Quality of Post Thawing Straw Mushroom (Volvariella volvaceae) by using Dry ice Freezing

(1)

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA

THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE

KURNIA NOVIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Mutu Jamur

Merang (Volvariella volvaceae) Pasca Thawing pada Pembekuan Menggunakan Dry ice” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2010

Kurnia Novianti F153080131


(3)

ii

ABSTRACT

KURNIA NOVIANTI. Quality of Post-Thawing Straw Mushroom (Volvariella volvaceae) by using Dry ice Freezing. Supervised by SUTRISNO and EMMY

DARMAWATI.

Straw mushroom is highly demand due to its nutrients content. However, it has high respiration rate which causes product decays during a limited its shelflife. On room temperature, mushroom will stay undamaged up to 24 hours. The objective of this research was to evaluate straw mushroom post-thawing quality by using dry-ice freezing. This research was divided into 2 steps, the first step was to determine dry ice and straw mushroom ratio, freezing time and rates, and the second was to compare the quality of fresh straw mushrooms with thawed mushrooms which is frozen by using freezer and dry ice. The parameters that evaluated were temperature of centre mushroom, frozen weight, and thawed mushroom, color, hardness, protein content, pH, sensory analysis, histology, and economic analysis. The first step showed that the ratio 1:2 of straw mushroom and dry ice was more efficient than the other ratios with rates of 0.27˚C/min for 3.5 hours and needed 421 gram of dry ice. The second step of the research showed that although freezing caused deterioration of color, hardness, pH, and histological of straw mushroom, but could preserve the protein. Freezing straw mushroom by using freezer was classified as a slow freezing and by using dry ice was classified as a commercial freezing, which each freezing rate were

0.05˚C/min and 0.27˚C/min respectively, and freezing straw mushroom by using dry ice was more preference than using freezer by sensory evaluation. The cost of freezing straw mushroom by using freezer was Rp. 27.535,-/kg and with dry ice was Rp. 38.600,-/kg, therefore freezing straw mushroom with dry ice should be used to accelerate freezing. Dry ice can be used as intermediary technology for freezing straw mushroom and where freezer not available.


(4)

RINGKASAN

KURNIA NOVIANTI. Mutu Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Pasca Thawing pada Pembekuan Menggunakan Dry Ice. Dibimbing oleh SUTRISNO dan EMMY DARMAWATI.

Jamur merang (Volvariella volvaceae) merupakan jamur yang paling

banyak dibudidayakan dan diminati karena kandungan gizinya yang sangat baik bagi kesehatan. Jamur merang lebih disukai konsumen dalam bentuk segar, namun karena memiliki pola respirasi yang sangat tinggi, penurunan mutunya akan sangat cepat terjadi. Pada suhu ruang, jamur merang hanya mampu bertahan selama 1 hari. Penanganan pasca panen yang sudah dilakukan untuk memperpanjang umur simpan jamur merang segar adalah dengan pendinginan. Pengawetan lain yang dapat dilakukan adalah pembekuan, dimana dengan laju yang cepat akan menghasilkan komoditas beku yang mendekati kondisi segarnya.

Dry ice merupakan salah satu bahan pembeku dengan suhu mencapai -78,5˚C.

Pembekuan menggunakan dry ice sudah dilakukan pada buah stroberi dan buah

berry Saskatoon.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan dry ice pada pembekuan jamur merang, dan secara khusus bertujuan untuk menentukan perbandingan berat jamur merang dan dry ice yang tepat dan lama pembekuan

menggunakan dry ice serta mengkaji pengaruh pembekuan cepat menggunakan

dry ice terhadap mutu jamur merang pasca thawing.

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah penentuan perbandingan jamur merang dengan dry ice yang tepat dan lama pembekuan, mengggunakan 4 perbandingan, yaitu 1:1/2; 1:1; 1:2 ; 1:3 dengan 3 ulangan. Pengamatan yang dilakukan adalah waktu pembekuan dan penurunan suhu pusat jamur merang hingga mencapai suhu -18˚C dan bobot dry ice yang tersisa. Perlakuan yang memiliki laju pembekuan tercepat dengan penggunaan dry ice

paling sedikit dipilih untuk digunakan pada tahap kedua. Tahap kedua adalah membandingkan mutu jamur merang segar dengan jamur merang pasca thawing

yang dibekukan menggunakan freezer dan dry ice, menggunakan 3 perlakuan, yaitu pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan menggunakan dry ice, dibandingkan dengan jamur merang segar sebagai kontrol, dengan 6 ulangan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Parameter mutu yang diamati adalah warna, kekerasan, kandungan protein, pH, bobot jamur merang beku dan pasca thawing, uji organoleptik meliputi warna, kekerasan, dan aroma, serta

pengamatan histologi. Analisis biaya untuk pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice dihitung untuk melihat aspek ekonomisnya.

Hasil yang didapatkan dari tahap pertama adalah perbandingan 1:2 merupakan perlakuan yang paling efektif untuk digunakan pada tahap selanjutnya,

dengan laju pembekuan tercepat, 0,27˚C/menit dan konsumsi dry ice paling sedikit, yaitu 421,76 gram. Pada penelitian tahap 2, pembekuan jamur merang menggunakan freezer menghasilkan laju pembekuan sebesar 0,05˚C/menit yang

termasuk dalam laju pembekuan lambat. Sedangkan pembekuan menggunakan

dry ice menghasilkan laju pembekuan sebesar 0,27˚C/menit dan termasuk dalam pembekuan komersial. Namun bila dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk


(5)

iv

melampaui zona kritis pembekuan, mengindikasikan bahwa kristal es yang terbentuk pada jaringan jamur merang yang dibekukan menggunakan dry ice lebih kecil dibandingkan dengan pembekuan menggunakan freezer.

Berdasarkan analisis mutu yang dilakukan, pembekuan berpengaruh terhadap penurunan mutu warna, kekerasan, dan bobot jamur merang pasca

thawing, namun mengalami peningkatan pada pH dan tidak berbeda pada

kandungan proteinnya. Mutu warna jamur merang dinyatakan dengan nilai L, a, b, menunjukkan perubahan warna jamur merang pasca thawing menjadi lebih kusam dan kekuningan. Tingkat kekerasan jamur merang pasca thawing mengalami

penurunan menjadi lebih lunak dan liat. pH jamur merang dengan pembekuan menggunakan dry ice mengalami peningkatan menjadi lebih basa dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Bobot jamur merang beku pada pembekuan menggunakan freezer mengalami peningkatan sedangkan pada pembekuan dry ice

sudah mengalami penyusutan akibat terjadinya dehidrasi. Pada kondisi pasca

thawing, jamur merang mengalami penyusutan yang cukup besar akibat keluarnya cairan drip, terutama pada pembekuan menggunakan dry ice. Berdasarkan

pengujian secara subyektif dengan uji organoleptik didapatkan bahwa jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan dry ice lebih disukai daripada jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan freezer.

Hasil pengamatan histologi menunjukkan bahwa pada jaringan jamur merang pasca thawing mengalami kerusakan mekanik akibat pembentukan kristal es dan dehidrasi. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice mempengaruhi penurunan beberapa parameter mutu jamur merang, namun masih dapat mempertahankan kandungan gizi utamanya yaitu protein.

Dry ice dapat digunakan sebagai teknologi perantara untuk mempercepat laju pembekuan dan digunakan di lokasi dimana freezer tidak dapat digunakan,

yang dilanjutkan dengan penyimpanan dengan kondisi beku. Jamur merang yang telah dibekukan dengan dry ice dapat dipindahkan ke dalam penyimpanan beku, maksimal dalam waktu 7,58 jam, yaitu setelah dry ice tersublimasi seluruhnya

namun sebelum kristal es meleleh.

Biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer adalah Rp. 27.535,-/kg, termasuk investasi berupa freezer sebesar Rp. 5.000.000,-. Sedangkan pada pembekuan jamur merang menggunakan dry ice membutuhkan

biaya sebesar Rp. 38.600,-/kg, namun tidak memerlukan biaya investasi yang tinggi.

Keywords : jamur merang, Volvariella volvaceae, pembekuan, thawing, freezer, dry ice


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(7)

MUTU JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) PASCA

THAWING PADA PEMBEKUAN MENGGUNAKAN DRY ICE

KURNIA NOVIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Judul Tesis : Mutu Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Pasca Thawing pada Pembekuan Menggunakan Dry ice

Nama : Kurnia Novianti NRP : F153080131

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr. Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi a.n Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS.


(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Mutu Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Pasca Thawing pada Pembekuan Menggunakan Dry ice dapat

terselesaikan. Penelitian ini mengkaji penggunaan dry ice untuk membekukan

jamur merang sehingga mampu memperpanjang umur simpannya dengan biaya investasi yang rendah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan, serta Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr sebagai Ketua Program Studi Teknologi Pasca Panen. Terima kasih kepada Kepala dan Kabag Umum BBPP Lembang yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan TPP 2008, bu Mila, Mbak Meivi, Novi, Yosi, Ruri, Fifi, Pak Amin, Bambang, Pak Khamsi, dan Dian yang selalu kompak, saling membantu, dan saling memberi semangat, Bapak Ahmad sebagai ketua kelompok tani jamur merang di Kawarang dan Indramayu, atas pasokan jamur merangnya, serta Bapak Sulyaden sebagai teknisi laboratorium TPPHP IPB. Terima kasih kepada rekan-rekan Widyaiswara BBPP Lembang atas dukungan doanya.

Tak lupa ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, Iwan Kurniawan atas ijin, doa, perhatian, dan dukungannya. Anak-anakku tersayang, Bara Imadio Saputra dan Khalil Ghausi Saputra, sebagai pemberi semangat yang luar biasa. Kepada Papa Kuryono, Mama Ratna, Bapak, Mamah, Mbak Nahda, Terra, Putra, Teteh, dan Akang atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya, serta keluarga besar BBPP Lembang atas bantuan doanya, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih belum sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2010 Kurnia Novianti


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya tanggal 14 November 1975, merupakan anak ke-2 dari pasangan Kuryono dan Ratna Soedorowerti. Pendidikan Sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, dan lulus pada tahun 1999.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi di Program Pascasarjana (S2) di Program Studi Teknologi Pasca Panen, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program FEATI bekerjasama dengan Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Penulis bekerja di Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang, Badan SDM Kementrian Pertanian Republik Indonesia sejak tahun 2003 dan sebagai Widyaiswara Pertama pada tahun 2005 dengan bidang teknis Teknologi Pengolahan dan Pasca Panen Hasil Pertanian.


(12)

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Kegunaan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Jamur Merang ... 4

2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang ... 4

2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang ... 6

2.4. Pembekuan ... 9

2.5. Thawing ... 14

2.6. Perubahan Akibat Pembekuan ... 15

2.7. Dry ice/Karbondioksida Padat ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2. Bahan dan Alat ... 19

3.3. Pelaksanaan penelitian ... 19

3.3.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan. ... 20

3.3.2. Perbandingan proses pembekuan dan mutu jamur merang segar dengan jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice. ... 22

3.3.3. Pengukuran ... 25

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan ... 29

4.2. Perbandingan pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice ... 31

4.2.1. Perkiraan laju pembekuan jamur merang menggunakan rumus Plank ... 31

4.2.2. Laju pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice ... 33

4.2.3. Analisa mutu jamur merang... 35


(14)

xiii

Warna jamur merang... 36

Kekerasan Jamur Merang ... 40

pH Jamur Merang ... 42

Bobot Jamur Merang Beku dan Pasca Thawing ... 43

Pengujian organoleptik. ... 46

Histologi Jamur Merang ... 49

Waktu sublimasi dry ice dan thawing jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice ... 52

4.2.4. Analisis Biaya ... 53

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. SARAN ... 55


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Hasil analisis nutrisi jamur merang di Laboratorium Food and Nutrition

Research Institute Philipine ... 6

2 Ciri khas kultivar jamur merang segar (Volvariella volvaceae) ... 6

3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang ... 7

4 Klasifikasi laju pembekuan ... 12

5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan ... 13

6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya. ... 14

7 Sifat-sifat bahan pembeku ... 16

8 Laju pembekuan total dan pemakaian dry ice pada 4 perlakuan ... 30

9 Perbandingan perkiraan waktu pembekuan dengan rumus Plank dan laju pembekuan ... 32

10 Penurunan suhu, waktu, dan laju pembekuan menggunakan freezer dan dry ice dengan suhu awal 2,7˚C ... 32

11 Laju pembekuan jamur merang pada fase pra pembekuan dan pembekuan ... 34

12 Penurunan suhu, waktu, dan laju pembekuan menggunakan freezer dan dry ice ... 34

13 Waktu yang dibutuhkan pada pembekuan jamur merang untuk melampaui zona kritis. ... 35

14 Nilai XYZ warna jamur merang ... 39

15 Perubahan bobot jamur merang beku dan pasca thawing ... 43

16 Hasil uji organoleptik warna ... 46

17 Uji organoleptik kekerasan ... 47

18 Hasil Uji Organoleptik Aroma Jamur Merang ... 48

19 Penilaian kepentingan pada pengujian kesukaan ... 48

20 Nilai total pembobotan uji organoleptik... 49

21 Waktu sublimasi dry ice, waktu thawing, dan suhu terendah jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice. ... 52

22 Tabel biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice ... 54


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Fase perkembangan jamur merang, yaitu (A) fase kancing, (B) fase telur, (C)

fase pemanjangan, dan (D) fase dewasa ... 5

2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000) ... 11

3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows, 2000) 12 4 Perubahan suhu selama thawing (Sumber : Fellows, 2000) ... 15

5 Susunan jamur merang dalam kemasan plastik PE: (A) tampak samping dan (B) tampak atas ... 20

6 Posisi dry ice dan kemasan jamur merang dalam kotak styrofoam ... 21

7 (A) Penempatan termokopel (1, 2, dan 3), dan (B) posisi jamur merang dan dry ice dalam kotak Styrofoam ... 21

8 Diagram alir penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan... 22

9 (A) freezer (B) kotak styrofoam dan thermohybrid yang digunakan untuk pembekuan, serta (C) jamur merang saat thawing. ... 25

10 Diagram alir perbandingan mutu jamur merang segar dengan jamur merang pasca thawing menggunakan freezer dan dry ice. ... 26

11 Penurunan suhu jamur merang pada 4 perlakuan ... 30

12 Penurunan suhu jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice ... 33

13 Kandungan protein jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan freezer dan dry ice, dan jamur merang segar... 36

14 Nilai L (Kecerahan/Lightness) pada warna jamur merang ... 37

15. Nilai a pada warna jamur merang... 37

16 Nilai b pada warna jamur merang ... 38

17 Warna jamur merang dalam nilai X, Y pada grafik CIE Lab ... 39

18 Jamur Merang Pasca Thawing pada Pembekuan menggunakan (A) Freezer, (B) Dry ice, dan (C) Jamur Merang Segar ... 40


(17)

xvi

19. Nilai kekerasan jamur merang ... 41 20. pH jamur merang pasca thawing dan jamur merang segar ... 42

21 (A) Jamur merang beku pada pembekuan menggunakan freezer dan (B)

Butiran-butiran es yang terbentuk pada permukaan jamur merang beku pada pembekuan menggunakan dry ice ... 44 22 Perubahan bobot jamur merang beku dan pasca thawing ... 45

23 Cairan drip yang dihasilkan dari jamur merang pasca thawing pada

pembekuan menggunakan (A) freezer dan (B) dry ice ... 45

24 Histologi jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan (A) freezer, (B) dry ice dan (C) jamur merang segar ... 50 25 Histologi jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan (A)

freezer, (B) dry ice dan (C) jamur merang segar di bagian (1) tepi dan (2) tengah ... 50 26 Jamur merang beku menggunakan (A) freezer, (B) dry ice, dan (C) jamur

merang segar ... 53 27 Perubahan suhu pusat jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice


(18)

(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minat masyarakat untuk mengkonsumsi jamur semakin meningkat khususnya dalam tahun-tahun terakhir ini. Paradigma masyarakat terhadap jamur telah berubah, dahulu masyarakat merasa khawatir keracunan jika mengkonsumsi jamur namun sekarang telah disadari bahwa jamur memiliki banyak khasiat. Saat ini, masyarakat mau mengkonsumsi jamur dengan berbagai alasan. Selain karena lezat, tingginya kandungan gizi jamur juga menjadi alasan utama. Jamur lebih mudah dicerna, memiliki kandungan protein yang tinggi, dan bermafaat bagi penderita penyakit diabetes dan anemia (Sinaga, 2000).

Jamur mempunyai nilai gizi tinggi, terutama kandungan proteinnya sekitar 15 – 20% dari berat kering (Sinaga, 2000) dengan asam amino yang lengkap seperti telur ayam, memiliki daya cerna tinggi sekitar 9,3%, kandungan lemaknya cukup rendah, yaitu 1,1% - 8,3% (bobot kering), berupa asam lemak bebas mono ditriglieserida, sterol, dan fosfolipida (Widiyastuti, 2007). Jamur juga merupakan sumber vitamin antara lain riboflavin, thiamin, dan asam niacin yang cukup tinggi, walaupun tidak mengandung vitamin A. Umumnya jamur mengandung mineral yang tinggi terutama fosfor, kalsium, dengan kandungan kalori dan kolesterol yang rendah (Sinaga, 2000)

Di Indonesia, jamur merang merupakan jamur yang paling banyak dibudidayakan hingga mencapai 55-60% produksi nasional (http://www.hortikultura-bandung.com). Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar terutama ke kota-kota besar (Pasaribu et al., 2002). Kendala yang dihadapi dalam pemasaran adalah jamur merang merupakan komditas yang perishable atau sangat mudah rusak, sehingga tidak dapat bertahan

lama bila disimpan pada suhu ruang. Sinaga (2000) menyatakan bahwa jamur merang hanya mampu bertahan selama 1-2 hari. Menurut penelitian Julianti (1997) setelah 1 hari, jamur merang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen, karena telah terjadi perubahan warna dan aroma. Kondisi tersebut menyebabkan jangkauan wilayah distribusi jamur menjadi sangat terbatas, sehingga diperlukan


(20)

2

terobosan teknologi pasca panen yang dapat memberi peluang pemasaran jamur lebih luas agar nilai ekonominya meningkat.

Pengawetan untuk memperpanjang umur simpan jamur merang yang sudah banyak dilakukan adalah pengalengan, dibuat menjadi pickle, dan pengeringan, namun sudah mengalami perubahan-perubahan pada parameter mutunya, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan jamur segar (Chang et al., 2004). Berdasarkan

permintaan konsumen, jamur merang segar lebih diminati daripada jamur merang yang sudah diolah sehingga penanganan pasca panen yang tepat dalam kondisi segar sangat diperlukan. Penanganan jamur merang segar yang sudah dilakukan adalah menggunakan metode pendinginan, yaitu penggunaan refrigerator,

pengemasan menggunakan pelapisan dengan es batu, ataupun pengemasan menggunakan dry ice atau es kering yang dibungkus kertas yang diletakkan di atas

jamur merang. Menurut Suharjo (2007), pengawetan dengan pendinginan tersebut dapat mempertahankan mutu jamur merang segar hingga 4-5 hari. Selain itu menurut penelitian Kim et al. (2005), penggunaan modified atmosphere packaging

(MAP) pada jamur dapat memperpanjang umur simpannya hingga 6 hari.

Metode pengawetan lain yang dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan jamur merang adalah dengan metode pembekuan. Pengawetan dengan pembekuan hanya menyebabkan sedikit sekali perubahan nutrisi maupun sensorinya, bila dilakukan dengan benar dan sesuai prosedur (Fellows, 2000). Pembekuan juga merupakan salah satu teknik memperpanjang umur simpan komoditas pertanian yang dapat menghasilkan produk beku yang mendekati kondisi segarnya (FAO, 2009).

Kualitas produk beku sangat dipengaruhi oleh laju pembekuan. Makin singkat waktu yang diperlukan untuk pembekuan, makin tinggi kualitas produk beku yang dihasilkan, dimana pembekuan cepat dapat mengurangi terjadinya kerusakan mekanik yang disebabkan oleh terbentuknya kristal es yang berukuran besar dan dapat meningkatkan penyimpanan produk untuk jangka waktu yang lama (Yakimishen et al., 2002). Metode pembekuan cepat yang banyak

digunakan adalah dengan menggunakan gas atau cairan N2 atau CO2 (Yakimishen

et al., 2002), namun sangat tidak ekonomis untuk diterapkan di tingkat petani maupun pengumpul. Bahan-bahan pembeku yang umum digunakan untuk


(21)

3

pembekuan adalah amonia, sulfur dioksida, freon, karbondioksida cair maupun padat, dan nitrogen cair.

Saat ini dry ice sudah umum digunakan sebagai pre cooling untuk

mengurangi panas lapang pada buah berry dan pengemasan yang terbukti efektif untuk menjaga kualitas buah-buahan pada standar konsumen (Yakimishen et al., 2002). Pembekuan menggunakan dry ice belum pernah dilakukan untuk

komoditas jamur merang, namun sudah dilakukan untuk buah berry Saskatoon

dan stroberi. Hasil penelitian Yakimishen et al. (2002) menunjukkan bahwa dry ice telah terbukti efektif untuk pembekuan buah berry dan menurut Gilbert

(http://www.dryiceinfo.com, 2008), stroberi yang sudah dibersihkan dan dibekukan dengan dry ice selama 20 hingga 30 menit, kemudian disimpan dalam freezer dapat bertahan selama 1 tahun. Setelah thawing, mutu stroberi tersebut

hampir sama dengan stroberi segar tanpa terjadi pelunakan.

Berdasarkan permasalahan dan penelitian terdahulu maka perlu dilakukannya kajian mengenai aplikasi dry ice pada pembekuan jamur merang (Volvariella volvaceae) sebagai teknologi perantara yang diharapkan mampu mempercepat laju pembekuan dan mempertahankan mutu jamur merang.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengaplikasikan dry ice pada pembekuan jamur merang, sedangkan tujuan khususnya adalah :

1. Menentukan perbandingan yang tepat antara berat jamur merang dan dry ice

dan lama pembekuan yang terbaik

2. Mengkaji pengaruh pembekuan menggunakan dry ice terhadap mutu jamur

merang pasca thawing.

1.3. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan didapat informasi mengenai pembekuan jamur merang menggunakan dry ice sehingga dapat bermanfaat bagi para

pengumpul maupun eksportir jamur merang untuk dapat memperpanjang umur simpannya.


(22)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur Merang

Jamur merang (Volvariella volvaceae) termasuk dalam kingdom Mycetae,

Divisi Amastigomycota dan sub divisi Basidiomycotina, kelas Basidiomycetes, subkelas Holobasidiomycetes, ordo Agaricales, famili Plutaceae, genus

Volvariella dan species Volvariella volvaceae (Sinaga, 2000). Warna tudung

jamur merang bermacam-macam yaitu putih bersih, abu-abu dan hitam. Perbedaan warna ini disebabkan oleh bibit yang berbeda, pengaruh penyinaran dan sirkulasi udara. Jamur dengan warna tudung hitam lebih banyak diminati pasar ekspor.

Jamur merang merupakan salah satu jamur yang dapat tumbuh pada temperatur yang cukup tinggi. Pertumbuhan vegetatif pada suhu 32-340C, dimana jamur ini tumbuh dengan cepat dalam waktu sekitar 8-10 hari mulai dari pembenihan hingga panen (Chang et al., 2004). Berbagai macam sumber selulosa dapat digunakan sebagai media tumbuh jamur merang, namun Volvariella volvaceae tetap dikenal dengan nama jamur merang. Media yang dapat digunakan untuk menumbuhkan jamur merang adalah tumpukan merang, limbah kapas, sorgum, gandum, jagung, tembakau, limbah sayuran, ampas tebu, sabut kelapa, daun pisang, eceng gondok, ampas sagu, atau serbuk gergaji (Sinaga, 2000). Selain itu menurut Widiyastuti (2007) juga bisa menggunakan ampas aren atau kardus bekas.

2.2. Fase Pertumbuhan dan Umur Panen Jamur Merang

Pertumbuhan basidiokarp jamur merang secara kasar dibagi menjadi 6 tahap yaitu jarum pentul (pinhead) yang merupakan tahap awal pertumbuhan jamur, kancing kecil (tiny button), kancing (button) yang masih berbentuk bulat kecil.

Kemudian dilanjutkan dengan fase telur (egg), yang mulai berbentuk oval,

dilanjutkan dengan pemanjangan (elongation), dan dewasa (mature). Pada fase

dewasa, jamur sudah berupa volva, stripe, dan pileus (Sinaga, 2000). Bentuk-bentuk fase pertumbuhan jamur merang dapat dilihat pada Gambar 1.


(23)

5

Gambar 1 Fase perkembangan jamur merang, yaitu (A) fase kancing, (B) fase telur, (C) fase pemanjangan, dan (D) fase dewasa

Jamur merang sudah dapat dipanen setelah berumur 10-14 hari sejak tanam. Panen dilakukan setiap hari hingga tanaman berumur sebulan. Namun setelah panen 4-5 kali, diistirahat selama 2-3 hari sebelum dipanen kembali (Suharjo, 2007). Pemanenan jamur merang umumnya dilakukan sebelum fase pemanjangan atau pada fase kancing (Sinaga, 2000), namun pemanenan pada fase telur akan mendapatkan aroma paling baik dan paling tepat untuk pemasaran (Stamet, 1993). Jamur merang pada fase telur berukuran sebesar telur burung puyuh hingga sebesar telur ayam dengan berat per buah sekitar 10-150 gram. Pemanenan jamur merang sangat mudah tetapi harus dilakukan secara hati-hati menggunakan tangan atau pisau tajam yang tidak berkarat setelah dicuci dengan alkohol.

Keberhasilan pemasaran sangat ditentukan oleh penanganan pascapanen yang tepat, karena akan dapat mempertahankan karakteristik jamur merang supaya tetap segar hingga ke konsumen dan tahan lama. Saat yang paling tepat untuk memanen jamur merang adalah pada fase kancing dan fase telur karena lebih disukai oleh konsumen. Kandungan gizi jamur merang dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

6

Tabel 1 Hasil analisis nutrisi jamur merang di Laboratorium Food and Nutrition Research Institute Philipine

Kandungan gizi per 100 g jamur merang Kondisi segar Dikeringkan pada 105⁰C

Air (%) 87.7 14.9

Energi (kal) 39.0 274.0

Protein (g) 3.8 16.0

Lemak (g) 0.6 0.9

Total karbohidrat (g) 6.0 64.6

Serat (g) 1.2 4.0

Abu (g) 1.0 3.6

Kalsium (g) 3.0 51.0

Fosfor (mg) 94.0 223.0

Besi (mg) 1.7 6.7

Thiamin (mg) 0.11 0.09

Riboflavin (mg) 0.17 1.06

Niacin (mg) 8.3 19.7

Asam askorbat (mg) 8.0 -

Sumber : Julianti (1997)

Standar mutu jamur yang sesuai dengan SNI 01-6945-2003, mencakup ciri khas jamur merang seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Ciri khas kultivar jamur merang segar (Volvariella volvaceae)

No Komponen Ciri Khas 1. Ukuran Kecil sampai besar

2. Bobot (g) 100 – 400

3. Bentuk Bulat atau lonjong dan tidak bertangkai 4. Kulit Halus, berbulu tipis

5. Warna Putih bersih 6. Daging Tebal 7. Aroma Tidak bau

Sumber : SNI 01-6945-2003

2.3. Perubahan Fisiologis Lepas Panen Jamur Merang

Jamur merang setelah panen akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menurunkan mutunya, terutama bila penanganannya kurang tepat atau kurang hati-hati. Jamur merang, memiliki kandungan air yang sangat tinggi sehingga bersifat mudah rusak atau perishable.

Perubahan-perubahan yang dapat terjadi adalah pengerutan, pemekaran, pencoklatan (browning), berair, kehilangan air, perubahan tekstur, aroma dan


(25)

7

reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan/pasca panen.

Perubahan-perubahan tersebut didahului oleh peningkatan laju respirasi, dan penghentian suplai nutrien yang akan mempercepat sejumlah reaksi yang

irreversibel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada jamur (Cho et al., 1982).

Proses Respirasi

Respirasi merupakan metabolisme penting yang harus diperhatikan pada jamur merang segar, karena akan terus berlangsung setelah proses pemanenan. Pada proses respirasi, terjadi perubahan-perubahan pada kandungan nutrisi jamur merang yang akan mengakibatkan perubahan fisiknya pula. Respirasi merupakan pemecahan senyawa kompleks, terutama pati menjadi molekul sederhana seperti karbondioksida, air, dan energi, serta terjadinya kehilangan substrat. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang digunakan, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul (Pantastico,1986). Metabolisme ditujukan untuk memenuhi keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tersebut agar dapat melangsungkan kehidupan pasca panennya, terutama dalam bentuk energi. Laju respirasi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar (Pantastico, 1986). Makin cepat laju respirasinya berarti makin cepat pula terjadi pemecahan senyawa kompleks yang menandakan semakin cepatnya terjadi penurunan mutu jamur merang. Laju respirasi jamur merang pada beberapa tingkat suhu disajikan pada Tabel 3. Nilai RQ jamur merang lebih dari 1, menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi menggunakan substrat yang mengandung O2, yaitu asam-asam organik.

Tabel 3 Laju respirasi dan nilai RQ jamur merang

Suhu (⁰C) Laju respirasi (ml/kg-jam) RQ Produksi CO2 Konsumsi O2

10 40.111 26.065 1.54

28 480.808 345.500 1.39


(26)

8 Perubahan Kadar Air

Jamur merang memiliki kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 87,7%. Laju respirasi yang cepat akan menyebabkan kehilangan air yang cepat pula. Laju kehilangan air tergantung pada 1) struktur dan kondisi jamur, 2) suhu dan RH lingkungan, dan 3) gerakan udara dan tekanan udara. Evaporasi terjadi lebih lambat pada fase kancing, kemudian meningkat pada fase berikutnya dan paling cepat pada saat pemekaran tudung (Cho et al., 1982). Pengaruh utama kehilangan

air adalah susut bobot yang memperlihatkan ciri fisik terjadinya pelayuan dan pengerutan, dengan tekstur yang liat.

Pemekaran Tudung

Aktivitas metabolisme yang terus terjadi pada jamur merang setelah panen akan mengakibatkan mekarnya tudung, yang akan menyebabkan peningkatan kadar protein dan lemak serta penurunan nilai energi. Pemekaran tudung pada jamur merang adalah hal yang harus dihindari, karena dapat menurunkan mutu yang sekaligus menurunkan harga jualnya.

Perubahan Warna

Perubahan warna pada jamur merang adalah salah satu parameter yang paling menentukan mutu. Perubahan warna dapat disebabkan akibat reaksi pencoklatan enzimatis atau pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Pseudomonas tolasii (Julianti, 1997). Proses pengupasan, pencucian, adanya kerusakan mekanis, dan senesensi juga mempengaruhi perubahan warna pada jamur merang. Jamur merang yang disimpan pada suhu kamar akan cepat mengalami perubahan warna menjadi coklat (Julianti, 1997).

Pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran 02 dan substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan pencoklatan enzimatis. Reaksi ini dapat dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, S02

atau perubahan pH akibat penambahan asam (Cho et al., 1982). Reaksi

pencoklatan pada jamur dapat dikontrol dengan penyimpanan pada suhu rendah (Julianti, 1997).


(27)

9 Penyimpangan Bau

Oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tak jenuh pada jamur merang dapat menyebabkan penyimpangan bau. Hal yang sama juga dapat diakibatkan oleh oksidasi protein dan berkembangnya mikroorganisme pembusuk (Cho et al., 1982).

2.4. Pembekuan

Pembekuan merupakan proses menghilangkan panas pada produk pangan dan mempertahankan suhu penyimpanannya di bawah titik beku. Pembekuan memiliki pengaruh yang menguntungkan pada produk pangan, yaitu dengan penurunan suhu akan memperlambat reaksi biokimia serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang menyebabkan penurunan mutu, seperti reaksi oksidasi lemak, denaturasi protein, atau aktivitas enzim hidrolitik (Tucker, 2008). Perubahan nutrisi dan kualitas organoleptik pada produk pangan akan sangat kecil dengan melakukan pembekuan. Pembekuan juga dapat mengurangi penggunaan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan, karena mampu mencegah perkembangan mikroorganisme (Evans, 2008).

Prinsip pembekuan adalah memindahkan air dari matriks produk pangan dengan membentuk kristal es. Kristal es yang terdapat dalam jaringan produk pangan akan menyebabkan air sisa yang tidak membeku akan meningkat konsentrasinya dengan padatan terlarut, sehingga dapat menurunkan Aw. Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada Aw di bawah 7,0 (Evans, 2008). Pada proses pembekuan kandungan air produk pangan mengalami perubahan bentuk menjadi kristal-kristal es, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi sehingga dapat menurunkan aktivitas air (Aw) pada produk pangan (Fellows, 2000). Pengawetan pada bahan pangan dapat dicapai dengan menggabungkan suhu rendah dan menurunkan Aw.

Proses pembekuan membutuhkan energi untuk digunakan dalam perubahan fase dari air menjadi es, yang sering disebut dengan panas laten kristalisasi. Yang paling penting dalam pembekuan adalah laju pembekuan yang digunakan untuk menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pada bahan pangan segar, panas dari respirasi juga harus diperhitungkan. Pada bahan pangan yang banyak mengandung air, memiliki panas spesifik sebesar


(28)

10

4200J kg-1 K-1 dan panas laten sebesar 335 kJ kg-1 (Fellows, 2000). Pindah panas pada bahan pangan umumnya secara konveksi, yaitu pindah panas antara udara pembeku dengan permukaan bahan pangan

Proses pembekuan dimulai dari permukaan bahan pangan yang langsung berhubungan dengan media pembeku padat (misalnya heat exchanger plates pada suhu -30⁰C hingga -40⁰C, dry ice pada suhu -78,5⁰C, cairan kriogenik nitrogen pada suhu -196⁰C). Permukaan bahan pangan akan membeku lebih cepat dibandingkan bagian dalamnya, karena panas pada bagian dalam harus melalui permukaan dengan konduksi (Evans, 2008). Proses pembekuan sangat dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan pangan, dimana durasi proses pembekuan tergantung pada laju pembekuan (⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh International Institute of Refrigeration dalam Thorne (1989),

yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu akhir dibagi dengan waktu pembekuan. Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan dari awal pembekuan hingga suhu akhir pembekuan tercapai.

Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kristal esnya, sehingga menghasilkan kristal es yang besar dan dapat merusak jaringan bahan pangan. Sedangkan pada laju pembekuan cepat, terjadi pembentukan kristal es yang lebih cepat daripada pertumbuhan kristal esnya, sehingga terbentuk kristal es berukuran kecil, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.

Pada pembekuan dengan laju yang rendah, kristal es akan terbentuk di daerah interselular, kemudian merusak dan memecah dinding sel yang berdekatan. Air yang berada dalam sel akan keluar menuju kristal es yang membesar, karena es memiliki tekanan uap air yang lebih kecil daripada bahan pangan. Akibat air yang keluar dari dalam sel, menyebabkan sel terdehidrasi dan rusak dengan meningkatnya konsentrasi larutan dan rusaknya dinding sel. Bila bahan pangan beku tersebut di-thawing, sel tidak akan kembali menjadi bentuk dan besarnya

semula. Bahan pangan akan menjadi lebih lunak dan bagian dalam sel akan keluar melalui dinding sel yang rusak, yang disebut dengan istilah drip loss.


(29)

11

Gambar 2 Pengaruh laju pembekuan terhadap jaringan tanaman (a) pembekuan lambat (b) pembekuan cepat (Sumber : Fellow, 2000)

Pada pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran kecil, baik di dalam atau di daerah interselular. Kerusakan fisik sel yang terjadi sangat kecil dan perbedaan tekanan uap air tidak terjadi, sehingga dehidrasi sel yang terjadi juga sangat kecil. Hal tersebut menyebabkan tekstur bahan pangan tetap terjaga dalam kondisi yang baik. Namun pembekuan yang terlalu cepat dapat menyebabkan jaringan terbelah atau pecah.

Kisaran suhu yang dapat menyebabkan kerusakan permanen berada pada 1⁰C hingga -5⁰C. Bahan pangan yang melalui proses pembekuan harus melampaui kisaran suhu tersebut dalam waktu yang relatif cepat. Untuk mendapatkan pembentukan kristal es yang kecil, suhu 0⁰C dan -3,9⁰C harus dilampaui dalam waktu kurang dari 30 menit (Evans, 2008).

Proses pembekuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan laju pembekuannya. Menurut Alvarest, et al. (1997) laju pembekuan di bawah

0,5˚C/menit termasuk dalam pembekuan lambat, dan 2˚C/menit termasuk dalam laju pembekuan cepat. Sedangkan menurut Delgado et al. (2005), laju pembekuan dibagi menjadi 3, yaitu seperti ditampilkan pada Tabel 4.


(30)

12 Tabel 4 Klasifikasi laju pembekuan

No Jenis Pembekuan Laju pembekuan 1. Pembekuan lambat 0,02-0,2˚C/menit 2. Pembekuan komersial 0,2-0,83˚C/menit 3. Pembekuan cepat >0,83˚C/menit

Sumber : Delgado et al. (2005)

Menurut Alvarez, et al. (1997), pembekuan cepat memiliki hasil yang baik pada tekstur kentang, wortel, cranberries, dan blackberries. Pada wortel yang dibekukan secara cepat mampu mempertahankan ketegaran (firmness) dengan lebih baik. Proses pembekuan dilakukan hingga panas di bagian terdalam dari bahan pangan telah hilang atau telah beku. Tahapan proses pembekuan dijelaskan pada Gambar 3. Pada tahap AS, bahan pangan dibekukan hingga di bawah titik beku.

Gambar 3 Grafik waktu dan suhu selama proses pembekuan (Sumber : Fellows, 2000)

Pada titik S, air masih berupa larutan, walaupun berada di bawah titik beku (disebut fenomena supercooling) hingga 10⁰C. Pada tahap SB, suhu akan

meningkat secara cepat mencapai titik beku dimana kristal es mulai terbentuk dan panas laten kristalisasi dilepaskan. Tahap BC merupakan pelepasan panas dari bahan pangan dengan laju yang sama, panas laten dihilangkan seiring dengan pembentukan es dan suhu mulai stabil. Tahap CD, larutan mulai jenuh dan mengkristal. Pada tahap DE, kristalisasi air dan larutan masih terjadi. Waktu yang dibutuhkan (tf) ditentukan oleh laju penghilangan panas. Pada tahap EF, suhu es akan turun hingga mencapai suhu freezing. Pada suhu pembekuan


(31)

13

komersil, terdapat sejumlah air yang tidak membeku, yang jumlahnya tergantung pada jenis dan komposisi bahan pangan, serta suhu penyimpanan (Fellows, 2000).

Bahan pangan segar memiliki kandungan air dan titik beku yang berbeda-beda tiap komoditas, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Kadar air yang tinggi pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan terhadap kristal es yang terbentuk dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan yang lain. Sayuran lebih tahan

terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah berdasarkan karakteristik yang dimiliki.

Tabel 5 Kandungan air dan titik beku pada beberapa bahan pangan

Bahan Pangan Kandungan Air (%) Titik Beku (⁰C) Sayuran 78 – 92 -0,8 s/d -2,8 Buah 87 – 95 -0,9 s/d -2,7 Daging 55 – 70 -1,7 s/d -2,2 Ikan 65 – 81 -0,6 s/d -2,0

Susu 87 -0,5

Telur 74 -0,5

Sumber : Fellows, 2000

Jaringan buah dan sayuran memiliki struktur sel yang rentan terhadap peningkatan volume kristal es sehingga menyebabkan kerusakan pembekuan yang

irreversible. Kerusakan yang terjadi pada jaringan bahan pangan akibat pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran sel, gangguan pada sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan kandungan air dari intrasel menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan kerusakan jaringan yang cukup parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan oleh pembekuan menurut Sun

et al. (2002), yaitu :

1. Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak

dengan suhu dingin.

2. Kerusakan akibat konsentrasi larutan (solute-concentration damage),

disebabkan peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan pembentukan kristal es.

3. Kerusakan dehidrasi (dehydration damage), disebabkan peningkatan

konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air secara osmosis dari intrasel.


(32)

14

4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan kristal es yang berukuran besar dan keras.

Sebelum proses pembekuan dilakukan, perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan diperlukan untuk mengurangi kandungan mikroorganisme, menghilangkan bagian yang tidak diperlukan, serta meminimalkan keragaman produk. Perlakuan pendahuluan yang umumnya dilakukan adalah pencucian atau pembersihan, sortasi, grading, atau pengupasan dan pengirisan bila diperlukan.

Jenis bahan pembeku yang sering digunakan untuk pembekuan dan titik didihnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis bahan pembeku dan titik didihnya.

No. Bahan Pembeku Titik Didih (˚C)

1. Amonia -33

2. Sulfur dioksida -10

3. Freon/Dichlorofluorometan 8,9 4. Karbondioksida cair/padat (dryice) -78,5

5. Nitrogen cair -196

Sumber : Singh et al., 2005

Amonia, sulfur dioksida, dan freon umum digunakan sebagai bahan pendingin di refrigerator, walaupun penggunaan freon sudah dilarang karena berbahaya. Karbondioksida dan nitrogen cair umumnya digunakan sebagai

cryogen pada pembekuan kriogenik atau pembekuan sangat cepat. Karbondioksida padat lebih sering digunakan untuk mendinginkan produk beku ataupun produk segar pada suatu kemasan. Menurut Swain et al. (1999), pengunaan karbondioksida padat atau dry ice memiliki keuntungan sebagai alternatif pendingin mekanik saat distribusi produk dingin ataupun produk beku.

2.5. Thawing

Thawing adalah kebalikan dari proses pembekuan, yaitu penggunaan energi

oleh bahan pangan untuk melelehkan kristal es (Evans, 2008). Thawing

merupakan suatu proses yang kritis, karena selama proses tersebut, suhu bahan pangan akan meningkat sehingga memiliki resiko untuk perkembangan mikroorganisme, namun saat ini thawing banyak dilakukan di akhir rantai

pasokan, yaitu dilakukan oleh konsumen di rumah untuk langsung dimasak, sehingga mengurangi resiko bahayanya.


(33)

15

Bahan pangan yang di-thawing setelah penyimpanan beku, seharusnya memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan bahan pangan segar. Namun pada bahan pangan yang sangat peka, hal tersebut akan sangat sulit dicapai. Pada komoditas seperti roti, daging, ikan, dan sayuran, kualitas bahan pangan yang sudah di-thawing harus benar-benar dapat dibandingkan dengan bahan pangan segarnya (Evans, 2008)

Thawing dapat dilakukan di udara terbuka atau di dalam air, dimana es akan

meleleh menjadi lapisan air, dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembekuan (Fellows, 2000). Perubahan suhu pada proses thawing dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahap AB, lapisan air pada

permukaan bahan pangan mulai hilang, dan pada BC, terjadi pelelehan kristal es di dalam bahan pangan, yang akan memperlihatkan kerusakan akibat pembekuan lambat, yaitu keluarnya cairan sel atau drip loss.

Gambar 4 Perubahan suhu selama thawing

(

Sumber : Fellows, 2000

)

2.6. Perubahan Akibat Pembekuan Perubahan Fisik

Perlakuan pembekuan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang mempengaruhi kualitas bahan pangan. Perubahan yang dapat terjadi adalah perubahan sifat fisik dan kimiawi, sehingga mempengaruhi kualitas bahan pangan beku. Perubahan fisik yang terjadi adalah :

1. Warna


(34)

16 3. Perubahan bobot

4. Freeze burn

5. Sifat fungsional, seperti tekstur, konsistensi, appearance, sifat organoleptik,

dan water holding capacity

Perubahan Kimiawi

Perubahan kimiawi juga dapat terjadi pada proses pembekuan, yaitu : 1. Terjadinya ketengikan pada bahan pangan yang berlemak

2. Kehilangan warna

3. Kehilangan flavor dan aroma 4. Kehilangan vitamin

5. Denaturasi protein

2.7. Dry ice/Karbondioksida Padat

Dry ice atau es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang berbentuk padat, merupakan salah satu refrigeran yang umum digunakan, selain nitrogen dan karbondioksida cair. Dry ice memiliki titik didih yang cukup rendah, yaitu -78,5⁰C dan langsung menyublim menjadi gas CO2, sehingga tidak menyisakan cairan seperti es batu ketika meleleh. Sifat-sifat beberapa bahan pembekuseperti pada Tabel 7.

Tabel 7 Sifat-sifat bahan pembeku

Sifat Nitrogen cair Karbondioksida Densitas (kg m-3) 784 464 Panas spesifik (kJ kg-1 K-1) 1.04 2.26 Panas laten (kJ kg-1) 358 352 Total penggunaan untuk pendinginan

(kJ kg-1)

690 565

Titik didih (˚C) -196 -78.5(sublimasi)

Termal konduktivitas (W m-1 K-1) 0.29 0.19 Konsumsi /100g produk beku (g) 100 - 300 120 – 375

Sumber : Sigh et al., 2005

Dry ice merupakan produk sampingan yang dihasilkan oleh industri yang

menghasilkan amonia dan nitrogen dari gas alam atau industri fermentasi skala besar. Udara dengan konsentrasi CO2 tinggi ditingkatkan tekanannya dan didinginkan hingga berubah menjadi cairan. Setelah menjadi cairan, tekanan diturunkan, sehingga menyebabkan suhunya menjadi sangat rendah dan merubah


(35)

17

cairan menjadi butiran es seperti salju. Butiran-butiran salju tersebut kemudian dibentuk seperti yang diinginkan oleh konsumen. Saat ini, umumnya dry ice

berbentuk berupa silinder berukuran kecil seperti pelet atau berupa balok besar berukuran 50 kg. Dry ice yang dihasilkan oleh PT Petrokimia Gresik berbentuk balok berukuran 50 kg. Dry ice bisa didapatkan di distributor es krim besar, yang menggunakannya untuk mendinginkan produk supaya tetap beku.

Dry ice memiliki sifat seperti es batu, bila disimpan pada suhu tinggi, akan

makin cepat menyublim menjadi gas. Kecepatan sublimasi dry ice adalah 3,5%

perhari (http://www.dryicesource. com) atau akan berkurang sebanyak 1/3 bagian pada penyimpanan di suhu kamar selama 12 jam. Bila pada termos biasa, akan menyublim dengan kecepatan 5-10 lb (2,25-4,5kg) pada penyimpanan selama 24 jam.

Dry ice memberikan energi 2 kali lebih besar untuk mendinginkan produk

per lb berat produk (1 lb = 0,45 kg) dan 3 kali lebih besar energi pendinginan per volume dibandingkan es batu biasa (H2O) (http://www.dryiceinfo.com). Dry ice

sering digunakan untuk mempertahankan produk beku pada penyimpanan, seperti produk es krim. Di bidang industri, sering digunakan untuk menghancurkan atau mematahkan ubin dengan cara dikerutkan kemudian dipatahkan. Selain itu juga sering digunakan untuk membekukan air dalam saluran pipa selama dilakukan proses perbaikan pada bagian pipa yang rusak. Dry ice juga dapat digunakan untuk membuat kabut pada pementasan teater, dan pada bidang pangan sering digunakan untuk membuat minuman berkarbonasi, seperti softdrink dan bir. Dry ice juga dapat digunakan sebagai perangkap nyamuk, sebagai bahan untuk

fumigasi, untuk mendinginkan dan menghambat bunga mekar saat distribusi tanaman bunga, dan untuk penyimpanan bahan pangan

Namun selain memiliki manfaat yang banyak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menangani dry ice. Dry ice memiliki suhu yang sangat

rendah, sehingga bila tersentuh dengan kulit atau produk pangan secara langsung akan mengakibatkan kerusakan. Kulit manusia akan melekat kuat pada dry ice

dan menimbulkan luka seperti luka bakar, sedangkan pada produk pangan akan mengakibatkan kerusakan atau penurunan mutu. Untuk mengantisipasi kerusakan yang terjadi dalam penanganannya, dry ice lebih baik dibungkus dengan kain atau


(36)

18

kertas koran, dan ditangani dengan menggunakan sarung tangan kain. Dry ice

dapat digunakan untuk membekukan atau mendinginkan sayuran dan buah-buahan ataupun daging.


(37)

19

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, pada bulan November 2009 hingga Januari 2010.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah :

1. Jamur merang (Volvariella volvaceae) yang dipanen pada stadium telur,

diperoleh dari kelompok tani ”MM” di Indramayu.

2. Dry ice, diperoleh dari PT. Samator Jakarta dan J.A.S Oksigen Cibinong.

3. Plastik kemasan polietilen,

4. Boks styrofoam diperoleh dari CV. Karya Guna Jakarta.

5. Kertas koran.

Alat yang digunakan adalah :

1. Timbangan digital Mettler PM 4800 Deltarange

2. Rheometer model CR-500

3. Hybrid recorder ModelDR 130 Yokogawa

4. pH meter

5. Mikroskop Cahaya Nikon 6. Kamera Olympus

7. Minolta Color Reader CR-10

8. Alat analisis kimia kandungan protein

3.3. Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu :

1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice yang tepat dan

lama pembekuan.

2. Perbandingan proses pembekuan dan mutu jamur merang segar dengan mutu jamur merang setelah thawing pada pembekuan menggunakan freezer


(38)

20

3.3.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan.

Percobaan tahap pertama ini bertujuan untuk mendapatkan perbandingan jamur merang segar dengan dry ice yang tepat dan lama pembekuan. Pada tahap ini digunakan 4 perbandingan (b/b), yaitu (A) 1:1/2; (B) 1:1; (C) 1:2; (D); 1:3 dengan 3 ulangan.

Jamur merang yang digunakan berada pada fase telur, tidak busuk, dan memiliki bentuk yang normal. Tiap perlakuan menggunakan 500 gram jamur merang yang dibungkus kemasan plastik polietilen (PE) berlubang. Penyusunan jamur merang dalam kemasan polietilen, diatur sedemikian rupa hingga berupa satu lapisan, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Susunan jamur merang dalam kemasan plastik PE: (A) tampak samping dan (B) tampak atas

Dry ice yang digunakan berbentuk balok seberat 10 kg, sehingga ukurannya

harus diperkecil untuk lebih mempermudah penanganan dan penimbangan. Dry ice yang digunakan dibungkus dengan kertas koran, supaya tidak merusak jamur

merang. Jumlah dry ice yang digunakan dibagi menjadi 2 bagian yang sama,

untuk diletakkan di bagian atas dan bawah jamur merang, seperti dapat dilihat pada Gambar 6.

A


(39)

21

Gambar 6 Posisi dry ice dan kemasan jamur merang dalam kotak styrofoam

Parameter yang diamati adalah suhu jamur merang dan waktu pembekuan, hingga pusat jamur merang mencapai suhu -18˚C. Pengamatan suhu dilakukan menggunakan thermohybrid yang memiliki 20 buah termokopel. Untuk tiap unit

perlakuan, dipasang 3 buah termokopel yang ditusukkan pada jamur merang, hingga dapat mengukur suhu pusatnya, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 (A) Penempatan termokopel (1, 2, dan 3), dan (B) posisi jamur merang

dan dry ice dalam kotak Styrofoam

Thermohybrid di atur untuk mencatat data suhu setiap 5 menit, mulai dari

jamur merang dimasukkan ke dalam kotak styrofoam beserta dry ice yang sudah

ditimbang. Penimbangan dan pengemasan dry ice harus dilakukan dengan cepat

untuk meminimalkan terjadinya sublimasi. Pada proses pembekuan, kotak

styrofoam tidak ditutup rapat, supaya gas karbondioksida hasil sublimasi dari dry ice dapat keluar. Setelah suhu pusat jamur merang mencapai suhu -18˚C, kemudian dilakukan penimbangan pada bobot jamur merang beku dan bobot dry ice yang masih tersisa.

1

2

3

A B

= kotak Styrofoam

= dry ice dibungkus Koran


(40)

22

Dari percobaan pertama ini didapatkan data penurunan suhu jamur merang dan waktu pembekuan hingga mencapai suhu -18˚C, yang digunakan untuk menghitung laju pembekuan dari masing-masing perlakuan sesuai rumus dari The International Institute of Refrigeration dalam Olivera, et al (2009). Selain itu juga dapat diketahui kebutuhan konsumsi dry ice-nya, dengan mengurangi bobot awal dan bobot akhir dry ice. Dari data yang diperoleh, dapat ditentukan

perlakuan yang paling efektif dengan menentukan perlakuan yang memiliki laju

pembekuan paling cepat (˚C/menit) dengan jumlah konsumsi dry ice yang paling

sedikit. Prosedur penelitian tahap 1 secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Diagram alir penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan

3.3.2. Perbandingan proses pembekuan dan mutu jamur merang segar dengan jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan

freezer dan dry ice.

Percobaan tahap 2 adalah bertujuan membandingkan proses pembekuan dan mutu jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan freezer

dan dry ice dengan jamur merang segar. Perlakuan yang digunakan dalam tahap

Dry ice Jamur Merang

Pengecilan Ukuran Sortasi

Penimbangan Penimbangan

Pembungkusan dengan Kertas

Pengemasan dalam Plastik PE

Pembekuan

Jamur Merang Beku Perbandingan

Dry ice : Jamur

Pengamatan Parameter


(41)

23

ini ada 3, yaitu (A) pembekuan jamur merang menggunakan freezer, (B) pembekuan jamur merang menggunakan dry ice, dan (C) jamur merang segar

sebagai kontrol. Perlakuan menggunakan dry ice merupakan hasil yang

didapatkan dari percobaan tahap pertama. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 ulangan.

Model matematika yang digunakan adalah : Yij = µ + Ai + ∑ij

Yij = respon karena pengaruh perlakuan ke-i pada contoh ke-j µ = nilai tengah umum

Ai = pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan i

Sebagai perbandingan waktu pembekuan jamur merang menggunakan

freezer dan dry ice, dihitung pula perkiraan waktu pembekuan dengan memperhitungkan ketebalan dan termal konduktivitas dari bahan pengemasnya menggunakan metode analitik, dengan rumus Plank (Lopez-Leiva et al, 2003).





2 2 1

24

1

6

k

L

k

x

h

L

tf

a f

λp = panas laten kristalisasi = 335 KJ/kg (Singh et al, 2005)

θf = freezing point bahan pangan = (-0,8) – (-2,7) ˚C (Fellows, 2000)

θa = suhu media pembekuan = -60˚C (dry ice) dan -16˚C (freezer) L = diameter jamur = 0,027 m

h = koefisien transfer panas permukaan = 50-100 W/m2˚C (Akterian S.G, 1995)

x = ketebalan bahan pengemas = 3.10-3m

k1 = termal konduktivitas pengemas (PE) = 0,42 W/m2˚C

k2 = termal konduktivitas zona pembekuan = 0,212-0,668 W/m2˚C (Tansakul, 2008)


(42)

24

Jamur merang yang digunakan berada pada fase telur, tidak busuk, dan memiliki bentuk yang normal. Tiap perlakuan menggunakan 500 gram jamur merang yang dibungkus kemasan plastik polietilen (PE) berlubang. Penyusunan jamur merang dalam kemasan polietilen, diatur sedemikian rupa hingga berupa satu lapis, seperti dapat dilihat pada Gambar 6. Freezer yang digunakan adalah

freezer standar laboratorium, diatur pada suhu -20˚C. Dry ice yang digunakan

diperkecil ukurannya supaya lebih mempermudah penanganan dan penimbangan.

Dry ice dibungkus dengan kertas koran, supaya tidak merusak jamur merang.

Jumlah dry ice yang digunakan dibagi menjadi 2 bagian yang sama, untuk

diletakkan di bagian atas dan bawah jamur merang, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.

Parameter yang diamati adalah suhu jamur merang pada pembekuan menggunakan freezer bersuhu -20˚C dan dry ice. Pengamatan suhu dilakukan

menggunakan thermohybrid yang memiliki 20 buah termokopel. Untuk tiap unit perlakuan, dipasang 3 buah termokopel yang ditusukkan pada jamur merang, hingga dapat mengukur suhu pusatnya, seperti dapat dilihat pada Gambar 6. Termokopel diletakkan di bagian tengah, di tepi atas dan di tepi bawah dalam kemasan. Thermohybrid di atur untuk mencatat data suhu setiap 5 menit. Pencatatan mulai dari jamur merang dimasukkan ke dalam freezer bersuhu -20˚C ataupun setelah dimasukkan ke dalam kotak styrofoam yang berisi dry ice. Pengamatan bobot jamur merang beku pada perlakuan freezer dan dry ice

dilakukan setelah suhu pusat jamur merang mencapai suhu konstan, kemudian dilakukan thawing pada suhu kamar selama kurang lebih 2 jam. Perlakuan

pembanding merupakan jamur merang segar, yang disiapkan pada saat perlakuan A dan B di-thawing. Jamur merang segar yang digunakan sebanyak 500 gram dan

dikemas dengan kemasan plastik polietilen berlubang. Perlakuan tersebut disimpan pada suhu kamar selama proses thawing pada perlakuan A dan B.

Pada Gambar 9 dapat dilihat peralatan yang digunakan untuk pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice, serta jamur merang dalam


(43)

25

Gambar 9 (A) freezer (B) kotak styrofoam dan thermohybrid yang digunakan untuk pembekuan, serta (C) jamur merang saat thawing.

Pengamatan mutu jamur merang yang dilakukan saat proses pembekuan adalah :

1. Penurunan suhu jamur merang 2. Bobot jamur merang beku

Pengamatan mutu jamur merang yang dilakukan pasca thawing adalah : 1. Warna jamur merang, menggunakan colour reader.

2. Tekstur jamur merang menggunakan rheometer. 3. Kandungan protein jamur merang

4. pH jamur merang dengan pH-meter 5. Bobot jamur merang thawing.

6. Warna, tekstur, dan aroma jamur merang menggunakan uji organoleptik 7. Waktu sublimasi dry ice dan thawing jamur merang pada pembekuan

menggunakan dry ice.

8. Pengamatan jaringan jamur merang dengan mikroskop cahaya setelah dibuat menjadi preparat.

Selain itu dihitung pula analisis biaya pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice. Prosedur penelitian tahap 2 secara lengkap

dapat dilihat pada Gambar 10. 3.3.3. Pengukuran

1. Pengukuran laju pembekuan, dilakukan dengan mengukur pusat jamur merang hingga mencapai suhu -18˚C, kemudian dihitung dengan rumus dari The International Institute of Refrigeration dalam Olivera, et al. (2009), yaitu

C B


(44)

26 1 2 1 2

t

t

T

T

FR

Dimana :

FR = Laju pembekuan (˚C/menit)

T1 = Suhu awal (˚C)

T2 = Suhu akhir (˚C) = -18˚C

(t2 - t1) = Selisih waktu dari awal hingga akhir pembekuan (menit)

Gambar 10 Diagram alir perbandingan mutu jamur merang segar dengan jamur merang pasca thawing menggunakan freezer dan dry ice.

2. Pengukuran kadar protein, dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl, hasil yang didapatkan dari hasil titrasi dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Jamur Merang

Sortasi

Penimbangan

Pengemasan

Pembekuan

freezer (A) -20˚C

Pembekuan

dry ice (B)

Jamur Merang Segar

Thawing Thawing

Pengamatan & Uji organoleptik Pengamatan & uji organoleptik Pengamatan & uji organoleptik Jamur Merang Beku Jamur Merang Beku


(45)

27

h bobotconto NHCL mlblanko mlHCL

protein * *6.25*0.014

%  

3. Pengukuran kekerasan jamur merang, dilakukan dengan menggunakan SUN Rheometer CR-500 Compac_100, beban maksimal 2 kg, kedalaman probe 15,0 mm dan laju penekanan 60 mm/menit. Hasil pengukuran akan terlihat di LCD dan dilakukan pencatatan. Satuan pengukuran dinyatakan dalam kg-force (kgf) yang kemudian dikalikan dengan 9,8 Newton untuk menghasilkan satuan Newton.

4. Pengukuran warna jamur merang dilakukan dengan menggunakan colorimeter Minolta CR-10. Nilai warna yang diambil adalah nilai L, a , dan b, sebagai satu kesatuan. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan, mulai 0 untuk warna hitam dan 100 untuk warna putih. Nilai a menyatakan warna merah untuk 0 hingga 100, dan warna hijau untuk nilai 0 hingga -80. Nilai b menyatakan warna kuning untuk nilai 0 hingga 70 dan warna biru untuk nilai 0 hingga -70. 5. Pengukuran pH jamur merang, dilakukan dengan menggunakan pH-meter

HANNA. Jamur merang diambil sebanyak 10 gram, dihancurkan, dan dilarutkan dalam 20 ml aquadest sampai homogen, kemudian diukur pH-nya. 6. Pengukuran susut bobot, dilakukan dengan menggunakan timbangan digital

Mettler PM 4800 Deltarange. Perubahan bobot setelah pembekuan dihitung dengan rumus sesuai AOAC, 1995 :

% 100    awal bobot thawing pasca bobot awal bobot susutbobot

7. Pengujian organoleptik jamur merang, meliputi warna, tekstur, dan aroma dilakukan dengan metode consumer preference test. Bahan diberi kode 3 digit tertentu dan disajikan secara acak. Kriteria penilaian memiliki skala 1 (sangat tidak suka) hingga 7 (sangat suka). Kemudian dilakukan perhitungan nilai kepentingan dan pembobotan untuk mengetahui perlakuan yang paling disukai dari hasil pengujian organoleptik kesukaan.

8. Pengamatan histologi jaringan jamur merang dilakukan di Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Jamur merang yang sudah mendapat perlakuan dibuat menjadi preparat.


(46)

28

Jamur merang yang sudah diiris secara melintang dan membujur, kemudian dilakukan fiksasi jaringan, dengan fiksasi Bowin. Fiksasi jaringan dilakukan untuk mempertahankan morfologi jaringan supaya tidak rusak selama pengeluaran air dari dalam jaringan. Fiksasi Bowin adalah larutan asam pikrat jenuh, formalin 37%, dan asam asetat, yang digunakan untuk merendam irisan jamur merang selama 24 jam. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan perendaman dalam larutan alkohol, yang secara bertahap konsentrasinya ditingkatkan, yaitu mulai 70%, 80%, 90%, 95%, hingga mencapai absolute, selama masing-masing 24 jam. Kemudian di rendam lagi dalam larutan alkohol absolut sebanyak 2 tahap dan dalam larutan xylol sebanyak 3 tahap selama masing-masing 1 jam. Setelah semua air keluar dari jaringan, maka dilakukan perendaman dalam parafin, untuk menguatkan morfologi jaringan sebanyak 3 tahap selama masing-masing 1 jam. Selanjutnya, dilakukan pembuatan blok dalam parafin dan diiris menggunakan mikrotom, yang selanjutnya dibuat menjadi preparat. Preparat jamur merang diamati menggunakan mikroskop cahaya dan direkam dengan kamera digital.


(47)

29

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan perbandingan berat jamur merang dengan dry ice dan lama pembekuan

Jumlah dry ice yang digunakan dalam proses pembekuan berpengaruh

terhadap laju pembekuan. Semakin banyak dry ice yang digunakan, maka

semakin cepat laju pembekuannya, sebaliknya semakin sedikit maka laju pembekuan akan semakin lambat atau mungkin tidak mencapai titik beku yang diharapkan. Namun bila terlalu banyak dry ice yang digunakan, akan menjadi tidak efisien karena banyak yang bersisa, seperti yang dinyatakan oleh Delgado et al., 2005, bahwa penentuan kondisi pembekuan sangat penting untuk mendapatkan proses pembekuan dengan efisiensi yang optimal.

Pembekuan jamur pada umumnya dilakukan hingga suhu pusatnya di bawah -18˚C dan disimpan pada suhu di bawah -18˚C (Anonim, 2007). Berdasarkan literatur tersebut dibuat empat perlakuan untuk menentukan perbandingan jamur merang dan dry ice serta lama waktu pembekuan yang tepat untuk menghasilkan penurunan suhu pusat jamur mencapai -18˚C.

Hasil pengamatan terhadap penurunan suhu dan lama waktu yang dibutuhkan dapat dilihat pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa terdapat dua pola kurva penurunan suhu yang hampir sama dari ke empat perlakuan. Pola penurunan suhu yang pertama dihasilkan oleh perbandingan 1:1/2 dan perbandingan 1:1, dengan kurva yang lebih landai. Kedua perlakuan tersebut tidak mampu mencapai suhu -18˚C, terutama pada perlakuan 1:1/2, terlihat mengalami kenaikan suhu pada akhir fase pembekuan. Kondisi ini dapat disebabkan karena jumlah dry ice yang digunakan terlalu sedikit sehingga tidak mampu memindahkan seluruh panas yang berada di jamur merang hingga mencapai suhu yang diinginkan, bahkan mengakibatkan peningkatan suhu karena seluruh dry ice yang digunakan sudah habis tersublimasi pada menit ke 195. Pada perlakuan 1:1, pada akhir proses pembekuan terlihat masih mengalami penurunan suhu namun, belum mencapai -18˚C. Jamur merang pada kedua perbandingan tersebut, tidak seluruhnya kontak dengan dry ice karena perbandingannya terlalu kecil, sehingga penurunan suhunya tidak seragam dan


(48)

30

merata. Menurut Fellows (2000), panas dari bahan pangan merupakan panas laten sublimasi bagi dry ice, dengan makin banyak kontak antara bahan pangan dan

bahan pembeku, maka pindah panas juga makin cepat terjadi.

Gambar 11 Penurunan suhu jamur merang pada 4 perlakuan

Pada perlakuan 1:2 dan 1:3, kurva yang terbentuk terlihat lebih curam, menunjukkan penurunan suhu yang lebih cepat dan mampu mencapai suhu -18˚C. Kondisi ini dapat disebabkan karena jumlah dry ice yang digunakan cukup untuk memindahkan panas pada jamur merang hingga mencapai suhu yang dikehendaki. Kedua perlakuan tersebut menghasilkan laju pembekuan yang sama, yaitu 0,27˚C/menit seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Laju pembekuan total dan pemakaian dry ice pada 4 perlakuan

Perbandingan Selisih Waktu Laju Pemakaian

Dry ice:jamur Suhu

(⁰C)

Pembekuan (menit)

Pembekuan (⁰C/menit)

dry ice

(gram) ½ : 1 29.62 235.2 0.13 170.59 1 : 1 38.81 211.2 0.18 297.47 2 : 1 48.93 181.8 0.27 421.76 3 : 1 45.83 169.2 0.27 448.60 Bila dilihat dari kebutuhan dry ice-nya, perbandingan 1:2 membutuhkan jumlah dry ice yang lebih sedikit dibandingkan dengan perbandingan 1:3. Hal ini dapat disebabkan karena pada perbandingan 1:3, lebih banyak energi dry ice yang hilang akibat tersublimasi dibandingkan dengan energi yang digunakan untuk


(49)

31

membekukan jamur merang. Selain itu, pada perbandingan 1:3 lebih banyak dry ice yang tersisa, sehingga menjadi tidak efisien.

Dari hasil penelitian tahap pertama ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan jamur merang dan dry ice yang memiliki laju paling cepat dan menggunakan dry ice paling sedikit adalah perbandingan 1:2, sehingga perbandingan tersebut dipilih untuk digunakan untuk kajian pada tahap berikutnya.

4.2. Perbandingan pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan

dry ice

Perbandingan pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice

dilakukan pada proses pembekuan dan analisis parameter mutunya, berupa warna, kekerasan, bobot, uji organoleptik, dan histologi. Metode pembekuan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan freezer, sedangkan metode pembekuan

menggunakan dry ice merupakan salah satu alternatif, karena suhunya yang sangat rendah. Jamur merang merupakan produk yang perishable, sehingga

apabila dibekukan, dibutuhkan pembekuan dengan laju yang cepat untuk mempertahankan mutunya. Pembekuan komoditas pertanian menggunakan

freezer menurut literatur termasuk ke dalam laju pembekuan yang rendah,

digunakan sebagai pembanding mutu jamur merang yang dibekukan dengan dry ice, selain digunakan juga jamur merang segar sebagai kontrol.

4.2.1. Perkiraan laju pembekuan jamur merang menggunakan rumus Plank

Waktu pembekuan dapat diketahui dengan melakukan percobaan dan mengamati pusat jamur merang hingga mencapai suhu beku, sehingga dapat dihitung laju pembekuannya. Namun untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan proses pembekuan, juga dapat dilakukan dengan menghitung menggunakan rumus Plank. Hasil perhitungan waktu pembekuan dengan rumus Plank dan lajunya dapat dilihat pada Tabel 9. Perhitungan dengan rumus Plank adalah menghitung waktu pembekuan mulai dari freezing point jamur merang, yaitu -2.7˚C hingga mencapai -18˚C


(1)

53

pembekuan masih dapat mempertahankan kandungan nutrisi pentingnya, yaitu protein.

Gambar 26 Jamur merang beku menggunakan (A) freezer, (B) dry ice, dan (C) jamur merang segar

Gambar 27. Perubahan suhu pusat jamur merang pada pembekuan menggunakan dry ice dan thawing

4.2.4. Analisis Biaya

Analisa biaya yang dilakukan adalah menghitung biaya produksi pembekuan menggunakan freezer dan dry ice untuk tiap kg jamur merang. Dari hasil perhitungan analisis biaya pada Lampiran 10, biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice disajikan pada Tabel 22.

Pre cooling Pembekuan Thawing

Pendinginan awal

C

B A


(2)

54

Tabel 22 Tabel biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer dan dry ice

No. Jenis Pembekuan Biaya (Rp/kg) Investasi (Rp/kg)

1. Freezer 27.535,- 5.000.000,-

2. Dry ice 38,600,- -

Dari Tabel 22 terlihat biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer lebih rendah dibandingkan menggunakan dry ice, masing-masing adalah Rp. 27.535,-/kg dan Rp. 38.600,-/kg, namun untuk pembekuan menggunakan freezer memiliki biaya investasi berupa freezer 163W sebesar Rp. 5.000.000,- dengan masa teknis 5 tahun. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice lebih mahal karena penggunaan dry ice yang hanya sekali pakai, dengan harga Rp. 9.000,- di distributor utama, dan mencapai Rp.15.000,-/kg di tingkat pengecer. Harga dry ice mampu mencapai Rp. 20.000,-/kg pada musim-musim tertentu.

Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice walaupun memiliki biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan freezer, namun lebih fleksibel digunakan di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau oleh freezer. Dry ice dan peralatannya yang sederhana, dapat digunakan untuk membekukan jamur merang di tingkat pengumpul, baik dalam kondisi terjadi kelebihan produksi atau kendala dalam distribusi sehingga dapat memperpanjang umur simpan jamur merang dalam kondisi beku. Penggunaan metode pembekuan menggunakan dry ice tidak dapat menggantikan fungsi freezer untuk penyimpanan beku, karena dry ice sangat cepat tersublimasi sehingga hanya digunakan untuk mempercepat pembekuan jamur merang untuk kemudian dipindahkan ke dalam freezer. Selain itu pembekuan menggunakan dry ice juga dapat menghasilkan kristal es yang berukuran lebih kecil, sehingga diharapkan mampu mengurangi terjadinya kerusakan mekanik akibat terbentuknya kristal es yang besar. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice memiliki peluang yang cukup baik karena mudah digunakan dengan peralatan sederhana untuk mempercepat proses pembekuan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan pembekuan menggunakan freezer. Selain itu dry ice sebagai produk samping dari industri semen dan pupuk, juga dapat dimanfaatkan.


(3)

55

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Perbandingan jamur merang dengan dry ice yang paling efektif pada pembekuan menggunakan dry ice adalah 1:2.

2. Laju pembekuan jamur merang menggunakan dry ice adalah 0,27˚C/menit, termasuk ke dalam laju pembekuan komersial, dengan asumsi kristal es yang terbentuk lebih kecil daripada kristal es yang terbentuk pada pembekuan menggunakan freezer karena mampu melampaui zona kritis pembekuan dalam waktu kurang dari 30 menit, dengan laju pembekuan lambat sebesar

0,05˚C/menit.

3. Pembekuan berpengaruh terhadap penurunan mutu warna, kekerasan jamur merang, dan bobot pasca thawing, peningkatan pH, namun tidak berpengaruh terhadap kandungan proteinnya. Jamur merang pasca thawing pada pembekuan menggunakan dry ice lebih disukai daripada menggunakan freezer.

4. Biaya produksi pembekuan jamur merang menggunakan freezer sebesar Rp. 27.535,-/kg dengan biaya infestasi sebesar Rp. 5.000.000,- dan menggunakan dry ice sebesar Rp. 38.600,-/kg.

5.2. SARAN

1. Untuk penelitian selanjutnya, pembekuan menggunakan dry ice disarankan untuk menggunakan pengemasan tidak berlubang atau pengemasan vakum agar mencegah terjadinya dehidrasi yang terlalu tinggi pada jamur merang. 2. Perlu dilakukan pengamatan umur simpan jamur merang pada pembekuan

menggunakan dry ice dalam kondisi beku.

3. Pembekuan jamur merang menggunakan dry ice dapat digunakan sebagai teknologi perantara untuk mempercepat waktu pembekuan dan dapat digunakan untuk keadaan darurat, tanpa menggantikan fungsi freezer sebagai teknologi untuk penyimpanan beku.


(4)

56

DAFTAR PUSTAKA

Akterian, SG, 1995, Simulation of Unsteady Heat Transfer in Canned Mushroom in Brine during Sterilization Processes, Journal of Food Engineering, Volume 25.

Alvarez MD, Canet W, Tortosa ME, 1997, Effect of Freezing Rate and Programmed Freezing on Rheological parameters and Tissue Structure of Potato (CV Monalisa), Z Lebensm Unter Forsch A 204, © Springer-Verlag. Anonim, 2007, Storage Techologies for Mushroom Experimentation Station for

Storage Technology Development on Agricultural Products, Fujian, in Juncao Technology for Developing Country, Fuzao, China.

AOAC, 1995, Official Methode of Analysis, 16th ed. Associationof the Official Analytical chemists, Washington, DC.

Badan Standarisasi Nasional, 2000, SNI 01-6945-2003 Jamur Merang Segar. Chang ST dan Miles PG, 2004, Mushrooms Cultivation, Nutritional Value,

Medicinal Effect, and Environmental Impact, CRC Press, Boca Raton. Chassagne-Berces S, Poirier C, Devaux MF, Fonseca F, Lahaye M, Pigorini G,

Girault C, Marin M, Guillon F, 2009, Changes in Texture, Cellular Structure, and Cell Wall Composition in Apple Tissue as a Result of Freezing, Journal of Food Research International, Volume 42.

Cho KY, Yung KH, Chang ST, 1982, Preservation of cultivated mushroom, di dalam : ST Chang dan TH Quimo (eds), Tropical Mushroom, Biological Nature and Cultivation Methods, the Chinese University, Hongkong

Delgado AE dan Rubiolo AC, 2005, Microstructural Changes in Strawberry after Freezing and Thawing Processes, Lebensm–Wiss unter Technology, Volume 38. Swiss Society of Food Science and Technology.

Dirim SN, Özden HÖ, Bayidirli A, Esin, 2004, Modification of Water Vapour Transfer RAteof Low Density Polyethylene Film for Food Packaging, Journal of Food Engineering Volume 63.

Evans JA, 2008, Frozen Food Science and Technology, Blackwell Publishing, Ltd, Oxford, United Kingdom.

FAO Corporated Repository, 2009, Freezing Fruit and Vegetables, http://www.fao.org/docrep/008/y5979e/y5979e03.htm#TopOfPage,


(5)

57

FAO Corporated Repository, 2009, Small Scale Post-Harvest Handling Practices-A Manual for Horticultural Crops, http://www.fao.org/wairdocs/x5403e/ x5403e09.htm#TopOfPage, Originate by Agriculture and Consumer Protection. [11/22/2009]

Fellows P, 2000, Food Processing Technology, Principles and Practice, Woodhead Publishing Limited, Cambridge.

http://www.dryiceinfo.com/Other Uses, 2008; [14 Mei 2009] http://www.dryice.gr/faq_en.php [2 Maret 2010]

http://www.hortikultura-bandung.com, 20 maret 2008 [22 April 2009]

Jaworska G dan Bernard E, 2010, Effects of Pre-treatment, Freezing and Frozen Storage on The Texture of Boletus edulis (Bull: Fr.) Mushrooms, International Journal of Refrigeration xxx, 1–9.

Julianti E, 1997, Penyimpanan Jamur Merang Segar (Volvariella volvaceae) dalam Kemasan White Strech Film, Strech Film, dan Polipropilen dengan

Sistem “Modified Atmosphere”, Program Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Kim KM, Ko JA, Lee JS, Park HJ, Hanna MA, 2005, Efect of Modified Atmosphere Packaging on The Shelf-life of Coated, Whole, and Slice Mushroom, Journal of Food Science and Technology, Volume 39.

López-Leiva M dan Hallström B, 2003, The Original Plank Equation and its Use in Development of Food Freezing Rate Prediction, Journal of Food Engineering, Volume 58.

Mau JL; Chyau CC; Li JY, Tseng YH, 1997, Flavor Compounds in Straw Mushrooms Volvariella volvacea Harvested at Different Stages of Maturity, Journal of Agricultral and Chemistry, Volume 45.

Olivera DF dan Salvadori VO, 2009, Effect of freezing rate in textural and rheological characteristics of frozen cooked organic pasta, Journal of Food Engineering, Volume 90.

Pantastico ER B, 1986, Fisiologi Pascapanen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika, diterjemahkan oleh Kamariyani, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pasaribu T, Permana DR, Alda ER, 2002, Aneka Jamur Unggulan yang Menembus Pasar, Penerbit PT Grasindo, Jakarta


(6)

58

Rahman MS dan Velez-Ruiz JF, 2007, Food Preservation by Freezing, dalam Handbook of food Preservation 2nd edition, edited by M. Safiur Rahman, CRC Press, Bocaraton.

Salunkhe DK, 1976, Storage, Processing, and Nutritional Quality of Fruits and Vegetables, CRC Press, Ohio.

Setyaningsih D, Apriyantono A, Puspita Sari M, 2010, Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro, IPB Press, Bogor, Indonesia.

Sinaga MS, 2000. Jamur Merang dan Budidayanya, Penerbit PT Penebar Swadaya, Bogor.

Singh RP dan Sarkar A, 2005, Thermal Properties of Froozen Foods in Engineering Properties of Food, 3th edition, Edited by Rao MA, Rizvi SSH, Datta AK, Taylor&Francis, Boca Raton.

Stamets P, 1993, Growing Gourmet and Medicinal Mushroom, Ten Speed Press, Berekeley, C A.

Suharjo E, 2007, Budidaya Jamur Merang dengan Media Kardus, Penerbit PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sun Da-Wen dan Li Bing, 2002, Microstructural Change of Potato Tissues Frozen by Ultrasound-assisted Immersion Freezing, Journal of Food Engineering, Volume 57.

Swain MVL, Gigiel AJ, Limpens G, 1999, Textural Effect of Chilling Hot Longissimus dorsi Muscle with Solid CO2. Journal of Meat Science Volume 51.

Tansakul A dan Lumyonga R, 2008, Thermal Properties of Straw Mushroom, Journal of Food Engineering, Volume 87.

Thorne S, 1989, Development in Food Preservation-5, Elsevier Applied Science, London, United Kingdom.

Tucker GS, 2008, Food Biodeterioration dan Preservation, Blackwell Publishing Ltd, Oxford, UK

Widiyastuti B, 2007, Budidaya Jamur Kompos (Jamur Merang dan Jamur Kancing), Penerbit PT Penebar Swadaya, Bogor.

Yakimishen R, Cenkowski S, Muir WE, 2002, The Effect of Dry ice Freezing on Saskatoon Berry Quality, Canadian Biosistems Engineering, Volume 44.