Selayang Pandang: Maroko Sebelum Kedatangan Prancis

22 agenda utama dalam politik kolonial disamping ekonomi. Dalam tahun-tahun ini nampaknya agama bukan menjadi agenda utama lagi bagi orang-orang kolonial. Lalu, pada tahun 1883, di tengah krisis ekonomi yang tidak berkesudahan, Hassan I selaku Sultan Dinasti Alawiyah di Maroko melakukan terobosan dengan mengeluarkan kebijakan pajak pada produksi pertanian. 32 Terobosan ini ia ambil agar Maroko tidak jatuh dan menjadi negara yang bangkrut, dengan ganjaran ia harus melanggar hukum yang telah ditentukan oleh otoritas ulama tentang pajak pendapatan. Namun, orang-orang Eropa yang tinggal di Maroko, baik pedagang atau bukan, lewat perwakilan mereka menolak untuk membayar pajak yang diterapkan oleh sultan. Walhasil, kebijakan baru ini tidak dapat mendongkrak perekonomian Maroko di tengah krisis ekonomi negara tersebut yang sudah berlarut-larut tak tentu arah. Bahkan ekonomi Maroko semakin terpuruk dari tahun ke tahun. 33 Sementara itu, Prancis mulai menduduki wilayah-wilayah strategis untuk melancarkan rencananya menduduki Maroko di tahun-tahun kedepannya. Belum lagi ditambah dengan rencana di balik layar negara-negara Eropa untuk ―bagi- bagi‖ wilayah kekuasaan Afrika dan Asia. Yang mana dalam hal ini, Afrika Utara yang menjadi wilayah yang akan dibagi-bagi oleh negara-negara Eropa. Pada kasus ini, Maroko yang sudah lama diincar oleh Prancis pun dilepaskan oleh negara-negara Eropa lainnya. Di lain pihak, Italia mendapatkan Libya, Spanyol mendapatkan Pantai Barat Sahara dan Maroko bagian Utara. 32 Pennell, Morocco since 1830, h. 22. 33 Pennell, Morocco, h. 136. 23 Lebih jauh lagi, pada tahun 1904, The Entente Cordiale, antara Inggris, Prancis dan Rusia meneguhkan pondasi-pondasi yang penting bagi Prancis untuk menguasai Maroko. Dimana, Mesir yang tadinya milik Prancis ditukar dengan Maroko milik Inggris. Pada tahun-tahun ini, merupakan tahun di mana kedaulatan Maroko, sebagai negara merdeka terakhir di Tanah Maghrib, dirampas kemerdekaannya. demikian pula dengan kewenangan sultan juga sudah runtuh. Bila diibaratkan maka Maroko seperti negara yang sebentar lagi mau ‗mati‘ karena kelaparan dan lumpuh. Selanjutnya pada tahun 1909 bisa dikatakan sebagai tahun-tahun dimana kekuatan Prancis di Maroko mulai menguat. Pasalnya, Mawlay Abdelhafid, sultan terakhir sebelum berkuasanya Prancis di Maroko benar-benar sudah kehabisan dana untuk membayar tentara-tentara dan pegawai-pegawainya, sehingga pemerintahannya benar-benar rapuh. Sampai pada akhirnya, masih di tahun yang sama, ia mengutus delegasinya delegasinya nanti akan menjadi penghianat dan pro kepada pihak Prancis untuk melakukan negosiasi di Paris untuk menegosiasikan hutang-hutang Maroko yang luar biasa banyak. Pada 3 Maret 1910, ia setuju dengan perjanjian yang dilakukan delegasinya di Paris namun dengan bayaran yang sangat mahal. Dia mendapatkan banyak uang dari perjanjian tersebut untuk melunasi hutang-hutang Maroko namun ditukar dengan kendali atas negaranya. Sehingga, ia sudah tidak punya kendali apa-apa di Maroko. Prancis kemudian mengumumkan kekuasaannya di Maroko, dari Chaouia, Casablanca dan wilayah Oujda. Pemerintahan lokal di wilayah-wilayah tersebut 24 dibentuk ulang dan mereka juga merekrut orang-orang Maroko yang potensial masuk ke dalam lingkaran pendudukan Prancis sebagai tentara kolonial. Prancis juga mengambil kontrol penuh atas pendapatan, pajak dan juga monopoli perdagangan di wilayah-wilayah tersebut. Terlepas daripada itu, Makhzen, sebagai kelompok yang cukup berkuasa juga tidak punya kebebasan ekonomi lagi. Musim panas tahun 1910, Prancis benar-benar mendominasi mereka. Orang-orang penting mereka yang juga sebagai anggota dari Keluarga El-Mokri; Mohammed ben Abdessalem El Mokri, yang juga menjabat sebagai menteri Ekonomi yang sebelumnya bernegosiasi di Paris terkait pinjaman dana, menjadi perdana menteri, dan ketiga anaknya menduduki posisi menteri Ekonomi, Pasha di Tangier dan Pasha di Fez. Sedangkan yang tidak pro dengan Prancis maka akan ditendang dari kekuasaannya. Meskipun Prancis belum mengendalikan kelompok Makhzen tetapi Makhzen juga tidak punya kuasa lagi atas Maroko. Setelah pemberontakan di Middle Atlas pada Januari 1911, Mawlay Zein, saudara lainnya dari sultan, memproklamirkan dirinya di Meknes pada bulan April. Oleh karena itu di penghujung bulan Mei, enam ribu pemberontak telah mengepung Fez. Pemerintah Prancis telah memutuskan untuk ikut campur tangan dalam perselisihan tersebut. Mengklaim bahwa the Act of Algeciras memperbolehkan mereka untuk mengintervensi untuk memulihkan kestabilan, mereka memanfaatkan pemberontakan sebagai dalih untuk menguasai Fez pada tanggal 21 Mei. Sebagai respon dari tindakan Prancis tersebut, Spanyol memutuskan untuk melindungi apa 25 yang dikatakan sebagai ― wilayah kanan‖ di Maroko, dan menguasai Larache dan Ksar el-Kebir Alcazarkebir. Tindakan-tindakan tersebut nampaknya disetujui begitu saja oleh Pemerintahan kolonial Inggris. Dan protes satu-satunya hanya datang dari Berlin. Pada 1 Juli kapal penjelajah bersenjata milik Jerman, the Panther, telah dikirim ke Agadir, dengan tujuan melindungi kepentingannya di selatan Maroko. Singkatnya, Insiden Agadir tersebut sebetulnya telah mengantarkan negara-negara Eropa tersebut ke pinggir jurang peperangan. Namun, dengan bantuan Inggris, permasalahan dapat diselesaikan dengan apik dan damai. Dengan sebuah keputusan bersama yang disetujui seperti berikut; yaitu Jerman boleh mendapatkan teritori kolonial di Sungai Kongo sebagai gantinya tidak akan mengganggu gugat Prancis di Maroko sekaligus membiarkan Prancis bergerak dengan leluasa di Maroko. Pintu sekarang sudah terbuka lebar bagi Prancis untuk mendirikan protektorasinya di Maroko. Tentara Prancis juga sudah menduduki seluruh negeri Maroko – kecuali bagian yang dikuasai Spanyol. Mereka juga memaksa Si Madani El Glaoui turun dari jabatan wazir yang ia pegang dan adiknya Si Thami sebagai Pasha Marrakesh, karena mereka termasuk orang-orang yang sejatinya tidak pro-Prancis. Namun sebagai ganjarannya, mereka mendapat perlindungan Prancis. 34 Sebagai daerah pedalaman yang secara cepat dan tidak disengaja menjadi kendali Prancis, Perdana Menteri Prancis di Tangier, Henri Regnault, melakukan 34 Burke, Prelude to Protectorate in Morocco, h. 71. 26 perjalanan ke Fez dengan segala jenis kebutuhan untuk pesta besar-besaran dan teks perjanjian yang ia serahkan ke Mawlay Abdelhafid untuk ditandatangani pada 12 May 1912. 35 The Treaty of Fez menjamin wewenang keagamaan yang dimiliki oleh sultan dan kedaulatan sekulernya, tetapi memberikan segala kekuatan eksekutif di tangan Prancis. Dan dengan ini dimulailah masa Protektorat Prancis.

C. Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis

Mohammed Lahhabi, mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Gouvernement Marocain à l’Aube du Vingtième Siècle yang isinya menerangkan sistem politik yang ada di Maroko. Baik sebelum maupun sesudah kedatangan Prancis. Ia berpendapat bahwa Prancis, telah menghancurkan dasar azas politik di Maroko yang kondisinya sebetulnya sudah mapan. Protektorat Prancis mengubah kedaulatan yang tadinya berada pada tangan rakyat menjadi sebaliknya. Dimana kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah, atau dengan kata lain bersifat monarki absolut. 36 Kemudian, berangkat dari kasus-kasus sejarah, Lahhabi berpendapat bahwa dulu masyarakat madani telah terbangun dengan baik di Maroko sebelum kedatangan Prancis. Yang mana terdapat hubungan yang positif antara Sultan, Ulama serta Masyarakat Maroko, dan hal tersebut tidak dapat dilupakan dalam sejarah panjang Maroko. Ia mencontohkan misalnya kasus sultan yang dapat dilengserkan, yaitu sultan Abd‘ al-Aziz, pada tahun 1908. Dari hal tersebut terlihat bahwa contoh tersebut telah menjadi bukti mengenai ruang kebebasan 35 Ibid. 36 Gellner dikutip dari C.R. Pennell: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘ dalam Morocco: Occasional Papers, No. 1, 1994, h. 13 27 untuk ideologi masyarakat. Selain itu, konsep mengenai pemimpin tirani yang harus digantikan juga berdiri begitu kokoh pada masa pra-kolonial Maroko seperti yang dikatakan oleh Pennell: If the Sultan rules justly, preserves order and the safety of the roads, keepshis officers under control so that they do not ‘tyrannise’ the people, raisestaxes in a fair way in accordance with the shari’a, and protects the countryagainst attack by outside forces, particularly the Christians, then they have aduty to obey him. If he does not, and fails so manifestly that justice andorder are replaced by tyranny, then he can be removed from office. Indeed,on occasion it was argued that it was not only the right of the people – ledby the ‘ulema– to remove him, but their duty to do so. 37 Selain itu, terdapat contoh lainnya yang masih terkait dengan kasus kuatnya masyarakat madani pada masa pra-kolonial. Yaitu , pembalikan bai‘at sultan Abd al- ‗Aziz yang dilakukan oleh el-Kattani di tahun 1908. Padahal hal tersebut benar-benar sudah melampaui kehendak sultan atau ulama, namun el- Kattani. 38 menjadikan hal tersebut menjadi mungkin. Dia merupakan contoh figur sejarah yang berhasil mematahkan istilah populis kewenangan mutlak ‗tangan tuhan di muka bumi‘. Selain itu, dia juga salah satu tokoh utama yang mencoba memberikan makna ba i‘at sebagai sesuatu yang sifatnya sementara waktu. Dimana secara tersirat hal tersebut sama saja mendobrak kepatuhan tradisi dan praktik yang sudah cukup lama diterapkan oleh Maroko. 37 Pennel: ‗Tyranny, Just Rule and Moroccan Political Thought‘, h. 22. 38 ‗abd al-Hayyal-Kattani atau El Kattani 1873-1909 merupakan seorang akademisi sekaligus sufi yang dimuliakan oleh masyarakat. Sosoknya semakin terkenal ketika ia dengan lantang menyuarakan ketidaksukaannya atas lemahnya sang sultan yang mau bernegosiasi dengan kolonial Prancis pada tahun 1904-1909. Meskipun dikatakan sebagai seorang sufi, dia juga tidak bisa dikatakan sebagai tipikal representatif ulama. Hukuman pertama kali dijatuhkan kepadanya oleh ulama, yaitu eksekusi mati pada tahun 1896-1887 dengan tuduh an bid‘ah walaupun alasan sebetulnya karena perjuangannya yang kokoh melawan sultan yang tidak pro-rakyat.Lebih jauh lihat, Thomas K. Park dan Aomar Bourn, Historical Dictionary of Morocco. Second Edition Lanham: The Scarecrow Press, 2005, h. 136-138. 28 Karena hal tersebut, pada tahun-tahun menjelang pendudukan Prancis sebagai sebuah negara Protektorat di Maroko, El Kattani dijadikan buronan negara atas perintah Abd al- ‗Aziz, karena dinilai telah melemahkan posisinya di mata masyarakat sebagai sultan, selaku pemimpin tertinggi di Maroko saat itu. Faktor lainnya karena el-Kattani dinilai sebagai orang yang berbahaya karena punya kemampuan menggerakkan massa dengan mudah. Terkait peristiwa sejarah yang mengakibatkan dilengserkannya Abd al- ‗Aziz, sebetulnya punya hubungan yang relatif harmonis dengan ambisi kolonial Prancis. Karena hal tersebut dijadikan celah oleh Prancis untuk memaksa Abd al- ‗Aziz untuk menandatangani Perjanjian Algeciras pada tahun 1906 dengan dalih Prancis akan memberikan dukungan kekuatan secara politik kepada Abd al- ‗Aziz. Setelah menguasai Casablanca dan Oujda yang diikuti penandatanganan Perjanjian Algeciras, el-Kattani menjadi satu-satunya yang menentang usaha- usaha sultan karena upaya sultan yang ingin melakukan putusan atas kehadiran Prancis di Maroko. Namun demikian, adik dari sang sultan, Hafidh, yang mengumpulkan massa di Marrakesh, jauh dari Fez, pada 16 Agustus 1907 ternyata punya rencana yang senada dengan el-Kattani. Dia meminta massa tersebut untuk memilih sultan lain yang mampu menentang para penjajah. Dalam hal ini, dia meminta orang-orang yang dikumpulkannya tersebut untuk mengangkat dirinya sendiri dan terjadilah bai‘at baru, yang secara terang-terangan menentang posisi kakaknya sendiri, Abd al- ‗Aziz. Ulama Marakesh pun dipaksa untuk menandatangani hal tersebut untuk melegalkan kekuasaan Abdel Hafidh. 39 39 Ibid.,h. 67. 29 Bila dicermati lebih jauh, sebetulnya, bila Abd al- ‗Aziz bisa memposisikan dirinya sebagai kontra dari kolonial Prancis, tentu saja apa yang disebut sebagai ketidak patuhan sipil tidak akan terjadi. Menanggapi hal tersebut, sang Sultan mengumpulkan kelompok ulama Fassi di istananya di Rabat dan memaksa mereka untuk mengeluarkan fatwa agar membatalkan ba i‘at Marakesh, menyatakan bahwa mereka tidak punya alasan apapun untuk mengambil sumpah kesetiaan. Pada januari 1908, kejadian serupa juga terjadi di tempat lain, yang mana para ulama Fassi dipaksa oleh segerombolan orang-orang yang marah di Fez. Gerombolan tersebut terdiri dari petani, masyarakat miskin dan tukang kayu. Penggambaran Munson paling tidak dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai peristiwa di Fez tersebut: On 15 December 1907, peasants swarmed into Fez refusing to pay a markettax imposed by Moulay ‘Abd al-‘Aziz. Joined by the city’s poor, the peasants broke open thestrongboxes where the tax revenues were kept andattacked a number of shops, theFrench post office, and the office of the government’s tobacco monopoly. The crowds also tried to pillage theJewish quarter, but its gates were shut before they could. After two days ofthis rioting, merchants succeeded in restoring order by means of a makeshiftmilitia composed largely of porters and slaves. The sultan’s army wasabsent, having left Fez in September when Mulay ‘Abd al-‘Aziz haddecided he would be safer in Rabat, near French troops and ships. 40 Pada Januari 1908, perkumpulan sebanyak 20.000 orang yang ingin melakukan protes mengawal beberapa ulama-ulama berpengaruh di Fez ke universitas Qarawiyyin. Mereka menuntut menandatangani petisi yang akan mendeklarasikan Abd al- ‗Aziz sebagai bukan lagi penguasa resmi dan mengalihkan baiat ke Mawlây Abdel Hafidh, adiknya sendiri. Hal tersebut dilakukan atas dasar sikap tunduknya Abd al- ‗Aziz terhadap Prancis dan gagal 40 Ibid.,h. 69 –70.