Dengan membagi graf hasil analisis Teks D dalam beberapa subgraf, akan diperoleh
sebuah pembahasan yang saling terkait, yaitu: Pemerintah v6 akan memberikan insentif
v3 bagi masyakat v9 Indonesia v4 yang mau bekerja sebagai petani v1, karena
sebagian besar masyarakat v9 Indonesia v4 sudah tidak ingin memiliki profesi v11
sebagai petani v1. Indonesia v4 dikenal sebagai salah satu negara v5 pertanian v10
karena dahulu sebagian besar masyarakatnya v9 bekerja sebagai petani v1. Sebagai
negara v5 pertanian v10, maka wajiblah memperhatikan kesejahteraan petani vA agar
rakyatnya v9 memperoleh pangan v2 yang cukup.
Dengan demikian, aturan ini dapat digunakan untuk memperoleh abstraksi dari
suatu teks berbahasa Indonesia, namun hal ini hanya dapat dilakukan secara manual
dikarenakan adanya faktor subjektivitas. Aturan ini juga terbatas pada relasi tertentu
saja, yaitu PAR, SUB, dan CAU.
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Teori knowledge graph dapat diterapkan dalam abstraksi teks berbahasa Indonesia.
Dengan menggunakan aturan hasil penelitian, teori
knowledge graph dapat
merepresentasikan teks berbahasa Indonesia dalam bentuk graf.
Perubahan threshold dapat memengaruhi hasil abstraksi. Semakin besar threshold,
maka semakin sederhana bentuk abstraksi tetapi akan lebih banyak informasi yang
hilang. Sebaliknya, semakin kecil threshold maka semakin rumit bentuk abstraksinya,
tetapi akan lebih sedikit kehilangan informasi.
5.2 Saran
Penelitian ini masih dapat dilanjutkan lagi dengan membuat aturan dalam pembentukan
graf paragraf yang memperhatikan kata hubung antarkalimat dan antarparagraf yang
terdapat dalam teks.
Bagi mahasiswa yang berminat untuk membuat sebuah algoritme atau menjadikan
sebuah program komputer, perlu dilakukan penyesuaian aturan karena penelitian ini
masih mempertimbangkan kesalahan penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Aji GB. Mencermati Kebijakan Ketahanan Pangan.
http:jawabali.comblogmencermati- kebijakan-ketahanan-pangan. [8 Jun
2010].
Altin D. Meng-INSENTIF-kan PETANI. http:www.ubb.ac.idmenulengkap.ph
p?judul=Meng-INSENTIF- kan20PETANInomorurut_artikel
=186. [10 Agus 2010].
Berg H van den. 1993. Knowledge Graph and Logic: One of Two Kinds [disertasi].
Enschede, The Netherlands: University of Twente. ISBN 909006360-9.
Chartrand G, Oellermann OR. 1993. Applied and Algorithmic Graph Theory
. New York: McGraw-Hill, Inc.
Hoede C, Nurdiati S. 2008a. On Word Graphs and Structural Parsing, University of
Twente, Memorandum 1871, ISSN: 1874-4850.
Hoede C, Nurdiati S. 2008b. 25 Years Development of Knowledge Graph
Theory: The Results and The Challenge. Di dalam: the 3
rd
International Conference on Mathematics and Statistics ICOMS-3,
Institut Pertanian Bogor, Indonesia, 5-6 Agu 2008.
Ikhwati A. 2007. Analisis Masalah Kemiskinan Menggunakan Teori
Knowledge Graph [skripsi]. Bogor:
Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Keraf G. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan
Menengah . Jakarta: PT Grasindo.
Lassa J. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005.
http:id.shvoong.comhumanities1793 569-politik-ketahanan-pangan-
Indonesia-1950. [20 Des 2009].
Martaja. Solidaritas Nasional Ketahanan Pangan.
http:www.gizi.netcgi- binberitafullnews.cgi?newsid1130393
258,18187. [20 Des 2009]. Rusiyamti. 2008. Analisis Teks Berbahasa
Indonesia Menggunakan Teori Knowledge Graph
. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Waridah E. 2008. EYD dan Seputar
Kebahasa-Indonesiaan . Jakarta:
Kawan Pustaka. Wilson RJ, Lowell WB. 1979. Applications of
graph theory . London New York San
Fransisco: Academic Press. Wulandari A. 2008. Algoritme Pembentukan
Combined Graph dan Simplified Graph
dari Dokumen Berbahasa Indonesia. [skripsi]. Bogor: Program Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. Zhang L. 2002. Knowledge Graph Theory and
Structural Parsing. Enschede, The
Netherlands: Twente University Press.
VII LAMPIRAN
Lampiran 1 Teks A Solidaritas Nasional Ketahanan Pangan
28 Oktober, 2005 Oleh : Martaja
Ketahanan pangan menunjukkan eksistensinya, jika setiap rumah tangga selalu dapat mengakses,
secara fisik maupun ekonomi, memperoleh pangan yang cukup aman dan sehat bagi seluruh anggotanya FAO, 1996. Artinya, titik berat kondisi ketahanan pangan terletak pada tingkat rumah tangga.
Ketahanan pangan ini harus mencakup aksesibilitas, ketersediaan, keamanan dan kesinambungan. Aksesibilitas di sini artinya setiap rumah tangga mampu memenuhi kecukupan pangan keluarga dengan
gizi yang sehat. Ketersediaan pangan adalah rata-rata pangan dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan konsumsi di tingkat wilayah dan rumah tangga. Sedangkan keamanan pangan dititikberatkan pada
kualitas pangan yang memenuhi kebutuhan gizi.
Kesinambungan dalam konteks ini bukan hanya untuk memenuhi kecukupan pangan dalam jangka waktu tertentu, bahkan dirancang untuk masagenerasi mendatang, lebih-lebih akibat kenaikan harga
bahan bakar minyak BBM 1 Oktober 2005 maka penanggulangan kemiskinan akan berkepanjangan. Ketahanan pangan merupakan basis ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional secara
berkesinambungan.
Manakala pemenuhan kebutuhan pangan harus berkesinambungan, maka berbagai aktivitas pertanian harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan ini perlu adanya sistem
ketahanan pangan yang handal, yang bertumpu pada optimalisasi pemanfaatan potensi keragaman sumber daya pangan lokal.
Untuk mencapai ketahanan ekonomi dan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, perlu ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap rumah tangga. Guna mewujudkan ketahanan pangan perlu
memperhatikan tiga subsistem yang saling terkait, yaitu subsistem produksi produsenpetani sebagai pelaku, subsistem konsumsi konsumen sebagai pelaku dan subsistem distribusi distributor dan
pedagang.
Ketersediaan merupakan salah satu unsur penting dalam konsep ketahanan pangan. Tetapi bukan berarti bahwa itu telah menjamin terwujudnya ketahanan pangan. Kalau pun stok nasional cukup, hal itu
tidak menutup kemungkinan merebaknya kasus busung lapar, karena kemiskinan juga dapat membatasi akses mereka mendapatkan pangan yang dibutuhkan.
Solidaritas Nasional Parameter kemiskinan dari World Bank berdasarkan pada perbandingan tingkat pendapatan
pendudukrumah tangga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimum. Hanya saja, kemiskinan bukan hanya melibatkan kesejahteraan materi, tetapi mencakup
perluasan akses dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Melambungnya harga BBM mengakibatkan jumlah keluarga miskin membengkak secara drastis. Makanya, komitmen yang kuat dari pemerintah amat diperlukan, yakni dengan memprioritaskan program
peningkatan ketahanan pangan yang terintegrasi dengan program peningkatan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan. Ini tidak cukup dengan partisipasi petani atau kelompok tani, tetapi juga
harus melibatkan pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Kini pemerintah perlu merekonstruksi kebijakan pangan dari swasembada ke ketahanan pangan dengan memperhatikan ketersediaan kuantitas dan kualitas pangan. Selain itu, kemandirian dan
kedaulatan pangan hendaknya dikembangkan dari ketahanan pangan keluarga ke ketahanan pangan komunitas, ketahanan pangan daerah, dan nasional. Artinya, pengembangan dan pemantapan ketahanan
pangan baru bisa terwujud, jika terjalin kerja sama kolektif dan sinergis di antara pihak-pihak terkait.
Khususnya masyarakat produsen, pengelola, pemasar dan konsumen pangan. Solidaritas nasional ketahanan pangan ini hendaknya segera disosialisasikan dan digalakkan mulai dari birokrat, legislatif
hingga masyarakat luas. Semua komponen tadi harus memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan kelaparan.
Lumbung Desa Gerakan nasional peduli masyarakat miskin dan kerawanan pangan di tengah melonjaknya kenaikan
harga barang dan jasa pasca-kenaikan harga BBM ini harus menjadi gerakan bersama, bukan hanya sebagai gerakan dari salah satu sektor. Kebanyakan petani di Indonesia adalah bagian dari masyarakat
miskin. Sektor pertanian kian berat untuk mengangkat kesejahteraan dan martabat para petani. Jeritan petani terhadap kebijakan pemerintah yang tidak populis harus diakomodasi. Hal ini tak
mungkin dilakukan hanya dengan bantuan tunai langsung Rp 100.000,- per bulan. Kebijakan yang tak berpihak pada petani selama ini antara lain penetapan harga dasar gabah dan beras yang selalu
dikendalikan pemerintah, sementara harga barang dan jasa di luar produk pertanian tidak terkendalikan. Pemerintah perlu segera mengubah kebijakan yang merugikan petani tersebut. Jika tidak, ke depan
kerawanan pangan akan tetap sulit teratasi.
Pemerintah perlu menumbuhkembangkan lumbung desa dengan penanganan secara profesional, karena eksistensinya di tingkat desa dan rumah tangga mampu mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini
mendesak dilakukan menghadapi kerawanan pangan pasca-kenaikan harga BBM. Pengelolaan lumbung desa sangat bermanfaat sebagai cadangan pangan.
Sebaiknya pemerintah aktif melakukan penyuluhan dan pembinaan, serta memberikan informasi terlebih dulu agar masyarakat bisa mengetahui manfaat dan tujuannya secara jelas dan pasti. Peran aktif
masyarakat pedesaan dalam mengembangkan cadangan pangan akan mendukung mantapnya ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.
Biasanya kesuksesan suatu program yang dicanangkan disertai demplot demonstrasi plot dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat di sekitarnya. Pendekatan model ini cukup ampuh dan besar
pengaruhnya di masyarakat.
Lampiran 2 Teks B
Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005 Maret 24, 2008
Oleh: Jonatan Lassa Bahwa swasembada beras identik dengan ketahanan pangan sudah sangat lama terjadi di Indonesia.
Ini seperti mitos yang direproduksi ulang dari masa ke masa. Ketersediaan beras di gudang Bulog kerap dijadikan basis ketahanan pangan di level provinsi maupun kabupaten. Hal ini mengindikasikan
pengutamaan beras sebagai indikator ekonomi nasional. Beras telah menjadi sumber pangan dominan di Indonesia. Tingginya ketergantungan pada beras di daerah seperti Timor, Maluku, Papua, dan Kalimantan
telah terjadi sejak jaman kolonial memberlakukan perdagangan antarpulau di Nusantara. Politisasi beras masa Suharto dibangun pada pola yang sudah terbawa sejak masa kolonial. Karenanya, menuduh Suharto
sebagai biang politisasi beras dan penyebab diskriminasi pangan lokal adalah tuduhan yang tidak sepenuhnya benar Reid 1984 di dalam Lassa, 2005.
Lassa 2005, mengutip dari berbagai sumber, menyebutkan bahwa kebijakan harga beras telah menjadi basis kebijakan pangan dan beras lebih dari 300 tahun, sejak masa kolonial. Pemerintah Kolonial
Belanda menginginkan harga buruh yang murah bagi investasi pertaniannya di Nusantara. Karena beras sangat penting bagi konsumsi keluarga, maka harga dasar pangan utama tersebut selalu ditekan rendah.
Kebijakan yang sama di era presiden Sukarno dilandasi oleh motivasi dukungan politik, sementara di era pemerintahan Suharto beras dibaptis menjadi barometer ekonomi pembangunan sekaligus sebagai alat
politik.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa kebijakan pangan Indonesia sejak 1952 sampai sekarang selalu dalam kerangka untuk mencapai swasembada beras di tingkat nasional. Ketika penggunaan beras oleh
sebagian besar masyarakat mulai dianggap memberatkan pemerintah, maka pemerintah 1969 mempopulerkan slogan pangan bukan hanya beras lewat Project Applied Nutrition Program. Tujuannya,
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan memanfaatkan bahan pangan lokal sehingga tidak terjadi kelaparan. Pada saat yang sama, pemerintah juga mengenalkan beras tekad yang dibuat dari bahan
pangan singkong, sebagai pengganti beras. Di tingkat nasional dibentuk panitia penganekaragaman menu makanan rakyat, dan pejabat pemerintah melakukan kampanye makan pangan nonberas oleh para pejabat
maupun sang istri yang sayang sekali tidak menyentuh masyarakat luas. Tetapi, upaya penganekaragaman yang dilakukan pemerintah tampak paradoks karena di saat yang sama semua pegawai negeri, termasuk
TNI, mendapat jatah beras. Kelahiran Badan Urusan Logistik Bulog tahun 1967, sejak awal diproyeksikan untuk menjaga
ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme: stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Bulog berfungsi sebagai pengontrol harga beras dengan cara mematok harga beras
domestik secara signifikan lebih tinggi dari harga beras dunia. Pada akhir 1980, Bulog tetap ditugasi untuk memerankan kontrol pasar perberasan Indonesia tetapi sedikit diperluas untuk menangani
komoditas pangan lain seperti gula pasir, gandum, jagung, kedelai dan sejumlah komoditas lainnya. Order Baru sempat mengganti orientasi kebijakan pangan dari swasembada beras ke swasembada pangan secara
umum pada Repelita 3 dan 4 1979 – 1989. Hasilnya sempat dirasakan pada tahun 1984 di mana Indonesia mencapai level swasembada pangan. Akan tetapi, pencapaian swasembada pangan tahun 1984
ini tidak mampu dijaga secara berkelanjutan.
Kebijakan revitalisasi pertanian yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono SBY berupaya mencapai swasembada beras maupun pangan alternatif nonberas seperti jagung, singkong.
Pembangunan sektor agribisnis juga dilakukan dalam revitalisasi pertanian, untuk terciptanya nilai tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih baik. Akan tetapi, upaya
mencapai swasembada pangan tersebut tidak disertai oleh upaya penguatan ketahanan pangan. Peristiwa kelaparan dan malnutrisi di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan hal ini.
Produksi pangan sebagaimana yang menjadi target dari swasembada pangan hanya salah satu dari faktor penentu dari ketahanan pangan. Ketahanan pangan bukan persoalan produksi semata tetapi juga
pada soal management investasi pada sektor-sektor nonpangan dan nonpertanian sebagai bagian integral dari pencapaian ketahanan pangan. Oleh karenanya, swasembada tingkat nasional tidak serta merta
menjawab persoalan distribusi pangan dan akses atas pangan secara adil dan merata. Terkait dengan globalisasi perdagangan, beberapa negara mengubah kebijakan ketahanan pangannya. Sebagai contoh,
Malaysia mendefinisikan ulang ketahanan pangannya sebagai swasembada 60 pangan nasional dan 40 sisanya didapatkan dari impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.
Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda.
Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan perkotaan, yang sangat membutuhkan pangan murah. Untuk pemenuhan ketahanan pangan kota, tidak mudah bagi Indonesia
untuk mengabaikan perdagangan pangan global, kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus menghadapi
cara bagaimana memproteksi petani kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global. Dilema bagi Indonesia adalah bahwa petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil. Sayangnya
harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih
baik bagi kaum miskin.
Lampiran 3 Teks C
Mencermati Kebijakan Ketahanan Pangan Mei 6, 2008
Oleh: Gutomo Bayu Aji
Pemerintah tampaknya belum menentukan respons strategis atas situasi krisis pangan yang mengguncang dunia saat ini. Sebagaimana diketahui harga pangan dunia khususnya beras melambung di
atas 1.000 dolar AS per ton. Kalangan internasional mengibaratkan krisis ini sebagai silence tsunami yang mengancam ketahanan
pangan, konflik, dan kelaparan hingga akhir tahun ini. Di dalam negeri walaupun harga beras masih bisa ditekan pada kisaran 500 dolar AS per ton, gelombang krisis yang panjang bisa menyebabkan kelangkaan
pangan dunia dan memengaruhi ketahanan pangan nasional kita. Apalagi, jika produksi beras nasional
tidak bisa dipertahankan pada level aman akibat laju alih fungsi lahan dan perubahan iklim global yang memicu bencana alam, seperti banjir dan kekeringan.
Alih-alih menentukan sikap dan respons nasional untuk melindungi kelompok yang paling rentan dari kemungkinan jahatnya liberalisasi di balik situasi krisis pangan dunia ini, persepsi antara Presiden
dan Menteri Pertanian belum sama. Sebagaimana terlihat pada kunjungannya ke Palangkaraya beberapa waktu lalu, Presiden mengimbau agar masyarakat tidak gamang karena Indonesia memiliki potensi lahan
yang luas yang bisa digunakan untuk meningkatkan produksi.
Sebelumnya, Mentan menulis artikel di sebuah media cetak nasional yang merisaukan keterbatasan lahan pertanian kita dan kecepatan alih fungsinya saat ini yang mencapai 3,1 juta ha. Atas persoalan
keterbatasan lahan itu, Mentan meyakini bahwa optimalisasi modernisasi pertanian, bukan perluasan lahan, yang akan menentukan ketahanan pangan nasional kita ke depan.
Dilema modernisasi Pilihan optimalisasi modernisasi pertanian di tengah situasi krisis sebagaimana yang diyakini oleh
Mentan sekarang juga menjadi pilihan rasional banyak negara yang terutama dimotori oleh AS. Hal ini antara lain terlihat dari solusi baru yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan rekayasa genetik khususnya
di bidang pangan untuk mengatasi situasi krisis sekarang ini melalui penggunaan bibit hibrida. Keyakinan seperti itu bukannya belum pernah dijalankan di negeri ini. Sejak akhir 1960-an sampai
dengan 1980-an, pemerintah telah dengan sangat gencar memperkenalkan program modernisasi pertanian utamanya melalui penggunaan bibit unggul yang kemudian ditunjang dengan teknologi pertanian baru
dikemas dalam program Bimas dan Inmas. Keberhasilan program ini mulai dirasakan sejak awal 1970-an berupa peningkatan hasil produksi
padi yang berimbas pada pembangunan desa-desa. Namun, keberhasilannya itu diikuti dengan kegagalan yang dirasakan hingga sekarang.
Sebagaimana dijelaskan oleh Frans Husken 1998, ketimpangan penguasaan lahan dan naiknya harga bibit, pupuk, obat, dan fasilitas kredit pertanian akhirnya hanya menguntungkan petani kaya yang
mampu. Namun, telah merugikan petani kecil yang merupakan mayoritas. Sukses program modernisasi pertanian secara nasional telah diikuti oleh proses diferensiasi sosial
yang luas di daerah-daerah perdesaan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila produksi beras nasional mengalami kecukupan, tetapi banyak penduduk miskin di daerah perdesaan kekurangan pangan,
bahkan menderita gizi buruk dan busung lapar. Hal ini karena mereka terjerat harga-harga dan fasilitas kredit pertanian yang diberikan oleh pemerintah.
Perluasan lahan Ide mengenai perluasan lahan pertanian sesungguhnya telah dimulai sejak Presiden Sukarno. Dalam
pidatonya, beliau pernah menyarankan agar dilakukan program intensifikasi pertanian di lahan yang tidak produktif, seperti lahan kering dan lahan gambut termasuk yang ada di Kalimantan. Ide brilian ini
mengombinasikan program modernisasi pertanian nonliberalisasi dengan tuntutan reformasi agraria. Ide serupa tampaknya pernah diwujudkan oleh Presiden Suharto melalui pembukaan lahan gambut
sejuta hektare walaupun akhirnya gagal. Meski demikian, terlepas dari kegagalannya itu perlu dicatat bahwa ada political will untuk melakukan perluasan lahan pertanian.
Hal ini penting mengingat rata-rata penguasaan lahan pertanian hanya 0,3 hektare, sementara distribusi pemanfaatan lahan antara sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan dirasakan kurang
proporsional dalam konteks ketahanan pangan sekarang. Persoalannya adalah apakah pemerintah sekarang mempunyai political will yang lebih besar dan
berani melakukan terobosan baru melalui kombinasi antara jalan restrukturisasi pemanfaatan lahan dengan revitalisasi pertanian nonliberal yang lebih mengutamakan kearifan lokal? Jika ya, mungkin kita
masih bisa berharap tercapainya swasembada pangan. Namun, jika hanya modernisasi pertanian ala liberal yang menjadi tumpuan kebijakan dan strategi
ketahanan pangan nasional sekarang, mungkin pemerintah bisa mengamankan stok atau produksi nasional tetapi jumlah penduduk miskin dari kelompok paling rentan di daerah-daerah perdesaan akan meningkat.
Tentu akan pula diwarnai dengan berita kekurangan pangan serta kejadian gizi buruk dan busung lapar.
Lampiran 4 Teks D Meng-INSENTIF-kan PETANI
Oktober 9, 2008 Oleh: Darus Altin
Petani sebenarnya merupakan salah satu unsur penentu kemajuan suatu bangsa, apalagi culture atau
frame Indonesia sebagai sebuah Negara Agraris yang mungkin sekarang hampir hilang citra tersebut. Jika
kita lihat negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Australia, bahkan Thailand dan Vietnam sendiri mampu meningkatkan level kesejahteraan petani setara dengan profesi lain yang
hidup dalam masyarakat. kutipan: Media Indonesia, Editorial 24 April 208. Kutipan di atas, benar-benar menggelitik bangsa kita, bagaimana tidak. Dengan usia bangsa yang
kurang lebih 63 tahun, kunci sebuah kemakmuran “petani” di negeri ini, hanyalah sekedar dijadikan sebuah simbol ketahanan pangan. Kenaikan Harga Pokok Pembelian HPP berasgabah seperti sekarang,
ternyata tidak meningkatkan harkat dan martabat kaum petani. Jika kita tinjau, pemerintah berfikir bahwa dengan menaikkan Harga Pokok Pembelian kedelai, beras, dan hasil tani lainnya itu merupakan salah satu
cara untuk memberikan insentif bagi petani sehingga berdampak bagi penambahan produktivitas hasil tani.
Atau pemberian subsidi berupa alat-alat pertanian, pupuk, bibit tanaman itu juga merupakan salah satu insentif bagi petani. Hal tersebut memang bukanlah langkah yang salah dari pemerintah Namun, pada
prakteknya masih terdapat pemanfaatan tenaga petani hanya sebagai tukang produksi beras, kedelai, jagung, dan sebagainya. Di belahan Indonesia, terutama wilayah Jawa, banyak petani hanya menjadikan
petani sebagai alat bagi segelintir orang yang mengaku dirinya berperan penting untuk kesejahteraan hidup petani.
Pada kenyataannya, petani-petani di Indonesia sebagian besar hidup dalam kategori penduduk miskin. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Peneliti-peneliti kita mengatakan hal tersebut
dikarenakan adalah kurang terorganisirnya petani, walaupun kenyataannya sudah Himpunan Keluarga Tani Indonesia HKTI, atau terlalu banyak para eksportirimportir Indonesia yang justru malah
mempermainkan harga pasaran produk-produk pertanian kita, kemudian tumpang tindihnya atau perbedaan masalah pendataan hasil-hasil pertanian terutama gabah dan beras sebagai bahan makanan
pokok rakyat Indonesia. Ini terbukti.
Misalnya data produksi gabah dan beras yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian, berbeda dengan data yang dikeluarkan oleh HKTI, Perum Bulog maupun BPS. Sehingga data yang
terpublikasikan oleh institusi-institusi tersebut jadi membingungkan. sumber Bali Pos, Artikel, 17 Februari 2007
Kejadian-kejadian tersebut hanya segelintir informasi yang menunjukkan carut-marutnya kondisi petani di Indonesia tercinta ini. Pekerjaan besar tentunya bukan hanya tugas penting Departemen
Pertanian untuk mengatasi hal ini. tapi sinergi yang kuat dari unsur manapun harus dilibatkan supaya tidak terjadinya simpang siur pemberitaan.
Berbicara insentif, tentunya salah satu alat pemuas bagi setiap individu. Jika petani di Indonesia, masih tidak diperhatikan untuk kesejahteraan, sampai kapanpun tetap dalam kondisi yang stagnan.
Sebagai contoh di Jepang, saat minat menanam padi mengalami penurunan, para petani memperoleh insentif ketika bersedia menanam padi. Jika panen mereka melampaui target, insentifnya tambah. Kalau
ada petani yang mau menanami lahan pertanian nonpadi, insentifnya akan bertambah besar lagi. Insentif tertinggi diberikan apabila para petani padi tersebut menanami lahan nonpertanian yang masih
menganggur. Apakah kita berani menerapkan hal seperti itu? Jawabannya sekarang kita tunggu
Jika pemerintah berani mengambil langkah-langkah lain yang kongkret untuk kesejahteraan petani, mungkin masa-masa yang akan datang, banyak warga negara yang berani mengatakan jika Petani adalah
sebuah profesi yang menjanjikan atau profesi yang berperan penting dalam memberikan nilai tambah added value bagi Pendapatan Negara. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, jika komitmen pemerintah
yang kuat untuk pemberian insentif lebih gencar dilakukan, Indonesia Hijau dengan daerah- daerahprovinsi sebagai bentanganpermadani hijau Nusantara tentu akan terwujud. Anggaran bagi
pertanian tentunya harus ditingkatkan. Jika perlu, diberikan insentif bulanan yang minimal ada perannya bagi tecukupinya dapur rumah tangga. Pasti petani akan fokus dan giat untuk memberikan warna baru
dengan tujuan Swasembada Pangan seperti yang dicita-citakan. Sebagai negara berkembang, tentunya fokus dengan culture negara sebagai Agriculture Country. Toh, negara-negara maju di belahan Eropa juga
menerapkan pola Insentif bagi petani sebagai salah satu cara untuk memakmurkan sebuah bangsa. Publikasi Babel Pos April 2008
Lampiran 5 Contoh Pembentukan Graf pada Kalimat Kalimat ke-28 pada Teks A:
Berdasarkan chunk indikator diperoleh pemotongan kalimat sebagai berikut: “Kebanyakan petani |