4
Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih
tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik,
sehingga dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Biji sorgum memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan sering
digunakan sebagai bahan baku industri bir, pati, gula cair atau sirup, etanol, lem, cat, kertas dan industri lainnya. Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal
oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, NTB dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama cantel, dan biasanya petani
menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya Nurmala, 1997.
Menurut Suarni 2004
a
, sorgum termasuk famili Graminae dan merupakan tanaman musim panas meskipun beberapa varietasnya dapat
beradaptasi dengan iklim setempat. Sorgum tumbuh secara efektif pada daerah tropis dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, suhu 23-30
C, kelembaban udara 20-40 persen, curah hujan 375-425 mmtahun, dan kisaran pH
5,5-8,5. Komposisi kimia dari biji sorgum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia biji sorgum
Bagian Biji Komposisi Kimia Biji Sorgum
Pati Protein
Lemak Abu
Serat Biji utuh
73,8 12,3
3,60 1,65
2,2 Endosperm
82,5 12,3
0,63 0,37
1,3 Kulit biji
34,6 6,7
4,90 2,02
8,6 Lembaga
9,8 13,4
18,9 10,36
2,6
Sumber : Hubbard et al, 1969
Pentosan adalah salah satu karbohidrat utama yang terdapat didalam perikarp dan lembaga dan berjumlah sebesar 2,6-10,2 dari bobot biji kering.
Lembaga biji sorgum mengandung lebih dari 8 lemak biji Hubbard et al, 1969. Fraksi protein yang ada di sorgum adalah albumin yang bersifat larut air, globulin
yang larut pada garam, prolamin larut di alkohol dan glutelin yang bersifat larut basa. Albumin dan globulin terdapat di dalam lembaga dan lapisan aleuron. Asam
5
amino pada sorgum sangat bervariasi, tergantung pada lingkungan saat penanaman. Seperti halnya dengan serealia lainnya, kandungan asam amino lisin
pada sorgum juga tergolong rendah Rooney et al, 1980. Sorgum mengandung berbagai senyawa bioaktif yang beberapa
diantaranya adalah komponen fenolik, sterol tanaman dan polisakanol. Fenol membantu dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit,
sedangkan sterol tanaman dan polisakanol merupakan komponen penting dari lilin dan minyak tanaman. Senyawa fenolik pada sorgum memiliki aktivitas
antioksidan, sifat menurunkan kolestrol dan kegunaan lain untuk kesehatan. Fenol dalam sorgum dibagi menjadi dua kategori yaitu asam fenolat dan flavonoid.
Asam fenolat merupakan turunan asam sinamat dan benzoat, sedangkan flavonoid meliputi tanin dan antosianin sebagai konstituen yang paling banyak diisolasi dari
sorgum Awika dan Rooney, 2004. Struktur asam fenolik dari sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu asam benzoat dan asam sinamat Awika dan Rooney, 2004
Antosianin merupakan salah satu kelas utama dari flavonoid yang paling
banyak dipelajari dari sorgum Awika dan Rooney, 2004. Awika et al 2004 melaporkan bahwa antosianin dari sorgum tidak seperti antosianin pada
umumnya. Antosianin pada sorgum dinilai unik karena strukturnya tidak memiliki gugus hidroksil pada cincin karbon C nomor 3 sehingga dinamakan
6
3-deoksiantosianin. Keunikan tersebut menyebabkan antosianin pada sorgum lebih stabil pada pH tinggi dibanding antosianin yang diisolasi dari buah-buahan
atau sayur-sayuran pada umumnya sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai pewarna alami makanan. Antosianin pada sorgum yang telah diidentifikasi adalah
apigenidin dan luteolinidin Wu dan Prior, 2005. Struktur apigenidin dan luteolinidin dapat dilihat pada Gambar 3.
R1 = H1R2 = H1R3 = H :apigenidin R1 = OH1R2 = H1R3 = H : luteolinidin
Gambar 3. Struktur antosianin pada sorgum yaitu apigenidin dan luteolinidin Awika dan Rooney, 2004
Komponen flavonoid yang lain dari sorgum selain antosianin adalah senyawa tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air dengan berat
molekul antara 500-3000. Senyawa tanin pada sorgum memiliki berbagai peranan, antara lain untuk melindungi biji dari predator burung, serangga, kapang
Fusaarium tapsinum dan Aspergillus flavus serta dari cuaca Waniska et al, 1989. Tanin dari sorgum menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi
secara in vitro Riedl dan Hagerman, 2001. Menurut Hagerman et al 1998, tanin dengan berat molekul tinggi memiliki aktivitas antioksidan terbaik
dibandingkan antioksidan alami lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan banyaknya jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil yang dimiliki oleh tanin,
dimana semakin banyak jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil akan semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Selain itu, penelitian dari Hagerman et al 1998
juga melaporkan bahwa tanin tidak dapat berperan sebagai prooksidan sehingga dinilai merupakan salah satu antioksidan yang potensial. Struktur tanin pada
sorgum dapat dilihat pada Gambar 4.
7
Gambar 4. Struktur proantosianidin atau tanin pada sorgum Rooney dan Serna, 2000
Sorgum memiliki berbagai efek positif bagi kesehatan yang berkaitan erat dengan berbagai komponen bioaktif terutama senyawa fenolik yang dimilikinya
Dicko et al, 2005; Awika dan Rooney, 2004. Peranan sorgum dalam mencegah cardiovascular disease CVD dilaporkan oleh Cho et al 2000 yang menyatakan
bahwa ekstrak heksan sorgum dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3- metilglutaril CoA HMG-CoA reduktase pada sel hati tikus. Penelitian dari Lee
dan Pan 2003 juga melaporkan bahwa senyawa tanin sorgum dapat menghambat 63-97 oksidasi asam linoleat pada hemoglobin dibandingkan kedelai 13 dan
dedak padi 78. Kemampuan sorgum dalam menurunkan kadar kolestrol darah juga dilaporkan oleh Rooney et al 1992 yang menyatakan bahwa dedak sorgum
memiliki kemampuan menurunkan kadar kolestrol darah lebih baik dibanding gandum dan jagung.
Manfaat kesehatan sorgum lainnya adalah peranannya dalam membantu ketersediaan pangan bagi penderita diabetes militus dan obesitas yang dibuktikan
oleh penelitian Awika dan Rooney 2004 yang menyatakan bahwa senyawa tanin pada sorgum menyebabkan sorgum dicerna lebih lambat dibanding serealia lain.
Pernyataan tersebut dipertegas oleh Suarni 2004
a
yang menyatakan bahwa komponen protein dan pati pada sorgum lebih lambat dicerna daripada serealia
lain sehingga komoditi ini dinilai potensial untuk diaplikasikan pada makanan penderita diabetes dan obesitas.
8
Menurut Muriu et al 2002, mekanisme yang terjadi disebabkan senyawa tanin yang terdapat pada sorgum akan menurunkan nilai nutrisi dari makanan
yang dikonsumsi dengan cara berikatan dengan protein Hagerman dan Butler, 1981 dan karbohidrat Lizardo et al, 1995 membentuk suatu komplek yang sulit
didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan. Mekanisme peranan sorgum dalam menghambat obesitas lainnya adalah kemampuan senyawa tanin pada sorgum
untuk berikatan dengan enzim-enzim pencernaan seperti sukrase, amylase, tripsin, kimotripsin dan lipase Al-Mamary et al, 2001; Lizardo et al, 1995.
Aktivitas anti mutagenik sorgum dibuktikan oleh penelitian Grimmer et al 1992 yang menunjukkan bahwa senyawa tanin pada sorgum memiliki aktivitas
anti mutagenik lebih tinggi dibanding senyawa tanin dengan berat molekul lebih rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Turner et al 2006 melaporkan bahwa
tanin dari dedak sorgum dapat mereduksi kanker kolon pada tikus percobaan, dimana studi dilakukan dengan cara pemberian diet berupa dedak sorgum hitam,
selulosa dan sorgum putih. Aktivitas antikanker kolon terbaik didapat pada dedak sorgum hitam dimana hasil yang didapat diduga berkorelasi dengan adanya
aktivitas antioksidan dari sorgum. Mekanisme anti kanker kolon dari sorgum memiliki hubungan erat dengan senyawa tanin pada sorgum. Mekanisme tersebut
mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Rios et al 2002 yang melaporkan bahwa senyawa tanin tidak terdegradasi setelah melewati saluran
pencernaan pada manusia. Menurut Rios et al 2002, tanin baru akan terdegradasi oleh mikroflora yang terdapat di kolon menjadi asam fenolik yang dapat berperan
sebagai antioksidan di dalam sistem pencernaan di kolon. Produksi sorgum Indonesia masih sangat rendah, bahkan secara umum
produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar. Proses pengolahan sorgum di Indonesia masih sangat sederhana. Salah satu kendala adalah belum tersedianya
mesin pemecah kulit yang baik untuk komoditi sorgum. Mesin pemecah yang ada belum dapat memecahkan kulit dari sorgum secara optimal Mudjisihono et al,
1991. Beberapa varietas sorgum yang telah dikenal di Indonesia adalah Malang 26, Birdproof, Ketengu, Pretoria, Darsa dan Cempaka. Varietas-varietas yang
9
dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor diantaranya adalah varietas UPCA-S1, UPCA-S2, No.46, No.6c dan No. 7c Mudjisihono et al,
1991. Menurut Suarni 2004
a
, balai penelitian tanaman serealia Indonesia pada tahun 2001 telah melepas dua varietas sorgum unggul baru yaitu Kawali dan
Numbu yang berasal dari India. Potensi hasil kedua varietas tersebut masing- masing 4,76 tonha dan 5,05 tonha dengan rata-rata hasil 3,0 tonha dan berumur
90 hari. Varietas Kawali dan Numbu memiliki tangkai yang kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat serta penyakit bercak daun. Kedua varietas
ini ditanam di beberapa daerah antara lain di Demak dan Gunungkidul Jawa tengah serta daerah Bantul Yogyakarta.
2. 1. 2 Jewawut Pennisetum glaucum
Jewawut atau millet adalah salah satu jenis serealia yang merupakan famili Poaceae. Tiga jenis jewawut yang populer di Indonesia yaitu jenis brownstop,
pearl millet, dan jenis proso atau Italian millet. Menurut Olivieri dan Hauser 1997, pearl millet memiliki jumlah kromosom 14 pasang dengan potensi hasil
3,5 ton per hektar. Jenis pearl millet tersebut termasuk tanaman serealia ekonomi minor penting dari golongan tanaman semusim. Klasifikasi dari jewawut disajikan
sebagai berikut : Kingdom
: Plantae Kelas
: Monocotyledon Keluarga
: Poaceae Genus
: Pennisetum Sumber : Nurmala, 1997
Biji jewawut mudah dijumpai di kios maupun di pasar-pasar burung walaupun terkadang masih diimpor dari luar negeri Widyaningsih dan Mutholib,
1999. Menurut Andoko 2001 biji jewawut sangat disukai burung pemakan biji dan paling sering diberikan oleh penangkar burung karena dipercayai dapat
meningkatkan kualitas suaranya. Jumlah kebutuhan jewawut dari tahun ke tahun
10
terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya penangkar burung lokal dan burung impor. Pada tahun 2007, permintaan jewawut di Indonesia bahkan
mencapai angka 10000 tonbulan Suherman et al, 2006. Struktur dari biji jewawut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur biji jewawut Anonymous
a
, 2008
Biji jewawut biasa digunakan sebagai makanan manusia di berbagai negara Asia, Eropa bagian tenggara dan Afrika utara, biasanya diolah dengan cara
dimasak dan dimakan seperti beras, baik utuh maupun dengan dihancurkan. Di Cina, jewawut dianggap sebagai suatu makanan yang bergizi dan sering
direkomendasikan untuk wanita-wanita yang hamil dan orang tua. Sejak tahun 1990 jewawut juga telah digunakan di Cina untuk membuat keripik, jewawut
gulung kering dan tepung untuk makanan bayi. Di Cina bagian utara, tepung jewawut menjadi bagian dari bahan makanan pokok untuk membuat adonan roti
dan mi. Rusia dan Burma Myanmar menggunakan jewawut sebagai bahan untuk membuat cuka, bir dan alkohol Dykes and Rooney, 2006. Menurut Suherman et
al 2006, jewawut memiliki nilai nutrisi yang kompleks bahkan biji jewawut memiliki kandungan karbohidrat dan protein lebih baik dibanding beras.
Komposisi kimia biji jewawut dapat dilihat pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Komposisi kimia biji jewawut
Komponen Jewawut
Kadar air Bahan kering
Kadar abu Protein kasar
Lemak kasar Serat kasar
Ca mg100gr P mg100gr
Mg mg100gr Fe mg100gr
Zn mg100gr Vitamin A mg100gr
Vitamin C mg100gr 12.51
87.49 3.86
11.38 2.53
5.64 19.80
50.00 12.10
7.80 3.60
0.023 26.40
Sumber : Nurmala, 1997
Senyawa antioksidan terdapat pada jewawut, antara lain senyawa flavonoid. Menurut Dykes dan Rooney 2006, flavonoid terbukti memiliki
kemampuan dalam menangkal radikal bebas dengan baik. Salah satu jenis senyawa flavonoid yang terdapat pada jewawut adalah tanin yang terdapat pada
bagian testa dari biji jewawut. Semakin gelap warna testa, akan semakin tinggi kandungan taninnya. Selain tanin, adanya senyawa flavonoid pada jewawut yang
telah teridentifikasi diantaranya adalah orientin dan vitexin Hilu et al, 1978, luteolin dan tricin Watanabe, 1999 serta apigenin Sartelet et al, 1996. Struktur
flavonoid pada jewawut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur flavonoid jewawut Dykes dan Rooney, 2006
12
Selain dapat digunakan sebagai sumber antioksidan potensial, jewawut juga memiliki aktivitas antimikroba. Aktivitas antimikroba dari jewawut
dibuktikan oleh penelitian Viswanath et al 2009 yang melaporkan bahwa senyawa polifenol yang diekstrak dari lapisan kulit ari jewawut menggunakan
metanol dan Hcl 1 selain dapat digunakan sebagai sumber antioksidan potensial, juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap Bacillus cereus pada minimum
inhibitory concentration MIC sebesar 30 dengan luas zona penghambatan sebesar 15 mm.
Peranan jewawut dalam mencegah cardiovascular disease CVD dilaporkan oleh Cho et al 2000 yang menyatakan bahwa ekstrak heksan jewawut
dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA HMG-CoA reduktase pada sel hati tikus. Manfaat kesehatan jewawut lainnya dilaporkan oleh
Rooney et al 1992 yang menyatakan bahwa dedak jewawut memiliki kemampuan menurunkan kadar kolestrol lebih baik dibanding jagung dan
gandum. Aktivitas antikarsinogenik dari jewawut juga dibuktikan oleh penelitian Rensburg 1981 yang melaporkan bahwa populasi masyarakat di Eropa yang
mengkonsumsi jewawut memiliki resiko kanker esorphagus lebih rendah dibanding populasi masyarakat Eropa yang mengkonsumsi serealia seperti jagung
dan gandum.
2. 1. 3 Ketan Hitam Oryza sativa glutinosa
Ketan hitam merupakan salah satu komoditi pertanian yang telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di Indonesia. Komoditi pertanian ini dikenal di
indonesia melalui berbagai bentuk olahannya seperti bubur ketan dan tape ketan. Berikut disajikan deskripsi dari beras ketan :
Kingdom : Plantae
Kelas : Monocotyledon
Keluarga : Graminae
Genus : Oryza sativa
Sumber : Nurmala, 1997
13
Ketan secara visual dapat dibedakan dari beras biasa, yaitu butir patinya berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasa butir patinya berwarna putih
bening dan lebih keras. Struktur biji dari ketan hitam dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur biji ketan hitam Anonymous
b
, 2008
Ketan memiliki nilai nutrisi yang lengkap dan tidak kalah dibandingkan beras, sehingga komoditi pertanian ini memang layak untuk dipromosikan secara
intensif sebagai pangan alternatif untuk mendukung program diversifikasi karbohidrat. Komposisi kimia dari butir beras dan ketan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia butir beras dan ketan
Komponen Beras Biasa
Beras Ketan Ketan Hitam
Ketan Putih Energi cal
Protein gr100 gr Lemak gr100 gr
Karbohidrat gr100 gr Kalsium mg100 gr
Fosfor mg100 gr Besi mg100 gr
Vitamin B1 mg100 gr Air
360,00 6,80
0,70 78,90
6,00 140,00
0,80 0,12
13,00 356,00
7,00 0,70
78,00 10,00
148,00 0,80
0,20 13,00
362,00 6,70
0,70 79,40
12,00 148,00
0,80 0,16
12,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2000
14
Pati merupakan karbohidrat utama pada ketan. Pati adalah homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosida. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas, dimana fraksi terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi yang tidak larut adalah amilopektin. Secara kimia beras dan ketan dapat
dibedakan dari komposisi amilosa dan amilopektinnya. Di dalam ketan kadar amilosanya hanya sekitar 1-2 persen, sedangkan didalam beras biasa berkisar
antara 7-38 persen Winarno, 1991. Komposisi pati pada ketan yang hampir semuanya terdiri dari amilopektin menyebabkan ketan mempunyai sifat lengket,
tidak mengembang dalam pemasakan dan tidak banyak menyerap air serta tetap lunak setelah dingin Darmadjati, 1983.
Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati mempunyai ukuran granula 0,5-5,0 µm terdiri dari 5 fraksi albumin, 10 globulin, 5 prolamin
dan 80 glutelin. Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin, yang bersifat tidak larut air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan
pengembangan butir pati selama pemanasan Kadirantau, 2000. Sifat-sifat kimia dari ketan akan mempengaruhi sifat-sifat fisiknya. Sifat fisik beras dan ketan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan sifat-sifat fisik beras dan ketan
Sifat Fisik Beras
Ketan Suhu gelatinisasi
C Ukuran granula nm
Densitas dengan xilen Viscositas gel cp
58 – 79
1,6 – 8,7
1,49 - 1,51 140
– 2200 58
– 78,5 1,9
– 8,1 1,48
– 1,50 64
– 1890
Sumber : Juliano, 1972
Suhu gelatinisasi adalah suhu saat granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano
1972 menyatakan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara 58-78,5 C. Suhu
ini tidak berbeda jauh dengan suhu gelatinisasi beras biasa yaitu 58-79 C.
Konsistensi gel sebagai ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel pati ketan mempunyai korelasi dengan suhu gelatinisasi, tetapi pada beras tidak
menunjukkan adanya korelasi. Sifat konsistensi dan viscositas gel pati beras lebih besar dibanding ketan karena dipengaruhi oleh adanya kadar amilosa yang lebih
tinggi. Juliano, 1972.
15
Ketan hitam memiliki potensi sebagai pembawa antosianin yang merupakan salah satu senyawa fenolik. Misnawi et al 2003 menyatakan bahwa
kedua senyawa ini diketahui mempunyai manfaat bagi kesehatan karena bersifat sebagai antioxidan yang dapat melindungi kolesterol darah dari serangan oxidasi
oleh radikal bebas dan senyawa radikal lainnya yang dapat memicu aterosklerosis. Proses pembentukan komponen antosianin, struktur dan turunannya dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Proses pembentukan komponen antosianin, struktur dan turunannya Nakajima
et al, 2001
Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam telah dibuktikan oleh
penelitian Aligitha 2007 yang mengisolasi senyawa antosianin dari ketan hitam dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol yang mengandung 1 asam
16
hidroklorida pekat dan isolat yang diperoleh merupakan antosianin terasilasi jenis sianidin 3-glikosida. Adanya senyawa antosianin pada ketan hitam juga
dilaporkan oleh Ryu et al 1998 yang mengidentifikasi senyawa antosianin dari beberapa varietas ketan hitam menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography HPLC dan mendapatkan jenis antosianin pada ketan hitam adalah sianidin 3-glikosida dan peonidin 3-glikosida. Penelitian lainnya dilakukan
oleh Hu et al 2003 yang yang mengisolasi senyawa antosianin ketan hitam menggunakan metode filtrasi gel dan mendapatkan turunan antosianin ketan hitam
yaitu senyawa sianidin 3-glukosida dan peonidin 3-glukosida. Struktur antosianin pada ketan hitam dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur antosianin ketan hitam Ryu et al, 1998
Menurut Hu et al 2003, pigmen antosianin yang terdapat pada ketan
hitam dapat menekan resiko kerusakan oksidatif dari low density lipoprotein LDL pada manusia. Selain itu Hu et al 2003 juga melaporkan bahwa pigmen
antosianin pada ketan hitam dapat mereduksi pembentukan nitrit oksida dengan menekan aktivitas nitric oxide synthetase pada sel-sel makrofag dan secara
signifikan mencegah kerusakan DNA yang disebabkan oleh ROS Reactive Oxygen Species.
17
2. 2 Antioksidan
Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang secara
nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah dibanding substrat yang dapat dioksidasi Pokorny et al, 2008.
Antioksidan mempunyai arti perlawanan oksidasi. Pada saat radikal bebas menerima elektron dari antioksidan, maka senyawa ini tidak reaktif lagi dan tidak
merusak sel akibat proses oksidasi telah terputus Widyawati, 2002. Menurut Pokorny et al 2008, antioksidan sangat beragam jenisnya, berdasarkan
sumbernya antioksidan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari sintesa reaksi kimia dan antioksidan alami.
Antioksidan alami didalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi-reaksi
selama proses pengolahan atau yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan kemakanan sebagai bahan tambahan pangan.
Menurut Pokorny et al 2008, golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin dan flavonol. Sementara
turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam fenolat, asam klorogenat dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini bersifat multifungsional dan
dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksidan. Kira-kira 2 dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan
fenol yang terbesar. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua jenis tumbuhan, sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap
ekstrak tumbuhan. Kebanyakan golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan.
18
Menurut Gordon 1990, proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Reaksi
yang terjadi adalah sebagai berikut ; Inisiasi
: RH
→
R • + H•
1 Propagasi
: R • + O2
→
ROO •
2 : ROO
• + RH
→
ROOH + R •
3 Terminasi
: ROO • + ROO•
4 R
• + ROO• R
• + R• Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan senyawa radikal yang bersifat
tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen reaksi 1. Pada tahap propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi reaksi 2. Radikal peroksi akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru reaksi 3.
Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi dengan membentuk kompleks radikal bebas reaksi 4. Hidroperoksida yang
terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida, keton dan alkohol.
Tang 1991 menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat mencegah terjadinya autooksidasi yang disebabkan radikal bebas karena termasuk golongan
antioksidan. Peranan senyawa fenolik sebagai antioksidan berkaitan dengan peranannya sebagai donor atom hidrogen pada senyawa radikal. Menurut
Fuhrman 2002, antioksidan akan bereaksi dengan senyawa radikal, terutama radikal peroksi ROO•, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut ;
ROO • + AH2
→
ROOH + AH • 5
AH • + AH•
→
A + AH2 6
Senyawa fenolik akan bertindak sebagai donor hidrogen reaksi 5 atau akseptor radikal peroksi reaksi 6 terhadap senyawa radikal. Setelah terjadi reaksi
antara antioksidan fenolik dengan senyawa radikal, akan terbentuk radikal fenolik yang tidak cukup aktif untuk melakukan reaksi propagasi. Radikal fenolik ini pada
umumnya akan diinaktivasi menggunakan radikal lainnya sehingga membentuk produk yang tidak aktif.
19
Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH 2,2-dyphenyl-1-
picrylhydrazil merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa
DPPH dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH Vaya dan Aviram, 2001
Mekanisme reaksi yang terjadi adalah proses reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan yang menghasilkan pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH.
Pemudaran warna akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan
α, α-diphenyl-β- picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen.
Semakin pudarnya warna DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan kapasitas antioksidan yang semakin besar pula Benabadji et al,
2004.
2. 3 Sistem Imun
Sistem imun adalah suatu sistem yang merupakan interaksi kompleks dari beragam jenis sel imunokompeten yang bekerjasama dalam proses identifikasi dan
eliminasi mikroorganisme patogen dan zat-zat berbahaya lainnya yang masuk kedalam tubuh. Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan
yang bertujuan melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi hemostasis untuk mempertahankan diri dari jenis sel tertentu dan
memusnahkan sel-sel yang rusak. Fungsi lainnya adalah fungsi pengawasan yang bertujuan memonitor jenis sel yang abnormal atau sel mutan Belanti, 1993.
20
Respon imunologik terdiri dari respon imun spesifik dan non spesifik. Respon imun non spesifik merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi
serangan mikroorganisme secara langsung, walaupun tubuh sebenarnya belum pernah terpapar zat asing tersebut. Sistem tersebut disebut nonspesifik karena
tidak ditujukan terhadap antigen tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Komponen-komponen sistem imun non spesifik dapat dibagi menjadi pertahanan
fisik, mekanik serta pertahanan biokimiawi Baratawidjaya, 1991. Menurut Parslow dan Bainton 1997, respon imun spesifik timbul sebagai reaksi terhadap
serangan mikroorganisme patogen dan zat asing lainnya melalui fagositosis oleh neutrofil dan monosit makrofag, barier kimia melalui sekresi internal dan
eksternal lisozim dalam jaringan mucus, air mata, laktoperoksidase dalam saliva serta protein darah interferon, sistem kinin, komplemen serta sel natural killer
NK. Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan
yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten Garvey et al, 1977. Menurut
Baratawidjaya 1991, imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi
yang sudah ada secara langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk
mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler dan humoral. Leukosit khususnya
limfosit berperan penting dalam respon imun spesifik. Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui
sekresi limfokin seperti interferon IFN dan interleukin IL, sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antibodi terhadap antigen
spesifik Roitt, 1991. Menurut Collegate 1993, beberapa golongan senyawa yang dapat
berperan sebagai imunomodulator adalah golongan karbohidrat, terpen, steroid, flavonoid, glikoprotein, alkaloid dan beberapa senyawa organik lain yang
mengandung nitrogen. Tingkat imunitas dari setiap individu dalam menentang infeksi ataupun merespon adanya antigen akan berbeda-beda Roitt, 1991.
Menurut Bellanti 1993, faktor-faktor yang mempengaruhi sistem imunitas antara lain adalah faktor genetis, umur, kondisi metabolik, anatomi tubuh, status gizi,
fisiologi tubuh dan sifat dari benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
21
2. 4 Sel Limfosit
Limfosit adalah sel darah putih atau leukosit yang berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µm. Sel limfosit selain terdapat di dalam darah perifer, terdapat
juga pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe dan thymus. Limfosit manusia berjumlah sekitar 30 dari persentase normal sel darah putih
Kuby, 1992. Tizard 1988 menyatakan bahwa sel limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi utama adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel
efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat oleh makrofag. Menurut Kuby 1992, sel limfosit mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap
berbagai jenis antigen yang berbeda. Sel limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, sel limfosit dapat mengenali antigen melalui reseptor
antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri. Sel limfosit dibentuk didalam sumsum tulang belakang. Sel limfosit
berdiferensiasi menjadi sel limfosit T dan B yang keduanya berperan dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen. Limfosit
T dibentuk didalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus, dimana sel limfosit B berbeda dengan sel limfosit T yang
terdiri atas beberapa subset dengan beberapa fungsi yang berlainan Bellanti, 1993. Menurut Roitt 1991, populasi sel limfosit memiliki reseptor
antigen yang beragam, namun setiap sel limfosit hanya dapat mengenali satu jenis antigen, sehingga dalam proses respon imun, sel limfosit saling bekerjasama
untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh.
2. 4. 1 Sel Limfosit T
Menurut Roitt 1991, sel limfosit T merupakan 65-85 dari semua limfosit dalam sirkulasi. Dibawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat
dibedakan dengan sel B. Limfosit T berasal dari sel hematopoetik sumsum tulang, sel ini kemudian pindah ke thymus dan menjadi dewasa. Di organ thymus, sel T
sangat cepat membelah diri. Pada proses pendewasaannya sel ini mengalami diferensiasi menjadi sel T helper Th, T supressor Ts dan sel T cytotoxic Tc.
Sel limfosit berproliferasi menjadi sel limfosit T memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin yang dapat berperan sebagai mediator
dalam sistem imunitas. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel
22
NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun. Limfosit T berperan penting dalam imunitas seluler dengan cara merespon benda asing melalui reseptor
permukaan secara langsung. Setelah interaksi antara benda asing dengan sel limfosit T, terjadi suatu seri peristiwa morfologik, biologik dan biokimia dimana
sel dapat berfungsi secara langsung melalui pelepasan produk limfokin Bellanti, 1993.
2. 4. 2 Sel Limfosit B
Sel limfosit B adalah sel yang dapat membentuk immunoglobulin Ig dan merupakan 5-15 dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel limfosit B bisa menjadi
satu sel besar dengan metabolisme aktif, menjadi sel blast atau limfoblast dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Sel B berperan
dalam reaksi imun humoral dan akan berproliferasi dengan adanya antigen. Adanya antigen akan merangsang sel limfosit B membentuk sel plasma yang
dapat mensekresi antibodi, selain itu, sel limfosit B juga dapat berdiferensiasi membentuk sel memori Baratawidjaya, 1994.
Sel limfosit B perawan yang terangsang oleh antigen, dengan bantuan sel Th sel T helper, akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk immunoglobulin dan membelah lalu kembali beristirahat sebagai sel limfosit B memori. Bila sel
limfosit B memori terstimulasi dengan antigen yang sama, maka akan mengalami proliferasi lebih cepat membentuk sel plasma untuk membentuk antibodi spesifik.
Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi setiap detik. Sel limfosit B yang teraktivasi di dalam darah mengalami serangkaian proses
pembelahan dan diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari Albert et al., 1994.
2. 5 Peranan Senyawa Fenolik dalam Stimulasi Aktivitas Imunomodulator
Senyawa fenolik merupakan salah satu komponen bioaktif yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi topik penelitian penting karena dapat
memberikan fungsi-fungsi fisiologis yang berkaitan dengan pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Senyawa fenolik meliputi fenol sederhana, asam fenolat,
turunan asam hidroksinamat dan flavonoid. Senyawa fenol terdiri dari monofenol,
23
difenol dan trienol. Turunan asam hidroksinamat berasal dari p-koumarin, asam kafeat dan ferulat, sedangkan flavonoid terdiri dari katekin, prantosianidin,
antosianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya Ho et al, 1991. Fungsi senyawa fenolik sebagai antioksidan berhubungan dengan proses
perlindungan membran sel limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Fungsi lainnya adalah menstimulasi proliferasi sel limfosit karena dapat
memicu pembentukan interleukin IL. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, senyawa fenolik dapat menyebabkan kematian sel karena kemampuannya untuk
berikatan dengan protein membran. Protein yang berikatan akan berubah fungsi dan menyebabkan kerusakan membran Tang, 1991.
Flavonoid adalah komponen regular dari diet, terdapat juga pada buah dan sayuran. Flavonoid bersifat non toksik, inert atau semi essensial untuk kesehatan
Middleton dan Kandaswarni, 1993. Penelitian untuk melihat aktivitas imunomodulator dari senyawa fenol telah banyak dilakukan. Menurut Rizzi et al
1993, senyawa flavonoid, triterpen atau alkaloid pada tanaman kumis kucing Uncaria tomentosa memiliki aktivitas imunostimulan. Senyawa triterpenoid
yang termasuk senyawa fenol dari akar licorice yaitu glycyrrhizin dapat menginduksi aktivitas interferon dan meningkatkan aktivitas sel NK Abe et al,
1992.
2. 6 Proliferasi Sel Limfosit
Limfosit merupakan sel tunggal yang bertahan baik saat dikultur dalam media sintetik lengkap. Sel limfosit sesuai dengan peranannya dapat
berproliferasi. Proses proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar pada sel limfosit, meliputi proses diferensiasi dan pembelahan sel. Aktivitas proliferasi sel
limfosit merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengukur status imunitas karena proliferasi menunjukkan kemampuan dasar dari sistem imun
Roitt, 1991. Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan
sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau mitogen
Rosse et al, 1994. Menurut Kresno 1991, respon sel limfosit terhadap mitogen
24
dianggap menyerupai respon sel limfosit terhadap antigen, sehingga uji proliferasi dengan rangsangan mitogen banyak digunakan untuk menguji fungsi sel limfosit.
Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel limfosit T maupun sel limfosit B dalam persentase tinggi. Beberapa mitogen hanya mampu
mengaktivasi sel B, beberapa lagi hanya mampu mengaktivasi sel T tapi ada pula mitogen yang mampu mengaktivasi populasi keduanya. Sebagai contoh mitogen
concanavalin A Con A yang berasal dari bibit jack bean Canavalia ensiformis dapat merangsang proliferasi dari sel T, sedangkan mitogen lipopolisakarida
LPS yang berasal dari dinding sel bakteri gram negatif dapat merangsang proliferasi dari sel B. Untuk mitogen pokeweed PWM yang berasal dari tanaman
pokeweed Phytolacca americana dapat menstimulasi proliferasi dari sel T maupun sel B Kuby, 1992.
2. 7 Kultur Sel
Teknik kultur sel adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengembangbiakkan sel diluar tubuh atau dikenal sebagai salah satu teknik in
vitro. Pada teknik kultur, spesifisitas sel harus diperhatikan karena pada awalnya didalam tubuh, sel-sel bekerja secara integritas dalam suatu jaringan, sedangkan
dalam kultur, sel terpisah-pisah. Selain itu, teknik ini harus dilakukan dalam kondisi steril karena sel tumbuh lebih lambat daripada kontaminan Freshney,
1994. Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang
kompleks seperti di dalam tubuh. Malole 1990 menyatakan bahwa dalam teknik ini, sel-sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tetap bertahan
hidup, berkembang dan berdiferensiasi. Jumlah dan kualitas media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam kultur. Pemilihan media harus
didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Walau demikian, menurut Freshney 1994,
teknik kultur sel memiliki kelebihan karena lingkungan tempat hidup sel seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO
2
dan O
2
dapat dikontrol dan diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan.
25
Terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel di dalam kultur dengan sel di dalam tubuh, antara lain hilangnya interaksi spesifik antar sel pada jaringan
secara in vitro karena sel tersebar dan mudah bergerak. Selain itu siklus pertumbuhan sel akan meningkat karena adanya kemungkinan sel berproliferasi.
Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem syaraf dan sistem endokrin. Tanpa
pengaturan ini, metabolisme selular in vitro menjadi lebih konstan dari in vivo. Kondisi ini kurang mewakili jaringan tempat sel tersebut berasal sehingga
dibutuhkan penambahan hormon dalam kultur. Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel yang dikultur secara in vitro berasal dari glikolisis sedangkan
metabolisme sel didalam tubuh berasal dari glikolisis, daur Krebs dan transport elektron Freshney, 1994.
Fungsi utama media pada teknik kultur sel adalah untuk mempertahankan pH dan osmolalitas essensial untuk viabilitas sel serta penyedia nutrisi dan energi
yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel Cartwright dan Shah, 1994. Media untuk pertumbuhan sel harus mengandung asam amino, vitamin,
glukosa, garam, berbagai suplemen organik seperti protein, peptida, nukleosida dan lipid serta hormon dan faktor pertumbuhan. Media Roswell Park Memorial
Institute atau media RPMI-1640 adalah media kultur sel terbaik untuk menumbuhkan sel limfosit tikus atau mencit dan sel limfosit manusia untuk
jangka pendek. Junge et al., 1970. Menurut Cartwright dan Shah 1994, serum merupakan suplemen
peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyaknya faktor pertumbuhan, perlindungan sel dan faktor nutrisi yang
dikandungnya. Kandungan tersebut dapat dibagi dalam beberapa polipeptida spesifik yang menstimulasi pertumbuhan sel growth factor, protein pengangkut,
agen pelindung sel, faktor pelekatan dan nutrisi. Beberapa faktor pertumbuhan bersifat essensial karena ketidakberadaannya dapat menginisiasi peristiwa
apoptosis. Menurut Junge et al. 1970, ada lima faktor yang harus diperhitungkan
untuk memilih serum sebagai suplemen media, antara lain : a.
Makromolekul yang dapat melindungi atau mendorong pertumbuhan dalam kondisi yang kurang menguntungkan.
26
b. Mikromolekul seperti nukleotida, vitamin, hormon, ko-enzim sebagai nutrisi
esensial yang tidak terdapat dalam media. c.
Faktor yang menetralisir atau berkombinasi dengan stimulan, termasuk antibodi.
d. Kehadiran antibodi ke sisi antigen dengan permukaan reseptor antigen pada
antibodi, dimana hal tersebut bisa bersifat sebagai stimulator atau sitotoksik. e.
Adanya Antigen asing, dimana serum heterolog akan memberikan banyak tenaga untuk antigen potensial.
Penambahan antibiotik pada media kultur sel dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik
untuk kultur sel adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba luas, ekonomis dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan
mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang banyak digunakan adalah campuran penicilin 100 IUml dan streptomycin 50 µgml. Gentamycin 50 µgml sering
digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amphotericin B 2,5 µgml dan
nystatin sebanyak 25 µgml Cartwright dan Shah, 1994. Kultur sel secara in vitro membutuhkan kondisi lingkungan yang sama
dengan keadaan di dalam tubuh. Kondisi tersebut akan mempengaruhi proses biologis yang terjadi dalam kultur sel, sehingga dapat berlangsung mendekati
keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh tersebut diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan, pH serta fase gas yang sesuai
untuk pertumbuhan sel Malole, 1990. Pengamatan terhadap proses pertumbuhan sel secara in vitro memiliki beberapa kelebihan dibanding metode in vivo antara
lain; keadaan lingkungan pertumbuhan dapat stabil karena diamati secara langsung, selain itu karakteristik dari sel yang ingin ditumbuhkan dapat diatur
Harrison dan Freshney, 1997. Sel limfosit diperoleh dari darah donor pria sehat yang diambil oleh
seorang suster di klinik secara aseptis menggunakan tabung vacutainer steril. Pemisahan sel limfosit sebagian besar berdasarkan pada densitas sel yaitu proses
sentrifugasi dan penggunaan larutan ficoll-hystopaque. Sel limfosit yang memiliki densitas lebih rendah dibanding komponen darah perifer akan berada pada bagian
atas dan dapat dibedakan secara visual sehingga mudah untuk dipisahkan. Setelah
27
sel limfosit berhasil diisolasi, dilakukan proses penghitungan jumlah sel limfosit secara manual dan visual dengan bantuan mikroskop pada perbesaran 400x,
hemasitometer dan pewarna biru trifan. Jumlah sel limfosit yang didapat ditepatkan menjadi 2x10
6
selml dengan cara diencerkan menggunakan media RPMI standar. Dengan jumlah tersebut, diharapkan sel limfosit akan dapat
bertahan hidup serta melewati siklus pertumbuhannya selama waktu inkubasi 72 jam. Inkubasi selama 72 jam terhadap sel limfosit bertujuan untuk menyesuaikan
siklus pertumbuhan dengan ketersediaan nutrisi dari medium Freshney 1994. Menurut Freshney 1994, medium pertumbuhan RPMI untuk sel
limfosit berfungsi maksimal selama tiga hari. Untuk kulturisasi lebih lama harus dilakukan penyegaran media serta penambahan glutamin. Pernyataan tersebut
didukung oleh Paul 1972, yang mengemukakan bahwa kultur sel limfosit manusia harus dihitung dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, karena bila
melewati waktu tersebut akan terjadi kematian pada sel secara perlahan. Jumlah sel limfosit hidup setelah ditambahkan ekstrak akan dibandingkan dengan jumlah
sel limfosit hidup tanpa penambahan ekstrak dengan melihat peningkatan ataupun penurunan jumlahnya selama 72 jam.
Penelitian yang menggunakan teknik kultur sel telah diterapkan pada berbagai komoditi pangan. Salah satunya adalah penelitian dari Tejasari 2000
yang meneliti efek proteksi komponen bioaktif oleoresin rimpang jahe terhadap fungsi limfosit secara in vitro. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa komponen bioaktif dari jahe yaitu oleoresin, gingerol dan shogaol pada kondisi normal dapat meningkatkan proliferasi sel B secara optimal pada
konsentrasi 50 µgml, sedangkan peningkatan proliferasi sel T hanya ditunjukkan oleh senyawa gingerol. Pada kondisi stres oksidatif, senyawa oleoresin, gingerol
dan shogaol dapat meningkatkan proliferasi sel T pada konsentrasi 50-100 µgml, tetapi peningkatan proliferasi sel limfosit B hanya ditunjukkan oleh senyawa
gingerol pada konsentrasi 50 µgml dengan persentase peningkatan sebesar 90. Penelitian lain yang menggunakan teknik kultur sel adalah penelitian dari
Amirghofran et al 2000 yang melaporkan bahwa ekstrak tanaman Echium amoneum dengan konsentrasi 10 µgml mampu meningkatkan proliferasi sel
limfosit, sedangkan pada konsentrasi di atas 700 µgml, ekstrak Echium amoneum akan menghambat proliferasi dari sel limfosit.
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian Bogor, serta Laboratorium
Biokimia Pangan dan Gizi, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dari bulan April sampai November
2008.
3. 2 Bahan dan Alat
3. 2. 1 Bahan
Serealia jenis sorgum varietas Kawali dan ketan hitam varietas Setail dibeli dari petani di daerah Gunung Kidul, Jawa Tengah. Untuk jewawut varietas
Pearl dibeli di pasar burung Bogor, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi adalah air bebas ion dan
aseton 70 sebagai pelarut. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat adalah K
2
SO
4
, HgO, H
2
SO
4
pekat, NaOH-Na
2
S
2
O
3
, asam borat, HCl 0,02 N dan indikator metil merah serta metil biru. Untuk analisis fenol total dan
aktivitas antioksidan bahan-bahan yang digunakan adalah larutan DPPH atau 2,2- dypheny-1-picrylhydrazil Sigma, USA, metanol, HPO
3
, asam tanat, asam askorbat dan sodium bikarbonat. Untuk uji aktivitas imunmodulator bahan-bahan
yang digunakan adalah darah dari donor yang sehat, media RPMI-1640 Sigma, USA, aquades, etanol 70, antibiotik gentamycin, ficoll-histopaque Sigma,
USA, mitogen concanavalin A Con A dan lipopolisakarida LPS, serum darah AB, phosphat buffer saline PBS, NaHCO
3
anhidrous, EDTA 0,1, Aquabides, pereaksi MTT atau 3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-diphenyltetrazolium bromide
Sigma, USA dan HCl-isopropanol 0,04 N.
3. 2. 2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian meliputi alat penyosoh Satake Grain Mill kapasitas 200 gram, alat persiapan sampel antara lain blender kering
Maspion kapasitas 100 gram, peralatan gelas, kompor, panci, kain saring, kertas saring Whatman no. 42, syringe, membran steril Sartoril dan tabung eppendorf.
Alat-alat untuk analisa proksimat antara lain oven kering, oven vakum, gegep, neraca analitik, erlenmeyer 100 ml, cawan alumunium, labu Kjeldahl, pipet 5 ml,
29
3 ml dan 10 ml, alat destruksi, alat destilasi, buret, gelas piala, sudip dan gelas pengaduk. Alat-alat untuk analisis fenol total dan aktivitas antioksidan antara lain
spektrofotometer Spectronic, kuvet, tabung reaksi, gelas piala, botol gelap, mikropipet, pipet 5 ml dan vorteks. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi
limfosit dan kultur sel adalah tabung vacutainer steril, sentrifuse CR412, tabung sentrifuse steril 15 ml disposible Nunc, mikropipet, mikrotip, vorteks,
hemasitometer Bright-line, mikroskop Olympus CH 20, lempeng mikrokultur 96 sumur Costar, laminar flow hood, inkubator CO
2
VWR Scientific dan spektrofotometer Microplate Reader Bio-Rad model 550.
3. 3 Tahapan Penelitian
Penelitian dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1 Tahap penentuan dua waktu sosoh serealia, 2 Tahap penentuan satu waktu sosoh serealia, 3 Tahap
evaluasi aktivitas immunomodulator serealia. Untuk lebih jelasnya diagram alir proses penelitian untuk sorgum, jewawut dan ketan hitam disajikan pada Gambar
11, 12 dan 13.
Gambar 11. Diagram alir proses penelitian pada sorgum
Dedak
Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara In Vitro meliputi : 1.
Persiapan media kultur sel 2.
Isolasi sel limfosit manusia 3.
Penghitungan sel limfosit manusia dengan biru trifan 4.
Uji Proliferasi Sel Limfosit Manusia secara in vitro dengan MTT Penyosohan
0, 20, 60, 100 detik Analisa meliputi ;
1. Penghitungan Rendemen
2. Analisis proksimat Kadar Air,
Protein, Karbohidrat, Lemak, Abu.
3. Fenol total
4. Aktivitas antioksidan DPPH
Biji sorgum sosoh Biji sorgum
Optimasi waktu pemasakan dan Perbandingan air Tabel 6
Uji Organoleptik Rasa, warna, aroma, tekstur
Dua waktu sosoh terbaik
Satu waktu sosoh terbaik