Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyandang cacat tubuh pada dasarnya sama dengan manusia normal lainnya, perbedaannya terletak pada kelainan bentuk dan keberfungsian sebagian fisiknya saja, misalnya tangan dan kaki mereka tidak berfungsi sehingga hal tersebut menjadi hambatan bagi para penyandang cacat tubuh dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-harinya. Akibatnya banyak dari mereka yang merasa rendah diri, kurang percaya diri, menganggap dirinya kurang beruntung, tidak memiliki potensi, tidak dapat hidup mandiri dan merasa bahwa masa depan mereka sudah menjadi suram. Cacat fisik yang ada pada diri seseorang dapat menimbulkan perasaan malu dan rendah diri, sehingga hal ini membuat orang tersebut memiliki konsep diri yang negatif Hurlock, dalam Hani, 2007. http:lib.atmajaya.ac.id default. aspx?tabID=61src=kid= 151569. 10 September 2009 diakses pukul 17.00 wib. Banyak penderita cacat menganggap bahwa keadaan cacatnya tersebut sebagai penghalang yang telah merampas diri mereka dari kehidupan ini. Sikap sebagai suatu bentuk reaksi untuk menolong dan membantu para penyandang cacat tubuh tersebut sangatlah mempengaruhi kualitas watak dan kepribadian para penderita. Banyak terjadi kejadian bahwa banyak orang enggan mengakui keberadaan para penyandang cacat tubuh tersebut. Universitas Sumatera Utara Keengganan masyarakat menerima situasi seperti itu sering disertai dengan perasaan menyalahkan para penyandang tuna daksa. Akibat kecacatan yang dimiliki oleh para tuna daksa, banyak orang merendahkan dan menghina para tuna daksa karena berbagai alasan http:www.pikiran-rakyat.comcetak070418 hikmahlainnya06.htm. 10 Septem ber 2009 diakses pukul 17.00 wib. Padahal masih ada sebagian dari mereka yang punya potensi untuk dapat dikembangkan dengan baik. Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki hak, kewajiban dan kedudukan yang sama di dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Mereka memiliki hak untuk memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya, aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya, rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, hal tersebut tertuang dalam pasal 6 UU No.4 Tahun 1997. Disamping itu penyandang cacat juga mempunyai kewajiban yang sama pula dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera, kewajiban yang dimaksud adalah pelaksanaanya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatanya, pendidikan dan kemampuannya. Namun realitanya, tidak semua hal tersebut benar-benar terlaksana. Hal ini dapat kita lihat pada situasi dimana para penyandang cacat belum mendapatkan bantuan dan perhatian yang lebih, maka tidak jarang penolakan terjadi terhadap para penyandang cacat, karena adanya perbedaan kondisi tubuh dengan masyarakat lainnya. Universitas Sumatera Utara Menurut laporan dari Lembaga Rehabilitasi di Chicago, Amerika Serikat, di seluruh dunia ada sekitar 600 juta penduduk menderita cacat dan di antaranya sekitar 80 persen ada di Asia, dengan demikian di Asia ada sekitar 480 juta penduduknya menderita kecacatan William Kennedy Smith, dalam Suyono, 2005. http:www.haryono.comarticlearticlemewujudkan-masyarakat-beradab-bersama-aksi- penyandang-cacat.html. 13 September 2009 diakses pukul 16.00 wib. Pertumbuhan penyandang cacat terus bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2004, penyandang tuna daksacacat di Indonesia sudah mencapai lebih kurang 1.634.021 jiwa Sudjadi, 2005 : 70. Jumlah penyandang cacat pada tahun 2008 berjumlah 49.798, tersebar di kabupatenkota di Sumatera Utara Siregar, 2009. Para penyandang cacat tersebut disebabkan karena cacat bawaan dan cacat setelah lahir. Hal tersebut membuat para penyandang cacat tidak dapat beraktifitas normal seperti orang-orang lain. Dampak dari fenomena sosial ini, mereka rentan menjadi penyandang permasalahan sosial antara lain seperti kebiasaan hidup bergelandangan, mengemis dan pola-pola ketergantunagn sosial lainnya. Seringkali dalam realita kehidupan para penyandang cacat mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak baik. Penyandang cacat bukanlah sesuatu yang harus dihindari, justru dengan kondisi yang ada pada mereka patut untuk dibantu. Banyak para penyandang cacat tidak mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial karena keterbatasan informasi, sehingga para penyandang cacat perlu mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial agar para penyandang cacat mau dan berkemampuan melaksanakan fungsi sosial secara wajar dan baik di masyarakat. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan pelayanan terhadap para penyandang tuna daksacacat tubuh masih sangat memerlukan perhatian yang lebih. Permasalahan penyandang cacat, yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, timbul bukan saja oleh karena adanya impairmen yang dialaminya, tetapi disebabkan pula oleh faktor-faktor lingkungan di luar kemampuan individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu, konsep kecacatan haruslah dipahami dengan melibatkan unsur-unsur tersebut. Hal ini juga menjadi komitmen dalam penyelenggaraan pelayanan sosial penyandang cacat, seperti yang tersirat dalam jargon “Persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan” yang menjadi landasan Program Dunia mengenai Penyandang Cacat World Program Concerning Disabled Persons tahun 1982. Sasaran yang ingin dicapai sejak lebih dari dua dasawarsa lalu itu, hingga kini belum banyak mencapai kemajuan, meskipun berbagai upaya sedang dan sudah dilakukan dalam mengatasi permasalahan penyandang cacat Kasim, 2001. http:evakasim.multiply.comjournalitem12tinjauan-terhadap- kebijakan-integra si-sosial-penyandang-cacat-ke-dalam-mainstream-masyarakat.htm. 14 Oktober 2009 diakses pukul 18.00 wib. Pelayanan terhadap penyandang tuna daksa juga dapat dilihat melalui Rehabilitasi Berbasis Masyarakat RBM yang dilakukan oleh Departemen Sosial R.I. Dari gambaran pelaksanaan ujicoba model RBM disimpulkan, sistem pelayanan RBM cukup positif sebagai alternatif perluasan jangkauan pelayanan sosial yang lebih luas bagi penyandang cacat khususnya di pedesaan. Meskipun pasca uji coba model secara kuantitatif belum terwujud partisipasi masyarakat dalam bentuk pengumpulan dana melalui iuran sukarela maupun terprogram untuk mendanai kegiatan RBM sebagaimana diharapkan sebagai Universitas Sumatera Utara pengaruh positif penyelenggaraan uji coba model RBM, namun secara kualitatif menunjukkan adanya perubahan sikap dan prilaku sosial dari penyandang cacat ke arah yang lebih positif, yaitu mulai ada kemauan kearah perubahan yang lebih baik bagi diri dan keluarga di masa datang. Adapun belum terwujudnya penggalian dana dari masyarakat untuk mendukung dan sebagai pengaruh positif dilakukannya kegiatan ujicoba model RBM di pedesaan, dimungkinkan karena taraf kehidupan warga masyarakat pada umumnya relatif masih rendah. Hal ini terlihat dari mata pencaharian mereka yang mayoritas sebagai petaniburuh tani dan tingkat pendidikan mereka yang juga relatif rendah, yaitu mayoritas tingkat SD dan bahkan tidak tamat sekolah dasar Hermana, 2008. http:www.depsos.go.idmodules.php?name=Newsfile=articlesid=563. 14 Ok tober 2009 diakses pukul 18.30 wib. Melihat kondisi tersebut pelaksanaan pelayanan terhadap penyandang cacat masih perlu mendapat tindakan yang cepat dan tepat, karena masih sangat minimnya keseriusan di dalam pelaksanaan pelayanan yang diberikan kepada penyandang tuna daksa baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengupayakan penyelenggaraan dan peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Hal tersebut direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun 1998, tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat. Dan diperkuat dengan Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, jelas tertulis penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam Universitas Sumatera Utara bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Untuk melaksanakan peraturan pemerintah tersebut dikeluarkanlah Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.163HUK2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial Bina Daksa ”Bahagia” Sumatera Utara. Panti Sosial Bina Daksa PSBD “Bahagia” adalah salah satu unit pelaksana teknis Departemen Sosial RI di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Panti ini merupakan panti rujukan regional dengan jangkauan pelayanan daerah kabupatenkota pada wilayah Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Panti tersebut mempunyai tugas melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat tubuh yang meliputi : bimbingan mental, sosial, fisik dan pelatihan keterampilan praktis agar mereka mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut standarisasi pelayanan minimal rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam panti, terdapat beberapa jenis pelayanan profesional yang dilaksanakan dalam panti yaitu : 1. Bimbingan Fisik dan Kesehatan 2. Bimbingan Sosial 3. Bimbingan Psikososial 4. Bimbingan Spiritual 5. Bimbingan Belajar 6. Bimbingan Keterampilan Kerja 7. Resosialisasi Universitas Sumatera Utara 8. Bimbingan Lanjut 9. Terminasi Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang cacat, 2004 : 11-13. Masalah pelaksanaan pelayanan rehabilitasi tersebut sangat memerlukan peran aktif dari pegawai panti dan pekerja sosial agar pelayanan rehabilitasi sosial dapat berjalan dengan baik, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa masih banyak para penyandang cacat yang belum mengetahui dan mandapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, pelayanan rehabilitasi sosial harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan pelayanan rehabilitasi sosial, Panti Sosial Bina Daksa Bahagia perlu adanya tanggapan dari para penerima pelayanan. Karena pelayanan yang dilakukan memiliki tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan, dengan begitu penerima pelayanan dalam hal ini penyandang cacat dapat merespon manfaat tersebut. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana respon penyandang tuna daksa terhadap pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh Panti Sosial Bina Daksa”Bahagia” Sumatera Utara. Dengan melihat respon dapat di ketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap penyandang tuna daksacacat terhadap pelayanan tersebut. Penelitian ini di rangkum dalam skripsi dengan judul : ”Respon Penyandang Tuna Daksa terhadap Pelayanan Rehabilitasi Sosial di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara Departemen Sosial Republik Indonesia”. Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah