perilaku yang mudah dipahami orang lain
2, 6, 13, 17, 38, 53, 57, 66,
24, 34, 35, 40, 47, 50, 68, 72
16
20%
Jumlah 8 8 16
Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti orang lain
9, 12, 18, 48, 61, 69, 78, 79
8, 20, 26, 29, 46, 56, 65, 74
16
20%
Jumlah 8 8 16
Pengontrolan perilaku emosi marah agar tidak menyakiti diri sendiri
21, 31, 33, 42, 44, 54, 58, 63
14, 16, 25, 37, 51, 55, 67, 71
16
20%
Jumlah 8 8 16
Kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain
3, 5, 7, 10, 27, 30, 36, 75
19, 22, 39, 43, 60, 64, 77, 80
16
20%
Jumlah 8 8 16
Kemampuan untuk melihat peluang atau alternatif solusi
1, 15, 23, 28, 45, 70, 73, 76
4, 11, 32, 41, 49, 52, 59, 62
16
20%
Jumlah 8 8 16
(69)
F. Persiapan Penelitian 1. Pelaksanaan Uji Coba
Sebelum melakukan pengukuran yang sesungguhnya, peneliti melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap alat ukur yang sudah dibuat. Uji coba dilakukan untuk melihat reliabilitas dari alat ukur dan untuk melihat sejauh mana kemampuan item-item menjadi pembeda pemikiran dan tindakan subjek penelitian terhadap variabel yang ingin diteliti. Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat bahwa item-item pada alat ukur dapat mengukur kecenderungan subjek terhadap variabel yang diteliti.
Uji coba skala ekspresi emosi marah dilakukan sebanyak dua kali. Uji coba pertama dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 2015 dengan cara menyebarkan kuesioner pada dua kelas di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta dan beberapa mahasiswi Universitas Sanata Dharma angkatan 2014. Penyebaran kuesioner uji coba kedua dilaksanakan pada tanggal 5-6 Maret 2015 dengan cara menyebarkan kuesioner kepada siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Yogyakarta di dua kelas yang berbeda dari uji coba pertama dan beberapa mahasiswi Universitas Sanata Dharma angkatan 2014. Pengembalian kuesioner kepada peneliti dilakukan pada hari yang sama. Pada uji coba pertama, peneliti menyebar 75 kuesioner dan menerima 75 kuesioner dalam keadaan terisi dan layak untuk dianalisa. Selanjutnya, pada uji coba kedua, peneliti menyebar 70 kuesioner dan menerima 70 kuesioner yang terisi
(70)
dengan lengkap dan layak untuk dianalisa. Di sisi lain, tidak dilakukan uji coba pada skala gaya kelekatan, karena penelitian ini menggunakan skala gaya kelekatan dari peneliti lain dan uji coba telah dilakukan oleh pembuat skala (Pratama, 2014).
2. Seleksi Item
Seleksi item pada penelitian bertujuan untuk menyeleksi item-item yang layak digunakan dalam alat ukur sebelum dilaksanakan pengambilan data yang sesungguhnya. Seleksi item dilakukan dengan melihat daya diskriminasi setiap item yang ada. Diskriminasi item dilakukan untuk memilih item-item yang mampu membedakan subjek penelitian yang sesuai dengan atribut yang diukur. Daya diskriminasi item juga digunakan untuk meningkatkan realibilitas skor tes (Azwar, 2009).
Pemilihan item berdasarkan korelasi item total dengan batasan koefisien ≥ 0,30 menggunakan SPSS for Windows 16.00. Item-item yang mencapai koefisien korelasi tersebut dinyatakan memenuhi syarat sebagai bagian dari alat ukur. Di sisi lain, item yang koefisien korelasinya < 0,30 dianggap kurang layak untuk menjadi bagian dari alat ukur (Azwar, 2009).
Peneliti menggunakan skala gaya kelekatan dari Pratama (2014). Penggunaan skala tersebut dikarenakan memiliki kesesuaian konteks dengan penelitian ini. Selain itu, skala tersebut merupakan skala yang
(1)
Item Dismissing Attachment :
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha N of Items
.646 11
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach’s Alpha if Item
Deleted
D39 23.8780 10.460 .465 .592
D40 23.8780 10.110 .552 .574
D41 23.1463 13.128 -.111 .692
D42 23.0732 12.770 -.028 .677
D43 23.2927 12.462 .080 .656
D44 24.5122 9.606 .615 .555
D45 24.2683 12.051 .132 .653
D46 23.7805 10.726 .334 .617
D47 23.8780 10.010 .505 .579
D48 24.0244 11.974 .126 .656
(2)
LAMPIRAN H. HASIL UJI
RELIABILITAS SKALA GAYA
KELEKATAN SETELAH
SELEKSI ITEM
(3)
Item Secure Attachment :
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha N of Items
.745 6
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach’s Alpha if Item
Deleted
S1 11.9268 9.520 .317 .749
S4 12.3171 8.272 .505 .703
S5 12.6585 7.530 .649 .659
S9 12.6098 9.144 .368 .738
S12 12.7561 8.039 .460 .718
(4)
Item Fearful Attachment :
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha N of Items
.753 6
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach’s Alpha if Item
Deleted
F17 12.2439 5.639 .559 .698
F18 12.3171 6.672 .424 .734
F20 12.1463 5.678 .669 .666
F21 12.6098 5.994 .616 .684
F22 12.8780 6.760 .325 .762
(5)
Item Preoccupied Attachment :
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha N of Items
.886 6
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach’s Alpha if Item
Deleted
P27 13.0244 10.274 .668 .872
P33 12.8293 9.545 .741 .859
P34 13.2195 9.926 .717 .864
P36 13.1951 9.311 .749 .858
P37 13.1951 9.311 .714 .865
(6)
Item Dismissing Attachment :
Reliability Statistics
Cronbach’s
Alpha N of Items
.793 6
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Cronbach’s Alpha if Item
Deleted
D39 10.5854 7.349 .623 .746
D40 10.5854 7.349 .623 .746
D44 11.2195 7.076 .635 .741
D46 10.4878 8.106 .331 .812
D47 10.5854 7.899 .395 .797