Hubungan Antara Besarnya Uang Japuik Dengan Status Sosial Laki-Laki

49 Pariaman, maka pemberian uang japuik sendiri tergantung keluarga kedua belah pihak, apakah tetap dilaksanakan atau tidak”. 7 Oleh karena itu, akan timbulberbagai variasi yang bisa terjadi dalam tradisi ini tergantung pada latarbelakang tradisi tersebut dilaksanakan. Variasi yang ditemukan akan berbeda mereka yang masih ada kontak di kampuang dengan tidak atau tergantung kepada sudah berapa mereka migrasi, apakah hanya kesana saja atau sebelumnya sudah kemana-mana. Jangankan di rantau, bermacam variasi juga bisa terjadi di pariaman itu sendiri juga. Hematnya sampai kemana nilai budaya pariaman itu akan dibawa dalam proses migrasi. 8

B. Hubungan Antara Besarnya Uang Japuik Dengan Status Sosial Laki-Laki

Pariaman Seiring dengan perkembangan masyarakat, terutama akibat pengaruh ekonomi telah menggeser posisi laki-laki yang mempunyai gelar sidi, bagindo dan sutan kepada pekerjaaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Apalagi di perantauan tradisi perkawinan Pariaman hanya dilaksanakan secara garis besar saja. Akan tetapi hal tersebut tidak menghilangkan esensi dari tradisi itu sendiri. Seperti disinggung sebelumnya bahwa sesuai dengan tuntutan zaman status sosial ekonomi perlahan telah menggeser gelar kebangsawanan untuk menentukan jumlah uang japuik itu sendiri. Status sosial ekonomi tentu lebih tepat dipandang dari pekerjaan dan pendapatan dari seorang lak-laki. Inilah yang menentukan tinggi rendahnya jumlah uang japuik. Semakin tinggi prestise pekerjaan dan 7 Wawancara pribadi dengan Sutan Awaluddin Tokoh Adat, Tangerang, 23 Maret 2016. 8 Wawancara pribadi dengan Mochtar Naim Sosiolog, Antropolog dan Budayawan Minangkabau, Ciputat, 20 Agustus 2016. 50 pendapatan calon pengantin laki-laki, maka semakin tinggi jumlah uang japuik dan begitu sebaliknya. Dari penelitian penulis mendapatkan informasi bahwa masyarakat Pariaman perantauan Kutabumi masih menjaga dan melaksanakan tradisi uang japuik yang bertolok ukur kepada status sosial laki-laki. Jika diperhatikan secara sosial ekonomi orang Pariaman yang ada di perantauan ini umumnya beprofesi sebagai pedagang dan wiraswasta. Perlu juga dipahami bahwa di Kutabumitidak hanya latarbelakang pekerjaan yang menjadi pertimbangan terhadap jumlah uang japuik tersebut, tetapi kebangsawanan atau latarbelakang keluargakadang-kadang jug menjadi tolok ukur dalam menentukan uang japuik tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Ketua PKDP Kutabumi Asril. 9 “memang betulsekarang ini tradisi uang japuik ini ditentukan dalam hal pendidikan, pekerjaan, tetapi ada juga misalnya orang itu tidak bekerja, tetapi beliau Induak Samang Gadang 10 , maka dari mamaknya laki-laki tidak akan mau memberikan kemenakannya secara perai sajo gratis, mana tau dia mempunyai banyak toko ameh emas di Jakarta. Artinya selain bertolok ukur kepada pekerjaan seseorang laki-laki, latarbelakang keluarga atau kebangsawanan juga masih ikut menentukan ”. Berdagang merupakan merupakan suatu bentuk pertimbangan lain untuk mencari seorang laki-laki yang menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus kesempatan untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang yang mempunyai pekerjaan tetap. Meskipun tidak menempuh pendidikan tinggi, karena pendidikan tinggi belum tentu dapat menghasilkan uang, sehingga pekerjaan sebagai 9 Wawancara pribadi dengan Asril Caniago Ketua PKDP Kutabumi, Tangerang 23 Maret 2016. 10 Induak Samang Gadang sama dengan Juragan besar yang mempunyai usaha sendiri mampu memberikan lapangan kerja dan berkembang dimana-mana. 51 pedagang merupakan alternatif untuk meningkatkan status sosial di tengah-tengah masyarakat. 11 Mungkin bisa dikatakan di Kutabumi tidak banyak perantau dari Pariaman yang pendidikan tinggi atau bekerja sebagai PNS, yang lebih mendominsasi profesi sebagai pedagang dan pengrajin sepatu. Dalam hal menentukan uang japuik di Kutabumi tentu lebih mempertimbangkan pekerjaan dan pendapatan. Seperti diungkapkan ketua PKDP Kutabumi. 12 Kalau di Kutabumi ini jarang orang yang Sarjana, banyaknya pedagang dan buka bengkel sepatu, nah biasanya uang japuik untuk seorang pedagang kaki lima di Kutabumi tidak kurang dari 10 Juta uang japuik yang diterimanya, apalagi dia seorang induak samang bos yang punya usaha bengkel sepatu sendiri, Isi toko yang padat dan jenis barangyang laku dipasarantentu uang japuik yang akan diterimanya lebih besar berkisar 10- 15 Juta. Salah seorang informan Zamris mengaku menikah pada tahun 2012 beliau dijapuik dengan jumlah uang japuik 12 Juta. Pada saat itu beliau baru mulai membuka bengkel pembuatan sepatu, sebelumnya sudah lama bekerja di bengkel sepatu milik orang Pariaman. Bahkan uang japuik yang disepakati tidak diberatkan kepada pihak perempuan saja, beliau juga ikut membantu sebagian dari uang japuik tersebut karena menurutnya walaupu di rantau yang namanya adat itu harus di isi. 13 Orang Pariaman sangat menjaga sekali tradisi uang japuik yang menjadi ciri khas dari daerah mereka. Bagaimanapun keadaannya, dimanapun mereka berada tradisi uang japuik tidak boleh ditinggalkan karena merupakan bagian dari adat 11 Wawancara pribadi dengan Asril Caniago Ketua PKDP Kutabumi, Tangerang, 23 Maret 2016. 12 Wawancara pribadi dengan Asril Caniago Ketua PKDP Kutabumi, Tangerang, 23 Maret 2016. 13 Wawancara pribadi dengan Zamris, Tangerang, 22 Maret 2016. 52 sesuai dengan pepatah adat di isi limbago dituang artinya bagi orang Pariaman asalkan tidak melanggar dari ketentuan adat menurut alur dan patut, tentang bagaimanapun caranya tradisi uang japuik ini tetap dilaksanakan meskipun itu hanya sebatas formalitas sebagai bentuk penghargaan kepada ninik mamak. Seperti dijelaskan Agusti Esden 14 Terjadi saya pernah nikah waktu itu saya menikah di japuik dengan 3 buah ringgit emas, itu babunyi diketahui, didengar orang banyak tapi bendanya tidak ada. Itu lah kesepakatan keluarga saya dengan istri karena adat itu kondisional yang harus di isi maka itu dibunyikan saja, itulah bentuk penghargaan untuk ninik mamak. Jika diperhatikan dari pengalaman sebelumnya, besar kecilnya uang japuik memang status sosial yang menentukan. Disamping itu juga merupakan kehendak dari mamak itu sendiri. Dalam pepatah Minangkabau disebutkan “sabalum kandak diagiah pintak dipalakuan” segala sesuatu mamak yang menentukan di kampuang itu. Jadi dari mamak ada syarat-syarat yang ditentukan, umpamanya apakah sanggup memenuhi uang japuiknya sekian? Demikianlah seorang mamak mempertimbangkan calon suami yang cocok untuk kemenakannya. Karena menantu yang baik pekertinya dan mapan hidupnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi mamak dan keluarga perempuan. Bagi masyarakat akan menjadi buah bibir yang baik dan secara tidak langsung menjadi prestise dan penghargaan sosial untuk keluarga tersebut. 15 Oleh karena itu jika ada seorang pemuda yang sudah mapan dari segi materi dan non materi. Maka mamak, ninik mamak dan keluarga besar perempuan tidak 14 Wawancara pribadi dengan Agusti Esden PP PKDP Jakarta, Tanggerang, 19 September 2016 15 Wawancara pribadi dengan Sutan Awaluddin Tokoh Adat, Tangerang, 23 Maret 2016. 53 segan untuk memberikan uang japuik yang lebih untuk laki-laki yang akan menjadi menantu dan pendamping anak kemenakannya nanti. Apalagi laki-laki tersebut mempunyai pekerjaan tetap seperti PNS, Dokter, TNI dan Polisi biasanya uang japuik yang diterimanya berkisar 15-50 Juta. Tapi yang perlu di ingat itu semua kembali lagi kesepakatan kedua pihak keluarga dalam hal ini yang lebih berperan yaitu orang tua dan kadang itu hanya dibunyinya saja. 16 Agusti Esden salah seorang tokoh Pariaman juga sebagai Pengurus Pusat PKDP memberikan sudut pandang yang berbeda bahwa uang japuik ini tidak hanya menghargai keluarga laki-laki saja tapi juga meningkatkan derajat dan status sosial keluarga perempuan. Menurutnya uang japuik ini merupakan pemberian mamak kepada kemenakan perempuannya sebagai pemberian terakhir dari mamak sebelum menikah bukan diberikan kepada laki-laki. Karena ketika kemenakanya mendapatkan calon suami dari latar belakang keluarga terpadang, mapan, baik budinya, dan bagus Iman dan akhlaknya, mamak dan keluarga besar perempuan tentu merasa malu jika calon menantunya jemput dengan sehelai kain saja. Maka untuk menujukan kesetaraan mamak, ninik mamak, bapak, ibu dan bako mengumpulkan panjapuik uang dan benda berharga untuk menantu atau calon suami dari anak kemenakannya tadi. 17 “Uang japuik ini tidak harus diukur dengan status sosial, karena itu pemberian mamak untuk kemenakannya bukan untuk laki-laki tersebut. cuman sebagai simbol untuk laki-laki. Kalau seandainya secara status sosial maka yang akan menikah pasti yang kaya dengan yang kaya saja. Misalnya ada yang bergelar sidi ingin menikah dengan keluarga perempuan yang hidup pas-pasan tentu jika diukur dengan status sosial tidak akan terjadi 16 Wawancara pribadi dengan Agusti Esden PP PKDP Jakarta, Tanggerang, 19 September 2016 17 Wawancara pribadi dengan Agusti Esden PP PKDP Jakarta, Tanggerang, 19 September 2016 54 perkawinan karena tidak akan sangup perempuan tersebut manjapuik sidi tersebut. Untuk itu pihak mamak dan keluarga perempuan berkumpul untuk mengumpulkan uang japutan berapa uang japutan yang pantas untuk yang bergelar sidi gelar kebangsawanan yang tinggi di Pariaman tujuan biar setara kedudukan keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki. Karena suatu kehormatan bagi keluarga perempuan bermenantu dengan sidi, sarjana, doktor dan lain sebagainya. Tidak mungkin calon menantu doktor di japuik dengan lapiak sahalai, itu akan menjatuhkan harga diri perempuan dan keluarga besar akan menjadi buah bibir dan cemohan bagi orang banyak ”. C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Uang Japuik Falsafah adat Minangkabau bahwa Adat Basandi Syara, Syarak Basandi Kitabullah sudah mengambarkan adanya keselarasan antara hukum Islam dengan Adat Minangkabau. Setiap adat dan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau tidak bertentangan dengan hukum Islam karena telah diatur dalam aturan adat yang biasa masyarakat menyebutkan “ syarak mangato adat mamakai, syarak babuhua mati adat babuhua sentak ”., hal ini berdasarkan perjanjian di bukit Marapalam pada tahun 1833 semenjak usai Perang Paderi, waktu itu adat dan syarak di Minangkaau masih kacau maka para petinggi adat berkumpul di Marapalam dan menghasilkan perundingan bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau kesehariannya berlandaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 18 Dengan demikian, Adat Minangkabau tidaklah bersifat statis dan beku alias tidak dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam mamangan disebutkan bahwa adat “usang-usang dipabarui, lapuak-lapuak dikajangi”. Keserasian antara Islam dan adat Minangkabau seperti yang telah dijelaskan di atas 18 Wawancara pribadi dengan Mochtar Naim Sosiolog, Antropolog dan Budayawan Minangkabau, Ciputat, 20 Agustus 2016. 55 menandakan tidak adanya persinggungan yang terjadi antara keduanya, jika itu dilaksanakan dengan sebenarnya dan menurut Alur dan Patut. 19 Apabila diqiyaskan dengan khitbah, tradisi uang japuik menjadi suatu kebiasaan yang dibolehkan dalam hukum Islam, bukan sebuah pelanggaran hukum. Pelaksanaan khitbah tidak ada ketentuan yang jelas dalam nash, siapakah yang mengkhitbah terlebih dahulu baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga tata cara pelaksanaan khitbah, hukum Islam memberikan menyerahkan kepada urf yang dilakukan di suatu tempat atau disesuaikan dengan tradisi yang berlaku di daerah tersebut. 20 Begitupun dengan tradisi yang uang japuik selama adat memperbolehkan dan Islam tidak melarang, maka boleh-boleh saja dilaksanakan. Karena tidak ada pihak manapun yang dirugikan dalam tradisi ini baik itu pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Karena uang yang diberikan pihak perempuan kepada pihak laki-laki dikembalikan lagi disaat manjalang mintuo atau disebut juga agiah jalang, bahkan ada penambahan yang dari pihak laki-laki. Setidaknya tradisi uang japuik ini memenuhi syarat-syarat umum boleh dilaksanakan, pertama tidak bertentangan dengan syariat, kedua membawa mashlahat, ketiga, tidak menimbulkan mufsadat kerusakan dan keempat tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Kemudian dalam ditinjauan urf tradisi uang japuik ini telah memenuhi syarat-syarat urf shahih yaitu: 19 Wawancara pribadi dengan Mochtar Naim Sosiolog, Antropolog dan Budayawan Minangkabau, Ciputat, 20 Agustus 2016. 20 Wawancara Pribadi dengan Sutan Ali Wara Alim Ulama, Tangerang, 24 Maret 2016. 56 1. Adat yang hendak di jadikan hukum adalah adat yang jamiyyah, yakni merupakan kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang yang berulang- ulang. Jika masih bersifat fardiyyah atau kebiasaan yang dilakukan loeh individual saja, maka tidak bisa dijadikan penetapan hukum. 2. Adat istiadat yang ditentukan sebagai hukum harus lebih dahulu adasebelum adanya kasus. Jadi bukan adat yang datang kemudian. 3. Harus berdasarkan pandangan masyarakat setempat dan masyarakat secara umum bahwa penetapan hukum atau penyelesaian kasus hukum yang dimaksud adalah baik. 4. Belum ada nash atau ketentuan yang mengikat yang menetapkan masalah tersebut. maka masalah tersebut diselesaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. 57

BAB V PENUTUP