Sultan dan Ulama sebelum Protektorat Prancis
29
Bila dicermati lebih jauh, sebetulnya, bila Abd al- ‗Aziz bisa memposisikan
dirinya sebagai kontra dari kolonial Prancis, tentu saja apa yang disebut sebagai ketidak patuhan sipil tidak akan terjadi.
Menanggapi hal tersebut, sang Sultan mengumpulkan kelompok ulama Fassi di istananya di Rabat dan memaksa mereka untuk mengeluarkan fatwa agar
membatalkan ba i‘at Marakesh, menyatakan bahwa mereka tidak punya alasan
apapun untuk mengambil sumpah kesetiaan. Pada januari 1908, kejadian serupa juga terjadi di tempat lain, yang mana para ulama Fassi dipaksa oleh
segerombolan orang-orang yang marah di Fez. Gerombolan tersebut terdiri dari petani, masyarakat miskin dan tukang kayu. Penggambaran Munson paling tidak
dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai peristiwa di Fez tersebut: On 15 December 1907, peasants swarmed into Fez refusing to pay a
markettax imposed by Moulay ‘Abd al-‘Aziz. Joined by the city’s poor, the peasants broke open thestrongboxes where the tax revenues were kept
andattacked a number of shops, theFrench post office, and the office of the
government’s tobacco monopoly. The crowds also tried to pillage theJewish quarter, but its gates were shut before they could. After two
days ofthis rioting, merchants succeeded in restoring order by means of a
makeshiftmilitia composed largely of porters and slaves. The sultan’s army wasabsent, having left Fez in September when Mulay ‘Abd al-‘Aziz
haddecided he would be safer in Rabat, near French troops and ships.
40
Pada Januari 1908, perkumpulan sebanyak 20.000 orang yang ingin
melakukan protes mengawal beberapa ulama-ulama berpengaruh di Fez ke universitas Qarawiyyin. Mereka menuntut menandatangani petisi yang akan
mendeklarasikan Abd al- ‗Aziz sebagai bukan lagi penguasa resmi dan
mengalihkan baiat ke Mawlây Abdel Hafidh, adiknya sendiri. Hal tersebut dilakukan atas dasar sikap tunduknya Abd al-
‗Aziz terhadap Prancis dan gagal
40
Ibid.,h. 69 –70.
30
untuk menerapkan hukum Islam di Maroko. Dalam 30 menit, bai ‘at yang baru
telah dibuat garis besarnya dan ditandatangani. Kesetiaan yang baru terhadap Abdel Hafidh berarti menjadi tugas besar
baginya yang secara tidak langsung telah menjadi tempat untuk masyarakat bergantung atas kepedihan-kepedihan yang telah diberikan oleh Prancis di
Maroko. Banyak tuntutan masyarakat yang harus dilaksanakan, seperti pembebasan teritori-teritori yang dikuasai oleh Prancis, dengan menghilangkan
segala campur tangan orang-orang Eropa dalam permasalahan Maroko, dan menghilangkan pajak-pajak non-quran
41
. dan perlindungan terhadap hak istimewa ulama tradisional.
Walaupun Abdel Hafidh merupakan orang yang diuntungkan dari bai ‘at
baru tersebut, ia menjadi sangat marah ketika mendengar tentang kondisi-kondisi yang mengganggunya. Menurutnya, kondisi-kondisi terikat tersebut melemahkan
kekuatannya dan menjadi hambatan bagi kemampuannya untuk memerintah. Ketakutan ulama dengan cepat mengingkari kondisi-kondisi kontraktual tersebut
dan menyalahkan kejadian tersebut ke El Kattani, meminta dengan tegas bahwa mereka telah dipaksa untuk menerima hal tersebut. Dengan ketidakmampuan
sultan baru untuk membendung pasukan Prancis, membuat tegang hubungan antara El Kattani, orang paling berkuasa di Fez dengan Sultan menjadi lebih
buruk. Pada musim semi 1909, el-Kattani pergi meninggalkan kota Fez menuju Middle Atlas untuk memulai pemberontakan dan perang suci melawan Prancis.
41
Pajak non- Qur‘an adalah pajak-pajak yang tidak ada landasan hukumnya dalam al-
Qur‘an.
31
Sesudah itu ditangkap oleh pasukan-pasukan sultan, dibawa menuju Fez, dicambuk hingga mati dan dikubur pada tengah malam.
42
Dua contoh sejarah di atas menggambarkan batasan-batasan dalam perbedaan yang berhubungan dengan agama dan perannya yang dimainkan ulama
dalam menciptakan kebebasan publik. Perannya baik semata-mata untuk kesatuan ataupun semata-mata untuk bersebrangan pendapat dalam kenegaraan. Hal
tersebut juga menyajikan perlindungan baik untuk individual maupun hak-hak kelompok dari campur tangan pemerintahan yang monarki.
Berangkat dari kasus bai ‘at 1908, dasar bai‘at yang sifatnya sementara
menjadi jauh dari standar yang seharusnya. Dan kemudian munculnya gerombolan massa mengamuk yang memaksa ulama untuk menandatangani bai
‘at baru dan hal tersebut terlihat bahwa ulama tidak sepenuhnya independen. El
Kattani, seperti yang disebutkan di atas, tidak mau mengikuti ulama-ulama pada umumnya dan akhirnya menjadi sufi, ia bahkan menghormati penghinaan yang
bersifat agama yang dilakukan oleh kaum ortodoks. Sebagai ganjaran keputusannya:
It is true that the weakened state of the Sultanate in 1907 –8 enabled the
Moroccan ‘ulema to play a more conspicuous political role than they usually did. Still, even in these years, most scholars remained pawns
manipulated by those who held real power, be it the reigning sultan, . . . or el-Kattani when he was able to mobilize huge crowds of artisans,
shopkeepers, and peasants. In this period, as in previous centuries, no one
denied that approval by the ‘ulema was a prerequisite of legitimate rule. But nor did those with power
have any difficulty in forcing the ‘ulema to legitimate whatever it was they wanted legitimated.
43
42
Ibid.
43
Ibid.,h. 75.
32
Tozy bahkan mengekspresikan dengan kata-kata yang kurang lebih sama: What is sure is that despite the real weight that the ‘ulema represented,
their power remained limited and one should not exaggerate their importance’.
44
Perkembangan-perkembangan di masa pra-kolonial ini seharusnya paling
tidak mengindikasikan satu hal penting dalam struktur ruang publik pada hubungan negara-masyarakat di awal abad kedua puluh. Hal tersebut adalah satu
hal penting dari agama yang ideal dalam menantang kekuasaan si penguasa, yang melekat ke dalam mode-mode kekuasaan agar mengetahui sejarah Maroko, jauh-
jauh hari sebelum disusupi oleh kebudayaan-kebudayaan dari bangsa lain.
45
Sejarah dan tradisi-tradisi budaya telah menempatkan agama dan ulama di dalam jantung hubungan sosial mengikat antara negara dan masyarakat, agar
melewati prosesb bertujuan memastikan kedudukan ruang kebebasan publik, Hubungan yang kontraktual antara penguasa dan yang dikuasa, bagaimanapun
diartikulasikan sebagai bentuk terbaik dari kepatuhan.
44
Mohamed Tozy, Champs et contre-champs politico-religieux au Maroc Disertasi Gelar
Doktor dalam Ilmu Politik, Université de Droit, d‘Economie et des Sciences d‘AixMarseille,
1984, h. 34.
45
James N. Sater, Civil Society and Political Change in Morocco London: Routledge,
2007, h. 33.
33