Menurut Price dan Wilson 2006 adenokarsinoma merupakan tumor yang memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung
mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis
interstisial kronis Price Wilson 2006. Kemp et al. 2008 juga mengatakan bahwa lokasi adenokarsinoma adalah di perifer atau dekat dengan permukaan
pleura. Lesi adenokarsinoma seringkali meluas ke pembuluh darah dan limfe di stadium dini, dan seringkali bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan
gejala Price Wilson 2006. Etiologi adenokarsinoma belum diketahui Price Wilson 2006 akan tetapi polusi udara adalah salah satu faktor yang penting.
Kejadian adenokarsinoma juga berkaitan dengan aktivitas merokok Kemp et al. 2008. Pada kasus ini kemungkinan singa terpapar polusi udara atau menjadi
perokok pasif. Telah dilaporkan juga oleh Palmarini dan Fan 2001 bahwa retrovirus dapat menginduksi terjadinya adenokarsinoma pada paru-paru seekor
domba. Pada jaringan interstitium paru ditemukan pigmen karbon, yang
menunjukkan singa menderita antrakosis. Antrakosis merupakan akumulasi pigmen karbon yang masuk ke paru-paru melalui jalur inhalasi. Umumnya hewan
yang menderita antrakosis hidup di lingkungan yang berpolusi. Secara mikroskopik, pigmen karbon terlihat sebagai bercak-bercak berwarna hitam yang
ditemukan di dinding alveolar atau fokus hitam pada peribronkial McGavin dan Zachary 2001.
4.4.2. Gambaran Histopatologi Hati
Gambaran histopatologi jaringan hati singa menunjukkan bahwa sinusoid hati tampak meluas dan dipenuhi endapan protein yang berwarna merah dengan
pewarnaan HE Gambar 5A. Endapan protein ini adalah akumulasi amiloid pada hati atau sering disebut dengan amiloidosis. Menurut Kumar et al. 2005 endapan
protein amiloid dapat bersifat sekunder akibat peradangan yang kronis. Selain itu, ditemukan pula banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati
mengalami kongesti pasif Gambar 5B. Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang
tidak beraturan Cheville 2006.
Gambar 5 Gambar histopatologi hati. A Sinusoid hati singa tersebut tampak meluas dan dipenuhi endapan protein amiloid amiloidosis yang berwarna merah A. Pewarnaan
HE. B Ditemukan banyaknya eritosit memenuhi sinusoid yang menandakan hati mengalami kongesti pasif K. Terjadi hemoragi dicirikan dengan eritrosit yang
difagosit oleh sel Kuppfer yang berwarna kuning hemosiderofag H. Ditemukan juga sarang radang SRd pada hati yang menunjukkan hati mengalami hepatitis.
Pewarnaan HE. Bar = 40µm.
Kongesti pada sinusoid mengakibatkan sel hepatosit tertekan sehingga atrofi, yang tampak sebagai bentuk hepatosit yang tidak beraturan. Degenerasi hidropis
pada hepatosit ditandai dengan adanya kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak ditandai dengan adanya rongga yang kecil dan jernih. Pada
kedua jenis degenerasi tersebut dapat diamati inti masih terlihat baik. Degenerasi lemak hati terjadi akibat kondisi hipoksemia sehingga sel kekurangan oksigen.
Proses degenerasi lemak terjadi akibat terhambatnya kerja enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator oksidasi asam lemak sehingga
mendukung sintesis dan akumulasi trigliserida. Pada hipoksemia hati, daerah yang lebih dulu terpengaruh dan mengalami degenerasi lemak adalah zona sentrilobular
yaitu zona yang terdekat dengan vena sentralis Cheville 2006. Degenerasi hidropis hepatosit dapat disebabkan oleh hipoksia, berbagai
toksin, tumor, dan akumulasi pigmen empedu. Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis tampak membesar dengan sitoplasma yang berongga dan inti
sel yang terdorong ke tepi Jubb et al. 2007. Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis umumnya melibatkan kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk
menghasilkan energi, atau gangguan enzim yang mengatur pompa ion Natrium- Kalium pada membran sel. Hipoksia pada sel mengakibatkan berkurangnya
produksi energi atau Adenosin Trifosfat ATP sehingga homeostatis sel terganggu. Pada keadaan ini, sodium dan air masuk ke dalam sel akibat kerusakan
A B
pompa ion pada membran sel dan menyebabkan tekanan osmotik meningkat sehingga sel membesar. Sisterna dari retikulum endoplasmik membesar, ruptur,
kemudian membentuk vakuola-vakuola yang akhirnya sel mengalami degenerasi hidropis McGavin dan Zachary 2001.
Nekrosa hepatosit dicirikan oleh sitoplasma hepatosit yang berwarna lebih gelap dan inti sel yang piknosis hingga lisis. Menurut McGavin dan Zachary
2001, nekrosa hepatosit dicirikan dengan sitoplasma yang membesar, organel sel hancur, serta robeknya membran plasma. Nekrosis pada sel hepatosit biasanya
diikuti dengan reaksi fibrosis jika peradangan bersifat kronis. Respon hati lainnya terhadap peradangan adalah regenerasi dan hiperplasia buluh empedu.
Nekrosa hepatosit yang terjadi pada jaringan hati singa ini membentuk nekrosa pola sentrilobular. Menurut Jubb et al. 2007, degenerasi maupun
nekrosa hati dapat membentuk pola nekrosis periasinar atau sentrilobular, midzonal, periportal, parasentral, maupun nekrosa yang difus. Pada pola nekrosis
sentrilobular, sebagian besar nekrosis terjadi pada hepatosit yang berada di zona sentrilobular yaitu zona yang mengelilingi vena sentralis. Zona sentrilobular
merupakan daerah yang terjauh dari arteri maupun vena portal, sehingga merupakan zona terakhir yang mendapatkan oksigen dan nutrisi sehingga
hepatosit rentan terhadap hipoksia. Nekrosa sentrilobular umumnya disebabkan oleh gangguan jantung yang menyebabkan kongesti pasif. Kongesti terlihat dari
adanya akumulasi eritrosit baik pada vena sentralis, venula maupun sinusoid. Kongesti pasif yang berlangsung lama menyebabkan hepatosit mengalami
degenerasi lemak dan sinusoid meluas berisi eritrosit yang dikenal dengan hati biji pala Carlton et al. 2001.
4.4.3. Gambaran Histopatologi Ginjal