larut dalam benzene, eter, aseton, kloroform, titik leleh 104,5 oC 220,1 F; titik dekomposisi 106-108 oC 223-226 F; tekanan uap 1 mmHg pada 20
o
C; gravitasi spesifik air=1 1,3340 pada 25
o
C; kelarutan dalam air 1. Peroksida organik seperti benzoil peroksida merupakan sumber radikal bebas yang kuat. Digunakan
sebagai inisiator polimerisasi, katalis dan agen vulkanisir HSBD, 1995.
O O
O O
Gambar 2.14. Struktur Benzoil Peroksida
2.9. Ekstrusi menggunakan peralatan Brabender Olasticorder
Ekstruder extruder yang digunakan dalam studi ini adalah extruder Brabender Plasticorder Model PL 2000. Brabender Plasticorder torque rheometer telah secara
luas digunakan untuk menentukan sifat-sifat pemrosesan bahan polimer, reologi lelehan polimer pencampuran polimer dan lain-lain. Torque rheometer merupakan
peralatan penting untuk mengukur toque secara umum. Torque rheometer merupakan suatu alat dengan ruang pencampuran berjaket yang volumenya sekitar 50 cm
3
. Pencampuran material dalam ruang pencampuran dilakukan oleh dua pencampur
rotor horisontal yang memiliki tonjolan. Hambatan oleh material bahan uji terhadap rotor berputar dalam ruang pencampuran diketahui dengan bantuan keseimbangan
dinamometer. Dinamometer terpasang ke sistem pengukuran mekanik yang tepat yang
menunjukkan dan mencatat torsi. Sebuah drive DC thyrister terkontrol digunakan untuk mengontrol kecepatan rotor, sekitar 0 sampai dengan 150 rpm. Suhu ruang
pencampuran dikendalikan oleh sirkulasi minyak panas. Suhu dapat bervariasi hingga 300° C. Termokopel dengan perekam temperatur digunakan untuk pengukuran
Universitas Sumatera Utara
temperatur. Berbagai jenis rotor dapat dengan mudah dipasang dan turun karena pengikat dan kopling sistem yang sederhana. Setelah kondisi pengujian tipe rotor,
rpm dan suhu diatur, waktu yang cukup diberikan untuk suhu untuk mencapai nilai yang ditetapkan dan menjadi stabil. Selanjutnya bahan dimasukkan ke ruang
pencampuran untuk mendapatkan waktu kurva torsi atau plastogram.
Gambar 2.15. Internal Mixer Brabender Plasticorder Model PLE 331
2.10. Karakterisasi 2.10.1. Softening Point
Ketika suatu material seperti es meleleh, maka terjadi perubahan dari padatan menjadi cairan pada satu suhu tertentu yang disebut dengan titik leleh. Beberapa
material tidak dapat meleleh dengan kenaikan suhu tetapi menjadi lebih lembut soft tanpa berubah menjadi lelehan. Untuk materialproduk yang demikian maka suhu
tersebut dikenal dengan suhu softening softening point. Aspal dan karet alam siklis merupakan contoh material yang berubah menjadi lebih lembut ketika dinaikkan
suhunya. Pada penelitian ini penentuan softening point dilakukan dengan metode Capillary.
Universitas Sumatera Utara
2.10.2. Viskositas
Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu fluida yang menunjukkan besar kecilnya gesekan internal fluida. Viskositas fluida berhubungan dengan gaya gesek
antarlapisan fluida ketika satu lapisan bergerak melewati lapisan yang lain. Pada zat cair, viskositas disebabkan terutama oleh gaya kohesi antar molekul. Setiap fluida
memiliki besaran viskositas yang berbeda yang dinyatakan dengan massa per volume. Viskositas dapat dengan mudah dipahami dengan meninjau satu lapisan tipis
fluida yang ditempatkan di antara dua lempeng logam yang rata. Satu lempeng bergerak lempeng atas dan lempeng yang lain diam lempeng bawah. Fluida yang
bersentuhan dengan lempeng ditahan oleh gaya adhesi antara molekul fluida dan molekul lempeng. Dengan demikian, lapisan fluida yang bersentuhan dengan
lempeng yang bergerak akan ikut bergerak, sedangkan lapisan fluida yang bersentuhan dengan lempeng diam akan tetap diam. Lapisan fluida yang bergerak
mempunyai kelajuan sama dengan kelajuan lempeng yang bergerak, yaitu sebesar v. lapisan fluida yang diam akan menahan lapisan fluida di atasnya karena adanya gaya
kohesi. Lapisan yang ditahan itu menahan lapisan di atasnya lagi dan seterusnya sehingga kelajuan setiap lapisan fluida bervariasi dari nol sampai v. Untuk
menggerakkan lempeng diperlukan gaya. Untuk membuktikannya, dapat dicoba dengan menggerakan sebuah potongan kaca di atas tumpahan sirup. Semakin kental
fluida, semakin besar gaya yang diperlukan untuk mendorong. Pada penelitian ini penentuan viskositas dilakukan dengan metode Ford 4CCup In Toluene.
2.10.3. Massa Jenis
Massa jenis adalah bilangan yang menyatakan perbandingan massa dengan volume suatu benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa
setiap volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total volumenya. Jika benda homogen yang massa m mempunyai volume V,
maka massa jenisnya dapat kita tentukan dengan menggunakan rumus:
Universitas Sumatera Utara
ρ = m V Dalam sistem Satuan Internasional SI, satuan massa jenis dinyatakan dengan
kilogram per meter kubik kgm
3
, sedangkan dalam sistem cgs satuan massa jenis adalah gram per sentimeter kubik gcm
3
. Jika dikonversikan, kesetaraan kedua satuan ini adalah 1.000 gcm
3
= 1 kgm
3
.
2.10.4. Warna
Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna yang berwarna putih. Identitas suatu warna ditentukan panjang gelombang cahaya tersebut.
Pada penelitian ini penentuan warna dilakukan dengan metode Gadner Scale 1963, in 60 TL.
2.10.5. Spektrofotometri Infra Merah
Spektrofotometri infra merahInfra Red IR merupakan teknik yang umum digunakan untuk memperoleh informasi struktur molekul suatu senyawa. Daerah
serapan inframerah terletak antara daerah tampak dan panjang gelombang mikro, pada kisaran panjang gelombang 0,5-200 µm. Daerah 0,8-2,5 µm disebut inframerah
dekat dan daerah 15-200 µm disebut inframerah jauh. Molekul-molekul suatu senyawa mempunyai frekuensi vibrasi yang khas. Gugus fungsional ini mengabsorbsi
radiasi infra merah dan menjadi energi vibrasi molekular. Spektrofotometri inframerah berkaitan dengan interaksi molekul dengan
energi radiasi inframerah. Apabila sinar infra merah dilewatkan melalui suatu cuplikan senyawa, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan yang lain akan
diteruskan. Molekul-molekul tertentu dalam suatu senyawa akan menyerap sinar infra merah pada frekuensi yang tertentu pula, jika dalam molekul tersebut ada transisi
energi. Transisi yang terjadi dalam serapan berkaitan erat dengan perubahan- perubahan vibrasinya. Setiap ikatan dalam molekul mengalami gerakan vibrasi ke
depan dan ke belakang yang konstan, rotasi atom, dan sedikit gerakan bengkokan. Ketika molekul mengabsorbsi sinar infra merah, gerakan molekul ini menaikkan
Universitas Sumatera Utara
intensitas. Oleh karena masing-masing frekuensi radiasi berkaitan dengan gerakan spesifik, maka jenis gerakan molekul yang dimiliki oleh sampel dapat dilihat dengan
mengukur spektrum infra merahnya. Gugus fungsional yang ada dalam molekul dapat ditentukan dengan menginterpretasikan spektrum inframerah F.W. Fifield dan D.
Kealey, 2000. Informasi mengenai struktur suatu senyawa dapat diperoleh dengan
mempelajari daerah terjadinya absorbsi gugus fungsional. Daerah yang paling berguna untuk mengenal struktur senyawa adalah daerah 4000-1500 cm
-1
. Serapan setiap tipe ikatan N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-C, C=C, C=N, dan sebagainya
hanya diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi inframerah. Kisaran serapan yang kecil dapat digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan.
Daerah 4000-2500 cm-1 merupakan absorbsi yang disebabkan oleh regangan ikatan N-H, C-H, O-H, serta gerakan kontraksi. Ikatan O-H dan N-H menyerap pada daerah
3600-3300 cm-1 dan regangan ikatan C-H terjadi dekat 3000 cm-1 Daerah antara 2500-2000 cm-1 adalah daerah tempat regangan ikatan rangkap tiga, untuk itu baik
nitril R-C=N maupun alkuna keduanya menunjukkan puncak di daerah ini. Daerah dari 2000-1500 cm-1 mengandung serapan ikatan rangkap dua, ikatan C=O, C=N,
C=C, menunjukkan serapan di daerah ini. Produk hasil sintesis diharapkan mempunyai serapan C=O, C=C, OH, dan serapan aromatis Da-Wen Sun, 2009.
Pada dasarnya spektrofotometri FT-IR Fourier Trasform Infra Red adalah sama dengan spektrofotometri IR dispersi, yang membedakannya adalah
pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati contoh.
2.10.6. Analisa Thermal
Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik yang mengukur sifat fisis suatu bahan dan atau hasil-hasil reaksi yang diukur sebagai fungsi
temperatur. Pemeriksaan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada kesempurnaan kristal, polimorfisme, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, degradasi,
Universitas Sumatera Utara
penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan dan
pengawasan kualitas. Pengukuran dalam analisis termal meliputi suhu transisi, termogravimetri dan analisis cemaran.
Gambar 2.16. Peralatan Spektrofotometri Infra Merah Model GALAXY 5000 Karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan
karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri. Suatu bahan bila dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan
dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut. Teknik analisa termal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika penguapan atau kimia dekomposisi
Universitas Sumatera Utara
suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas endotermik dan pengeluaran panas eksotermik. Proses termal meliputi antara lain proses perubahan
fase transisi gelas, pelunakan, pelelehan, oksidasi, dan dekomposisi F.W. Fifield dan D. Kealey, 2000.
Dalam kaitannya dengan industri, teknik analisa termal digunakan untuk penentuan kontrol kualitas suatu produkbahan khususnya polimer. Tanpa adanya
pengetahuan data-data termal, pemrosesan suatu bahan akan sangat sulit dilakukan. Sifat termal suatu bahan menggambarkan kelakuan dari bahan tersebut jika dikenakan
perlakuan termal dipanaskandidinginkan. Dengan demikian pengetahuan tentang sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pemrosesan
bahan menjadi barang jadi maupun untuk control kualitas. Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah Analisa Termogravimetrik
Thermographymetric Analysis TGA, yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun waktu dan Kalorimetri Pemindaian
DifferensialDifferential Scanning Chalorimetry DSC yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel dengan material referensi yang inert sebagai fungsi dari suhu.
2.10.6.1. Analisa Thermogravimetri
Analisa Thermogravimetri atau Thermographymetric Analysis TGA adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi suhu ataupun
waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinu, reaksi dekomposisi satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 1. sampel yang digunakan,
dengan berat beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1 – 20 0C menit, mempertahan berat awalnya , Wi, sampai mulai terdekomposisi pada suhu
Ti. Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu, Ti – Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf, yang
berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah harga-harga yang sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan
komposisinya, dll.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17. Skema thermogram reaksi dekomposisi satu atap
Gambar 2.18. Peralatan Thermographymetric Analysis TGA
Bertolak belakang dengan berat, harga T
i
dan T
f
, merupakan harga yang bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan
ukurannya dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12 untuk dekomposisi CaCO3;
pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~500 C, namun dalam CO2
tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di atas 900
C. Oleh sebab itu, T
i
dan T
f
merupakan nilai yang sangat bergantung pada
Universitas Sumatera Utara
kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu dekomposisi pada equilibrium.
Gambar 2.19. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda
2.10.6.2. Differential Scanning Calorimetry DSC
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu sampel dibandingkan dengan material referen inert selama perubahan suhu terprogram. Suhu sampel dan referensi
akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur kristal pada
sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah apabila perubahannya bersifat endotermik ataupun di atas apabila perubahan bersifat eksotermik suhu referensi.
Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam hal ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil maksimum 50 mg ,
misalnya 10 mg dan peralatan kalor lebih teliti. Berbeda dengan dengan teknik TGA, teknik DSC menggunakan teknik pemanas individual masing-masing untuk
sampel dan pembanding seperti diperlihatkan pada Gambar 2.13 David I. bower, 2002.
Hasil pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh,seperti pada Gambar 2.14. Suhu
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas. Bila
Universitas Sumatera Utara
terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik yang
dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel.
Gambar 2.20. Perlatan Differential scanning calorimetry DSC TA INSTRUMENTS Q2000
Gambar 2.21. Skematik pengujian dengan DSC Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan
panas. Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik
yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel. Karena itu dalam
Universitas Sumatera Utara
termogram DSC, yakn i plot perubahan entalpi ΔH terhadap kenaikan suhu, proses
eksotermis dinyatakan sebagai – ΔH dan proses endotermis sebagai + ΔH, Basuki
Wirjosentono, 1995. Karakterisasi sifat thermal dalam penelitian ini menggunakan alat DSC TA INSTRUMENTS Q2000.
Gambar 2.22 . Model ilustrasi Termogram DSC
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium untuk menghasilkan material baru, kemudian dikarakterisasi dengan melakukan uji sifat fisik dan kimia, SEM, FT-
IR dan thermal TGA dan DSC. Dilakukan di Laboratorium Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan,
Laboratorium Pengawasan Mutu Pabrik Resipren PT Industri Karet Nusantara Medan dan Laboratori dEnginyeria Paperera i Materials Polímers LEPAMAPLaboratory
of Paper Engineering and Polymer Materials, Departement of Chemical and Agricultural Engineering and Food Science, University of Girona, Spanyol.
3.1 Bahan dan alat
3.1.1. Bahan
Karet alam siklis Cyclized Natural RubberCNR yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk komersial dengan nama dagang Resiprena 35 R-35 yang
diproduksi oleh Pabrik Resiprena, PT Industri Karet Nusantara, Sei Bamban, Tebingtinggi, Sumatera Utara, Indonesia. Resiprena 35 memiliki spesifikasi seperti
tertera dalam Tabel 4.1.
Tabel 3.1. Spesifikasi produk karet alam siklis Resiprena 35 Jenis parameter
Satuan R-35
Softening point Capillary Method °C
125-145 Bilangan Asam Acid Value
mg KOHgr 5
Warna Gadner Scale 1963, in 60 TL -
Max 13 Viskositas Ford 4CCup In Toluene
Sec 18-24
Massa Jenis Specific Gravity Gr ml
0.98 Suhu Transisi Glass Tg
°C 95
37
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan selengkapnya yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.2
Tabel 3.2 Bahan yang digunakan dalam penelitian. No Nama
Struktur Supplier
Keterangan 1
Kalium Hidroksida
KOH
P.A Merck
2 Toluena
C
6
H
5
CH
3
B.P. 110-111
o
C
P.A Merck
3 Metanol
H
3
C
OH B.P. 64-65
o
C
P.A Merck
4 Etanol
H
3
C-CH
2
-OH
P.A Merck
5 Anhidrida
Maleat
O O
O
P.A Merck
6 Aseton
H
3
C C
O CH
3
P.A Merck
7 Benzoil
Peroksida
O O
O O
P.A Merck
purified
8 CNR
Cyclized Natural
Rubber Resiprena 35
p q
PT IKN komersial
9 Indikator
Phenolftalein
P.A Merck
3.2. Prosedur Kerja 3.2.1. Persiapan Alat Pencampur Internal internal mixer Brabender
Plasticorder
Reaksi pencangkokan Anhidrida Maleat AM pada karet alam siklis dilakukan di dalam pencampur internal Brabender
plastograp , Duisberg, Germany, dengan dan
tanpa inisiasitor benzoil peroksida serta dengan dan tanpa kehadiran komonomer styrena. Terlebih dahulu diprogram setting suhu operasional dan kecepatan putar
Universitas Sumatera Utara
rotor pencampur internal sesuai dengan rancangan penelitian yang akan dilakukan Tabel 3.3. Setelah suhu chamber sesuai dengan yang diprogram, dapat dilihat pada
layar monitor komputer, maka alat pencampur internal telah dapat digunakan untuk selanjutnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum dalam Tabel 3.3
Tabel 3.3 Alat yang digunakan dalam penelitian. No Nama Alat
Keterangan 1
Neraca Analitis Mettler Toledo
2 Alat-alat Gelas
Pyrex 3
Oven Memmert
4 Alat Pemanas
PMC 5
Internal mixer, Brabender
plastograp Duisburg, Germany
6 Spektrofotometer FTIR
GALAXY 5000 7
Differential Scanning Calorimetry DSC
Model: TA INSTRUMENTS Q2000
8 Thermographymetry Analysis
TGA Mettler Toledo TGA850
9 Agrimsa pelletizer
Sant Adria` de Besos, Spain 10
Scanning Electron Microscopy 11
Viskometer FORD 4 CUP 12
LOVIBOND ORBECCO-HELLIG 13
Thermometer
Universitas Sumatera Utara
3.2.2. Reaksi pencangkokan karet alam siklis blanko
Sebanyak 30 gram karet alam siklis dimasukkan ke dalam chamber secara perlahan- lahan dan dibiarkan selama lebih kurang 4 menit sampai semua meleleh sempurna.
Kemudian dibiarkan berlangsung selama 8 menit, proses dihentikan dengan menekan tombol STOP. Selanjutnya dalam keadaan panas dengan cepat produk reaksi
dikeluarkan dari dalam chamber. Setelah dingin dijadikan dalam bentuk pelletgranul.
3.2.3. Reaksi pencangkokan dengan inisiasi panas, tanpa benzoil peroksida
Sebanyak 30 gram karet alam siklis dimasukkan ke dalam chamber secara perlahan- lahan dan dibiarkan selama lebih kurang 4 menit sampai semua meleleh sempurna.
Kemudian ditambahkan sejumlah tertentu Anhidrida maleat kedalam chamber sehingga tercampur dan mengalami reaksi reaksi pencangkokan. Setelah berlangsung
selama 8 menit, proses dihentikan dengan menekan tombol STOP. Selanjutnya dalam keadaan panas dengan cepat produk reaksi pencangkokan dikeluarkan dari dalam
chamber. Setelah dingin dijadikan dalam bentuk granul. Variasi konsentrasi
Anhidrida maleat yang digunakan adalah masing-masing 2, 4, 8 dan 16 perseratus karet per hundred rubberphr.
3.2.4. Reaksi pencangkokan dengan inisiasi benzoil peroksida
Sebanyak 30 gram karet alam siklis dimasukkan ke dalam chamber secara perlahan- lahan dan dibiarkan selama lebih kurang 4 menit sampai semua meleleh sempurna.
Kemudian ditambahkan sejumlah tertentu Anhidrida maleat kedalam chamber bersama-sama dengan benzoil peroksida sehingga tercampur dan mengalami reaksi
pencangkokan. Setelah berlangsung selama 8 menit, proses dihentikan dengan menekan tombol STOP. Selanjutnya dalam keadaan panas dengan cepat produk
reaksi pencangkokan dikeluarkan dari dalam chamber. Setelah dingin dijadikan dalam bentuk granul. Variasi konsentrasi Anhidrida maleat yang digunakan adalah
masing-masing 2, 4, 8 dan 16 perseratus karet per hundred rubberphr.
Universitas Sumatera Utara
3.2.5. Reaksi pencangkokan tanpa benzoil peroksida dengan penambahan komonomer styrena
Sebanyak 30 gram karet alam siklis dimasukkan ke dalam chamber secara perlahan- lahan dan dibiarkan selama lebih kurang 4 menit sampai semua meleleh sempurna.
Kemudian ditambahkan sejumlah tertentu campuran Anhidrida maleat dan stirena yang telah disediakan sebelumnya ke dalam chamber. Pencampuran Anhidrida
maleat dengan stirena sebelum dimasukkan ke dalam chamber dilakukan agar stirena yang merupakan cairan diserap oleh padatan Anhidrida maleat dengan sempurna.
Campuran karet alam siklis, anhidrida maleat dan stirena di dalam chamber dibiarkan sehingga tercampur dan mengalami reaksi pencangkokan. Setelah berlangsung
selama 8 menit, proses dihentikan dengan menekan tombol STOP. Selanjutnya dalam keadaan panas dengan cepat produk reaksi pencangkokan dikeluarkan dari dalam
chamber. Setelah dingin dijadikan dalam bentuk granul. Variasi jumlah stirena yang
ditambahkan adalah masing-masing 0,5, 1 dan 2 mol rasio terhadap Anhidrida maleat.
3.2.6. Reaksi pencangkokan dengan benzoil peroksida dan penambahan komonomer styrena
Sebanyak 30 gram karet alam siklis dimasukkan ke dalam chamber secara perlahan- lahan dan dibiarkan selama lebih kurang 4 menit sampai semua meleleh sempurna.
Kemudian ditambahkan sejumlah tertentu campuran Anhidrida maleat, benzoil peroksida dan stirena yang telah disediakan sebelumnya ke dalam chamber.
Pencampuran Anhidrida maleat, benzoil peroksida dan stirena sebelum dimasukkan ke dalam chamber dilakukan agar stirena yang merupakan cairan diserap oleh
padatan anhidrida maleatbenzoil peroksida dengan sempurna. Campuran karet alam siklis, anhidrida maleat, benzoil peroksida dan stirena di dalam chamber dibiarkan
sehingga tercampur dan mengalami reaksi pencangkokan. Setelah berlangsung selama 8 menit, proses dihentikan dengan menekan tombol STOP. Selanjutnya dalam
keadaan panas dengan cepat produk Reaksi pencangkokan dikeluarkan dari dalam
Universitas Sumatera Utara
chamber. Setelah dingin dijadikan dalam bentuk granul. Banyaknya benzoil
peroksida yang digunakan adalah sebanyak 0,3 gram atau 1 phr. Variasi jumlah styrena yang ditambahkan adalah masing-masing 0,5; 1 dan 2 mol rasio terhadap
Anhidrida maleat.
3.2.7. Pemurnian produk Reaksi pencangkokan
Sebanyak 1 gram produk Reaksi pencangkokan ditambahkan ke dalam 50 mL toluena. Campuran dipanaskan pada suhu 60
o
C sambil diaduk sampai semua produk larut sempurna. Padatan tak terlarut yang masih terdapat dipisahkan dengan
penyaringan. Kemudian larutan produk ini ditambahkan secara perlahan ke dalam aseton excess aceton sehingga terbentuk endapan. Selanjutnya dipisahkan endapan
dengan filtratnya. Endapan yang diperoleh dibilas dengan aseton sebanyak 3 kali kemudian dikeringkan dalam oven 120
o
C selama 24 jam.
3.3. Karakterisasi produk reaksi pencangkokan 3.3.1. Softening Point
Pada penelitian ini penentuan softening point dilakukan dengan metode Capillary. 1. Dihaluskan resiprene 35 dengan menggunakan blender dan kemudian diayak.
2. Dimasukkan ayakkan resiprene 35 yang sudah diayak secukupnya kedalam pipa kapiler.
3. Diikat pipa kapiler yang berisi resiprene 35 pada thermometer 250
o
c dengan menggunakan karet.
4. Dimasukkan kedalam beaker glass yang telah berisi diathermic oil. 5. Dipanaskan pada suhu 250
o
c diatas hotplate. 6. Diamati temperature pada thermometer saat resiprene 35 mulai meleleh didalam
pipa kapiler. 7. Dicatat suhu ketika mulai melelehnya resiprene 35.
Universitas Sumatera Utara
3.3.2. Viskositas
Pada penelitian ini penentuan viskositas dilakukan dengan metode Ford 4CCup In Toluene.
1. Resiprene 35 ditumbuk sampai kecil-kecil. 2. Ditimbang berat wadah kosong.
3. Ditimbang berat resiprene 35 sebanyak 50 gram dengan menggunakan neraca analitik.
4. Dimasukkkan resiprene 35 yang telah ditimbang ke dalam wadah kosong. 5. Ditimbang larutan toluena sebanyak 97,5 gram.
6. Dimasukkan larutan toluena kedalam wadah yang berisi resiprene 35. 7. Ditutup wadah yang berisi larutan toluena dan resiprene 35 dengan menggunakan
kertas yang telah di lubangi. 8. Diaduk hingga homogen dengan menggunakan stirrer pada suhu 75
o
c selama 30 menit.
9. Didinginkan larutan sampai mencapai suhu 20
o
C. 10. Dipersiapkan alat viskosimeter FORD 4 CUP.
11. Ditutup lubang bagian bawah viskosimeter FORD 4 CUP dengan menggunakan jari tangan.
12. Dituangkan larutan kedalam viskosimeter FORD 4 CUP sampai meluber kebagian keluar.
13. Dilepas penutup lubang bagian bawah viskosimeter, bersamaan dengan dihidupkannya stopwatch.
14. Dihitung waktu alir sampai larutan habis dari viskosimeter FORD 4 CUP. 15. Diulangi percobaan sampai 2 kali.
3.3.3. Massa Jenis
Pada penelitian ini penentuan softening point dilakukan dengan metode pengukuran massa dan volume.
1. Dimasukkan air suhu 25
o
c kedalam gelas ukur sebanyak 50 ml.
Universitas Sumatera Utara
2. Ditimbang resiprene 35 kasar sebanyak 10 gram. 3. Dimasukkan resiprene 35 kedalam beaker glass yang telah berisi air.
4. Dihitung volume selisih kenaikan air setelah ditambahkan resiprene 35. 5. Dihitung nilai densitas pada resiprene 35.
Rumus penentuan densitas : Densitas ρ = M V
2
-V
1
Ket : M = massa resin gram V1 = volume air ml V2 = volume air dan resin ml
3.3.4. Warna
Pada penelitian ini penentuan warna dilakukan dengan metode Gadner Scale 1963, in 60 TL.
1. Resiprene 35 dihaluskan dengan menggunakan blender. 2. Diayak resiprene 35 yang telah dihaluskan dan ditimbang sebanyak 9 gram.
3. Ditimbang wadah berupa beaker glass 100 ml beserta stirrer yang akan digunakan.
4. Ditimbang larutan toluena sebanyak 6 gram dengan menggunakan wadah beaker glass yang kosong tadi.
5. Dimasukkan resiprene 35 kedalam beaker glass yang telah berisi larutan toluena. 6. Ditutup beaker glass dengan menggunakan kertas yang telah dilubangi bagian
tengahnya. 7. Diaduk dengan stirrer hingga homogen selama 30 menit.
8. Dimasukkan larutan kedalam kuvet. 9. Dimasukkan kuvet yang berisi larutan resiprene 35 kedalam alat LOVIBOND
ORBECCO-HELLIG. 10. Dihidupkan alat LOVIBOND ORBECCO-HELLIG.
11. Diputar disk LOVIBOND ORBECCO-HELLIG sampai warna disk sama pada warna larutan.
Universitas Sumatera Utara
12. Dilihat angka yang menunjukkan pada disk LOVIBOND ORBECCO-HELLIG yang telah sesuai warnanya dengan larutan.
3.3.5. Kompatibelitas dengan larutan Resin Poliamida
1. Disediakan larutan 40 Poliamida dalam pelarut campuran toluenapropanol 7:3.
2. Disediakan larutan 50 dari produk Reaksi pencangkokan cangkok karet alam siklis dengan Anhidrida maleat CNR-g-AM.
3. Larutan poliamida ditambahkan ke dalam larutan CNR-g-AM dengan perbandingan 9:1.
4. Campuran diaduk dengan menggunakan pengaduk stirer. 5. Campuran dituangkan secukupnya keatas permukaan kaca bersih yang sudah
disiapkan. 6. Dibentuk lapisan tipis diatas kaca dengan menggunakan alat pembentuk film
dengan ukuran ketebalan 120 mikrimeter. 7. Lapisan tipis yang terbentuk ditunggu sampai kering.
8. Lapisan tipis difoto dan dikarakterisasi dengan Scanning Electron Microscopy.
Universitas Sumatera Utara
3.4. Bagan Penelitian Pencangkokan Anhidrida Maleat pada CNR 3.4.1. Tanpa kehadiran Inisiator peroksida Benzoil Peroksida BPO
Karet Alam Siklis
Dalam Internal Mixer 80 rpm, 150
o
C 4 menit
Anhidrida Maleat Variasi: 0, 2, 4, 8
dan16 phr
Lelehan Karet Alam Siklis
Diproses selama 8 menit
CNR-c-AM Produk
Toluena
Larutan CNR-c-AM
Ditambahkan tetes demi tetes ke dalam
Aseton excess
CNR-c-AM Murni
Filtrat KARAKTERISASI:
Sifat Fisika, Sifat Kimia FT-IR, DSC, TGA
Campuran CNR dan AM
Diproses selama 8 menit
Universitas Sumatera Utara
3.4.2. Dengan kehadiran Inisiator peroksida Benzoil Peroksida BPO
Karet Alam Siklis
Dalam Internal Mixer 80 rpm, 150
o
C 4 menit
Anhidrida Maleat Variasi: 0, 2, 4, 8 dan 16
phr
Lelehan Karet Alam Siklis
Diproses selama 8 menit
BPO 1 phr
CNR-c-AM Produk
Toluena
Larutan CNR-c-AM
Ditambahkan tetes demi tetes ke dalam
Aseton excess
CNR-c-AM Murni
Filtrat
KARAKTERISASI: Sifat Fisika, Sifat Kimia
FT-IR, DSC, TGA
Campuran CNR, AM dan BPO
Diproses selama 8 menit
Universitas Sumatera Utara
3.4.3. Tanpa kehadiran Inisiator peroksida Benzoil Peroksida BPO dan penambahan komonomer Stirena.
Karet Alam Siklis
Dalam Internal Mixer 80 rpm, 150
o
C 4 menit
Anhidrida Maleat 16 phr
Lelehan Karet Alam Siklis
Diproses selama 8 menit
Stirena Rasio Mol
1:2 1:1 2:1
CNR-c-St-AM Produk
Toluena
Larutan CNR-c-St-AM
Ditambahkan tetes demi tetes ke dalam
Aseton excess
CNR-c-St-AM Murni
Filtrat
KARAKTERISASI: Sifat Fisika, Sifat Kimia
FT-IR, DSC, TGA
Campuran CNR, AM dan St
Diproses selama 8 menit
Universitas Sumatera Utara
3.4.4. Dengan kehadiran Inisiator peroksida Benzoil Peroksida BPO dan penambahan komonomer Stirena.
Karet Alam Siklis
Dalam Internal Mixer 80 rpm, 150
o
C 4 menit
Anhidrida Maleat 16 phr
Lelehan Karet Alam Siklis
Diproses selama 8 menit
BPO 1 phr + Stirena
Rasio Mol 1:2 1:1 2:1
CNR-c-St-AM Produk
Toluena
Larutan CNR-c-St-AM
Ditambahkan tetes demi tetes ke dalam
Aseton excess
CNR-c-St-AM Murni
Filtrat
KARAKTERISASI: Sifat Fisika, Sifat Kimia
FT-IR, DSC, TGA
Campuran CNR, AM dan St
Diproses selama 8 menit
Universitas Sumatera Utara
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Proses pencangkokan
Reaksi pencangkokan Anhidrida Maleat AM pada Karet Alam Siklis KAS dilakukan di dalam pencampur internal Internal Mixer dengan kondisi tertentu
sesuai rancangan percobaan, seperti tertera pada Lampiran 1. Pada tahap awal dilakukan proses di dalam pencampur internal menggunakan sampel KAS segar
fresh tanpa penambahan monomer AM dan zatpereaksi lain. Selanjutnya sampel ini
yang dijadikan standar atau blanko sebagai pembanding terhadap sampel-sampel yang diperlakukan sesuai dengan rancangan percobaan.
Selanjutnya sampel standar dan semua sampel produk pencangkokan AM pada KAS KAS-c-AM dipelajari sifat-sifat fisika-kimianya dan dikarakterisasi