Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan

18 c LQ 1; komoditas ini juga termasuk non basis. Produksi komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar. Analisis trend luas panen dan analisis penyediaan dan konsumsi produk tanaman pangan dilakukan untuk mempertegas analisis LQ. Analisis trend luas panen dilakukan dengan menyajikan tabulasi data luas panen untuk semua komoditas tanaman pangan selama lima tahun terakhir kemudian dibuat nilai rata- ratanya. Rata-rata luas panen yang tinggi menunjukkan tingginya aktivitas produksi komoditas tanaman pangan. Analisis penyediaan dan konsumsi produk tanaman pangan menghasilkan gambaran kelebihan atau kekurangan pasokan produk tanaman pangan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. Ketersediaan produk tanaman pangan dihitung dari produksi tanaman pangan tahun 2006 dikurangi dengan angka penyusutan jumlah produk yang tercecer, digunakan untuk benih, untuk pakan dan lain-lain. Nilai konsumsi dihitung berdasarkan konsumsi perkapita pertahun dikalikan dengan jumlah penduduk tahun 2006. Hasil analisis LQ, kecenderungan luas panen, dan penyediaan dan konsumsi pangan kemudian di-ranking untuk menentukan peringkat masing- masing komoditas pada setiap analisis. Komoditas basis terpilih ditentukan dengan me-ranking semua komoditas berdasarkan peringkat dari setiap analisis. Komoditas dengan peringkat 1 sampai 3 dipilih menjadi komoditas basis yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya.

3.4.1.2 Analisis Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan

Analisis ketersediaan lahan dilakukan untuk mengeliminasi konflik pengelolaan lahan berkenaan dengan status lahan dan perencanaan tata ruang. Ketersediaan lahan diperoleh dengan operasi tumpang tindih antara peta administrasi dengan peta RTRW dan peta penggunaan lahan saat ini Mulyani 2008. Dalam penelitian ini ditambahkan kriteria status penguasaan lahan dari Badan Pertanahan Nasional BPN. Lahan tersedia diasumsikan merupakan lahan yang tidak berstatus Hak Guna Usaha HGU atau dikuasai Departemen Kehutanan berdasarkan status lahan dari BPN, lahan yang tidak direncanakan sebagai kawasan lindung berdasarkan RTRW, dan lahan-lahan yang berdasarkan penggunaan lahan saat ini bukan merupakan merupakan lahan perkebunan, kebun 19 campuran, dan permukiman. Tabel 2 menyajikan kriteria ketersediaan lahan berdasarkan atribut peta RTRW, penggunaan lahan saat ini, dan status lahan. Tabel 2 Kriteria ketersediaan lahan berdasarkan atribut peta RTRW, penggunaan lahan saat ini, dan status lahan Jenis Peta Atribut Ketersediaan RTRW Lindung Tidak tersedia Budi Daya Tersedia Penggunaan Lahan Belukar Tersedia Hutan Tersedia Kebun Campuran Tidak tersedia Ladangtegalan Tersedia Pemukiman Tidak tersedia Perkebunan Tidak tersedia Sawah Tersedia Sungai Tidak tersedia Status Lahan Hak Guna Usaha Tidak tersedia Tanah dikuasai kehutanan Tidak tersedia Tanah MilikAdat Tersedia Kesesuaian lahan merupakan gambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu Sitorus, 2004. Evaluasi kesesuaian lahan menggunakan kriteria FAO dalam Framework for Land Evaluation FAO, 1976. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dalam dua tahap yaitu penilaian persyaratan tumbuh tanaman dan identifikasi karakteristik lahan Sitorus, 2004. Data persyaratan tumbuh tanaman diperoleh dari puslitanak. Identifikasi karakteristik lahan dilakukan dengan bantuan GIS dengan operasi tumpah tindih terhadap data fisik yaitu peta tanah, lereng, dan iklim sehingga diperoleh satuan lahan homogen. Proses matching dilakukan untuk membandingkan antara persyaratan tumbuh tanaman dengan kualitas lahan untuk menduga prestasi penggunaan lahan land use performance . Dari analisis ini dihasilkan peta kesesuaian lahan biofisik. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman pangan didasarkan pada Djaenudin et al. 2003. Kelas kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sitorus, 2004: 1 Kelas S1, sangat sesuai. Lahan tidak memiliki faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor, dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. 20 2 Kelas S2, cukup sesuai. Lahan memiliki faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasya, memerlukan tambahan masukan input. Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi dengan oleh petani sendiri. 3 Kelas S3, sesuai marjinal. Lahan memiliki faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada lahan S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan tersebut, petani tidak mampu mengatasinya. 4 Kelas N, tidak sesuai. Lahan yang tidak sesuai N karena memiliki faktor pembatas yang sangat berat danatau sulit diatasi. Dua analisis di atas menghasilkan peta ketersediaan lahan dan peta kesesuaian lahan. Langkah selanjutnya adalah melakukan operasi tumpang tindih antara peta ketersediaan lahan dan peta kesesuaian lahan sehingga menghasilkan peta kesesuaian lahan pada lahan yang tersedia untuk pengembangan tanaman pangan. Data luas untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan diperoleh dengan melakukan query pada tabel atribut peta kesesuaian lahan pada lahan tersedia.

3.4.1.3 Analisis Kelayakan Usahatani